"Ekhm!" Vano sengaja berdeham sangat keras diantara bisingnya suara musik DJ, guna menginterupsi kedua manusia yang tengah asyik bercanda di depan matanya.
Dia merasa dongkol, sebab Raffa dan tante Dini tidak menganggapnya.
Tante Dini seketika mengalihkan pandangannya ke Vano.
"Eh, ada Vano," serunya yang baru menyadari keberadaan Vano.
Vano menyeringai, memamerkan deretan giginya yang putih dan bersih dengan terpaksa.
"Hai, Tan." Pemuda itu membungkukkan badan lalu cipika-cipiki dengan tante Dini. "Udah lama enggak ke sini, Tan," tanyanya kemudian.
Selanjutnya dia duduk di samping Raffa yang menatapnya datar.
Ck! Temannya yang satu ini memang hobi sekali bersikap seperti itu. Untung ganteng. Kalau tidak, pasti Vano sudah menjitak kepalanya sejak tadi.
"Iya, nih. Belakangan ini butik lagi rame. Tante jadi jarang kemari." Tante Dini menatap bergantian dua pemuda yang ada di depannya. Sama-sama ganteng dan memiliki daya tarik tersendiri di matanya.
"Oh, iya, Raf. Tante bawa temen. Tapi dia lagi sama mbak Kumala," sambung Tante Dini. Dia sejak dulu memanggil mami Kumala dengan sebutan MBAK.
Kening Raffa mengernyit.
"Temen?"
Tante Dini mengangguk.
"Iya. Dia yang mau boking kamu malem ini," ucapnya sambil menyesap cocktail favoritnya.
Raffa cuma manggut-manggut. Meski dia merasa penasaran dengan wujud klien barunya tersebut.
"Buat aku mana, Tan?" Vano tiba-tiba saja mengajukan diri.
Tante Dini tertawa, hingga seluruh badannya yang montok bergetar. Terutama pada bagian dadanya yang terlihat menonjol dan padat. Vano sampai menelan ludahnya berkali-kali.
'Buset, dah! Nih Tante ketawa sampe gempa tuh gunung.' Vano membatin, matanya masih menyorot tubuh molek Tante Dini yang menggiurkan.
Dasar panu mesum!
"Hahaha ... buat kamu entar kapan-kapan, ya? Tante masih ada kenalan, kok." Tante Dini mengedipkan matanya.
Vano menyeringai. "Beneran, ya, Tan. Awas kalau bohong. Entar Vano tagih," Berpura-pura mengancam.
"Iya-iya," Tante Dini kembali tertawa. "Bentar, ya, tunggu aja," ucapnya lagi yang diangguki Raffa.
Vano lalu beranjak dari tempatnya. Berada di sini lama-lama gerah juga—pikirnya. Lebih baik dia pindah tempat.
"Ya, udah. Aku ke sana dulu, ya, Tan," pamit pemuda itu.
"Oke." Tante Dini mengacungkan jempolnya.
"Semoga sukses, Bro!" Vano menepuk pundak Raffa sebelum dia benar-benar pergi dari sana.
Sementara Raffa masih bersikap biasa saja dan datar. Menatap kepergian sahabatnya yang entah mau ke mana. Diamnya Raffa tidak membuat Tante Dini heran.
Selang beberapa menit menunggu, akhirnya mami Kumala muncul bersama dengan teman Tante Dini.
"Sorry ya lama." Mami Kumala langsung ikut bergabung dengan Raffa dan tante Dini.
"Duduk, Bel." Tante Dini memerintah temannya untuk duduk.
Temannya tersebut mengangguk lalu duduk di sebelah mami Kumala.
Raffa sempat terkesima sesaat, begitu melihat kehadiran teman Tante Dini yang menurutnya sangat berbeda. Wanita dengan penampilan yang sederhana, namun tetap terlihat cantik dan elegan.
Wajahnya benar-benar sangat cantik dengan mata yang sangat meneduhkan. Rambutnya berwarna pirang, entah hasil pewarnaan atau warna alami. Sangat kontras dengan warna kulitnya yang putih pucat, dan agak kemerahan seperti wanita bule pada umumnya.
