“Oma jadi asyik sekarang ya, Om?” Dan tentu saja Dinara pun merasakan hal yang sama.“Hmm.” Aris mengangguk setuju, dengan mulut yang masih mengunyah. Di sampingnya, Dinara hanya memegang selembar roti dengan lembaran keju di atasnya, sangat berbeda dengan Aris yang membawa sarapannya di kedua tangan.“Tolong ambil kunci di saku kanan, Nara,” pinta Aris saat keduanya tiba di dekat mobil Aris. Pria itu memperlihatkan kopi dan roti di kedua tangannya. Bicaranya bahkan masih sambil mengunyah.“Oke.” Dan Dinara yang memang menjadi orang yang paling terburu-buru pagi ini segera mengiyakan permintaan Aris.Dinara menurut, memasukkan begitu saja tangannya ke saku celana Aris lalu mencari kunci mobil seperti yang diperintahkan Aris. Sedetik ... dua detik ... namun rasanya tangannya tak menemukan apa pun di sana.“Di kiri kayaknya, Nara.” Aris kembali memerintah.“Oh, oke.” Dan seperti terhipnotis, Dinara pun memindahkan tangannya ke saku sebelah kiri. Sedetik ... dua detik ... kali ini Dinara
“Om nungguin di sini. Hanya ujian, nggak usah masuk kelas, setelah itu pulang.” Aris memberi ultimatum. Baginya Dinara benar-benar seperti seorang anak yang masih harus didikte dan diarahkan. Anak gadis yang pagi ini berhasil membuatnya hampir saja kehilangan kesabarannya, membuat Aris pagi ini juga mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi, bukan saja karena Dinara yang terus menerus mengoceh takut terlambat tiba di kampus, tapi juga karena Aris masih merasa gusar oleh sisi lelakinya yang kembali dipermainkan oleh gadis itu.“Tapi abis ini jadi nemanin cari hadiah kan, Om?” Dinara menoleh sebelum benar-benar membuka pintu.“Jadi. Tapi Om harus ke kantor dulu, ada meeting pagi ini. Setelah meeting Om temani cari kado.”Dinara mematung sesaat. Sejak dulu ia selalu tak suka alasan seperti ini, meeting, ada kerjaan, makan siang dan makan malam bisnis, sejak ia kecil semua hal itu sudah merampas banyak waktu orang tuanya. Tak terhitung berapa janji ayahnya yang dulu pernah ingkar, tak
“Sialan!” umpatnya melihat keberadaan Kenzo di samping Alea.“Kemana aja kamu, Nara?” serunya tak sabaran ketika membuka pintu.“Maaf, Om.” Hanya itu yang terucap oleh Dinara.“Maaf, Om. Tadi saya ajak Nara ngobrol sebentar.” Bukan Dinara, tapi Kenzo yang menjelaskan.“Aku nggak ngomong sama kamu!” Rasa kesal semakin menguasai hati Aris ketika mendengar Kenzo ikut memanggilnya ‘Om’.“Masuk, Nara!” bentaknya sambil menarik tangan Dinara, membawa gadis itu memutari bagian depan mobilnya, lalu membuka pintu sebelah kiri dan mendudukkan Dinara di kursi.“Maaf, Om. Saya yang salah.” Kenzo masih bicara.“Jangan panggil aku Om! Aku bukan Om kamu!” sentak Aris.“Oh, maaf, Bang. Tadi saya cuma mau ngeluruskan kejadian malam itu ke Nara.”Aris tak memedulikannya, keberadaan Sigit di dekat Alea lalu kini Kenzo yang muncul menemani Dinara membuat dadanya seperti terbakar bertubi-tubi. Dan emosi Aris semakin menjadi-jadi ketika sebelum melajukan mobilnya keluar dari parkiran kampus, ia melihat Din
“Gimana kali Om Aris jatuh cinta ke Nara?”Aris terpaku sejenak, sebelum kemudian menyentil kening Dinara. “Yang ada Nara duluan yang jatuh cinta sama Om.”“Kenapa gitu?”“Karena Om lebih menantang, kamu sendiri yang bilang gitu tadi, kan?” Aris menaikturunkan alisnya bermaksud menggoda gadis itu.Dinara menelan ludahnya. “Om kayak gini ke semua cewek?”“Hmm.” Aris mengangguk cuek.Plak! Dan pria itu terkaget-kaget ketika Dinara tiba-tiba saja memukul lengannya.“Apa-apaan kamu, Nara?”“Om Aris beneran kayak gitu ke semua cewek?”“Gitu gimana sih, Naraaaa?”“Gitu tadi, Om. Yang godain pake alis naik turun.”“Oh, gini.” Aris kembali menggerakkan alisnya naik turun.“Iya, itu. Om kayak gitu ke semua cewek?”“Nggak tau. Coba aja tanya ke mereka?”“Ish! Mana Nara tau cewek-cewek mana yang sering sama Om.”“Kenapa emang kalo Om kayak gitu?”Nara menggaruk tengkuknya. “Ehm, ya nggak papa, Om.”“Nggak jelas banget anak ini.” Aris mengacak-acak poni Dinara. “Ayo turun, jangan lupa kita suami
