Share

Bab 2

Aris merenung sendirian di ruang kerjanya. Kehidupannya selama tiga bulan belakangan ini begitu berantakan, tepatnya setelah statusnya tiba-tiba saja berubah menjadi seorang suami. Mungkin jika saja wanita yang menjadi istrinya adalah kekasih yang telah dipacarinya setahun belakangan ini, hidupnya tentu saja tak seperti ini. Akan tetapi, wanita yang kini menyandang status istrinya adalah Dinara – gadis belia yang baru duduk di semester awal sebuah universitas swasta.

Sudah berbatang-batang rokok yang menemaninya malam ini di ruang kerjanya. Setelah tadi kembali bersitegang dengan Dinara di kamarnya, Aris memilih masuk ke ruang kerjanya. Hal yang sering dilakukannya belakangan ini, menghabiskan malam di ruang kerjanya sambil menyesap rokok dan tentu saja menelepon kekasihnya.

“Tidur di ruang kerja lagi?” begitu pertanyaan Alea, sekretaris sekaligus kekasihnya ketika Aris menelepon.

“Hmm.”

“Berantem lagi?” tanya Alea.

“Selalu.”

“Kenapa nggak tidur di kamar lain aja dari pada tidur di kursi semaleman?”

“Aku nggak punya alasa kalo nanti ditanya Mama, Al. Kalo ketiduran di sini, aku bisa bikin alasan kerja lembur sampai ketiduran.”

“Iya, alesan yang amsuk akal. Tapi aku yang akan jadi korbannya. Besok pasti bakalan minta pijet lagi, kan? Alesan pegel tertidur di kursi semalaman.”

Aris terkekeh mendengarnya. “Tapi kamu suka, kan?”

“Terpaksa, Mas. Sebenarnya nggak mau mijetin suami orang.”

Senyum Aris menghilang dari wajahnya. “Nggak usah mancing deh, Yank. Aku udah mumet ini. Nelpon kamu biar terhibur, jadi jangan nambah bikin kusut pikiranku.”

“Iya, Mas yang terhibur. Aku yang kusut. Nggak enak banget rasanya telponan ama suami orang.”

“Alea ... please!

Aris bisa mendengar helaan napas dari seberang sana. “Ya udah, Mas Aris tidur sana. Biar besok nggak kayak zombie lagi kurang tidur.”

“Belum ngantuk, Alea. Boleh video call, nggak?”

“Nggak! Aku udah pakai baju tidur.”

“Nah! Bagus dong. Pengen liat kamu.” Aris tertawa.

“Dih! Sana liatin istri di kamar, pasti lebih seksi.”

“Ck! Kami nggak sejauh itu, Al. Aku nggak mungkin manfaatin bocah itu.”

“Bocah tapi dinikahi.”

“Alea ....” Aris memanggil lembut. “Kamu tau ceritanya, kan? Kamu tau gimana aku, kan? Aku masih nganggep Dinara itu keponakan aku, Al.”

“Ya, aku tau ceritanya, dan aku dipaksa memahaminya, meski aku belum bisa menerima mengapa kekasihku menikahi gadis lain tapi tetap berkata cinta padaku.”

“Alea ....”

“Udah dulu, Mas.”

“Kamu masih marah karena aku ninggalin meeting tadi?”

“Apa aku punya hak untuk marah, Mas? Mas Aris atasan aku, dan kamu meninggalkan ruang meeting untuk urusin istri kamu, kan? Apa menurut Mas aku punya hak untuk marah?”

Aris menyugar kasar rambutnya. Menelepon Alea malam ini ternyata justru membuatnya semakin pusing. Ia tahu Alea masih jengkel padanya, meski wanita itu memilih tak mengakuinya.

“Ya udah. Kamu istrirahat, ya. Sampai ketemu besok. Good night, Sayang.”

Akhirnya Aris memilih mengakhiri pembicaraan sebelum ia bertambah pusing oleh jawaban-jawaban Alea padanya.

Good nihgt, Mas Aris.”

Aris tersenyum, ia selalu suka mendengar suara lembut Alea padanya. “Love you,” ucapnya sebelum benar-benar memutus panggilan.

Sebatang rokok kembali disesapnya. Memikirkan Alea dan Dinara selalu membuatnya membutuhkan energi lebih banyak. Ingatan Aris melayang pada kejadian beberapa bulan yang lalu, ketika untuk pertama kalinya ia akhirnya menyetujui keinginan Oma Lili yang memintanya menikahi Dinara, seperti permintaan Aldo sebelum menghembuskan napas terakhirnya.

***

“Aku baru sembilan belas tahun, Oma!” Dinara berteriak kencang. Ini bukan pertama kalinya ia dan Oma Lili bersitegang. Bahkan beberapa bulan belakangan Dinara kerap memilih menghindari pertemuan dengan wanita yang merupakan ibu kandung dari ayahnya itu.

“Tiga bulan lagi dua puluh tahun, Nara. Dan umur segitu udah matang untuk menikah.” Sama seperti Dinara, Oma Lili pun sudah mulai muak dengan perdebatan ini.

Dinara menoleh sinis, melemparkan sepatunya ke sembarang arah lalu berlari menuju tangga. Tentu saja ingin segera mengurung diri di kamarnya di lantai atas rumah mewah orang tuanya.

