"Bel …" Raffa sampai speechless sendiri, bingung harus bagaimana. Perempuan yang dicintainya kini telah membuka mata. Hanya lelehan air mata yang mewakili perasaannya detik ini. Bahagia bercampur haru menjadi satu. "Sayang …." Pemuda itu membungkuk agar bisa mendaratkan sebuah kecupan di kening Belinda. "Raffa …" Suara Belinda terdengar serak dan lemah. Maniknya menjelajah ke seluruh ruangan serba putih dan berbau khas tersebut. "Aku … di rumah sakit?" tanyanya yang belum menyadari bila di dadanya ada sang putri. "Iya, Bel. Kamu di rumah sakit," jawab Raffa, sembari menyeka lelehan air mata yang tidak mau berhenti mengalir itu. Alisa melangkah mendekat, sementara dua perawat yang masih berada di dalam ruangan itu melakukan tugasnya masing-masing. Perhatian Belinda beralih pada suara bayi yang merengek. Suaranya terdengar begitu dekat. Lantas, dia pun melebarkan maniknya seketika saat menyadari ternyata ada seorang bayi yang tengah tengkurap di dadanya. "I--ini?" Alisa terseny
Beberapa saat yang lalu, Raffa baru saja menyelesaikan ijab qobul yang berlangsung dengan khidmat itu. Kini, dirinya dan Belinda telah resmi menjadi sepasang suami istri. Suasana di dalam ruangan tersebut begitu mengharukan, ketika Raffa menyematkan cincin di jari manis sang istri, kemudian melabuhkan kecupan mesra di kening Belinda. "Mommy Bel, istriku," ucap Raffa dengan lirih, bahkan saking pelannya hanya dia dan Belinda yang mendengar. Pipi Belinda seketika merona, semu kemerahan tercetak jelas di wajah cantiknya. "Daddy Raffa," ujarnya tak mau kalah dengan Raffa. Perasaannya sungguh sangat bahagia, pada akhirnya, dia dan Raffa bisa menikah dengan restu dari orang tua. "Selamat, ya, Bel," ucap bu Farah mengusap sayang puncak kepala menantunya. "Semoga pernikahan kalian langgeng." "Amiiin …" sahut Raffa dan Belinda bersamaan. Masalah yang ada sudah terselesaikan, dengan kata maaf yang terucap dari mulut ibu sebelum pernikahan ini berlangsung. Bu Farah sudah membuang jauh-j
Di sebuah klub malam ternama di ibu kota tepatnya di daerah kawasan Semanggi Jakarta Selatan, hingar-bingar gemerlapnya dunia malam seakan tak pernah surut dari tempat itu. Sebagian dari mereka yang datang, bertujuan melepas penat dengan menghibur diri di diskotik yang selalu dipenuhi pelanggan. Dari kalangan muda bahkan yang sudah berkeluarga.Suara dentuman musik DJ yang memekakkan telinga, seolah menghipnotis orang-orang yang berada di atas lantai dansa. Berjoget, bergoyang, bahkan ada yang saling bercumbu dengan bebasnya tanpa rasa malu. Mereka semua terlena dengan suasana malam yang semakin panas dan bergelora.Sementara di sudut klub itu, seorang pemuda tengah duduk berdampingan dengan seorang wanita dewasa. Penampilan wanita itu sangat mencolok, terlihat dari warna lipstik yang dia pakai malam ini. Warna merah menyala senada dengan gaun mini sepaha model sabrina, berbelahan dada sangat rendah. Tampak menyembul bongkahan kenyal dan ter
"Mami enggak mungkin pindahin Raffa. Dia sumber uang Mami," ucap Mami Kumala masih dengan alasan yang sama. Dia tidak dapat memindahkan Raffa di klub cabang miliknya."Terus Axel gimana, Mi? Axel semakin sepi pelanggan." Pemuda itu menyugar rambut hitam pekatnya dengan gusar.Mami Kumala tersenyum, lalu berucap,"Kamu enggak usah khawatir. Mami tadi dapet telepon dari pelanggan yang biasa menyewa jasamu."Axel mendongak menatap Mami Kumala dengan mata berbinar."Serius, Mi?" tanyanya.Mami Kumala mengangguk."Serius donk! Masa mami bohong sama kamu." Kemudian Mami Kumala mengirim chat ke ponsel Axel. "Mami udah kirim alamat hotelnya. Kamu tinggal dateng aja. Dia udah nungguin di sana."Kening Axel mengernyit."Dia siapa, Mi?" tanyanya lagi.
