Share

Bab 3

Ultimatum dari Oma Lili makin mengekang ketika Dinara semakin terlihat menentang. Beberapa kali Aris dipusingkan ketika gadis itu tak pulang ke rumah dengan alasan menginap di rumah teman. Aris kewalahan, ia yang dulunya tak pernah terlibat dalam uruan perusahaan dan lebih memilih bekerja sebagai tim kreatif di salah satu stasiun TV swasta kini harus menggantikan posisi Aldo sebagai direktur di perusahaah keluarga.

Kepergian Aldo membuat hari-hari Aris sangat sibuk, dan semakin sempurna kesibukan dan kerepotannya ketika Dinara juga semakin mencari masalah.

“Mulai hari ini kamu nggak boleh keluar rumah, Nara!”

Oma Lili akhirnya mengambil keputusan tegas setelah hari ini Aris menyeret gadis itu dari rombongan konvoi pelajar yang baru saja menjalani ujian sekolah.

“Nggak bisa gitu, Oma! Nara mau urusin pendaftaran masuk kuliah. Ijazah Nara juga belum keluar.” Dinara tentu saja membantah.

Aris menekan keningnya. Menghadapi dua wanita berbeda generasi yang sama-sama keras kepala ini benar-benar membuat hidupnya jungkir balik. Tadi ia sedang makan siang bersama Alea ketika Oma Lili menelepon dan memintanya mencari Nara. Menurut informasi yang diterima Oma Lili, Dinara sedang melakukan kovoi bermotor bersama teman-temannya setelah ujian akhir SMU selesai.

“Cepat cari Nara, Ris! Dia ikut konvoi dengan teman-temanya. Oma takut terjadi apa-apa. Cepat cari dia sekarang juga!” Begitu perintah yang diterima Aris tadi siang yang membuatnya bertengkar dengan Alea karena meninggalkan begitu saja gadis itu di restoran tempat mereka makan siang.

Bagi Aris, perintah Oma Lili adalah segalanya. Dia berutang banyak pada wanita yang selama mengadopsinya selalu bersikap sangat baik padanya itu. Oma Lili bahkan mengizinkannya memanggil “Mama”, sebuah kata yang tadinya mustahil bagi seorang anak yatim piatu yang tak jelas asal usulnya.

Dua wanita di hadapan Aris masih saja terus bersahutan mempertahankan pendapat, sementara Aris mulai jengah oleh kebisingan ini. Rumah mewah milik kakaknya ini sudah tak lagi menyenangkan bagi Aris. Padahal dulu ia selalu meluangkan waktu untuk datang ke rumah ini di hari minggu untuk sekadar bercengkrama dengan Aldo. Aris sendiri tinggal di apartemen sejak lulus kuliah dan mulai bekerja di salah satu stasiun televisi swasta.

“Kuliah? Setelah semua kelakuanmu ini kamu bilang mau kuliah, Nara? Nggak! Oma nggak akan mengizinkan! Masih SMU saja kamu sudah membangkang begini, bagaimana nanti kalo bergaul di kampus?”

Aris kembali menatap kedua wanita itu. Dinara dengan berang tentu saja seketika membantah mendengar larangan melanjutkan pendidikan oleh Omanya. Aris tahu, sebenarnya Oma Lili bukan wanita kolot, tetapi sikap pembangkann Dinara-lah yang membuat wanita itu semakin mempertontonkan otoriternya. Dan tentu saja, sikap keras kepala Dinara juga sedikit banyak menurun dari Oma Lili.

“Oma minta kamu menikah, bukan kuliah. Tapi kalo tetap mau kuliah, kamu bisa lanjutkan setelah kuliah.”

Dan terjadilah kesepakatan itu. Dinara menyetujui menikah, asalkan ia masih diperbolehkan kuliah. Dan Aris hanya bisa menyetujui kesepakatan kedua wanita di hadapannya.

“Satu syarat lagi, Oma!” kata Dinara sebelum berlalu dari hadapan Oma Lili. “Nara nggak mau ada resepsi. Pernikahan ini hanya keluarga besar yang tau.”

“Nggak bisa! Justru pernikahan ini harus diumumkan agar semua orang tau bahwa kalian berdua adalah pewaris Tulip Corp.”