“Nara! Perbaiki sikapmu! Kalau nggak bisa bersikap disiplin, setidaknya hormat sama orang tua!” Dan suara lain muncul dari depan pintu, tepat ketika seorang pria dengan setelan pakaian kerjanya terlihat di sana.

Pria matang itu melempar tatapan tak suka pada gadis yang berlari menaiki anak tangga, sebelum kemudian menoleh dan memberikan senyuman manisnya pada Oma Lili yang duduk di sofa ruang tengah.

“Jangan diambil hati, Ma.” Aris yang baru masuk meraih tangan keriput Oma Lili dan lalu mencium punggung tangannya.

“Dia udah keterlaluan, Ris. Nggak nyangka sikap Aldo yang penurut tak menurun sama sekali pada putrinya. Rasanya sudah lelah membujuk Dinara, tapi gadis keras kepala itu belum luluh juga.”

Aris menyunggingkan senyum. “Apa mungkin sebaiknya Mama berhenti saja? Stop memaksa Nara untuk menikah muda dan biarkan dia memilih jalannya sendiri.”

Oma Lili menarik tangannya yang masih dalam genggaman Aris. “Apa katamu? Jangan bilang kamu juga sama saja seperti Nara, menolak pernikahan ini.”

Aris menarik napas dalam-dalam. Ia selalu memerlukan kesabaran ekstra saat berbicara dengan Oma Lili yang diketahuinya memang memiliki sifat otoriter. “Bukan gitu, Ma. Tapi liat tuh, Nara jadi makin ngehindari Mama gara-gara urusan ini.”

“Ah, kamu juga sama aja, Ris. Kalian berdua nggak mau ngertiin Mama. Ada banyak hal yang Mama perjuangkan lewat perjodohan ini. Ini semua demi almarhum Papa dan Abangmu.”

Mata Oma Lili menerawang, selalu ada luka di matanya yang sudah keriput ketika mengingat mendiang suami dan anak lelaki satu-satunya.

“Ma ... bukan gitu maksud Aris. Aris ngerti niat baik Mama, tapi kasihan Nara, Ma. Dia jadi nggak betah di rumah sejak tau Mama berniat nyuruh dia nikah muda.”

Aris kembali menghela napas panjang. Urusan Nara membuat kesibukannya beberapa waktu belakangan ini bertambah. Seperti hari ini ketika ia menjemput Dinara nam un tak mendapati gadis itu di sekolahnya. Seorang teman Dinara kemudian memberi informasi bahwa gadis itu tadi terlihat di sekitar halte. Dan benar saja, Dinara terlihat di sana, duduk berdua dengan seorang anak laki-laki yang juga berseragam abu-abu sama seperti gadis itu.

Seperti juga dirinya yang memiliki kekasih, Aris tahu persis bahwa anak laki-laki yang sedang bersama Dinra di halte tadi adalah pacar gadis itu. Tautan tangan keduanya yang buru-buru diurai setelah menyadari kehadiran Aris di halte adalah tanda bahwa tak hanya dirinya, tetapi Dinara pun punya kisah cinta yang tentu saja akan hancur jika mereka berdua menerima perjodohan ini.

Akan tetapi, Oma Lili tetap bersikeras dengan pendiriannya. Sebuah amanah dari Aldo – putra tunggal Oma Lili sebelum meninggal dunia menjadi pegangan wanita tua itu dalam mempertahankan keinginannya. Meski sudah berkali-kali Aris menjelaskan bahkan memperkenalkan kekasihnya pada ibu angkatnya itu, tetapi Oma Lili tetap bergeming dan tak ingin mengubah keputusan.

Aris memang hanya anak angkat dari Oma Lili dan suaminya. Ia yang waktu itu masih berusia lima tahun tiba-tiba saja diadopsi oleh keluarga kaya raya yang memiliki putra tunggal berusia dua belas tahun.

“Kami mencari anak kecil yang bisa menemani anak kami di rumah. Aldo selalu kesepian karena kami berdua selalu sibuk di kantor.” Itu yang didengar Aris waktu itu, saat ia dan beberapa temannya menguping pembicaraan pemilik panti dengan tamunya.

Hal semacam itu selalu menjadi kebiasaan mereka di panti ketika mengetahui ada keluarga yang sedang mencari anak adopsi. Lalu saat anak-anak lelaki itu satu persatu dipanggil, Aris menjadi anak yang terpilih ketika Aldo segera menyapanya karena waktu itu Aris membawa layang-layang di tangannya.

“Hei! Aku nggak bisa mainin itu. Nanti ajarin main layang-layang, ya!” Itu sapaan Aldo yang akhirnya membuat Aris terpilih oleh keluarga pengusaha itu.

Lalu hidup Aris berubah seratus delapan puluh derajat setelahnya. Ia menyandang status anak orang kaya dan bersekolah di sekolah elite hingga tak ada lagi yang menyangka bahwa ia adalah anak yatim piatu dari panti asuhan. Apalagi hubungannya dengan Aldo pun berjalan lancar, karena Aldo benar-benar memperlakukan dan menyayanginya sebagai adik bahkan hingga pria itu meninggal dunia karena kecelakaan tragis.

Namun kini, hubungan akrabnya dengan Aldo justru membawa Aris pada situasi pelik yang melibatkan hati. Ketika di akhir napasnya, Aldo ternyata memberi amanat agar Aris bersedia menikahi putri tunggalnya, Dinara Safina. Aris sendiri tak mengerti mengapa kakak angkatnya itu menyerahkan putrinya.

Bersambung.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status