“Itu tadi Alea?” Dinara mengulang pertanyaannya, namun Aris masih juga tak menjawab. Pria itu hanya berjalan dengan menatap lurus ke depan.“Om!” Dinara menyegerakan langkahnya ketika sedikit tertinggal di belakang Aris yang melangkah dengan langkah lebar. “Om!!!” panggilnya lagi ketika merasa Aris sama sekali tak memedulikan. Persetan jika nanti ada yang mendengarnya memanggil ‘Om” bukan panggilan sayang seperti yang diajarkan Aris tadi.Aris seketika menghentikan langkahnya lalu menoleh dan berbalik arah menuju Dinara.“Maaf, Nara. Om lagi nggak konsen.” Ia meraih tangan Dinara yang entah sejak kapan terlepas dari genggamannya tadi, namun Dinara menepis.“Om lagi banyak pikiran, Nara.” Aris menatap meminta pengertian Dinara.“Om Aris bukan lagi banyak masalah. Om hanya punya satu masalah, gara-gara ketemu Alea tadi Om jadi ngelupain Nara, kan?”Aris menghela napas kasar. “Jangan teriak-teriak di sini, Nara. Nanti ada yang dengar. Ayo ke ruangan Om.” Aris kembali meraih tangan Dinara
“Sejak kapan Nara punya Kenzo, hah? Selama pernikahan palsu ini masih berjalan, Nara milik Om Aris.” Aris menunjuk tepat di dada Dinara, bahkan tak segan menyentuhkan telunjuknya di sana.“Dan Om Aris seenaknya menghabiskan siang dan malam bersama pacar Om? Sementara Nara disuruh diam dan tak boleh memiliki hubungan lain?”“Menghabiskan siang dan malam?”“Ya. Menghabiskan siang di kantor dengan Alea yang memiliki akses ke ruang privacy Om Aris. Terus menghabiskan malam dengan saling menelpon atau ....”“Atau apa?”“Atau bayangin pacar Om di kamar mandi sampai nyebutin namanya berkali-kali.”Aris tertawa. “Kamu dengar itu, Nara?”Dinara menoleh, tak ingin bersitatap dengan Aris lagi.“Kalo Nara dengar, itu artinya Nara juga dengar nama siapa yang Om sebut terakhir kalinya. Nara tau itu artinya apa?” Aris meraih dagu Dinara, memposisikan wajah gadis itu tepat di hadapannya.“Itu artinya ada sisi hati Om yang menginginkan Nara,” katanya dengan penuh penekanan pada kata ‘menginginkan’.Di
“Nara tunggu di sini bentar, ya. Om mau dengarin apa hasil meeting tadi.” Tanpa menunggu persetujuan Dinara, Aris segera berjalan ke arah pintu dan menghilang di sana.Pertemuannya dengan Alea dan Sigit di depan lift tadi masih mengganggu pikiran Aris. Sigit adalah pria yang manipulatif, secerdas-cerdasnya Alea, beberapa kali gadis itu pernah terperangkap dalam jebakan Sigit yang sepertinya masih penasaran terhadap sikap cuek Alea. Bahasa matanya tadi saat menatap Alea sesungguhnya sudah berisi larangan agar gadis itu menjauh, tetapi Aris tetap khawatir Alea tak mengabaikannya.Di depan ruangan Sigit, ia tak menemukan pria itu. Seorang gadis dengan setelan blezer dan rok mini dan dandanan yang menor yang merupakan sekretaris pribadi Sigit mengatakan bahwa pria itu belum kembali dari meeting.“Meetingnya sudah selesai setengah jam yang lalu!” Aris menghardik gadis yang terlihat sengaja mempertontonkan sisi sensualnya itu saat menjawab pertanyaannya.Aris kembali mencari-cari ponselnya
“Oke kamu boleh cuti. Tapi soal gaji, sebaiknya jangan minta dibayarkan di awal, itu akan bikin beberapa orang curiga yang nggak-nggak. Nanti aku suruh Pras transfer ke rekeningmu. Pergilah, temani dan urus ayah dan ibumu sampai benar-benar bisa dilepas. Aku tau gimana baktimu ke mereka.”Ini yang disukai Alea dari seorang Aris. Tak pernah mengenal siapa kedua orang tuanya membuat Aris tumbuh menjadi pria yang sangat menghormati orang tua. Ia menyaksikan bagaimana sopan santun Aris saat berhadapan dengan ayah dan ibunya, bagaimana Aris menerima dengan lapang dada ketika ayahnya mempersoalkan asal usulnya yang tak jelas, dan bagaimana bakti Aris kepada ibu angkatnya yang akhirnya membuat pria itu kini lepas darinya dan menikahi keponakan angkatnya sendiri.Aris ... satu-satunya lelaki yang diinginkan Alea, tetapi kini menjadi lelaki yang mau tidak mau, suka tidak suka, harus dijauhinya, meski ia benar-benar tak bisa menjauh karena tak mungkin meninggalkan pekerjaannya sementara ia send