Farrel mengusap pipi tirus istrinya dan tersenyum. "Aku mencintai kamu, Fa," ulangnya. "Apa salah, seorang suami mencintai istrinya? Kenapa kamu seperti nggak percaya?" tanyanya.Alifa masih diam, dia menatap manik hitam suaminya. Berusaha menyelami kejujuran dari tatapan mata itu. Alifa pernah mendengar, bahwa seseorang akan bicara jujur ketika dirinya sedang tidak sadar. Farrel benar, tidak ada yang salah jika di antara mereka saling mencintai.Bukankah itu yang diinginkan Alifa beberapa hari yang lalu? Dia meminta Farrel belajar mencintainya. Namun, secepat itukah?"Secepat itu, Mas?" tanyanya ragu."Allah Maha Segalanya, Sayang. Tadinya, kita saling membenci, lalu dipertemukan dalam sebuah perjodohan. Siapa yang bisa menyangkanya, Fa? Tiga bulan lalu, kamu masih terlihat begitu benci sama aku. Padahal, kita nggak pernah bermusuhan. Terima kasih atas ide gila Mas Bintang dan Mbak Alisha.""Maaf," bisik Alifa di dada suaminya.Farrel tersenyum dan mencium puncak kepala Alifa, mendek
Mereka segera menyelesaikan sarapannya. Kemudian bersiap melanjutkan aktivitas masing-masing. Farrel tetap pada pendiriannya. Mengantar jemput Alifa ke kampus. Tidak ada pilihan lain bagi Alifa selain menurut.Setiap hari, di sela kesibukannya, Farrel menyempatkan diri menjemput wanita itu. Laki-laki itu duduk di atas motor besarnya, memperhatikan interaksi Alifa dengan Zizi, Evita, dan beberapa temannya di tempat parkir."Duuuh, Pak Su, rajin amat.""Cepat Lif! Tuh, ditunggu sama suaminya!" seru Evita sambil menunjuk ke arah Farrel. Alifa mengikuti arah telunjuk Evita lalu mengangguk. "Ya, sudah aku duluan, assalamualaikum!" pamitnya. Alifa setengah berlari menuju ke arah Farrel."Ehem, tunggu, Lif!" panggil seorang laki-laki sambil menangkap tangan Alifa. Alifa menghentikan langkah dan menoleh pada laki-laki tersebut. Dia menepis kasar pegangan lelaki itu. Namun rupanya, pegangan itu terlalu kuat."Lepas!" Sentaknya.Alifa berusaha menarik tangannya, namun kembali gagal. Laki-laki
Alifa menatap keempatnya dengan tatapan menuntut jawaban. Namun, baik ketiga teman Farrel maupun Farrel sendiri tidak menjawab. Alifa meminta Farrel menatapnya. "Lihat aku, Mas. Jawab, kenapa kamu diam?" desaknya.Farrel menoleh pada istrinya dan menggelengkan kepala samar. Tidak ada pilihan, selain menjawab. Hanya dengan cara itulah, Alifa berhenti bertanya."Kan, tadi sudah dijelasin kalau dia itu musuhan sama kita. Dia pemakai, Fa. Aku takut saja, kalian akan mendapatkan masalah sama dia!" jelasnya. Farrel tidak berbohong.Dia memang tahu, Doni dan beberapa temannya itu pemakai barang haram. Maka dari itu, dia tak sejalan dengan Farrel dan ketiga temannya. Akhirnya, laki-laki itu dendam pada Farrel dan anggota geng Farrel. Tetapi, ada dua hal yang disembunyikan Farrel dari sang istri. Dia tidak ingin mengatakan hal itu sekarang. Farrel tidak ingin merusak hubungannya dengan Alifa yang mulai hangat sebagai suami istri."Begitu? Kok dia dendam banget sama kamu, Mas?" selidiknya.Far
Alifa membalikkan badannya dan membalas tatapan mata suaminya. "Kejam bagaimana? Itu kan markasnya kalian. Di sana ada vodka, kalian ngapain, Mas?" tanyanya dengan mata menyipit curiga."Ya kali, minuman itu buat hiasan di dalam kulkas. Banyak duit juga, pajangannya saja sekelas vodka!" cibirnya sembari memasuki kamar."Fa!" Farrel mengejar istrinya. Laki-laki itu berdiri tak jauh dari Alifa yang sedang melepas hijabnya di depan cermin. Dia melirik malas pada Farrel yang berdiri di sampingnya."Ngapain lihat-lihat? Pergi sana!" usirnya lagi.Farrel menggeleng pelan kemudian mendekat, memeluk tubuh sang istri dari belakang. Alifa masih bersikap acuh tak acuh."Ya ampun, Sayang. Dengerin aku ngomong dulu, lah," pintanya kemudian mengecup pelan leher putih sang istri."Mau ngomong apa lagi? Mau jelasin kalau Mas Farrel nggak tahu apa-apa tentang itu? Terserah kamu deh, Mas!" ketusnya lagi.Farrel mendesah kasar menghadapi sikap istrinya. "Kamu dari tadi ngomong terus, Fa. Kapan aku dibe
