Vano cuma memakai celana bokser pendek tanpa memakai baju, berjalan ke luar kamar dengan langkah gontai. Dia masih terkantuk-kantuk, sebab baru memejamkan mata sekitar dua jam yang lalu.
"Semalem lu diboking siapa?" tanya Raffa begitu Vano ada di depannya, tengah duduk sambil menelungkup di atas meja. Sedangkan Raffa menikmati minuman kaleng bergambar bintang favoritnya.
"Gue semalem diboking Tante Alda," jawab Vano masih di posisi yang sama. Matanya benar-benar masih mengantuk, hingga menjawab pun dia tidak memiliki tenaga.
Raffa berdecak. Dia kesal dengan Vano yang selalu seperti itu—tidur di apartemennya tanpa permisi.
"Abis berapa ronde, lu? Sampe teler gitu."
"Cuma dua, kok. Lu tau sendiri, kalau Tante Alda pelitnya minta ampun. Enggak kayak tante-tante yang piara lu selama ini." Vano menegakkan tubuhnya, menyandarkan punggung lalu mengusap wajahnya yang tampan berulang.
"Iri gue sama lu. Kapan gue bisa dapet tante-tante royal kayak lu," sambungnya lagi sambil beranjak dari duduknya lalu menuju lemari es.
Kemudian Vano mengambil minuman kaleng yang sama seperti Raffa, setelah itu dia duduk kembali dan membuka kaleng tersebut. Ditenggaknya perlahan cairan dingin berkarbonasi itu, yang lumayan menyegarkan otaknya.
"Gue doain semoga lu ada yang nawarin buat dijadiin suami juga," celetuk Raffa.
Vano mengerutkan keningnya. "Suami? Suami gimana maksut, lu?" tanyanya.
Raffa lantas menceritakan perihal tawaran tante Rika kepada Vano. Tawaran yang tidak hanya sekali ditawarkan oleh janda cantik itu.
"Buset! Kalau jadi gue, nih, langsung gue terima, Raf. Sayang, 'kan duit segitu melayang. Kita juga bisa leha-leha, enggak usah capek-capek nerima bokingan lagi," seru Vano yang sangat menyayangkan keputusan Raffa, yang sudah menolak tawaran Tante Rika.
Rasa kantuknya seolah menguap entah ke mana.
Raffa mengembuskan napas kasar—merasa pusing sendiri dengan ucapan sahabatnya yang selalu memikirkan tentang duit dan duit.
"Gue males kali, Van. Elu, 'kan tau sendiri, dari dulu gue enggak mau menjalin komitmen sama pelanggan gue. Sekali pun dia nawarin gue duit milyaran. Gue tetep enggak mau," ucap Raffa yang tanpa sadar sudah mendahului ketentuan takdir.
Dia selalu berucap demikian— menolak menjalin hubungan dengan wanita manapun. Raffa seakan lupa, bahwa ada Tuhan Sang Maha membolak-balikkan hati. Bisa saja, suatu hari nanti dia dipertemukan dengan wanita yang berbeda dari yang lainnya. Entahlah.
Vano menggeleng, seolah dia pun tidak setuju dengan ungkapan Raffa.
"Elu jangan bilang gitu. Siapa tahu, nih, ya, besok-besok lu ada pelanggan baru terus lu jatuh cinta sama dia. Elu ngejar-ngejar dia," ucap pemuda itu yang cuma ditanggapi kekehan oleh Raffa.
"Enggak mungkin." Raffa mengibaskan tangannya sambil tertawa. "Ya kali gue ngejar tante-tante. Yang ada, nih, ya, tuh tante-tante yang ngejar-ngejar gue," tukasnya seraya mengambil sebatang rokok lalu menyulut dan menghisapnya, yang kemudian mengepulkan asapnya ke udara.
Barang berbau khas tersebut selalu mampu menenangkan pikirannya. Raffa menjadi pecandu rokok sejak di bangku SMP, akibat pergaulannya yang salah.
Vano berdecak seraya tersenyum mengejek. Sahabatnya ini tidak pernah berubah sedikit pun. Meski begitu, Vano masih saja salut kepada Raffa yang selalu membuktikan ucapannya. Mereka berdua bersahabat sejak SMA, Vano mengetahui semua tentang kehidupan Raffa, begitu pun sebaliknya.
Bila ada Raffa maka di situ ada Vano. Keduanya sama-sama terjun ke dunia malam tiga tahun yang lalu. Namun, keberuntungan berpihak pada Raffa yang sejak pertama kali menjalani profesi ini. Pemuda itu langsung menjadi bintang di diskotek Mami Kumala di hari kedua dia bekerja.
