Alifa memejamkan matanya rapat. Bibirnya terkatup menahan geram. Walaupun dia belum mengenal Farrel seutuhnya, tetapi yang dihina itu adalah suaminya. Alifa tak terima suaminya dikatakan seperti itu. Alifa membalikkan badan dan mendekat, tatapannya nyalang pada gadis yang tersenyum mengejek itu. "Coba ulangi. Kamu tadi bilang apa?" tantangnya.Gadis tersebut mencondongkan tubuhnya menantang dan berbisik di depan muka Alifa. "Farrel itu bangsat, dia laki-laki bejat dan brengsek."Huh! Alifa tak sabar lagi. Dicengkeramnya kerah kemeja gadis itu. Dengan sekali sentakan, ditariknya kerah kemeja ke atas sehingga membuat gadis tersebut setengah tercekik."Coba teriak di depan aku! Teriak dan bilang seperti tadi!" sentaknya.Rupanya, insiden itu menarik perhatian beberapa mahasiswa yang baru datang. Mereka segera mendekat berusaha memisahkan keduanya. Alifa tidak peduli, dia hanya melirik sekilas pada mereka."Lif, sudah Lif!"Beberapa orang saling mengingatkan Alifa. "Lif, hentikan!""Pan
"Kenapa nggak dijawab, Mas? Siapa Adelia? Mantan?" cecar Alifa karena Farrel tidak kunjung menjawabnya.Farrel menoleh sekilas, selanjutnya kembali fokus mengemudi. Alifa yang sudah terlanjur kesal, memilih membuang pandangannya. Mereka tidak berucap apa-apa, sampai mobil Farrel berhenti di depan pintu pagar rumah cluster milik mereka. Alifa bergegas turun lebih dahulu dan membuka pintu pagar dengan kasar. Selanjutnya, dia memasuki rumah tanpa menghiraukan Farrel yang masih berada di dalam mobil.Alifa segera bergegas ke kamar dan menutup pintu dengan sedikit kasar. "Pasti selingkuhannya," gerutunya kesal sambil melemparkan tasnya ke tempat tidur.Alifa menarik nafas kasar, kemudian mengambil handphonenya di dalam tas. Dia bermaksud memesan ojek untuk membawanya ke rumah orang tuanya. Alifa tidak ingin diantar jemput Farrel lagi. Dia tidak ingin semakin banyak orang tahu jika dirinya menjadi istri seorang berandalan dengan image brengsek."Mau ke mana? Kan baru pulang?" tanya Farrel y
"Sudah, Mas Farrel mandi sana!" usirnya sambil mengambil alih kue dari tangan Farrel dan meletakkannya di atas meja. "Bau keringat," cibirnya kemudian dengan cengengesan.Farrel memutar bola matanya. Alifa kembali ke setelan pabrik. Judes, ketus, dan tanpa basa-basi. Tidak ada pilihan bagi Farrel, selain menurut. Dia melangkah ke kamar mandi karena memang tubuhnya lengket oleh keringat. Sedangkan Alifa, beranjak ke dapur mengambil piring kecil dan sendok.Sambil menunggu Farrel, dia memotong kue tersebut. Sesekali dia menghidu harumnya cokelat dan butter cream. "Enak nggak Fa, kuenya?" tanya Farrel yang keluar dari kamar mandi sambil mengusap rambutnya yang sedikit basah.Alifa tidak menjawab tetapi justru medekat dan menyuapkan potongan kue pada suaminya. Selanjutnya wanita itu tertawa cekikikan."Kenapa?" tanya Farrel heran.Alifa menggaruk tengkuknya salah tingkah. "He he, kan yang ulang tahun Mas Farrel, kenapa aku yang nyuapin? Kayaknya, salah tutorial romantisnya deh, Mas," jaw
Farrel mengusap pipi tirus istrinya dan tersenyum. "Aku mencintai kamu, Fa," ulangnya. "Apa salah, seorang suami mencintai istrinya? Kenapa kamu seperti nggak percaya?" tanyanya.Alifa masih diam, dia menatap manik hitam suaminya. Berusaha menyelami kejujuran dari tatapan mata itu. Alifa pernah mendengar, bahwa seseorang akan bicara jujur ketika dirinya sedang tidak sadar. Farrel benar, tidak ada yang salah jika di antara mereka saling mencintai.Bukankah itu yang diinginkan Alifa beberapa hari yang lalu? Dia meminta Farrel belajar mencintainya. Namun, secepat itukah?"Secepat itu, Mas?" tanyanya ragu."Allah Maha Segalanya, Sayang. Tadinya, kita saling membenci, lalu dipertemukan dalam sebuah perjodohan. Siapa yang bisa menyangkanya, Fa? Tiga bulan lalu, kamu masih terlihat begitu benci sama aku. Padahal, kita nggak pernah bermusuhan. Terima kasih atas ide gila Mas Bintang dan Mbak Alisha.""Maaf," bisik Alifa di dada suaminya.Farrel tersenyum dan mencium puncak kepala Alifa, mendek
