"Mami enggak mungkin pindahin Raffa. Dia sumber uang Mami," ucap Mami Kumala masih dengan alasan yang sama. Dia tidak dapat memindahkan Raffa di klub cabang miliknya.
"Terus Axel gimana, Mi? Axel semakin sepi pelanggan." Pemuda itu menyugar rambut hitam pekatnya dengan gusar.
Mami Kumala tersenyum, lalu berucap,
"Kamu enggak usah khawatir. Mami tadi dapet telepon dari pelanggan yang biasa menyewa jasamu."
Axel mendongak menatap Mami Kumala dengan mata berbinar.
"Serius, Mi?" tanyanya.
Mami Kumala mengangguk.
"Serius donk! Masa mami bohong sama kamu." Kemudian Mami Kumala mengirim chat ke ponsel Axel. "Mami udah kirim alamat hotelnya. Kamu tinggal dateng aja. Dia udah nungguin di sana."
Kening Axel mengernyit.
"Dia siapa, Mi?" tanyanya lagi.
"Dia si Misya. Kamu masih inget, kan sama dia?"
Kepala Axel mengangguk.
"Masih, Mi. Dia pelanggan Axel yang paling waow." Lelaki itu tertawa, ketika mengingat terakhir kali dia melayani Tante Misya—seorang istri dari pejabat yang diselingkuhi suaminya sendiri.
"Ya udah, sana! Keburu si Misya ngambek."
Axel bangkit dari duduknya.
"Siap, Mi. Makasih, ya, Mi." Dia mencium pipi Mami Kumala sekilas sebelum pergi dari ruangan itu.
"Dasar!" Mami Kumala cuma menggelengkan kepala. Hal seperti ini sudah biasa dilakukan oleh anak didiknya.
*****
Raffa menghentikan mobilnya di pinggir jalan yang sepi, dia terlihat sedang kebingungan.
"Ck! Gua mesti bawa ke mana, nih, Tante Rika. Dia enggak bilang lagi mau pindah ke hotel mana." Pemuda itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sesekali melirik ke arah Tante Rika yang sudah sangat terlelap di sampingnya.
Berpikir sejenak sambil mengetuk-ngetuk stang mobil, akhirnya Raffa memutuskan membawa Tante Rika ke hotel biasa mereka menghabiskan malam panas.
"Udahlah, mending gua bawa ke tempat biasa aja." Raffa kembali menancap gas mobil lalu melesat dari pinggir jalan yang sepi tadi, menuju hotel Raffles.
Sepanjang perjalanan dia termenung dalam pikiran menerawang. Bayangan-bayangan sebelum dirinya menjalani profesi ini terus berkelebat, seakan mengingatkannya. Sesungguhnya ada rasa bersalah dalam benaknya, karena selama tiga tahun ini dia telah mengambil langkah yang salah. Tanpa adanya arah dan tujuan setelah memutuskan pergi dari rumah orang tuanya.
Namun, lagi-lagi perkataan ayahnya yang melukai batinnya sebagai seorang anak, membuat seorang Raffa Anggara bertekad. Bila dirinya bisa berdiri di kakinya sendiri tanpa bantuan ayahnya. Menjadi sukses seperti sekarang, walau pun dengan menjalani kehidupan dunia malam.
Raffa menyeka sudut matanya yang terasa basah dengan punggung tangannya. Perasaan tak bisa dibohongi. Kerinduan terhadap sang ibu terkadang membuat hati Raffa sedikit melow.
"Suatu saat gua pasti nemuin Ibu. Tapi enggak sekarang. Gua harus lebih sukses dan ngembuktiin ke Ayah kalau gua bisa hidup tanpa hartanya." Monolog Raffa dengan gemuruh yang menggebu-gebu.
Dua puluh menit berlalu, Raffa tiba di hotel Raffles. Dia memarkir mobil di tempat biasanya. Seluruh staf hotel sudah mengenal siapa dirinya. Hampir setiap hari bahkan setiap malam dia ke sini. Jadi Raffa tidak perlu repot-repot lagi memboking kamar.
Pemuda bermata abu-abu itu melepas seat belt terlebih dahulu dari tubuhnya. Kemudian dia beringsut maju lalu menepuk pelan pipi Tante Rika—berniat membangunkan wanita itu.
"Tan! Bangun Tan! Kita udah sampai."
