******
Uly Syahrani berdandan dengan cantik karena malam ini dia akan menyambut sang pujaan hati, Arya Mahendra yang sore ini tiba di bandara Soekarno Hatta.
Setahun menjalin hubungan tanpa pernah berjumpa membuat hati wanita itu kini dilanda kegugupan, dia takut Arya merasa kecewa dengan paras aslinya. Meskipun selama ini mereka sering melakukan video call, tapi tetap saja ini rasanya berbeda.
Uly bergegas keluar ketika mendengar suara klakson mobil di depan pintu rumahnya. Mobil jemputan dari keluarga Arya sudah datang. Iya, dia memang sudah sedekat itu dengan keluarga pria itu, bahkan di waktu senggangnya, Uly sering mengunjungi kediaman mereka.
Mama Tere bahkan sangat menyukai dirinya karena Uly pintar memasak. Seringkali wanita itu memintanya datang hanya untuk belajar membuat kue bersama Uly.
Di antara semua kerabat Arya yang Uly kenal, hanya satu oranglah yang sangat tak suka padanya. Bahkan terkesan sinis dan dingin, yaitu Dewa Angkasa, adik tiri pria itu.
Mungkin dibenaknya Uly hanyalah seorang wanita mata duitan yang mencintai Arya karena hartanya.
Memang tak bisa dipungkiri bahwa Keluarga Angkasa masuk dalam sepuluh keluarga terkaya di Indonesia. Tapi jujur saja, bukan hal itu yang membuat Uly mau menerima Arya sebagai kekasihnya, karena memang cintanya tulus untuk pria itu.
Arya adalah pria yang baik, lembut, sopan, serta bertanggung jawab. Saat ini pria itu baru saja mendapatkan gelar masternya di Universitas ternama Amerika, dan sudah pasti hal itu menjadi nilai plus di mata Uly. Hal yang positif tentunya.
"Cantik sekali Nona Uly hari ini." Suara Pak Budi terdengar jahil di telinga wanita itu.
"Bapak jangan begitu dong. Saya jadi nggak pe-de," Uly berucap malu.
Pria paruh baya yang menjemputnya sore ini tertawa. "Nona Uly cantik, baik lagi. Semoga langgeng, ya sama Den Arya."
"Amiin. Makasih, Pak Budi," ucap Uly seraya tersenyum manis.
Mobil bergerak membelah jalan raya, membawa serta rasa gugup dan cemas yang Uly rasakan. Malam ini, dia akan menuntaskan segala rindu yang menggunung, dan akhirnya penantian panjangnya telah berujung.
Setengah jam kemudian, Uly sampai di kediaman keluarga Angkasa. Uly memang lebih memilih menunggu Arya di rumah, ketimbang ikut bersama kerabat pria itu yang menjemput di bandara. Lagi pula mereka pergi sebelum jam pulang mengajar Uly selesai.
Gadis itu melangkah santai memasuki rumah besar bak istana itu, sambil menenteng bungkusan plastik yang berisi kue coklat buatannya sendiri yang khusus di masaknya untuk menyambut kepulangan Arya.
"Eh, Non Uly sudah datang toh, sini-sini duduk." Bulek Atik, pekerja rumah ini menyambut ramah Uly yang segera meletakkan bungkusan kue di atas pantry.
"Pergi semua, ya, Bulek?" Uly bertanya seraya menyusun kue ke atas piring.
"Ndhak, Non. Tuan muda Dewa ada di atas," jawab Bulek Atik.
"Loh, dia nggak ikut jemput?"
"Tadi mau ikut, tapi tiba-tiba sakit perut katanya."
"Oh, gitu." Uly selesai menata kue dan meletakkannya di atas kitchen island. Lalu ia berbalik hendak membantu Bulek Atik yang sibuk memasak banyak menu untuk jamuan makan malam.
Suara langkah kaki terdengar memasuki area dapur, Dewa muncul hanya dengan celana olahraga yang menggantung di pinggul, keringat tampak membasahi dada telanjangnya.
Uly memalingkan wajah karena merasa malu, dia yang notabenenya wanita kolot yang sungguh polos merasa risih melihat pemandangan itu karena tak terbiasa.