Rasanya Aris sudah hampir menyerah dengan perdebatan ini. Hingga akhirnya sebuah keputusan lain disepakati. Aris dan Dinara akan menikah setelah Dinara lulus SMU, setelah usianya dua puluh tahun, dan resepsi akan gelar di rumah Oma Lili dengan hanya mengundang keluarga besar dan rekan bisnis Tulip Corp – perusahaan milik mendiang suami Oma Lili yang bergerak di bidang properti.

Keputusan yang membuat Aris hampir saja kehilangan Alea ketika ia memberi tahu gadis itu mengenai rencana pernikahannya dengan Dinara, gadis yang selama ini hanya dianggapnya sebagai keponakan, meskipun selama ini ia memang jarang berinteraksi dengan Dinara karena gadis itu jarang berada di rumah ayahnya ketika Aris datang berkunjung.

Alea sendiri sebelumnya adalah rekan kerja Aris di sebuah stasiun TV, lalu saat Aris tiba-tiba didapuk menggantikan Aldo sebagai direktur di Tulip Co., ia membawa serta Alea untuk membantunya, hingga akhirnya Alea berada di posisinya sekarang sebagai sekretaris Aris.

Kantor akhirnya menjadi tempat keduanya bekerja sekaligus memadu kasih. Karena di saat senggang, keduanya selalu menciptakan momen-momen romantis yang tak jarang menjadi buah bibir karyawan Tulip. Aris yang sudah berusia kepala tiga dan Alea yang tahun ini menginjak usia dua puluh delapan tahun tentu saja menjalani gaya pacaran yang jauh lebih dewasa tanpa ada lagi yang mengawasi. Tak jarang mereka menjadi bahan gosip ketika beberapa kali kepergok berciuman di area kantor, namun keduanya tak ambil pusing.

Sayangnya setelah setahun lebih memadu kasih, Aris belum mengantongi restu dari kedua orang tua Alea untuk menikahi gadis itu.

“Papa itu basic-nya militer, Mas. Agak sulit menaklukkan pendiriannya, tapi aku yakin suatu saat Papa bakal melunak dan nerima kamu. Apalagi Papa tau persis kalo aku nggak ada hubungan dengan laki-laki lain selain kamu. Sabar, ya.” Itu alasan yang selalu dikatakan Alea ketika keduanya kembali menemui jalan buntu.

Asal-usul Aris menjadi penghalang restu orang tua Alea. Tak peduli bahwa ia dari umur lima tahun tumbuh di bawah pengasuhan pemilik Tulip Corp., bagi orang tua Alea, Aris tetaplah anak panti asuhan yang tak jelas bibit bobot dan bebetnya.  

***

Lamunan Aris tentang awal mula ia terjebak dalam pernikahan ini buyar ketika ponselnya berpendar di atas meja.

“Alea?” gumamnya memperhatikan layar. Sebuah panggilan video dari nomor Alea tertera di layar.

“Nggak bisa tidur.” Wajah cantik alami Alea muncul di layar saat Aris menerima panggilan.

“Kenapa, hmm?”

“Mikirin kamu.”

Tawa Aris membahana. “Tadi katanya nggak boleh video call, kenapa sekarang boleh? Mana coba yang katanya tadi udah pakai baju tidur? Seksi nggak?” Aris menggoda. Di layar, dilihatnya hanya wajah Alea yang nampak di sana, sementara bagian tubuh gadis itu tertutup oleh selimut hingga ke leher.

“Nggak mau.”

Di seberang sana, Alea sesungguhnya sedang menahan diri untuk tidak melakukan apa yang dikatakan Aris tadi. Dia gadis dewasa yang matang, pembicaraan yang mengarah ke area dewasa selalu saja menghadirkan keinginan lebih di dalam dadanya. Berpacaran dengan Aris yang jauh lebih matang darinya juga bukan hal yang mudah bagi Alea untuk mempertahankan diri. Ciuman dan sentuhan panas sudah berkali-kali dirasakannya dari lelaki itu, meski Alea hingga kini masih mempertahankan benteng terakhirnya.

“Padahal aku mau loh.” Aris menggoda lagi.

