“Pejamkan matamu, Nara sayang.”“Om Aris mau ngapain?”“Just closed your eyes. Biar Om yang kerja, biar Om yang urus. Oma Lili nggak akan percaya alasan alasan kuno tanpa bukti.”Meski terlihat ragu-ragu, tetapi Dinara menuruti saja perintah Aris. Gadis itu perlahan memejamkan mata. Aris terpaku beberapa detik ketika wajah keponakannya dengan mata terpejam itu kini tepat berada di depannya. Pria itu mengerjap berkali-kali memperhatikan dengan saksama wajah istri belianya yang ternyata sangat cantik. Dinara memiliki garis wajah persis ibunya, tetapi alis tebal gadis itu menurun dari ayahnya. Dan bibir mungil itu ... Aris tanpa sadar menggigit bibirnya sendiri teringat bahwa ternyata dia lah lelaki pertama yang menyentuh bibir mungil itu.“Om ....” Suara lembut Dinara membuyarkan lamunan Aris tentang bibir Dinara. Ia menggeleng berkali-kali agar ingatan tentang bibir mungil itu pergi dari kepalanya.“Hm. Jangan bergerak, Nara.” Aris kembali memberi perintah sebelum akhirnya maju hingga
“Om.” Dinara masih memanggil. “Kalo nanti Oma nggak percaya terus tinggal di rumah ... kita gimana?”“Ya mau nggak mau Om tidur di kamar kamu.”Dinara terdiam, entah apa yang ada dalam pikiran gadis itu saat ini.“Kalo sampai Oma masih nginap di rumah, jangan bikin celah yang bisa bikin Oma curiga. Kita sekamar dan harus tampil sebagaimana normalnya suami istri. Makin normal dan makin meyakinkan, makin cepat Oma pergi. Sebaliknya, semakin kita menampakkan hal yang aneh, tentu saja Oma akan semakin lama tinggal di sana.”“Emang normalnya itu seperti apa, Om?”Aris menggaruk tengkuknya. “Kamu banyak nanya, Nara!”“Biar Nara bisa tau mesti ngapain.”“Normalnya itu ... ya mesra-mesraan, sering-sering keramas pagi dan juga ... sering-sering ada tanda seperti ini di leher kamu.”Dinara menghembuskan napasnya dengan kasar, membayangkankan bagaimana Aris membuat tanda di lehernya tadi membuat jantungnya kembali berdetak kencang.“Dan satu lagi, Nara.” Aris menatap dalam-dalam mata Dinara. “Ka
“Ponselku kehabisan baterai dari semalam, Ma.” Aris duduk di hadapan ibu angkatnya dengan sikap sopan seperti biasa. Sejak tiba di rumah mewah milik kakak angkatnya yang kini dihuni Aris dengan Dinara, Oma Lili memang sudah menunggu di ruang tengah, seolah sudah tau jika anak angkat dan cucu kesayangannya itu akan pulang ke rumah.“Ponsel Nara juga tidak bisa terhubung dari kemarin.” Oma Lili menatap tajam pada Aris.“Oh, kalo itu Nara sepertinya emang sengaja memblokir nomor Mama.” Aris menjawab santai lalu menikmati ekspresi kesal dari wanita tua yang masih terlihat segar di hadapannya.Aris memang sudah menyusun sandiwara ini di depan ibu angkatnya. Kesepakatannya dengan Dinara dalam perjalanan tadi membuat Aris-lah satu-satunya kini yang berada di hadapan Oma Lili. Aris yang khawatir Dinara akan salah bicara memutuskan menggendong gadis itu tadi setibanya mereka di rumah. Pria itu lalu memberi kode pada Oma Lili untuk tidak bicara dulu karena ia sedang berkonsentrasi pada gadis ya
“Kayak ... ehm ... Nara kayak mau terbang. Ehh ... bukan. Kayak ada yang terbang di perut Nara. Ehh ... bukan. Itu kayak ... geli tapi menyenangkan.”Aris menyeringai. Cara Dinara menggambarkan ciumannya membuat Aris semakin yakin bahwa gadis itu memang masih sangat polos.“Nara ...,” panggil Aris lembut.“Iya, Om.” Dan cara Dinara menjawabnya dengan nada yang sama lembutnya membuat Aris menelan ludahnya. Ia tak pernah tahu bahwa gadis itu memiliki sisi kelembutan seperti ini, Dinara yang dilihat Aris selama ini adalah gadis belia beranjak dewasa yang keras kepala dan tak pernah ramah padanya.“Selain dengan Kenzo, Nara pernah punya pacar lain?”Dinara menggeleng, Aris menghela napasnya.“Sejak kapan Nara pacaran sama Kenzo?”“Sejak Nara SMA, Om. Sejak .... “ Dinara menggantung kalimatnya, gadis itu menatap mata Aris mencari tahu apakah pria di hadapannya ini layak untuk mendengar cerita hidupnya. “Sejak Mama dan Papa meninggal.” Dinara akhirnya menyelesaikan kalimatnya dengan suara b