Kedekatannya dengan seorang pria pun biasa-biasa saja, hanya sebatas mengobrol dan makan bersama tanpa ada sentuhan fisik. Mungkin hal itulah yang membuat para teman kencannya itu merasa jenuh dan tunggang langgang meninggalkannya.
Uly berharap Arya adalah pria berbeda, mereka sama-sama sudah dewasa, dan wanita itu harap Arya adalah pria yang bertanggung jawab dan memegang prinsip Teguh melindungi wanita.
"Den Dewa perlu bantuan?" tanya Bik Atik sopan.
Cowok itu menggeleng pelan, dengan mata menusuk tajam punggung wanita yang berdiri dengan gelisah di depan kulkas.
Dewa berjalan mendekati wanita itu, menatapnya sejenak sebelum meraih kedua bahu Uly dan menggesernya dengan mudah.
"Minggir! Gue mau minum!" ucapnya datar.
Wanita itu tergagap dengan bibir sedikit bergetar. "Oh, ehm ... apa kamu ingin kue?" tanyanya gugup.
Dewa menaikkan sebelah alis seraya menyambar sebotol air mineral dan meneguknya hingga setengah.
"Apa itu kue buatan elo?" Matanya melirik sepiring brownis yang terletak di atas meja.
Uly mengangguk tanda membenarkan meski nada bicara calon adik iparnya itu terdengar kurang sopan.
Dewa melangkah mendekati meja itu, menyambar sepotong brownis dan melahapnya dengan wajah datar. Lalu, tanpa Uly sangka, laki-laki itu berlalu pergi membawa sepiring kue tanpa berkata apa-apa.
Wanita itu ingin mencegah, tapi entah mengapa bibirnya terasa kelu walau hanya sekedar menegur laki-laki itu.
"Loh, kok dibawa semua? Biasanya Den Dewa ndhak suka makanan yang manis-manis," komentar Bulek Atik heran.
Uly meringis tak mengerti, ia segera melihat kantongan plastik yang tadi dibawanya. Untung saja masih tersisa sedikit potongan brownis yang bisa ia sisakan untuk Arya.
Setengah jam kemudian, segala menu masakan telah terhidang di atas meja, lengkap dengan buah dan menu penutupnya. Tak lama, terdengar deru mobil berhenti di pekarangan rumah, dilanjutkan dengan suara tawa dan langkah kaki yang semakin mendekat.
Uly merasakan jantungnya berdetak dua kali lebih cepat, jemarinya saling meremas dengan getar halus yang merambat.
"Welcome to home, Sayang!" Suara riang gembira Tere terdengar begitu bersemangat.
"Ah, Uly! Kamu sudah datang, Sayang!" pekik wanita itu ketika melihat calon menantu kesayangannya berdiri kaku di seberang meja makan.
Wanita itu mengangguk canggung. "Iya, Ma," sahutnya pelan. Ya, Tere sendiri yang memintanya memanggil dengan sebutan mama.
"Arya ...! sini!" panggil wanita paruh baya itu girang.
Tak lama, sesosok pria tampan dengan balutan kemeja biru navy muncul di hadapan Uly.
"Coba tebak, ini siapa?" goda sang mama pada putra sulungnya.
Senyum pria itu seketika mengembang, menatap lembut wanita yang berdiri dengan jari saling bertautan.
"Hallo, Uly," sapanya lembut.
Wanita itu mendongak dengan tatapan malu disertai detak jantung bertalu-talu.
"Hai, Mas Arya," sahutnya teramat merdu.
Pria itu tak sanggup menahan senyum, direntangkannya kedua tangan seraya berucap, "Nggak mau peluk? Nggak kangen sama aku?"
Uly menunduk malu, menggigit bibir salah tingkah. Arya yang melihat itu menarik kekasihnya gemas, mendekap dengan pelukan hangat sebagai salam perjumpaan.
"Aku nggak nyangka, kamu lebih manis dari yang aku bayangin," kekehnya senang, dengan raut wajah begitu riang.