“Kalo mau ngapain di situ, Mas? Tuh di kamar kan ada yang bisa diapa-apain.”

“Itu nggak boleh disentuh, Alea. Aku dan Nara udah sepakat pernikahan ini hanya untuk meluluhkan Mama dan menyelamatkan Tulip dari orang-orang yang mau mengambil alih dengan dalih Dinara masih di bawah umur.”

Alea sudah tahu mengenai ini. Aris sudah menjelaskan semua padanya saat ia menangis kecewa mendengar kekasihnya menerima perjodohan oleh orang tua angkatnya. Saat itu, Alea merasakan kekecewaan yang mendalam ketika Aris memastikan bahwa pria itu akan menikahi keponakannya. Akan tetapi alasan yang diberikan Aris mampu membuat Alea memutuskan untuk tetap berada di sisi Aris, tetap menjalani hari-hari sebagai kekasih pria itu.

“Aku dan Dinara udah sepakat hanya menjalani pernikahan ini demi Oma. Dinara itu anak dari abangku, dia juga masih bocah, aku nggak mungkin menikah dengan anak ingusan. Tapi aku juga nggak bisa ngebantah Mama, dia orang yang paling berjasa dalan hidup aku. Jadi tunggulah sebentar saja, sampai Tulip aman dari tangan-tangan yang ingin merebut kursi direktur, sampai Dinara matang dan bisa menduduki tahta peninggalan Bang Aldo. Saat itulah aku bisa bebas kembali dan mengakhiri pernikahan ini.”

Alasan itulah yang membuat Alea bertahan, apalagi pernikahan Aris dan Dinara memang terkesan ditutupi dari khalayak. Maka Alea meyakini bahwa pernikahan kekasihnya itu memang terjadi hanya demi menyelamatkan perusahaan, juga demi memenuhi permintaan seorang wanita renta yang mungkin saja sudah berada di ujung usianya.

“Mas.” Alea memanggil.

“Iya, Sayang.”

“Kapan ke apartemen lagi?”

Apartemen yang dimaksud Alea tentulah unit di mana Aris tinggal sebelum menikah lalu tinggal di rumah mewah milik kakak angkatnya ini. Di apartemen itulah ia dan Alea biasanya memadu kasih, karena Aris sudah mulai membatasi kemesraan mereka di kantor. Sejak menikah, Aris berusaha keras menjaga wibawa karena semua karyawan Tulip tentu sudah tahu bahwa pria itu sekarang berstatus suami dari ahli waris utama Tulip Corp., dan Aris tak ingin reputasinya jelek lalu dimanfaatkan oleh pemegang saham untuk kembali menjatuhkannya dari posisi direktur.

Dia harus mempertahankan kursi itu hingga Dinara matang dan siap meneruskan Tulip.

“Kerjaan lagi padat banget, Sayang. Kamu juga kan yang jadwalin semua kerjaan aku. Belum lagi urusan Dinara yang masih suka seenaknya. Padahal ....” Aris sengaja menggantung kalimatnya.

“Padahal apa?”

“Padahal kangen banget.” Aris sengaja mengucapkan dengan suara rendah. “Kangen bibir kamu, kangen nyentuh kamu,” katanya lagi.

Aris sepertinya sengaja, ia yang sudah berpengalaman tahu persis bahwa gadisnya di seberang sana sepertinya sedang menahan hasrat padanya, namun Alea memang gadis yang mampu bertahan atas keinginannya sendiri.

“Gimana kalo kita nikah aja, Mas?”

Aris tertawa. “Mau jadi pelakor, Al? Kamu sedang ngajak nikah suami orang loh.”

“Ck! Aku serius, Mas.”

Aris memasang wajah usilnya. “Ya nggak bisa sekarang, Sayang. Aku udah nikah dan pernikahanku masih akan lanjut entah sampai kapan. Kamu sih berkali-kali diajak nikah nggak mau.”

“Bukan nggak mau, Mas, tapi Papa sama Mama belum ngasih restu.”

Wajah Aris berubah datar. Selalu ada sisi hatinya yang terluka ketika membahas restu orang tua Alea yang tak kunjung didapatkan hanya karena asal usul keluarganya yang tidak jelas.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status