Aris sudah berkali-kali datang ke rumah ini, sebuah rumah minimalis modern dengan deretan pot bunga yang tersusun rapi memanjakan mata di bagian teras depan. Sebuah gambaran rumah yang selalu menjadi impian Aris untuk menjadi bagian dari pemiliknya. Rumah milik orang tua Alea, ke sana lah Aris melajukan kendaraannya setelah tadi menerima telepon dari Alea.Di teras rumahnya, Alea sudah menunggu sang kekasih datang ke sana. Gadis itu bangkit dari duduknya di kursi teras ketika kendaraan roda empat milik kekasihnya sudah terparkir di depan rumah.“Hai, Sayang!” Aris menyapa saat melihat Alea di sana, namun saat hendak mencium pipi gadis itu, Alea menghindarinya.“Nggak enak. Ntar diliat Ayah,” kata Alea.“Sorry.” Aris tersenyum memahami. “Ayah kamu manggil aku?”“Iya, Mas. Kalo bukan Ayah yang minta, mana berani aku nyuruh Mas Aris ke sini siang-siang gini.”Aris berhenti sejenak, baginya jarak antara teras dan pintu utama rumah Alea terlalu dekat sehingga ia tak bisa berlama-lama deng
“Any explanation, Mas?” Alea sudah duduk di kursi depan mobil Aris kini, sementara Aris duduk di belakang kemudi.“Tadi itu nggak sengaja, Lea. Bahkan saat aku meluk Nara, yang kubayangin itu kamu, yang kurasakan itu sedang meluk kamu. Kamu tau kan aku selalu menginginkanmu.” Aris berbicara sambil sesekali menoleh ke kiri. Dalam pandangan lelaki itu, Alea siang ini nampak begitu cantik dengan setelan blouse berwarna peach dipadu rok selutut, rambut Alea yang dikuncir ke atas membuat Aris harus berkali-kali menelan ludahnya sejak melihat Alea keluar dari kamarnya setelah berganti pakaian tadi.“Dengan cara kamu menjamah dia seperti tadi pagi, itu nggak sengaja, Mas?” Alea masih menuntut penjelasan.“Ya mau gimana lagi, yang kubayangin itu kamu, Sayang. Makanya tangannya nggak bisa diem, kamu tau sendiri kan gimana tanganku kalo sama kamu.” Aris sepertinya sudah yakin bahwa Alea akan mengerti, karena memang seperti itulan Alea-nya, selalu mengerti dirinya, selalu memahami inginnya. Hal
“Jangan bahas kerjaan dulu, Alea. Aku ingin kamu ngerasain apa yang tadi pagi kurasain.” Aris duduk lalu berbaring di sofa, kemudian menarik tubuh Alea tanpa aba-aba sehingga gadis itu jatuh tepat di atas tubuh Aris. “Mas!” “Seperti ini yang kamu liat tadi, kan?” Aris memeluk tubuh Alea di atasnya. “Ini yang terjadi di rumah Novi tadi, Lea. Dan apa kamu tau kenapa hal tadi bisa terjadi? Karena di dalam pikiranku yang kutarik itu adalah kamu, Sayang.” Alea menelan ludahnya. “Dan yang kusentuh seperti ini juga kamu.” Tangan Aris mulai bergerak gerak di tubuh kekasihnya. “Aku nggak pernah bayangi tubuh lain, aku nggak pernah bayangin cewek lain selain kamu, Alea.” Alea bergidik menerima perlakuan Aris. “Hentikan, Mas! Kita lagi di kantor.” “Kalo bukan lagi di kantor, emang kamu mau yang lebih dari ini?” Aris menatap mata kekasihnya. Alea menggeleng. “Kamu juga pengen kan, Alea?” Aris menciumi semua yang bisa digapainya. Alea mengangguk. Seketika Aris tersenyum penuh kemenangan.
“Jangan main-main, Alea!” Aris meninggikan suaranya.Hari ini ia benar-benar merasa frustasi. Bukan hanya urusan Dinara yang memang hampir setiap hari membuat masalah, tetapi juga Alea, gadis yang biasanya selalu menjadi peredam amarahnya. Bagaimana tidak? Alea baru saja meminta hal yang kembali membuat kepala Aris rasanya mau pecah. Alea meminta putus, meminta hal yang rasanya mustahil untuk dikabulkan Aris.Berkali-kali Aris menyugar kasar rambutnya. Setelah Alea meninggalkan ruangannya tadi, ia sudah berusaha memanggil gadis itu kembali dengan alasan pekerjaan, tetapi ternyata Alea mengabaikannya. Padahal Aris tentu tak ingin gegabah dengan mendatangi Alea langsung, ia tak ingin akan banyak mata yang menangkap hubungan tak biasa keduanya, meski sebenarnya desas desus hubungannya dengan Alea masih berhembus di seantero Tulip Grup meski tak lagi sekencang dulu. Karena belakangan ia dan Alea sudah mulai membatasi diri untuk tak menunjukkan romantisme di kantor.Sementara di ruang kerj