"Maksudnya kamu, tapi?" ulang Farrel dengan tatapan kecewa yang mendalam. Alifa memejamkan matanya rapat dan membiarkan air mata itu menyeruak memaksa keluar. Dia berbisik lirih sembari memeluk suaminya."Maafkan aku, Mas.""Siapa dia, Fa? Boleh aku tahu?" tanya Farrel berusaha menekan rasa nyeri di hati. "Siapa dia, Sayang?" tanyanya lagi.Bodoh! Farrel mengutuk dirinya sendiri. Apa pun jawaban Alifa, pasti akan sangat melukai hatinya. Tetapi, mengapa dia masih begitu bodoh nekad bertanya? Sebagai laki-laki dan seorang suami, Farrel tidak ingin mengalah dari masa lalu sang istri yang belum usai."Jawab, Fa," pintanya."Mas, sudah! Aku ingin melupakannya, Mas. Sekarang aku menjadi milik kamu, begitu pun kamu, Mas!" ucapnya parau."Ingin? Jadi, sebelum ini kamu belum ingin melupakannya, Fa?" tanyanya dengan suara bergetar. "Apa saat kita melakukannya, kamu membayangkan dia yang bersamamu? Jawab, Fa!" cecarnya."Mas!" Alifa tak terima, dia memukul kuat lengan suaminya. Dia memang belu
Alifa menatap kedua orang yang memasuki rumah mereka dengan mata berkaca-kaca. Wanita itu menyeka cepat air matanya yang kembali jatuh. Tidak.Alifa tak ingin membiarkan Farrel bersama perempuan itu. Alifa segera menyusul dan menghadang keduanya di depan pintu kamar."Jangan masuk!" cegahnya tegas. Dia menatap tajam pada perempuan yang masih merangkul bahu suaminya. "Aku bilang jangan masuk! Berhenti dan pulang sana kamu! Apa kamu nggak dengar?" Perempuan berpakaian seksi itu mencibir dan menyingkirkan lengan Alifa. "Apa pedulimu? Ini rumahnya Farrel. Jadi, kamulah yang pergi. Dasar istri tak tahu diri!" ejeknya.Plak.Alifa tak tahan lagi. Dilayangkannya tamparan keras ke pipi mulus perempuan tersebut. Winda hendak membalas, namun dengan cepat Farrel memeluk erat tubuh Alifa.Alifa memberontak dengan kuat. "Lepaskan aku, Mas! Biar aku usir perempuan pelakor ini!" teriaknya."Diam kamu, Fa! Winda bukan pelakor. Kamu masuk kamar kamu!" teriak Farrel dengan tegas.Alifa tertegun. Ucap
"Jangan tinggalkan aku ... aku sayang kamu, Mas," Alifa terus meracau. Farrel mendekatkan wajahnya dan berbisik lirih di telinga Alifa sembari mengusap pelan pipi wanita itu. "Fa," panggilnya. Namun, Alifa tak membuka mata. Alifa kembali membuka bibir pucatnya. "Mas, Farrel, jangan pergi ... kamu di mana, Mas? Jangan tinggalkan aku...," ucapnya setengah berbisik. Farrel mengusap kepala sang istri yang tertutup hijab simpel."Aku di sini, aku nggak akan meninggalkan kamu, Sayang." Farrel berbisik lirih, kemudian mencium kening Alifa yang panas. "Terima kasih atas kehadiran kamu dalam hidup aku, Fa. Bangunlah. Ada kejutan untuk kamu, Sayang," bisiknya lagi.Alifa masih nyaman dalam tidurnya. Farrel tidak bosan menunggu sang istri untuk bangun. Walaupun dia sendiri merasakan pusing karena tidak tidur hampir semalaman.Pagi harinya, Bu Halimah dan Alisha datang ke rumah sakit. Mereka meminta Farrel untuk pulang beristirahat, namun laki-laki tersebut tidak menuruti permintaan mereka. Far
Laki-laki berkulit putih itu mendekat ke arah Alifa dan meletakkan parcel ke atas nakas. Dia mengamati wajah pucat Alifa dengan tatapan prihatin. Sedangkan Alifa, masih diam, dia tidak tahu harus berkata apa. Alifa melirik sekilas pada laki-laki yang mengambil tempat duduk di sebelahnya, berseberangan dengan Farrel. "Pendekar juga bisa sakit ternyata," godanya sambil mengulurkan tangan mengusap kepala Alifa yang tertutup hijab. Alifa menoleh ke arah Farrel yang menunjukkan wajah tak suka. Alifa merasakan genggaman tangan Farrel semakin erat, seolah menegaskan hanya Farrellah yang berhak menyentuhnya."Hei, Rabit Kecil, kenapa kamu jadi pendiam begini? Ke mana selama dua tahun ini, hm? Kamu sengaja menghindari aku?" tanya laki-laki itu beruntun.Alifa tersenyum sekilas dan mengedipkan mata pelan ketika tatapan mata Farrel seolah menuntut jawaban darinya. "Aku hanya ingin fokus sama kuliah aku, Mas Kev. Sekarang aku juga fokus menjadi seorang istri," ucapnya lirih. Kevin mengangguk p