Tante Rika menggeliat. "Eugh ..." Dia melenguh lirih sembari memegang kepalanya yang terasa berat. Kelopak matanya mengerjap-ngerjap, lalu terbuka sempurna. "Udah sampai, ya?" tanyanya dengan suara berat.
"Iya, Tan. Kita udah sampai." Raffa membantu wanita itu untuk duduk dengan benar.
Tante Rika mengedarkan pandangannya sebentar. Dia seperti tidak asing dengan tempat ini.
"Kita ke hotel biasanya, ya?" Beralih menatap Raffa.
Raffa hanya mengangguk.
Kemudian senyuman manis terbit di bibirnya yang sensual. "Ya udah, ayo turun! Tante udah enggak tahan." Seketika semangatnya kembali berkobar, tanpa ragu dia mengecup sekilas bibir Raffa lalu keluar dari mobil.
Sementara Raffa menarik sudut bibirnya sambil berdecak. "Giliran gituan aja langsung semangat." Dia menyusul keluar dari mobil.
Tante Rika langsung menggandengnya dengan posesif, begitu Raffa mendekatinya. Seolah dia tidak mau kehilangan brondongnya itu.
Raffa membalasnya dengan senyuman lalu merangkul pinggang seksi Tante Rika tanpa malu. Mereka lantas masuk ke dalam hotel mewah tersebut dan disambut dengan ramah. Berhenti sebentar di bagian resepsionis untuk mengambil kartu akses kamar yang sudah menjadi langganan keduanya.
"Thanks ..." Raffa mengedipkan sebelah mata kepada resepsionis di depannya sebelum meninggalkan tempat tersebut.
Tante Rika yang melihatnya sontak mencubit perut pemuda itu.
"Kamu, ih! Nanti mereka baper, loh, kamu godain,' ucapnya sambil memberengut.
Raffa terkekeh lalu balas mencubit dagu Tante Rika dengan gemas.
"Haha ... Tante cemburu, ya?" Dia melanjutkan lagi langkahnya menuju kamar yang ada di lantai 15. Kali ini semakin merapatkan rangkulannya di pinggang wanita itu.
"Ish! Kamu emang nakal!" Tante Rika merona, hanya digombali saja dia sudah klepek-klepek.
Sementara resepsionis yang tadi sempat digoda Raffa berbisik-bisik dengan temannya.
"Gila, ya, tuh cowok! Tiap hari gandengannya tante-tante tajir," ucap resepsionis yang dari nametag-nya bernama Linda. Ekor matanya terus mengawasi Raffa yang semakin jauh dari pandangannya.
"Cowoknya ganteng gitu, siapa juga yang nolak. Gua juga mau kali kalau dia ngajakin nge-date, hihi," seloroh temannya yang lain.
"Ya elah, Fit! Emang elu punya duit buat bayar tuh cowok? Denger-denger nih, ya. Tuh cowok bayarannya gede."
"Apanya yang gede?" Resepsionis yang bernama Fitri itu penasaran.
"Ish! Otak lu pasti lagi mikir macem-macem, kan?" Resepsionis bernama Linda itu memicingkan matanya.
Fitri terkekeh. "Ya abisnya lu ngomongnya gede. Ya gua mikirnya yang lainlah!"
Linda mencubit tangan Fitri.
"Yang gede itu bayarannya, Fitri ... Bukan anunya. Wah, parah lu!" Linda geleng-geleng kepala.
"Hah? Serius?" Mata Fitri membola.
"Serius?"
#######
"Tante mandi dulu, ya? Badannya lengket," ucap Tante Rika seraya menggelayut di leher Raffa begitu sampai di dalam kamar yang disewa.
"Iya,Tan. Tapi ... enggak mandi bareng sekalian aja?" tawar Raffa. Pemuda itu tak kalah agresif. Tangannya yang kokoh sudah merambat di punggung Tante Rika lalu membuka resleting gaunnya perlahan-lahan.
Tante Rika menggigit bibirnya sendiri sambil berpikir, menatap dalam wajah Raffa yang tidak pernah membosankan baginya.
"Waah ... itu tawaran yang bagus, Sayang." Jemarinya mulai menelusuri rahang tegas Raffa dengan nakal. Dia mendekat, merapatkan tubuhnya yang seksi ke tubuh tegap pemuda itu. "Kamu ... eugh ..."
Raffa melumat bibir Tante Rika tanpa permisi. Dia selalu pintar menyenangkan para kliennya. Tangannya menurunkan gaun Tante Rika hingga luruh ke lantai. Kini tubuh semampai itu hanya berbalut bra dan kain segitiga saja yang menutupi bagian sensitifnya.