Sedangkan Vano, yang tampannya di bawah Raffa tidak seberuntung itu. Sama-sama berprofesi sebagai lelaki penghibur, tetapi berbeda nasib.
"Ya ... kita liat aja nanti. Semoga lu bener-bener bisa megang ucapan lu." Vano berdiri usai berkata demikian. "Gue mau tidur lagi. Masih ngantuk." Dia lantas berjalan menuju kamar Raffa.
Raffa yang tahu jika Vano akan masuk ke kamarnya lagi, lantas bergegas mematikan rokoknya di asbak lalu berdiri.
"Tidur di kamar tamu, Van! Jangan tidur di kamar gue! Gue juga mau tidur," teriaknya sambil berlari kecil menyusul Vano yang hendak masuk ke kamarnya.
"Sial*n!" umpat Vano yang terkejut lantaran Raffa sudah masuk terlebih dulu dan membanting pintu kamarnya dari dalam.
Pemuda tersebut lantas berbelok, menuju kamar tamu yang ada di sebelah kamar Raffa sambil bersungut-sungut.
"Untung enggak kena aset gue. Bisa-bisa enggak laku, nih. Ck!"
####
Malamnya Raffa agak terburu-buru menuju diskotek. Mami Kumala baru saja meneleponnya dan mengabari bahwa ada pelanggan baru yang akan membokingnya malam ini. Raffa yang selalu menghormati perintah Mami Kumala menurut saja tanpa membantah sedikit pun.
"Kira-kira siapa, ya, pelanggan baru lu? Perasaan gua enggak pernah dapet pelanggan baru. Itu-itu mulu." Vano terus mengoceh di sepanjang perjalanan menuju diskotek. Dia meratapi nasibnya yang tak seberuntung Raffa.
Raffa memutar bola matanya ke atas, meski kesal lantaran sahabatnya ini selalu saja mengeluh dan iri kepadanya. Namun, Raffa tak pernah memasukkannya ke dalam hati. Sebab dia tahu, jika Vano memang sangatlah cerewet. Akan tetapi, pemuda yang usianya terpaut satu tahun darinya itu sebenarnya baik.
"Gimana mau dapet pelanggan baru? Orang elu-nya aja enggak mau minta sama Mami," celetuk Raffa setelah beberapa saat terdiam.
Vano langsung mengalihkan pandangannya. Menatap Raffa yang sibuk menyetir, dengan mata memicing.
"Emang bisa?" tanyanya dengan kening berkerut dalam.
"Ya bisalah. Ntar gue bantu mintain deh," seru Raffa yang seketika disambut dengan tepukan di pundaknya.
"Emang lu temen gue yang terbaik, Raf," ucap Vano sambil menepuk-nepuk pundak Raffa.
"Udah dari dulu kali! Elu-nya aja yang enggak nyadar. Ck!" Raffa berdecak sementara Vano tergelak.
"Kalau bisa yang royal kayak tante-tante yang piara lu."
"Njim! Itu namanya temen enggak ada akhlak! Udah dikasih hati malah minta ta*k."
"Jantung, Raf! Bukan ta*k! Lu pikir gue doyan begituan." Vano memukul pundak Raffa.
"Sakit, njirr! Ya abisnya lu nawar. Sukur-sukur Mami Kumala mau ngasih klien baru."
"Iye-iye! Gue apa aja dah! Yang penting pelanggan baru. Biar enggak itu-itu mulu. Bosen, Raf! Sekali-kali pengen ngerasain yang perawan."
"Dih! Ngelunjak!" Raffa mendelik.
Vano malah cengengesan.
$$$$
Raffa dan Vano bergegas masuk ke diskotek yang selalu ramai pengunjung itu, setelah memarkir mobil.
"Eh, bukannya itu Tante Dini?" kata Vano sambil mengarahkan pandangannya ke sudut tempat yang temaram.
Langkah Raffa sontak terhenti.
"Mana?"
"Itu!" Vano menunjuk dengan telunjuknya.
Raffa mengikuti arah yang ditunjukkan sahabatnya itu.
"Iya. Itu Tante Dini. Tapi mana pelanggan barunya?" ucapnya sembari mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan bising dan remang-remang tersebut.
Lantaran dia hanya melihat Tante Dini duduk di tempat biasa sendirian tanpa ada orang lain di sisinya.
