“Om udah keterlaluan! Bisa-bisanya mempermalukan Nara di depan teman-teman Nara!” Gadis berambut kecoklatan dengan postur tubuh bak model itu menutup pintu mobil dengan kasar lalu melangkah dengan tergesa meninggalkan pria yang baru saja mengantarnya pulang.
Aris Hermawan, pria yang masih berada di balik kemudi hanya menggeleng melihat perlakuan kasar Dinara. Ini sudah menjadi kebiasaan sehari-hari gadis itu. Pertengkaran keduanya sudah bukan lagi hal yang asing di rumah mewah ini. Seisi rumah sudah sangat terbiasa dengan pemandangan seperti ini.
Aris melirik arloji di pergelangan tangan sebelum kemudian meraih ponsel di sakunya lalu melakukan panggilan. Sebelumnya, ia sudah meninggalkan rapat penting demi mendatangi Dinara yang kembali melanggar kesepakatan yang telah mereka setujui.
“Gimana meetingnya tadi, Pras?” Aris segera bertanya begitu panggilang tersambung pada asisten kepercayaannya.
“Sedikit alot, Pak. Tadi klien kita protes karena Pak Aris meninggalkan meeting begitu saja dengan alasan yang tak penting.”
Jawaban dari seberang sana membuat Aris mengurut dada. Lagi-lagi ia harus mengorbankan pekerjaannya demi meladeni Dinara yang dianggapnya semakin menjadi-jadi.
“Alasan tak penting katamu?!” Dada Aris terlihat naik turun menahan amarah.
“Maaf, Pak Aris. Bukan saya yang bilang alasan nggak penting, tapi klien kita tadi.”
Pria dengan setelan kemeja berwarna biru muda itu menggulung kasar kamejanya hingga ke siku. Urusan Dinara belakangan ini benar-benar membuatnya sering tak bisa mengendalikan emosi.
“Huhhh! Oke. Maaf, Pras.” Aris mencoba menetralkan emosinya. “Jadi gimana tadi? Mereka menerima prosposal kita, nggak?” tanyanya.
“Tidak, Pak. Lebih tepatnya belum. Mereka minta dijadwalkan pertemuan ulang dengan Pak Aris. Pihak sana maunya Pak Aris yang memaparkan, bukan diwakilkan ke saya atau yang lainnya.”
“Kalau begitu minta Alea jadwalin ulang, Pras.”
“Nggg ... apa nggak sebaiknya Pak Aris saja yang menyuruh Mbak Alea?” Ada keraguan yang tertangkap oleh pendengaran Aris dari suara Pras.
“Kenapa emangnya?” Aris tahu, pasti ada sesuatu yang ingin dikatakan Pras.
“Nggg ... gini, Pak. Sejak Pak Aris meninggalkan ruang meeting tadi, Mbak Alea juga kelihatan bad mood. Saya yakin dia nggak akan mau ngelakuin apa Bapak perintahkan tadi kalo bukan Pak Pras langsung yang menyuruhnya.”
Aris menyugar kasar rambutnya. Tadi Dinara, lalu sekarang Alea, sempurna sudah dua wanita itu membuatnya pusing hari ini.
“Ya udah. Nanti aku hubungi Alea.”
Jika saja bisa membelah diri, Pras tentu saja akan melakukannya agar tak sendirian dipusingkan oleh berbagai urusan kantor, lalu urusan mahasiswi semester awal yang baru saja membanting pintu mobilnya tadi.
Aris menatap tas ransel dan sebuah earphone yang tergeletak begitu saja di kursi penumpang depan. Tentu saja barang-barang itu adalah milik Nara yang tadi keluar begitu saja dari mobilnya dengan emosi. Rasa penasaran membuat Aris yang tadinya sudah hendak membuka pintu meraih ransel berwarna hitam di jok penumpang itu lalu membukanya. Pria itu menggelengkan kepala dengan napas berat ketika mendapati hanya ada satu buku binder di dalam sana. Sementara sebuah pouch lainnya justru berisi alat-alat make up dari brand mahal.
“Padahal ini ransel untuk kuliah,” gumamnya. “Tapi isinya malah alat make up.” Aris masih menggumam sendiri.