Kekaguman Raffa harus teralihkan dengan suara Tante Dini.
"Raf, ini temen tante yang tadi tante bilang," ucap tante Dini. "Cantik, kan?" tanyanya kemudian.
Raffa hanya mengangguk samar dengan gaya khasnya yang datar.
"Fa ..." panggil mami Kumala. Cuma beliau yang memanggil Raffa dengan sebutan itu.
Raffa menoleh ke mami.
"Iya, Mi?"
"Semuanya udah beres. Seperti biasa. Selanjutnya urusan kamu," kata mami Kumala menjelaskan. Dia sudah mengurus semuanya, kini tinggal Raffa yang bekerja.
"Oke, Mi." Raffa mengangguk paham.
Tante Dini kembali bersuara.
"Oh, iya, Raf. Kamu kenalan sendiri ya sama dia. Tante mau pergi dulu. Suami tante lagi ada di rumah soalnya. Enggak enak. Hihihi." Tante Dini terkikik seraya beranjak dari tempatnya. Disusul mami Kumala yang ikut berdiri.
"Siap. Tante hati-hati, ya." Raffa berdiri lalu mengecup pipi Tante Dini.
Sebelum pergi Tante Dini berbisik kepada temannya. "Ganteng, 'kan, Bel? Udah sikat aja. Daripada lu nungguin lakik lu yang enggak punya otak itu. Mending lu making love sama dia. Anunya gede, loh, Bel. hihi."
Teman tante Dini sontak membeliak lebar. Kata-kata vulgar yang dia dengar barusan sudah membuat otaknya bertraveling ke mana-mana.
eh?
"Apaan, sih? Udah sana pergi!"
Tante Dini tergelak, temannya bersungut-sungut lantaran kesal karena ucapannya.
"Iya-iya. Bay semuanya." Tante Dini akhirnya berlalu meninggalkan tempat itu.
"Mami juga mau balik ke ruangan lagi," timpal mami Kumala lalu beralih ke teman tante Dini. "Bel, mami tinggal, ya? Nanti biar jadi urusan Raffa."
"Iya, Mam." Teman tante Dini mengangguk sambil tersenyum.
Setelah kepergian mami Kumala dan Tante Dini, Raffa kembali duduk.
"Kita belum kenalan. Aku Raffa. Kalau ....?" Dia bingung harus memanggil teman tante Dini dengan sebutan apa. Sebab, wanita yang ada di depannya masih terlihat sangat muda.
"Belinda. Namaku Belinda," jawab Belinda cepat, dia seakan tahu arah pertanyaan Raffa.
"Ah, oke. Belinda." Raffa lantas mengulurkan tangannya, dan segera disambut Belinda.
Mereka resmi berkenalan. Walau kecanggungan amat kentara sekali. Entah kenapa Raffa mendadak kikuk, padahal dia sudah terbiasa menghadapi wanita-wanita cantik. Mungkin karena pembawaan Belinda yang kalem dan elegan, membuat dirinya merasa sungkan.
"Mau pesan minuman?" tawar Raffa setelah beberapa detik terdiam. Dia sengaja maju dan mendekati Belinda.
"Boleh." Belinda tersenyum dengan sangat manis, dan itu sukses membuat Raffa semakin canggung.
'Nih Tante enggak ganjen kayak tante-tante yang biasa maen sama gue. Masih kaku.' Raffa membatin perilaku Belinda yang tidak biasa.
'Si Dini emang gila! Mainannya enggak main-main. Pantesan dia awet muda.' Belinda membatin.
Namun, matanya tak lepas menatap Raffa yang sibuk memesan minuman untuknya pada bartender di ujung sana.
Kemudian pandangannya beralih menelusuri seluruh ruangan yang didominasi lampu temaram dan suara musik memekakkan telinga. Ini kali pertama dia menginjakkan kaki ke tempat semacam ini.