"Mungkin di dalem kali, sama Mami," jawab Vano asal. "Ya udah yuk! Kita samperin dulu aja," ajak pemuda itu yang kemudian melanjutkan langkahnya, mendekat ke tempat Tante Dini berada. Raffa mengekor di belakangnya.
Sedikit info—Tante Dini adalah wanita pelanggan pertama Raffa tiga tahun yang lalu. Dia yang memperkenalkan Raffa pada kenikmatan surga dunia. hehehe....
"Hai, Tan." Raffa menyapa Tante Dini yang sedang asyik memainkan ponselnya.
Dia lantas duduk di samping wanita yang malam ini mengenakan dress mini sebatas lutut berwana hitam, berlengan panjang.
Tante Dini seketika mengalihkan tatapannya.
"Hai, Raf. Apa kabar?" Dia memeluk Raffa, pun dengan pemuda itu. "Tambah ganteng aja." Tante Dini mengecup pipi Raffa sekilas.
Raffa terkekeh. "Biasa aja, Tan. Tante juga tambah cantik dan ..." Dia menggantung kalimatnya, lalu berbisik di telinga Tante Dini. "Tambah seksi." Dikecupnya sekilas bibir Tante Dini—wanita yang pertama kali menjamah tubuhnya.
Sikap Raffa kepada wanita pemilik butik ternama itu jelas berbeda. Meski usia Tante Dini sangatlah jauh dari usia Raffa, tetapi wanita itu selalu bisa mengimbangi pemikiran dan permainan pemuda itu ketika di ranjang.
Vano yang sejak tadi masih berdiri cuma bisa menelan ludah. Dia agak tergiur dengan kemolekan tubuh Tante Dini yang menurutnya sangat sempurna. Tidak ada yang mengira jika Tante Dini berusia 38 tahun, karena tubuhnya benar-benar terawat dan terlihat masih muda.
#####
Beberapa saat yang lalu, Raffa baru saja menyelesaikan ijab qobul yang berlangsung dengan khidmat itu. Kini, dirinya dan Belinda telah resmi menjadi sepasang suami istri. Suasana di dalam ruangan tersebut begitu mengharukan, ketika Raffa menyematkan cincin di jari manis sang istri, kemudian melabuhkan kecupan mesra di kening Belinda. "Mommy Bel, istriku," ucap Raffa dengan lirih, bahkan saking pelannya hanya dia dan Belinda yang mendengar. Pipi Belinda seketika merona, semu kemerahan tercetak jelas di wajah cantiknya. "Daddy Raffa," ujarnya tak mau kalah dengan Raffa. Perasaannya sungguh sangat bahagia, pada akhirnya, dia dan Raffa bisa menikah dengan restu dari orang tua. "Selamat, ya, Bel," ucap bu Farah mengusap sayang puncak kepala menantunya. "Semoga pernikahan kalian langgeng." "Amiiin …" sahut Raffa dan Belinda bersamaan. Masalah yang ada sudah terselesaikan, dengan kata maaf yang terucap dari mulut ibu sebelum pernikahan ini berlangsung. Bu Farah sudah membuang jauh-j
"Bel …" Raffa sampai speechless sendiri, bingung harus bagaimana. Perempuan yang dicintainya kini telah membuka mata. Hanya lelehan air mata yang mewakili perasaannya detik ini. Bahagia bercampur haru menjadi satu. "Sayang …." Pemuda itu membungkuk agar bisa mendaratkan sebuah kecupan di kening Belinda. "Raffa …" Suara Belinda terdengar serak dan lemah. Maniknya menjelajah ke seluruh ruangan serba putih dan berbau khas tersebut. "Aku … di rumah sakit?" tanyanya yang belum menyadari bila di dadanya ada sang putri. "Iya, Bel. Kamu di rumah sakit," jawab Raffa, sembari menyeka lelehan air mata yang tidak mau berhenti mengalir itu. Alisa melangkah mendekat, sementara dua perawat yang masih berada di dalam ruangan itu melakukan tugasnya masing-masing. Perhatian Belinda beralih pada suara bayi yang merengek. Suaranya terdengar begitu dekat. Lantas, dia pun melebarkan maniknya seketika saat menyadari ternyata ada seorang bayi yang tengah tengkurap di dadanya. "I--ini?" Alisa terseny
Dalam ruangan serba berwarna putih, Belinda terlihat tengah duduk termenung seorang diri. Tatapan matanya terlihat kosong, dengan pikiran yang bercabang. Ada suara-suara yang terus saja berdengung di telinganya. Seperti suara tangisan bayi, dan suara seorang laki-laki.Namun, yang Belinda tidak mengerti ialah, mengapa dia tidak dapat melihat orang tersebut. Dia hanya bisa mendengar suara yang nampak tidak asing di telinganya. Lalu, suara bayi itu? Bayi siapa? Belinda memindai ruangan serba putih itu. Kosong, tidak ada satu orangpun yang berada di sana. "Aku di mana?" gumamnya sambil menelisik setiap sudut yang sama sekali tidak ada apa pun. Lantas, tangannya terjulur ke bawah, memegang perutnya yang rata. "Kenapa aku merasa ada sesuatu yang hilang? Rasanya seperti?" Pandangannya pun turun pada perut yang tertutupi dress berwarna putih itu. Hati Belinda berdesir, berusaha mengingat-ingat sesuatu. Tetapi, nihil! Dia tetap tidak mengingat apa pun. "Apa? Sebenarnya apa yang terjadi?"