Ia kembali memasukkan barang-barang itu ke dalam ransel ketika tangannya menyentuh satu benda lain lagi di dalam sana. Dompet wanita berwarna hitam yang menyeruakkan aroma wangi saat Aris menyentuhnya. Ia menghirup banyak-banyak aroma wangi yang dikenalinya sebagai aroma parfum Dinara itu. Karena meski Dinara sering kali membuatnya kesal dan marah, serta tak pernah berhenti menguji kesabarannya, selama ini Aris diam-diam selalu suka dengan wangi parfum yang menguar dari tubuh dan barang-barang Dinara, termasuk dompet yang sedang dipegangnya ini.
Rasa penasaran yang menguasai membuat Aris membuka barang pribadi gadis itu. Matanya meredup saat hal yang pertama kali dilihatnya saat membuka dompet adalah sebuah foto yang memperlihatkan senyum dari ketiga orang yang ada di dalam gambar.
“Bang Aldo ....” Aris mengusap foto di dompet dengan ekspresi sedih. “Berat banget berada di posisiku sekarang, Bang,” gumamnya lagi.
“Mbak ....” Ia kembali mengusap sisi lain foto. “Gimana kalo aku nggak sanggup mengemban amanah ini?”
Aris menyusut mata, selalu ada luka yang menganga ketika teringat sepasang suami istri yang sedang tersenyum di dalam foto itu. Kepergian Aldo dan Meiga, ayah dan ibu Dinara dalam sebuah kecelakaan tragislah yang membuatnya kini berada dalam situasi pelik ini.
“Hey, kamu! Anak bandel! Tunggu aja pembalasnku!” Aris menyentil bagian foto di mana Dinara tersenyum manis di sana. Aris meyakini bahwa foto yang tengah dipandanginya di dompet Dinara ini adalah foto terakhir ketiganya, sebelum Dinara berstatus yatim piatu sepeninggal ayah dan ibunya.
Aris kembali merapikan dompet wangi itu, sebelum menyelipkan beberapa lembar pecahan seratus ribu di sana setelah tertawa kecil melihat sisa uang di dompet Dinara yang hanya menyisakan beberapa lembar uang sepuluh dan lima ribuan.
***
“Ma ....” Aris menyapa lalu mencium punggung tangan wanita tua yang duduk di ruang depan seperti memang sedang menunggunya.
“Kenapa lagi anak itu, Ris? Tadi datang-datang nggak salam nggak nyapa langsung mencak-mencak lari ke atas?”
“Ya seperti biasa lah, Ma. Aris jemput langsung ke lokasi nongkrongnya.” Aris menjawab.
“Ck! Kapan kamu bisa menaklukkan anak itu, Ris? Ingatlah, Dinara adalah pesan terakhir Aldo dan Meiga ke kamu sebelum ....” Wanita tua itu tak meneruskan kalimatnya.
Oma Lili, begitu nama panggilan wanita yang sedang berhadapan dengan Aris ini. Wanita yang sudah berusia hampir tujuh puluh tahun, tetapi masih terlihat bersemangat. Raut wajahnya pun masih sama seperti puluhan tahun lalu ketika pertama kali Aris bertemu dengan wanita itu meski kini wajah itu telah dipenuhi keriput.
“Dinara ... Dinara adalah amanah Abangmu, Ris.”
Aris buru-buru merangkul pundak ringkih Oma Lili ketika merasa bahwa wanita tua itu sedang menahan kesedihan. Bebicara tentang Aldo dan Meiga memang akan selalu menghadirkan kesedihan bahkan tangis bagi keluarga mereka.
“Jangan diingat-ingat terus, Ma. Abang udah bahagia di sana,” ucapnya. “Aris juga udah janji, jadi nggak mungkin mengingkari janji Aris sendiri.”
“Tapi ... Nara masih seperti itu, Ris. Bagaimana sebenarnya hubungan kalian selama tiga bulan ini? Kenapa dia belum berubah sama sekali dan kelihatan sekali nggak suka sama kamu.”