"Kayaknya aku bakalan betah. Daripada di rumah, bosen!" Belinda bergumam sendiri—masih sibuk memindai beberapa orang yang sedang asyik berjoget di lantai dansa.
"Minumannya."
Kedatangan Raffa sontak membuat Belinda berjengit.
"I-iya. Makasih." Belinda tersenyum kikuk, dia merasa malu lantaran kepergok.
Lagi-lagi Raffa dibuat heran dengan sikap Belinda. Wanita yang malam ini mengenakan kaos ketat tanpa lengan dan celana panjang berbahan latex berwarna hitam tersebut, tidak terlihat agresif. Justru lebih banyak diam.
Bila diperhatikan, Belinda belum terbiasa dengan tempat bising ini. Terlihat sekali dari caranya memandang orang-orang di sekitar.
Mungkin, Belinda agak risih dan jengah menyaksikan beberapa pasang orang, yang tengah bercumbu dengan bebasnya.
"Apa kita bisa pindah tempat?" Akhirnya dia kembali bersuara, setelah sibuk memperhatikan orang-orang di sekitar.
"Ke mana?" Raffa mencondongkan tubuhnya ke wajah Belinda yang terlihat memucat.
Bola mata wanita itu bergerak-gerak gelisah, Belinda merasa gugup—berjarak sedekat ini dengan pria asing selain suaminya.
"Hem, mungkin kita bisa ke mana gitu?" Dia berusaha mengenyahkan kegugupannya. Raffa terus menatapnya tanpa berkedip.
"Ke mana? Ngomong aja. Nanti biar aku antar." Raffa masih di posisi yang sama. Malah saat ini dia sangat ingin mencicipi bibir Belinda yang tipis, tetapi terlihat manis.
aihh....si Raffa, bikin mami Belinda tahan napas.
"T-terserah kamu aja." Belinda perlahan-lahan beringsut mundur, guna menghindari Raffa yang semakin mendekatkan wajahnya.
'God ... Help me please ...,' serunya dalam hati.
'God ... help me, please ....," serunya dalam hati.
Beberapa saat yang lalu, Raffa baru saja menyelesaikan ijab qobul yang berlangsung dengan khidmat itu. Kini, dirinya dan Belinda telah resmi menjadi sepasang suami istri. Suasana di dalam ruangan tersebut begitu mengharukan, ketika Raffa menyematkan cincin di jari manis sang istri, kemudian melabuhkan kecupan mesra di kening Belinda. "Mommy Bel, istriku," ucap Raffa dengan lirih, bahkan saking pelannya hanya dia dan Belinda yang mendengar. Pipi Belinda seketika merona, semu kemerahan tercetak jelas di wajah cantiknya. "Daddy Raffa," ujarnya tak mau kalah dengan Raffa. Perasaannya sungguh sangat bahagia, pada akhirnya, dia dan Raffa bisa menikah dengan restu dari orang tua. "Selamat, ya, Bel," ucap bu Farah mengusap sayang puncak kepala menantunya. "Semoga pernikahan kalian langgeng." "Amiiin …" sahut Raffa dan Belinda bersamaan. Masalah yang ada sudah terselesaikan, dengan kata maaf yang terucap dari mulut ibu sebelum pernikahan ini berlangsung. Bu Farah sudah membuang jauh-j
"Bel …" Raffa sampai speechless sendiri, bingung harus bagaimana. Perempuan yang dicintainya kini telah membuka mata. Hanya lelehan air mata yang mewakili perasaannya detik ini. Bahagia bercampur haru menjadi satu. "Sayang …." Pemuda itu membungkuk agar bisa mendaratkan sebuah kecupan di kening Belinda. "Raffa …" Suara Belinda terdengar serak dan lemah. Maniknya menjelajah ke seluruh ruangan serba putih dan berbau khas tersebut. "Aku … di rumah sakit?" tanyanya yang belum menyadari bila di dadanya ada sang putri. "Iya, Bel. Kamu di rumah sakit," jawab Raffa, sembari menyeka lelehan air mata yang tidak mau berhenti mengalir itu. Alisa melangkah mendekat, sementara dua perawat yang masih berada di dalam ruangan itu melakukan tugasnya masing-masing. Perhatian Belinda beralih pada suara bayi yang merengek. Suaranya terdengar begitu dekat. Lantas, dia pun melebarkan maniknya seketika saat menyadari ternyata ada seorang bayi yang tengah tengkurap di dadanya. "I--ini?" Alisa terseny