"Tante makin seksi," bisik Raffa di sela-sela pagutannya. Tangannya mulai merambat dan meremas di bagian-bagian tertentu. Membuat wanita berkulit putih itu melenguh.
"Eugh ..." Tante Rika mencengkeram pundak kokoh Raffa dengan erat, tubuhnya mulai menggigil tak keruan. Raffa selalu berhasil membuatnya melayang.
Puas dengan menikmati benda kenyal milik masing-masing, Raffa lantas menggendong Tante Rika seperti bayi koala sambil berjalan perlahan menuju kamar mandi.
Pukul sepuluh pagi Raffa terbangun dari tidurnya. Pemuda itu baru bisa tidur pukul tiga pagi, usai melayani Tante Rika yang sekarang ini masih terlelap di sampingnya tanpa mengenakan sehelai kain. Hanya selimut tebal yang menutupi tubuh polosnya.Raffa beranjak dari ranjang dengan hati-hati, agar Tante Rika tidak merasa terganggu. Dia lantas masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu sebelum pulang ke apartemen.Membasuh seluruh tubuhnya yang kekar di bawah kucuran air shower, sembari merenungi semua kelakuannya selama ini. Dalam benaknya, selalu tersirat rasa penyesalan, seusai melayani para kliennya. Raffa merasa, harus sampai kapan dirinya melakoni profesinya ini."Andai Ayah enggak ngremehin gue. Mungkin gue enggak akan jadi kayak sekarang." Bibirnya bergumam dalam guyuran air dingin yang berasal dari shower. Mendinginkan otak dan hatinya yang memanas, bila mengingat kejadian tiga tahun yang l
Vano cuma memakai celana bokser pendek tanpa memakai baju, berjalan ke luar kamar dengan langkah gontai. Dia masih terkantuk-kantuk, sebab baru memejamkan mata sekitar dua jam yang lalu."Semalem lu diboking siapa?" tanya Raffa begitu Vano ada di depannya, tengah duduk sambil menelungkup di atas meja. Sedangkan Raffa menikmati minuman kaleng bergambar bintang favoritnya."Gue semalem diboking Tante Alda," jawab Vano masih di posisi yang sama. Matanya benar-benar masih mengantuk, hingga menjawab pun dia tidak memiliki tenaga.Raffa berdecak. Dia kesal dengan Vano yang selalu seperti itu—tidur di apartemennya tanpa permisi."Abis berapa ronde, lu? Sampe teler gitu.""Cuma dua, kok. Lu tau sendiri, kalau Tante Alda pelitnya minta ampun. Enggak kayak tante-tante yang piara lu selama ini." Vano menegakkan tubuhnya, menyandarkan punggung lalu mengusap
"Ekhm!" Vano sengaja berdeham sangat keras diantara bisingnya suara musik DJ, guna menginterupsi kedua manusia yang tengah asyik bercanda di depan matanya.Dia merasa dongkol, sebab Raffa dan tante Dini tidak menganggapnya.Tante Dini seketika mengalihkan pandangannya ke Vano."Eh, ada Vano," serunya yang baru menyadari keberadaan Vano.Vano menyeringai, memamerkan deretan giginya yang putih dan bersih dengan terpaksa."Hai, Tan." Pemuda itu membungkukkan badan lalu cipika-cipiki dengan tante Dini. "Udah lama enggak ke sini, Tan," tanyanya kemudian.Selanjutnya dia duduk di samping Raffa yang menatapnya datar.
"Hem, kita mau ke mana?" Belinda bertanya kepada Raffa yang tengah sibuk menyetir. Wanita bermata biru itu tak henti memandang ke arah luar jendela, yang menurutnya sangat asing.Dua puluh menit yang lalu, Raffa membawanya pergi dari diskotek. Tanpa mengatakan apa pun, pemuda tersebut mengajaknya ke suatu tempat yang biasa dikunjunginya."Kita ke hotel. Emang mau ke mana lagi? Kalau enggak ke sana." Raffa menjawab pertanyaan Belinda dengan gaya khasnya yang datar dan suara yang terdengar dingin.Belinda sontak menoleh ke samping—menatap pemuda yang baru saja dikenalnya dengan alis tertaut.Seperti orang bodoh, Belinda yang sama sekali belum paham dengan apa yang tengah dilakukannya jelas melontarkan pertanyaan konyol."Hotel?"Raffa cuma mengangguk tanpa bersuara. Meski dalam benak pemuda itu merasa aneh dan bertanya-tanya.