“Nggak semudah itu, Ma. Nggak segampang itu mengubah seseorang. Aris memang menepati janji ke Abang, tapi Aris juga nggak bisa mengubah apa yang nggak bisa Aris ubah. Aris hanya sedang berusaha.”
Oma Lili mendongak menatap pria tinggi menjulang di hadapannya.
“Mama berharap banyak ke kamu, Nak.”
Aris tersenyum tipis lalu mengangguk di hadapan Oma Lili.
‘Harapan yang membuatku harus berkorban banyak,’ gumam Aris di dalam hati.
Pria berusia tiga puluh lima tahun itu kemudian berpamitan pada Oma Lili lalu menaiki satu persatu anak tangga, tentu saja menuju ke satu arah, kamar Dinara.
Tapak demi tapak menginjak anak tangga, Aris harus menyiapkan hati untuk berhadapan dengan gadis itu, karena energinya akan selalu habis saat menghadapi Dinara dengan semua pembelaan dirinya.
“Nara ....” Aris mengetuk pintu, lalu memanggil dengan suara lembut. “Nara ....” Dia mengulangi ketika tak ada jawaban dari dalam.
“Nar—“
Di ketukan dan panggilan yang ke sekian, Aris berhenti saat pintu dibuka dengan kasar dari dalam.
“Ngapain, sih, manggil-manggil? Om nggak bisa buka pintu sendiri?” Dinara menatap nyalang.
Aris menghela napas. Gadis berusia dua puluh tahun itu sepertinya baru saja mandi, terlihat dengan rambut basah berbalut handuk.
“Ya nggak enak masuk gitu aja, Nara.”
Dinara mencibir. “Nggak enak? Oiya, biar Nara ingatkan, mungkin Om Aris lupa kalo kamar ini sekarang bukan cuma kamar Nara, tapi juga kamar Om.”
Aris menggaruk tengkuknya.
“Om nggak mendadak lupa kalo kita sekarang suami istri, kan? Nara rasa Om nggak mungkin lupa, karena bukannya status suami Nara itu yang bikin Om Aris seenaknya ganggu aktifitas Nara? Semaunya datang dan mempermalukan Nara di depan teman-teman?!”
Merasa Aris tak menanggapi, Dinara semakin berani menunjuknya.
“Terus kenapa sekarang nggak berani buka kamar istri sendiri? Apa Om Aris udah nyadar? Udah tau diri? Udah ngerasa bersalah udah ngerebut kebebasan Nara?”
“Diam kamu, Nara!” Aris seperti baru saja tersadarkan, ia menatap Dinara dengan tatapan tajam. “Masuk! Om mau bicara!”
Bersambung.
Aris merenung sendirian di ruang kerjanya. Kehidupannya selama tiga bulan belakangan ini begitu berantakan, tepatnya setelah statusnya tiba-tiba saja berubah menjadi seorang suami. Mungkin jika saja wanita yang menjadi istrinya adalah kekasih yang telah dipacarinya setahun belakangan ini, hidupnya tentu saja tak seperti ini. Akan tetapi, wanita yang kini menyandang status istrinya adalah Dinara – gadis belia yang baru duduk di semester awal sebuah universitas swasta.Sudah berbatang-batang rokok yang menemaninya malam ini di ruang kerjanya. Setelah tadi kembali bersitegang dengan Dinara di kamarnya, Aris memilih masuk ke ruang kerjanya. Hal yang sering dilakukannya belakangan ini, menghabiskan malam di ruang kerjanya sambil menyesap rokok dan tentu saja menelepon kekasihnya.“Tidur di ruang kerja lagi?” begitu pertanyaan Alea, sekretaris sekaligus kekasihnya ketika Aris menelepon.“Hmm.”“Berantem lagi?” tanya Alea.“Selalu.”“Kenapa nggak tidur di kamar lain aja dari pada tidur di ku