Dalam ruangan serba berwarna putih, Belinda terlihat tengah duduk termenung seorang diri. Tatapan matanya terlihat kosong, dengan pikiran yang bercabang. Ada suara-suara yang terus saja berdengung di telinganya. Seperti suara tangisan bayi, dan suara seorang laki-laki.Namun, yang Belinda tidak mengerti ialah, mengapa dia tidak dapat melihat orang tersebut. Dia hanya bisa mendengar suara yang nampak tidak asing di telinganya. Lalu, suara bayi itu? Bayi siapa? Belinda memindai ruangan serba putih itu. Kosong, tidak ada satu orangpun yang berada di sana. "Aku di mana?" gumamnya sambil menelisik setiap sudut yang sama sekali tidak ada apa pun. Lantas, tangannya terjulur ke bawah, memegang perutnya yang rata. "Kenapa aku merasa ada sesuatu yang hilang? Rasanya seperti?" Pandangannya pun turun pada perut yang tertutupi dress berwarna putih itu. Hati Belinda berdesir, berusaha mengingat-ingat sesuatu. Tetapi, nihil! Dia tetap tidak mengingat apa pun. "Apa? Sebenarnya apa yang terjadi?"
Raffa melangkah keluar dengan gontai dan mata sembab. Menutup pintu ruangan yang selama ini dijadikan ruang perawatan untuk Belinda dengan perasaan tidak rela. Andai saja, dokter memberinya ijin untuk menemani Belinda di dalam, pasti hatinya bisa sedikit lebih tenang. Tidak seperti saat ini, yang berharap-harap cemas dan bertanya-tanya sendiri. Belum sampai dia membalik badan, ibu dan beberapa orang yang berada di sana mendekat. Ayah, Vano dan pak penghulu yang baru saja tiba juga ikut merasa khawatir dengan kondisi Belinda yang belum ada kejelasan sama sekali. "Raf, kenapa kamu keluar? Terus kenapa itu bayinya dibawa ke dalem?" Ibu memberondong pertanyaan, mendesak Raffa yang masih memunggunginya. Beliau sempat menanyakan sendiri hal tersebut kepada perawat yang menggendong cucunya. Namun, tidak ada jawaban. Perawat itu hanya melempar senyum, dan berlalu dari hadapannya. Tanpa memberikan penjelasan yang diinginkan.Alhasil, semua orang semakin kalut dan takut. Memikirkan kemungkin
Tak berselang lama, dua orang perawat perempuan datang dengan tergesa. Keduanya langsung mendekati ranjang Belinda. Mendengar ada suara langkah kaki yang masuk, Raffa pun menegakkan tubuh, lalu menyeka jejak air mata dengan punggung tangan kiri. Sementara tangannya yang lain seakan enggan melepas genggaman tangannya pada Belinda.Maniknya menatap salah satu perawat tengah yang berdiri sambil mengecek fungsi layar persegi yang sedari tadi tidak berhenti berbunyi itu."Permisi, Tuan. Saya mau mengecek Nyonya Belinda dulu," ucap salah satu perawat yang lainnya, berdiri di depan Raffa. Di tangannya ada sebuah alat tensi darah digital.Raffa pun terhenyak, tubuhnya reflek tersentak dan beringsut mundur, hingga dengan berat hati dia melepas genggaman tangannya pada Belinda. Memberikan sedikit celah agar suster tersebut dapat segera menangani sang kekasih.Dengan masih menahan sesak, manik Raffa yang belum kering sepenuhnya memindai bergantian kedua suster tersebut. Sungguh, hatinya semakin
