Share

TERJEBAK PERNIKAHAN PALSU
TERJEBAK PERNIKAHAN PALSU
Author: Aina D

Bab 1

“Om udah keterlaluan! Bisa-bisanya mempermalukan Nara di depan teman-teman Nara!” Gadis berambut kecoklatan dengan postur tubuh bak model itu menutup pintu mobil dengan kasar lalu melangkah dengan tergesa meninggalkan pria yang baru saja mengantarnya pulang.

Aris Hermawan, pria yang masih berada di balik kemudi hanya menggeleng melihat perlakuan kasar Dinara. Ini sudah menjadi kebiasaan sehari-hari gadis itu. Pertengkaran keduanya sudah bukan lagi hal yang asing di rumah mewah ini. Seisi rumah sudah sangat terbiasa dengan pemandangan seperti ini.

Aris melirik arloji di pergelangan tangan sebelum kemudian meraih ponsel di sakunya lalu melakukan panggilan. Sebelumnya, ia sudah meninggalkan rapat penting demi mendatangi Dinara yang kembali melanggar kesepakatan yang telah mereka setujui.

“Gimana meetingnya tadi, Pras?” Aris segera bertanya begitu panggilang tersambung pada asisten kepercayaannya.

“Sedikit alot, Pak. Tadi klien kita protes karena Pak Aris meninggalkan meeting begitu saja dengan alasan yang tak penting.”

Jawaban dari seberang sana membuat Aris mengurut dada. Lagi-lagi ia harus mengorbankan pekerjaannya  demi meladeni Dinara yang dianggapnya semakin menjadi-jadi.

“Alasan tak penting katamu?!” Dada Aris terlihat naik turun menahan amarah.

“Maaf, Pak Aris. Bukan saya yang bilang alasan nggak penting, tapi klien kita tadi.”

Pria dengan setelan kemeja berwarna biru muda itu menggulung kasar kamejanya hingga ke siku. Urusan Dinara belakangan ini benar-benar membuatnya sering tak bisa mengendalikan emosi.

“Huhhh! Oke. Maaf, Pras.” Aris mencoba menetralkan emosinya. “Jadi gimana tadi? Mereka menerima prosposal kita, nggak?” tanyanya.

“Tidak, Pak. Lebih tepatnya belum. Mereka minta dijadwalkan pertemuan ulang dengan Pak Aris. Pihak  sana maunya Pak Aris yang memaparkan, bukan diwakilkan ke saya atau yang lainnya.”

“Kalau begitu minta Alea jadwalin ulang, Pras.”

“Nggg ... apa nggak sebaiknya Pak Aris saja yang menyuruh Mbak Alea?” Ada keraguan yang tertangkap oleh pendengaran Aris dari suara Pras.

“Kenapa emangnya?” Aris tahu, pasti ada sesuatu yang ingin dikatakan Pras.

“Nggg ... gini, Pak. Sejak Pak Aris meninggalkan ruang meeting tadi, Mbak Alea juga kelihatan bad mood. Saya yakin dia nggak akan mau ngelakuin apa Bapak perintahkan tadi kalo bukan Pak Pras langsung yang menyuruhnya.”

Aris menyugar kasar rambutnya. Tadi Dinara, lalu sekarang Alea, sempurna sudah dua wanita itu membuatnya pusing hari ini.

“Ya udah. Nanti aku hubungi Alea.”

Jika saja bisa membelah diri, Pras tentu saja akan melakukannya agar tak sendirian dipusingkan oleh berbagai urusan kantor, lalu urusan mahasiswi semester awal yang baru saja membanting pintu mobilnya tadi.

Aris menatap tas ransel dan sebuah earphone yang tergeletak begitu saja di kursi penumpang depan. Tentu saja barang-barang itu adalah milik Nara yang tadi keluar begitu saja dari mobilnya dengan emosi. Rasa penasaran membuat Aris yang tadinya sudah hendak membuka pintu meraih ransel berwarna hitam di jok penumpang itu lalu membukanya. Pria itu menggelengkan kepala dengan napas berat ketika mendapati hanya ada satu buku binder di dalam sana. Sementara sebuah pouch lainnya justru berisi alat-alat make up dari brand mahal.

“Padahal ini ransel untuk kuliah,” gumamnya. “Tapi isinya malah alat make up.” Aris masih menggumam sendiri.

Ia kembali memasukkan barang-barang itu ke dalam ransel ketika tangannya menyentuh satu benda lain lagi di dalam sana. Dompet wanita berwarna hitam yang menyeruakkan aroma wangi saat Aris menyentuhnya. Ia menghirup banyak-banyak aroma wangi yang dikenalinya sebagai aroma parfum Dinara itu. Karena meski Dinara sering kali membuatnya kesal dan marah, serta tak pernah berhenti menguji kesabarannya, selama ini Aris diam-diam selalu suka dengan wangi parfum yang menguar dari tubuh dan barang-barang Dinara, termasuk dompet yang sedang dipegangnya ini.

Rasa penasaran yang menguasai membuat Aris membuka barang pribadi gadis itu. Matanya meredup saat hal yang pertama kali dilihatnya saat membuka dompet adalah sebuah foto yang memperlihatkan senyum dari ketiga orang yang ada di dalam gambar.

“Bang Aldo ....” Aris mengusap foto di dompet dengan ekspresi sedih. “Berat banget berada di posisiku sekarang, Bang,” gumamnya lagi.

“Mbak ....” Ia kembali mengusap sisi lain foto. “Gimana kalo aku nggak sanggup mengemban amanah ini?”