Ultimatum dari Oma Lili makin mengekang ketika Dinara semakin terlihat menentang. Beberapa kali Aris dipusingkan ketika gadis itu tak pulang ke rumah dengan alasan menginap di rumah teman. Aris kewalahan, ia yang dulunya tak pernah terlibat dalam uruan perusahaan dan lebih memilih bekerja sebagai tim kreatif di salah satu stasiun TV swasta kini harus menggantikan posisi Aldo sebagai direktur di perusahaah keluarga.Kepergian Aldo membuat hari-hari Aris sangat sibuk, dan semakin sempurna kesibukan dan kerepotannya ketika Dinara juga semakin mencari masalah.“Mulai hari ini kamu nggak boleh keluar rumah, Nara!”Oma Lili akhirnya mengambil keputusan tegas setelah hari ini Aris menyeret gadis itu dari rombongan konvoi pelajar yang baru saja menjalani ujian sekolah.“Nggak bisa gitu, Oma! Nara mau urusin pendaftaran masuk kuliah. Ijazah Nara juga belum keluar.” Dinara tentu saja membantah.Aris menekan keningnya. Menghadapi dua wanita berbeda generasi yang sama-sama keras kepala ini benar-
“So, what can i do, Alea? Gimana kalo sampai aku cerai nanti, Papa kamu makin nggak setuju kamu nikahnya sama duda yang nggak jelas asal usulnya?” “Kita kawin lari aja, Mas.” “Lah, kalo akhirnya kawin lari juga, kenapa nggak dari kemarin-kemarin aja, Alea?” “Kemarin-kemarin aku masih ngarep Papa kasian liat aku terus ngasih restu.” “Terus sekarang?” “Sekarang aku takut kamu bener-bener ninggalin aku. Aku takut kamu bener-bener serius dengan pernikahanmu. Aku takut kamu nyentuh Dinara.” Aris tertawa nyaring. “Yang terakhir aku nggak janji, Al.” “Mas!!!” Tawa Aris semakin menjadi. “Alea ....” “Iya.” “Nanti kalo Papa kamu tetap nggak ngasih restu, gimana kalo aku hamilin kamu aja?” Tak ada jawaban dari sana, sebab cara Aris berbicara membuat seluruh tubuh Alea gemetar. Dia menginginkan pria di layar ponselnya ini. “Udah dulu, Mas. Aku mau tidur. Sampai ketemu besok.” “Hmm, besok pagi bangunin ya, Al. Aku pasti kesiangan lagi besok.” “Kenapa kesiangan.” “Karena malam ini pa
Rasanya ada kupu-kupu yang tengah beterbangan di perut Dinara, gadis itu masih berusaha bertahan meski seluruh tulangnya terasa lemah.“Your first kiss?”Lalu saat gadis itu mendengar pertanyaan Aris dengan gumaman, dia baru menyadari bahwa pria yang tengah menyanggah tubuhnya itu telah mencuri ciuman darinya, mencuri ciuman pertamanya. Sudut mata Dinara tiba-tiba saja basah oleh bening yang menetes.“Om jahat.” Ia ingin berteriak, tetapi yang keluar hanya serupa gumaman. Dalam benak gadis itu, pria di hadapannya kini seperti maling, maling yang mencuri ciuman darinya.Aris tertegun, bahasa tubuh Dinara, pipi gadis itu yang terlihat merah dan terasa panas, kaki Dinara yang tiba-tiba saja lemas sehingga harus dibantunya agar gadis itu tetap berdiri, lalu sekarang tangis tertahan Dinara saat mengatakan dirinya jahat, membuat Aris sedikit menyesali tindakannya pagi ini.“Ehm ... maaf, Nara. Om nggak tau kalo kamu ... ehm ... Om pikir Nara udah terbiasa dengan ....” Pria yang sudah rapi d
Sepeninggal Dinara, Aris masih memilih diam di dalam mobilnya. Pria itu memperhatikan langkah Dinara hingga punggung gadis itu menghilang di antara kerumunan mahasiswa lain. Pagi ini, setelah sekian lama pernikahan, Aris baru menyadari bahwa Dinara bukanlah gadis nakal seperti yang dipikirkannya selama ini. Hal itu terbukti dengan keluguan gadis itu saat menghadapi ciumannya tadi, juga terbukti dari pengakuan Dinara bahwa ia adalah pria yang pertama kali menciumnya.Ada senyum tipis yang tergambar di bibir Aris, setidaknya ia tak terlalu merasa bersalah pada kakak angkatnya mengenai Dinara yang selama ini dikiranya gadis liar. Selama ini, Aris hanya mengenal Dinara sebagai gadis yang nakal, keras kepala dan susah diatur. Beberapa kali ia bahkan harus menjemput Dinara bersama teman-temannya di area balap liar, lalu terakhir mendapatkan laporan bahwa Dinara menabrak pohon di daerah puncak. Maka yang ada di kepala Aris selama ini, Dinara adalah gadis yang pergaulannya sudah melampaui bat