Pukul sepuluh pagi Raffa terbangun dari tidurnya. Pemuda itu baru bisa tidur pukul tiga pagi, usai melayani Tante Rika yang sekarang ini masih terlelap di sampingnya tanpa mengenakan sehelai kain. Hanya selimut tebal yang menutupi tubuh polosnya.Raffa beranjak dari ranjang dengan hati-hati, agar Tante Rika tidak merasa terganggu. Dia lantas masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri terlebih dahulu sebelum pulang ke apartemen.Membasuh seluruh tubuhnya yang kekar di bawah kucuran air shower, sembari merenungi semua kelakuannya selama ini. Dalam benaknya, selalu tersirat rasa penyesalan, seusai melayani para kliennya. Raffa merasa, harus sampai kapan dirinya melakoni profesinya ini."Andai Ayah enggak ngremehin gue. Mungkin gue enggak akan jadi kayak sekarang." Bibirnya bergumam dalam guyuran air dingin yang berasal dari shower. Mendinginkan otak dan hatinya yang memanas, bila mengingat kejadian tiga tahun yang l
Vano cuma memakai celana bokser pendek tanpa memakai baju, berjalan ke luar kamar dengan langkah gontai. Dia masih terkantuk-kantuk, sebab baru memejamkan mata sekitar dua jam yang lalu."Semalem lu diboking siapa?" tanya Raffa begitu Vano ada di depannya, tengah duduk sambil menelungkup di atas meja. Sedangkan Raffa menikmati minuman kaleng bergambar bintang favoritnya."Gue semalem diboking Tante Alda," jawab Vano masih di posisi yang sama. Matanya benar-benar masih mengantuk, hingga menjawab pun dia tidak memiliki tenaga.Raffa berdecak. Dia kesal dengan Vano yang selalu seperti itu—tidur di apartemennya tanpa permisi."Abis berapa ronde, lu? Sampe teler gitu.""Cuma dua, kok. Lu tau sendiri, kalau Tante Alda pelitnya minta ampun. Enggak kayak tante-tante yang piara lu selama ini." Vano menegakkan tubuhnya, menyandarkan punggung lalu mengusap
"Ekhm!" Vano sengaja berdeham sangat keras diantara bisingnya suara musik DJ, guna menginterupsi kedua manusia yang tengah asyik bercanda di depan matanya.Dia merasa dongkol, sebab Raffa dan tante Dini tidak menganggapnya.Tante Dini seketika mengalihkan pandangannya ke Vano."Eh, ada Vano," serunya yang baru menyadari keberadaan Vano.Vano menyeringai, memamerkan deretan giginya yang putih dan bersih dengan terpaksa."Hai, Tan." Pemuda itu membungkukkan badan lalu cipika-cipiki dengan tante Dini. "Udah lama enggak ke sini, Tan," tanyanya kemudian.Selanjutnya dia duduk di samping Raffa yang menatapnya datar.
"Hem, kita mau ke mana?" Belinda bertanya kepada Raffa yang tengah sibuk menyetir. Wanita bermata biru itu tak henti memandang ke arah luar jendela, yang menurutnya sangat asing.Dua puluh menit yang lalu, Raffa membawanya pergi dari diskotek. Tanpa mengatakan apa pun, pemuda tersebut mengajaknya ke suatu tempat yang biasa dikunjunginya."Kita ke hotel. Emang mau ke mana lagi? Kalau enggak ke sana." Raffa menjawab pertanyaan Belinda dengan gaya khasnya yang datar dan suara yang terdengar dingin.Belinda sontak menoleh ke samping—menatap pemuda yang baru saja dikenalnya dengan alis tertaut.Seperti orang bodoh, Belinda yang sama sekali belum paham dengan apa yang tengah dilakukannya jelas melontarkan pertanyaan konyol."Hotel?"Raffa cuma mengangguk tanpa bersuara. Meski dalam benak pemuda itu merasa aneh dan bertanya-tanya.