******
******Deheman keras dari bocah berkaos oblong dan celana denim selutut itu mengacaukan romantisnya suasana yang sempat tercipta."Kalian nggak makan? Aku lapar," ucapnya santai dan mendudukan diri di kursi, siap menyantap hidangan."Hush, kamu ini kebiasaan. Nggak mau nyapa Kakak-mu dulu? Sudah dua tahun loh kalian nggak ketemu," ucap sang mama mengingatkan.Dewa melirik pria yang berdiri di belakang mamanya, menatap jari sang kakak yang bertautan dengan wanita yang kini menunduk dalam."Hallo, Brother, semoga betah kembali ke rumah," ucap Dewa santai seraya menyendok nasi ke piring.Tere menggeleng pelan dengan helaan napas panjang. Bukan hal aneh lagi melihat tingkah Dewa yang selalu sesuka hati, apalagi memang sangat terlihat jelas bahwa anak tirinya itu tak menyukai Arya. Bahkan, kepergian anak sulungnya itu juga disebabkan karena hubungan keduanya yang semakin memburuk.
Sayangnya, takdir memang suka bercanda, hingga kita terkadang tak sanggup lagi tertawa.Seperti yang dirasakan Uly saat ini. Sebulan setelah kepulangan sang kekasih dari luar negeri, hubungan mereka merenggang. Arya terlalu sibuk dengan urusan kantor yang mulai digelutinya, hingga tak ada waktu lagi bagi mereka meski hanya untuk bertukar kabar lewat udara.Setiap kali wanita itu berkunjung ke rumah Arya, pria itu pasti tak ada di rumah, terkadang lembur, atau memantau proyek di luar kota.Uly mencoba untuk bersabar, ia cukup memahami tanggung jawab yang diemban pria itu cukup berat. Ini adalah kesempatan emas bagi Arya untuk meraih kepercayaan Abas.Namun, kesabaran seseorang sungguh ada batasnya. Apalagi saat memergoki sang kekasih yang sedang bermesraan di ruangan kerjanya dengan sekretaris sang papa, Marina.Uly spontan menjatuhkan kantongan berisi makanan yang ia ba
Uly melangkahkan kaki dengan sempoyongan, berjalan memasuki halaman luas dari kediaman Angkasa. Ia ingin bertemu dan meluapkan segala emosi yang menggerogoti rongga dada pada pria brengsek yang sudah mengkhianatinya. Pengaruh alkohol benar-benar sudah mempengaruhi gadis itu.Saat di club tadi, Diva bertemu dengan temannya yang mengajaknya ke lantai dansa. Uly tentu saja menolak ikut dan ingin pulang saja.Akhirnya Diva memesankan taksi dan menyuruh sang supir mengantar sahabatnya itu pulang. Tapi di tengah jalan Uly malah memutar haluan menuju rumah besar ini."Arya ... Arya ... pengkhianat! Keluar kamu!" Wanita itu mengetuk pintu dengan tangan kecil yang mulai melemah."Arya!" pekik gadis itu lagi dengan kesal."Non Uly, ada apa?" Satpam yang tadi membukakan gerbang kini sudah berdiri di sebelah gadis itu dengan raut bingung."Arya! Saya mau ketemu Arya, Pak!" rancau gadis itu.