Hanya mengenakan handuk putih menutupi tubuh bagian bawahnya, Aris melenggang santai keluar dari kamar. Menyeberangi ruang tengah di mana Alea duduk menunggunya di sana menuju ke kitchen set yang menjadi penghubung dapur dan ruang tengah. Pria itu akhirnya memilih mandi di apartemennya demi menghindari pertengkaran lebih jauh lagi dengan Alea mengenai aroma parfum Dinara yang tersisa di kemejanya.“Ada apa, Sayang?” Alis Aris bertaut ketika melihat wajah tegang Alea yang duduk di sofa.“Maaf, Mas. Aku keliru ngirim dokumen ke klien kita tadi.” Alea menoleh mencari sumber suara, lalu tertegun sejenak melihat kekasihnya di sana berdiri di depan kitchen set hanya mengenakan handuk. Gadis itu buru-buru mengalihkan pandangan.“Dokumen apa?”“Dokumen kontrak yang harusnya dikirim ke Kata Karya, ternyata kukirim ke PT. Totally, Mas. Dan ini pihak Totally komplain karena udah melewati deadline mereka.” “Ya udah. Kirim balik aja, dan bilang ada kesalahan teknis.”Alea kembali melirik kekasihn
Hari ini benar-benar kacau bagi Aris. Setelah pagi tadi dia mencuri ciuman dari Dinara yang sangat jelas menampakkan wajah kecewanya, sekarang ia harus kembali menerima tatapan kecewa bahkan air mata dari Alea karene kenekatannya. Sebenarnya Aris sudah paham siapa Alea, berulang kali sudah ia menerima penolakan dari gadis itu. Bahkan suatu waktu, Alea pernah memilih menjauh darinya setelah ia memaksa ingin memiliki kekasihnya itu. Sebelum kemudian Alea memaafkan dan menerimanya kembali saat Aris berjanji tak akan melakukannya lagi.Akan tetapi, keadaannya pagi ini benar-benar membuat Aris lupa akan janjinya. Setelah menatap tubuh Dinara dengan dua buah kancing yang terbuka tadi, setelah menikmati kelembutan dan getaran dari bibir istri belianya itu, Aris selalu membayangkan Alea-nya. Alea yang membuatnya tergila-gila, Alea yang membuatnya rela menunggu restu kedua orang tua gadis itu, juga Alea yang membuatnya bersabar menjalani kehidupan normal, tak lagi menganut pergaulan bebas yang
Sepasang kekasih itu masih menghabiskan waktu satu jam di apartemen Aris, membahas apa saja, berciuman sampai puas, lalu saling menyentuh dengan keinginan yang meletup-letup. Sudah sejauh itu hubungan keduanya, meski benteng terakhir Alea masih berdiri kokoh dan tak mampu dirobohkan Aris.Aris tersenyum puas untuk kesekian kalinya setelah menyesap bibir sang kekasih. Harus diakuinya Alea pun sudah semakin berani saat dia menyentuhkan bibirnya, dan tentu saja itu semua dipelajari Alea sejak menjalin hubungan dengan Aris.Sama seperti Dinara, dulu dia pula lah yang pertama kali mencium bibir gadis itu. Bedanya, Aris melakukannya pada Alea dulu atas persetujuan gadis itu, sementara ia melakukannya pada Dinara dengan paksaan.“Kenapa, Mas?” Alea bertanya saat melihat gelengan kepala Aris. Sementara di kepala lelaki itu tiba-tiba saja melintas bagaimana ia mencium bibir mungil keponakannya tadi.“Manis.” Aris menggumam membayangkan manisnya bibir Dinara tadi, sementara Alea tersenyum malu-