TDP 14Aku berziarah ke makam orang tuaku sebagai pasangan suami istri. Tak bisa kubendung air mata ketika berbicara pada batu nisan. Sebelum ijab kabul, aku juga sudah mengajak Kak Sananta ke sini, hari ini sekaligus untuk pamitan."Ayah, Ibu. Hara sudah menikah. Semoga pernikahan Hara langgeng dan bahagia. Maafkan juga Hara terpaksa menyuruh Bibi Sartika pergi dari rumah. Hara kecewa, rasanya ingin membalas, tapi hanya itu satu-satunya keluarga yang Hara punya."Aku terus bicara pada gundukan tanah. Setelahnya digantikan oleh Kak Sananta. Dia mengusap batu nisan ayah dan ibuku bergantian."Aku berjanji akan menjaga Hara dengan baik. Ayah dan Ibu beristirahatlah dengan tenang di sana."Aku terharu. Kak Sananta mengucapkannya dengan tulus. Seminggu yang berlalu sangat cepat, dia berhasil membuatku semakin jatuh cinta. Bahkan rasa sedih karena Ari tak datang, hanya bertahan sebentar. Ari sedang menyelesaikan proyek apartemen yang terkendal
Setelah menyelesaikan semua masalahku di kampung dan mengamankan semuanya, aku akhirnya berpijak kembali di rumah Kak Sananta. Tuan Saddil menyambut kami dengan hangat."Selamat datang, menantu miliarderku," ujarnya sambil tertawa. Aku hanya tersenyum mendengar kata-katanya. "Istirahatlah dulu, lusa kita akan mengadakan pesta."Pesta yang mewah yang telah disiapkan oleh mertuaku. Dihadiri oleh tamu-tamu dan kolega SS Energi Group. Kehadiranku di sisi Kak Sananta sepertinya cukup diterima. Tuan Saddil yang akhirnya kupanggil Papa mengenalkanku dengan ceria pada tamu-tamunya."Menantuku itu, meski terlihat sendirian, dia seorang miliarder. Orang tuanya sudah meninggal karena kecelakaan."Tak ada yang salah dengan kata-kata itu. Itu adalah pembelaan kenapa menantu CEO SS Energi Group terlihat sendirian. Tapi entah kenapa aku tak enak hati mendengarnya. Kalimat itu kudengar berkali-kali. Aku tak merasa memiliki harta yang banyak a
"Ada yang ingin kamu sampaikan?" tanya Kak Sananta ketika akhirnya dia sadar sepagian ini aku beberapa kali melempar pandang tapi tak berbicara apapun. Lelaki itu tengah mematut penampilannya di cermin. Hari ini dia sudah masuk kerja lagi setelah beberapa hari cuti untuk pernikahan dan pesta."Hmm ... tidak." Aku tersenyum sambil merapikan belakang kemejanya yang sedikit kusut. Tak ada jas yang harus dikenakannya sehari-hari, bahkan aku hanya melihat tiga benda itu dalam lemari. Pekerjaannya yang seorang manager lapangan tak membutuhkan jas yang banyak. Bahkan sepertinya pakaian harian yang sering dia gunakan untuk bekerja. Tiga tahun bekerja di SS Energi Group, dan posisinya masih setara karyawan lain. Rupanya Papa Saddil benar-benar sengaja mendidik anaknya dari pekerjaan paling bawah sampai nantinya mampu menggantikannya dengan semua kompetensi yang bukan kaleng-kaleng."Tapi matamu mengatakan sebaliknya.""Yakin ingin mendengarnya pagi ini?"