"Jadi, siapa yang ingin menjelaskan?" tanya Abas tajam, memandang satu persatu wajah orang-orang yang semalam ia tinggal pergi ke luar kota.Di antara semua orang yang ada di ruangan ini, hanya Dewa yang bersikap biasa. Ia masih bisa memainkan ponselnya tanpa beban.Sementara Arya, duduk dengan tangan mengepal dan tatapan super tajam."Saya ... saya ... minta maaf telah membuat kekacauan di rumah ini," ucap Uly terbata-bata. "Tapi, saya yakin benar-benar tidak melakukan apapun dengan Dewa," imbuhnya pelan."Dewa Angkasa! Jelaskan semua ini!" ujar pria paruh baya itu geram."Jelaskan apa, Pi? 'Kan semua sudah jelas, kami tidur bersama," sahutnya santai."Brengsek!" Arya menggebrak meja dan hendak menghampiri adiknya, tapi seruan keras dari sang papi membuatnya urung seketika."Tenangkan emosimu, Arya!" tegur Abas tegas."Bagaimana aku bisa tenang di
🍁🍁🍁Seminggu berlalu begitu cepat bagi seorang Uly Syahrani. Kini, ia sedang mematut diri di depan cermin yang menunjukkan wajah ayu yang terpoles make-up sederhana tapi tetap memancarkan wajah cantik nan teduhnya.Wanita itu memilin jari dengan gelisah. Di bawah sana, Dewa angkasa sedang bersiap mengucap ijab qobul untuk pernikahan mereka. Pemuda itu benar-benar tak mau mundur walau Uly sudah berulang kali mengatakan bahwa ia tak perlu dinikahi.Acara ini dilakukan di rumah besar keluarga Angkasa. Ayah dan Ibu ulUly juga hadir, mereka tiba kemarin sore dan menginap semalam di hotel berbintang yang dibiayai langsung oleh Abas karena Ayah Uly sungkan menginap di rumah mereka.Saat ia memberi tahu perihal pernikahannya, mereka sempat terkejut dan merasa kecewa karena Uly tak menepati janji untuk menjaga diri saat jauh dari mereka. Tapi entah kenapa setelah Dewa m
Setelah selesai berkemas, Dewa dan Uly segera meninggalkan rumah besar itu dengan diantar seorang sopir yang ditugaskan oleh Abas. Dewa yang awalnya menolak tak bisa berkutik saat Abas berdalih tak ingin membuat menantunya susah karena putranya yang keras kepala.Sebenarnya pria paruh baya itu sangat berat hati melepaskan anak semata wayangnya hidup pisah rumah dengan alasan ingin mandiri, meskipun Dewa sudah menikah tapi Abas tahu bahwa sikap putranya itu belum sepenuhnya dewasa, bahkan masih sangat kekanakan dan kadang sedikit temperamental.Belum lagi sikap keras kepalanya yang Abbas yakin akan membuat Uly kewalahan setengah mati.Sementara kedua anak manusia yang sedang dikhawatirkan oleh Abbas itu duduk dalam diam menatap jalanan ibukota yang tetap ramai di malam hari.Beberapa menit kemudian mobil berbelok memasuki sebuah area perumahanan yang Uly tahu letaknya tak terlalu jauh dari kampus tempat dia men
🍂🍂🍂Dewa terkekeh geli saat menyadari tubuh Uly yang menegang kaku. Kelihatan sekali bahwa ini yang pertama kali bagi wanita itu. Tentu saj hal itu menambah daftar kesenangan bagi seorang Dewa Angkasa.Sejak awal wanita itu datang ke rumahnya, Dewa sudah merasa terpesona dengan sikap sopan nan lembut yang Uly tampilkan.Namun, saat ia memperkenalkan diri sebagai kekasih Arya, rasa kagum itu seolah berganti menjadi gejolak amarah.Dewa selalu benci saat Uly datang ke rumah karena ingin mendekatkan diri dengan keluarga Arya. Apalagi mendengar harapan wanita itu yang ingin segera menjejaki hubungan lebih serius setelah kepulangan kakak tirinya itu."Belum berpengalaman, eh?" ejek Dewa saat tak merasakan balasan, ia makin merapatkan tubuh menggoda.Perempuan itu bergerak gelisah, ingin menarik diri tapi ditahan oleh bocah yang kini berstatus sebagai
Uly menatap bimbang Dewa yang sudah duduk di atas motor besarnya, bersiap mengantar wanita itu pergi bekerja."Ayo, Ly, buruan ntar telat," ucapnya."I--iya, tapi ... kamu yakin bawa motor gini, rok aku gimana?" tanyanya pelan.Dewa berdecak. "Enak naik motor, nggak kena macet. Lagian kamu ngapain pake rok pendek gitu? Ganti celana sana!" titahnya.Uly melihat ke bagian bawah tubuhnya. Rok selutut yang dipakainya sungguh sudah amat sopan, tak terlalu pendek ataupun ketat. Tapi, akan sangat tidak nyaman jika ia harus menaiki motor besar pria itu."Nggak pendek banget," sangkal wanita itu."Pendek, dan aku nggak suka. Ganti!" sahut Dewa tegas.Uly menghembuskan napas panjang sebelum kembali memasuki rumah untuk menuruti perkataan suami berondongnya itu.Tak lama, wanita itu kembali dengan celana bahan panjang berwarna cream."Sudah,"