Belinda meremang manakala tangan Raffa mulai memeluk pinggangnya dari belakang dengan posesif. Sementara tangan lain pemuda itu menyibak rambut Belinda ke samping bahu, hingga mengekspos leher jenjang perempuan bermata bulat tersebut.Aroma parfum vanila seketika menguar dan membuat Raffa semakin tidak sabar ingin mengecupnya. Kulit putih mulus leher Belinda, seakan menggodanya.Bak orang yang terhipnotis, Belinda tidak dapat mencegah atau menolak perlakuan Raffa padanya. Aliran darahnya memanas, ketika pemuda itu mendaratkan kecupan di lekuk lehernya. Belinda terpejam, dengan suara desah*n tertahan di bibirnya yang tipis. Kedua tangannya mengepal kuat di sisi tubuh, dengan debaran jantung yang hampir meledak.Sensasi yang belum pernah dia rasakan sama sekali itu, telah berhasil mengacaukan cara kerja otaknya. Sentuhan-sentuhan jemari Raffa pada setiap inci tubuhnya, seolah memberi sinyal kepada sesuatu di dalam dirinya
Sementara di diskotek, Vano terlihat tengah dicecar berbagai pertanyaan oleh Axel. Pemuda itu nampak sangat tidak menyukai Axel yang terkenal dengan sikap kasarnya.Sejak satu jam yang lalu mereka duduk di meja bartender sambil menunggu chat dari Mami Kumala."Jadi, temen lu baru dapet pelanggan baru?" tanya Axel yang sudah ke sekian kalinya.Vano berdecak mendengar pertanyaan-pertanyaan yang sangat membosankan baginya. Dia sangat mengenal Axel, yang sejak dulu tidak menyukai Raffa—sahabatnya."Astaga ... itu mulu yang lu tanyain, Bang! Enggak ada yang lain apa?" ucap Vano sambil menggelengkan kepalanya berulang."Ada sih yang mau gue tanyain ke elu. Tapi gue enggak yakin, lu mau jawab jujur apa enggak." Axel menyeringai, seperti sedang memikirkan sesuatu."Apaan?""Temen lu dukunnya orang mana? Pakek sus
Paginya Raffa terbangun dari tidurnya dengan perasaan tak karu-karuan. Bayangkan saja, dia yang biasanya menghabiskan malam bergelora dengan para pelanggannya. Semalaman dia dan Belinda tidur bersama, tetapi cuma saling memeluk satu sama lain, tanpa melakukan apa-apa.Alhasil, Raffa yang notabene sang pemain, harus menahan diri untuk tidak menyerang Belinda habis-habisan. Mati-matian dia menekan hasratnya yang tersulut tanpa tersalurkan. Kemolekan tubuh perempuan di sampingnya ini sangat menggoda. Sayangnya, Raffa tidak dapat menyentuh atau berbuat lebih.'Cantik, tapi sayang enggak bisa gue icip.' Raffa membatin sambil memandangi wajah Belinda yang tertidur di lengannya dengan nyaman.Nampak sangat polos dan menggemaskan. Saking gemasnya, Raffa kembali mencuri ciuman dari bibir Belinda yang sangat menggoda.Setelah mengecupnya, dengan hati-hati Raffa mengangkat lengannya.
Hari ini Raffa mungkin sedang berbaik hati. Entah kena angin apa dia menawarkan diri untuk mengantar Belinda pulang. Hal itu tentu saja membuat Vano jadi terheran-heran, lantaran sahabatnya itu tidak pernah sekali pun mengantar para pelanggannya pulang."Eh, lu serius mau nganter si Tante Belinda pulang?" Vano bertanya kepada Raffa yang sekarang ini sedang berganti baju di kamarnya.Sedangkan Belinda menunggu di luar. Perempuan itu tengah menikmati sarapan yang khusus dipesankan Raffa."Seriuslah," ucap Raffa sembari menyisir rambutnya yang sudah diberi gel rambut. "emangnya kenapa? gue liat lu kayak orang enggak percaya gitu." Dia menyemprotkan parfum ke seluruh badan.Raffa terlihat sangat tampan dan menawan. Walau hanya memakai kaos berkerah dengan celana kinos selutut berwarna hitam. Penampilan pemuda itu cukup menarik perhatian para wanita di luar sana.