Raffa melangkah keluar dengan gontai dan mata sembab. Menutup pintu ruangan yang selama ini dijadikan ruang perawatan untuk Belinda dengan perasaan tidak rela. Andai saja, dokter memberinya ijin untuk menemani Belinda di dalam, pasti hatinya bisa sedikit lebih tenang. Tidak seperti saat ini, yang berharap-harap cemas dan bertanya-tanya sendiri. Belum sampai dia membalik badan, ibu dan beberapa orang yang berada di sana mendekat. Ayah, Vano dan pak penghulu yang baru saja tiba juga ikut merasa khawatir dengan kondisi Belinda yang belum ada kejelasan sama sekali. "Raf, kenapa kamu keluar? Terus kenapa itu bayinya dibawa ke dalem?" Ibu memberondong pertanyaan, mendesak Raffa yang masih memunggunginya. Beliau sempat menanyakan sendiri hal tersebut kepada perawat yang menggendong cucunya. Namun, tidak ada jawaban. Perawat itu hanya melempar senyum, dan berlalu dari hadapannya. Tanpa memberikan penjelasan yang diinginkan.Alhasil, semua orang semakin kalut dan takut. Memikirkan kemungkin
Tak berselang lama, dua orang perawat perempuan datang dengan tergesa. Keduanya langsung mendekati ranjang Belinda. Mendengar ada suara langkah kaki yang masuk, Raffa pun menegakkan tubuh, lalu menyeka jejak air mata dengan punggung tangan kiri. Sementara tangannya yang lain seakan enggan melepas genggaman tangannya pada Belinda.Maniknya menatap salah satu perawat tengah yang berdiri sambil mengecek fungsi layar persegi yang sedari tadi tidak berhenti berbunyi itu."Permisi, Tuan. Saya mau mengecek Nyonya Belinda dulu," ucap salah satu perawat yang lainnya, berdiri di depan Raffa. Di tangannya ada sebuah alat tensi darah digital.Raffa pun terhenyak, tubuhnya reflek tersentak dan beringsut mundur, hingga dengan berat hati dia melepas genggaman tangannya pada Belinda. Memberikan sedikit celah agar suster tersebut dapat segera menangani sang kekasih.Dengan masih menahan sesak, manik Raffa yang belum kering sepenuhnya memindai bergantian kedua suster tersebut. Sungguh, hatinya semakin
"Bel, kalo anak kita lahir, mau dikasih nama siapa? tanya Raffa sembari mengusap sayang puncak kepala Belinda yang bersandar di dada polosnya. Memiringkan sedikit kepalanya, lalu mengecup dalam kening itu.Napas keduanya masih sedikit memburu, karena beberapa saat yang lalu baru saja selesai bercinta. Belinda mendongak, guna mempertemukan maniknya dengan manik Raffa yang juga menatapnya."Terserah daddy-nya aja. Mommy ngikut aja," ucapnya sambil tersenyum manis. "Siapa pun namanya, aku sih setuju-setuju aja, Raf." Belinda lantas mengeratkan pelukannya ke Raffa. Menghirup dalam-dalam aroma tubuh pemuda itu. Seperti biasa selalu menenangkan dan candu.Raffa terkekeh sekilas. Dia dan Belinda kini memiliki nama panggilan baru, yakni Mommy dan Daddy."Kok, terserah aku? Kan, biasanya ibunya yang selalu antusias, nyari nama buat bayinya," kata Raffa, mencubit gemas hidung Belinda yang langsung mengerucutkan bibir.Mengusap bekas cubitan Raffa di hidung, Belinda lalu menyahut, "Aku belum ada