Aris menyusut mata, selalu ada luka yang menganga ketika teringat sepasang suami istri yang sedang tersenyum di dalam foto itu. Kepergian Aldo dan Meiga, ayah dan ibu Dinara dalam sebuah kecelakaan tragislah yang membuatnya kini berada dalam situasi pelik ini.

“Hey, kamu! Anak bandel! Tunggu aja pembalasnku!” Aris menyentil bagian foto di mana Dinara tersenyum manis di sana. Aris meyakini bahwa foto yang tengah dipandanginya di dompet Dinara ini adalah foto terakhir ketiganya, sebelum Dinara berstatus yatim piatu sepeninggal ayah dan ibunya.

Aris kembali merapikan dompet wangi itu, sebelum menyelipkan beberapa lembar pecahan seratus ribu di sana setelah tertawa kecil melihat sisa uang di dompet Dinara yang hanya menyisakan beberapa lembar uang sepuluh dan lima ribuan.

***

“Ma ....” Aris menyapa lalu mencium punggung tangan wanita tua yang duduk di ruang depan seperti memang sedang menunggunya.

“Kenapa lagi anak itu, Ris? Tadi datang-datang nggak salam nggak nyapa langsung mencak-mencak lari ke atas?”

“Ya seperti biasa lah, Ma. Aris jemput langsung ke lokasi nongkrongnya.” Aris menjawab.

“Ck! Kapan kamu bisa menaklukkan anak itu, Ris? Ingatlah, Dinara adalah pesan terakhir Aldo dan Meiga ke kamu sebelum ....” Wanita tua itu tak meneruskan kalimatnya.

Oma Lili, begitu nama panggilan wanita yang sedang berhadapan dengan Aris ini. Wanita yang sudah berusia hampir tujuh puluh tahun, tetapi masih terlihat bersemangat. Raut wajahnya pun masih sama seperti puluhan tahun lalu ketika pertama kali Aris bertemu dengan wanita itu meski kini wajah itu telah dipenuhi keriput.

“Dinara ... Dinara adalah amanah Abangmu, Ris.”

Aris buru-buru merangkul pundak ringkih Oma Lili ketika merasa bahwa wanita tua itu sedang menahan kesedihan. Bebicara tentang Aldo dan Meiga memang akan selalu menghadirkan kesedihan bahkan tangis bagi keluarga mereka.

“Jangan diingat-ingat terus, Ma. Abang udah bahagia di sana,” ucapnya. “Aris juga udah janji, jadi nggak mungkin mengingkari janji Aris sendiri.”

“Tapi ... Nara masih seperti itu, Ris. Bagaimana sebenarnya hubungan kalian selama tiga bulan ini? Kenapa dia belum berubah sama sekali dan kelihatan sekali nggak suka sama kamu.”

“Nggak semudah itu, Ma. Nggak segampang itu mengubah seseorang. Aris memang menepati janji ke Abang, tapi Aris juga nggak bisa mengubah apa yang nggak bisa Aris ubah. Aris hanya sedang berusaha.”

Oma Lili mendongak menatap pria tinggi menjulang di hadapannya.

“Mama berharap banyak ke kamu, Nak.”

Aris tersenyum tipis lalu mengangguk di hadapan Oma Lili.

‘Harapan yang membuatku harus berkorban banyak,’ gumam Aris di dalam hati.

Pria berusia tiga puluh lima tahun itu kemudian berpamitan pada Oma Lili lalu menaiki satu persatu anak tangga, tentu saja menuju ke satu arah, kamar Dinara.

Tapak demi tapak menginjak anak tangga, Aris harus menyiapkan hati untuk berhadapan dengan gadis itu, karena energinya akan selalu habis saat menghadapi Dinara dengan semua pembelaan dirinya.

“Nara ....” Aris mengetuk pintu, lalu memanggil dengan suara lembut. “Nara ....” Dia mengulangi ketika tak ada jawaban dari dalam.

“Nar—“

Di ketukan dan panggilan yang ke sekian, Aris berhenti saat pintu dibuka dengan kasar dari dalam.

“Ngapain, sih, manggil-manggil? Om nggak bisa buka pintu sendiri?” Dinara menatap nyalang.

Aris menghela napas. Gadis berusia dua puluh tahun itu sepertinya baru saja mandi, terlihat dengan rambut basah berbalut handuk.

“Ya nggak enak masuk gitu aja, Nara.”

Dinara mencibir. “Nggak enak? Oiya, biar Nara ingatkan, mungkin Om Aris lupa kalo kamar ini sekarang bukan cuma kamar Nara, tapi juga kamar Om.”

Aris menggaruk tengkuknya.

“Om nggak mendadak lupa kalo kita sekarang suami istri, kan? Nara rasa Om nggak mungkin lupa, karena bukannya status suami Nara itu yang bikin Om Aris seenaknya ganggu aktifitas Nara? Semaunya datang dan mempermalukan Nara di depan teman-teman?!”

Merasa Aris tak menanggapi, Dinara semakin berani menunjuknya.

“Terus kenapa sekarang nggak berani buka kamar istri sendiri? Apa Om Aris udah nyadar? Udah tau diri? Udah ngerasa bersalah udah ngerebut kebebasan Nara?”

“Diam kamu, Nara!” Aris seperti baru saja tersadarkan, ia menatap Dinara dengan tatapan tajam. “Masuk! Om mau bicara!”

Bersambung.

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Hylaria
bagus sekali ceritanya...
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status