Kenapa pula Mbak Santi tak muncul juga. Apakah ini tak akan jadi masalah nanti, atau memang kebiasaan Papa Saddil yang seperti ini? Aku tak bisa mengambil kesimpulan karena sejak datang, baru hari ini berada cukup lama di dapur ini."Sepertinya Sananta benar-benar akan jatuh sedalam-dalamnya padamu." Papa Saddil tertawa kecil membuat pikiran-pikiranku buyar."Maksud Papa?" Aku tak mengerti."Siapa yang tak suka perempuan yang hobi memasak?" Dia tertawa lagi. "Sananta harus rajin olahraga agar tak menggemuk dengan cepat." Papa Saddil menunjuk oven, lalu pergi dengan tawa masih melekat di wajahnya.Aku ikut tersenyum samar. Papa Saddil sepertinya suka bercanda, tapi entah kenapa candaannya terasa garing bagiku. Entah memang selera humorku yang rendah, atau memang karena aku yang belum terbiasa dengan kehadirannya.Sepertinya aku butuh usaha ekstra agar cepat menyesuaikan diri dengan orang-orang di rumah ini.Selain Papa S
"Oh, jadi Mbak sakit perut? Sudah minum obat?" tanyaku. "Sudah barusan, Mbak. Duuh ... gimana ini, Non. Apa wajah Tuan terlihat marah, Non?"Kasihan juga aku melihat wajah pucat Mbak Santi. Sepertinya dia benar-benar takut karena tidak menghidangkan kopi."Enggak. Papa baik-baik saja. Bahkan ngobrol dengan saya.""Benar, Nona? Ooh ... syukurlah. Pasti karena Nona menantunya ada di sini. Biasanya Tuan tidak pernah menginjakkan kaki ke sini, Nona. Semoga Tuan tidak marah padaku." Mbak Santi terlihat komat-kamit, mungkin membaca doa. Namun, belum lagi selesai, dia sudah memberi isyarat permisi dan berlari lagi ke toilet.Mbak Santi yang panik dan ketar-ketir, aku ternyata telah ikut terbawa emosinya. Begitu wanita itu menghilang, aku kembali ingat pada masalahku sendiri.Benarkah selama ini, Tuan Saddil tidak pernah ke dapur, dan karena ingin menyapa menantunya, dia menginjakkan kaki di sini sekalian mengambil kopiny
Sampai Kak Sananta pulang malam harinya, hatiku tak kunjung membaik. Aku merasa sangat malu, merasa bodoh, dan sederet perasaan negatif lain hingga sepanjang hari rasanya ingin menangis keras-keras, tapi takut ketahuan oleh seseorang.Ingat Bibi Sartika, semakin bertambah buruklah hariku. Tak ada yang bisa kulakukan untuknya, dan aku lagi-lagi merasa jadi anak durhaka. Di satu sisi berusaha berpikir bahwa ini karena ulahnya sendiri, tapi di sisi lain seolah menciderai nurani.Akhirnya, berkat bantuan seorang teman ketika kuliah, aku menyewakan pengacara untuk bibiku itu. Hanya itu yang bisa kulakukan untuknya."Apakah muka tegangmu ini karena panggilan tak terjawab siang tadi, Sayang?" tanya Kak Sananta saat kami sedang menuju meja makan. Papa Saddil belum kembali dan aku tak tahu jam berapa dia akan pulang. Entah bagaimana, sejak kejadian tadi pagi, aku merasa mertuaku itu menjadi semacam momok untukku. Mungkin jika Papa pulang sekaran
TDP 20Beberapa hari lalu, aku sudah berbelanja dua helai gaun setelah sebelumnya scroll lama di ponsel, mencari tahu tren dan style yang biasa digunakan di acara-acara seperti itu. Mbak Santi tak banyak membantu. Karena pekerjaannya sebagai asisten rumah tangga tentulah tidak memerlukannya keluar masuk butik atau membeli gaun dan semacamnya. Namun, aku cukup senang sudah ditemani.Ingat zaman pendidikan, aku memang sedikit tertutup orangnya. Bisa bergaul dengan banyak orang, tapi sedikit yang menjadi teman dekat. Bahkan bisa dikatakan aku tak memiliki seorangpun untuk berbagi masalah pribadi.Aku membahas masalah sekolah, pertemanan, jalan-jalan, tapi tak pernah bercerita soal hidupku yang gersang. Di rumah pun aku tak memiliki teman dekat karena teman yang dekat denganku akan terintimidasi oleh Bibi Sartika. Hanya Ari yang tahu bagaimana hidupku sebenarnya.Ah. Ari lagi. Dan pesanku masih centang satu. Kali ini tanganku meletakkan kuas wajah dan
Jam setengah sepuluh malam. Aku pamit ke toilet sebentar. Kandung kemihku penuh, dan aku merasa pusing.Acara ini membuatku jetlag.Mulai dari alkohol yang sepertinya jadi minuman wajib, sampai pada para wanita yang berpakaian terlalu seksi. Mungkin mereka pengisi acara atau bagaimana. Aku jadi sangat risih karena di mejaku ada Papa Saddil dan Paman Munir. Sementara wanita-wanita itu santai saja berlalu lalang menikmati acara. Tak banyak, tapi mencolok. Ini mungkin biasa bagi mereka, tapi aku yang tak terbiasa diserang rasa sungkan setengah mati.Di toilet aku sampai muntah. Begitu kembali ke mejaku ternyata dua orang tua yang membuat segan itu telah pergi. Seketika kurasakan lega luar biasa."Kakak mau ke mana?" tanyaku saat Kak Sananta berdiri melihat kedatanganku."Aku ada pertemuan dulu sebentar, Sayang. Kamu mau ikut atau tunggu di sini saja?" jawab Kak Sananta sedikit ragu."Pertemuan?" Aku men