Mereka segera menyelesaikan sarapannya. Kemudian bersiap melanjutkan aktivitas masing-masing. Farrel tetap pada pendiriannya. Mengantar jemput Alifa ke kampus. Tidak ada pilihan lain bagi Alifa selain menurut.Setiap hari, di sela kesibukannya, Farrel menyempatkan diri menjemput wanita itu. Laki-laki itu duduk di atas motor besarnya, memperhatikan interaksi Alifa dengan Zizi, Evita, dan beberapa temannya di tempat parkir."Duuuh, Pak Su, rajin amat.""Cepat Lif! Tuh, ditunggu sama suaminya!" seru Evita sambil menunjuk ke arah Farrel. Alifa mengikuti arah telunjuk Evita lalu mengangguk. "Ya, sudah aku duluan, assalamualaikum!" pamitnya. Alifa setengah berlari menuju ke arah Farrel."Ehem, tunggu, Lif!" panggil seorang laki-laki sambil menangkap tangan Alifa. Alifa menghentikan langkah dan menoleh pada laki-laki tersebut. Dia menepis kasar pegangan lelaki itu. Namun rupanya, pegangan itu terlalu kuat."Lepas!" Sentaknya.Alifa berusaha menarik tangannya, namun kembali gagal. Laki-laki
Alifa menatap keempatnya dengan tatapan menuntut jawaban. Namun, baik ketiga teman Farrel maupun Farrel sendiri tidak menjawab. Alifa meminta Farrel menatapnya. "Lihat aku, Mas. Jawab, kenapa kamu diam?" desaknya.Farrel menoleh pada istrinya dan menggelengkan kepala samar. Tidak ada pilihan, selain menjawab. Hanya dengan cara itulah, Alifa berhenti bertanya."Kan, tadi sudah dijelasin kalau dia itu musuhan sama kita. Dia pemakai, Fa. Aku takut saja, kalian akan mendapatkan masalah sama dia!" jelasnya. Farrel tidak berbohong.Dia memang tahu, Doni dan beberapa temannya itu pemakai barang haram. Maka dari itu, dia tak sejalan dengan Farrel dan ketiga temannya. Akhirnya, laki-laki itu dendam pada Farrel dan anggota geng Farrel. Tetapi, ada dua hal yang disembunyikan Farrel dari sang istri. Dia tidak ingin mengatakan hal itu sekarang. Farrel tidak ingin merusak hubungannya dengan Alifa yang mulai hangat sebagai suami istri."Begitu? Kok dia dendam banget sama kamu, Mas?" selidiknya.Far
Alifa membalikkan badannya dan membalas tatapan mata suaminya. "Kejam bagaimana? Itu kan markasnya kalian. Di sana ada vodka, kalian ngapain, Mas?" tanyanya dengan mata menyipit curiga."Ya kali, minuman itu buat hiasan di dalam kulkas. Banyak duit juga, pajangannya saja sekelas vodka!" cibirnya sembari memasuki kamar."Fa!" Farrel mengejar istrinya. Laki-laki itu berdiri tak jauh dari Alifa yang sedang melepas hijabnya di depan cermin. Dia melirik malas pada Farrel yang berdiri di sampingnya."Ngapain lihat-lihat? Pergi sana!" usirnya lagi.Farrel menggeleng pelan kemudian mendekat, memeluk tubuh sang istri dari belakang. Alifa masih bersikap acuh tak acuh."Ya ampun, Sayang. Dengerin aku ngomong dulu, lah," pintanya kemudian mengecup pelan leher putih sang istri."Mau ngomong apa lagi? Mau jelasin kalau Mas Farrel nggak tahu apa-apa tentang itu? Terserah kamu deh, Mas!" ketusnya lagi.Farrel mendesah kasar menghadapi sikap istrinya. "Kamu dari tadi ngomong terus, Fa. Kapan aku dibe
"Maksudnya kamu, tapi?" ulang Farrel dengan tatapan kecewa yang mendalam. Alifa memejamkan matanya rapat dan membiarkan air mata itu menyeruak memaksa keluar. Dia berbisik lirih sembari memeluk suaminya."Maafkan aku, Mas.""Siapa dia, Fa? Boleh aku tahu?" tanya Farrel berusaha menekan rasa nyeri di hati. "Siapa dia, Sayang?" tanyanya lagi.Bodoh! Farrel mengutuk dirinya sendiri. Apa pun jawaban Alifa, pasti akan sangat melukai hatinya. Tetapi, mengapa dia masih begitu bodoh nekad bertanya? Sebagai laki-laki dan seorang suami, Farrel tidak ingin mengalah dari masa lalu sang istri yang belum usai."Jawab, Fa," pintanya."Mas, sudah! Aku ingin melupakannya, Mas. Sekarang aku menjadi milik kamu, begitu pun kamu, Mas!" ucapnya parau."Ingin? Jadi, sebelum ini kamu belum ingin melupakannya, Fa?" tanyanya dengan suara bergetar. "Apa saat kita melakukannya, kamu membayangkan dia yang bersamamu? Jawab, Fa!" cecarnya."Mas!" Alifa tak terima, dia memukul kuat lengan suaminya. Dia memang belu