"Bel, kalo anak kita lahir, mau dikasih nama siapa? tanya Raffa sembari mengusap sayang puncak kepala Belinda yang bersandar di dada polosnya. Memiringkan sedikit kepalanya, lalu mengecup dalam kening itu.Napas keduanya masih sedikit memburu, karena beberapa saat yang lalu baru saja selesai bercinta. Belinda mendongak, guna mempertemukan maniknya dengan manik Raffa yang juga menatapnya."Terserah daddy-nya aja. Mommy ngikut aja," ucapnya sambil tersenyum manis. "Siapa pun namanya, aku sih setuju-setuju aja, Raf." Belinda lantas mengeratkan pelukannya ke Raffa. Menghirup dalam-dalam aroma tubuh pemuda itu. Seperti biasa selalu menenangkan dan candu.Raffa terkekeh sekilas. Dia dan Belinda kini memiliki nama panggilan baru, yakni Mommy dan Daddy."Kok, terserah aku? Kan, biasanya ibunya yang selalu antusias, nyari nama buat bayinya," kata Raffa, mencubit gemas hidung Belinda yang langsung mengerucutkan bibir.Mengusap bekas cubitan Raffa di hidung, Belinda lalu menyahut, "Aku belum ada
Bu Farah, tante Dini, Marina, kini terlihat sedang sibuk mempersiapkan acara pernikahan dadakan yang akan segera dilaksanakan sebentar lagi. Atas ijin dari dokter Indira tentunya, ketiga perempuan itu bekerja sama untuk menyelesaikan persiapan sederhana dan seadanya. Sempat bingung, lantaran setahu Indira, Belinda adalah istri dari Raffa. Namun, dokter spesialis itu memilih diam dan tidak banyak bertanya perihal urusan privasi keluarga pasiennya. Tugasnya, hanya memantau kondisi Belinda yang belum menunjukkan perubahan. Dan, memberikan perhatian ekstra terhadap bayi Belinda yang saat ini benar-benar butuh asupan nutrisi. "Dok, ini ASI-nya keluar terus. Gimana cara berhentiin-nya?" tanya Dini yang kewalahan menangani ASI Belinda yang terus saja mengalir dari payudaranya. Walaupun Belinda tengah koma, namun produksi ASI tetap keluar dan sangat banyak.Dini yang hendak mengganti baju pasien Belinda dengan kebaya pengantin itu pun berusaha menyumpal tetes demi tetes ASI tersebut dengan
Terkadang, apa yang kita harapkan, dan telah kita susun dengan sedemikian rupa. Tidak bisa terwujud dengan mudah, lantaran hal-hal yang datang dan terjadi tanpa diduga. Seperti halnya rencana pernikahan yang telah direncanakan oleh Raffa setelah kelahiran putrinya. Jauh-jauh hari pemuda itu rupanya sudah memesan cincin pernikahan untuknya dan Belinda tanpa sepengetahuan sang kekasih. Cincin kawin berisinial nama masing-masing, Raffa pesan secara khusus, untuk hari spesialnya. Raffa menatap nanar cincin tersebut di tangannya, dengan perasaan tak menentu. Kesedihan menjadi berkali-kali lipat kala mengingat kondisi Belinda yang masih belum bangun dari tidur panjangnya. Sudah hampir satu bulan lebih, kekasihnya itu sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda apa pun. Segala upaya juga sudah dilakukan oleh dokter, tetapi belum membuahkan hasil. Belinda tetap tidak mau bangun. Dia seakan betah tertidur, dan enggan membuka mata lagi. "Raf...." Vano memangil sang sahabat yang sedari tadi ha
"Gimana hasilnya, Dok? Apa... ada yang mengkhawatirkan?" Raffa bertanya dengan raut cemas dan pucat. Hal yang sudah dia tunggu-tunggu selama dua hari ini akhirnya datang juga.Kemarin, dokter melakukan pemeriksaan lanjutan pada Belinda yang belum juga sadar. Padahal, sudah lebih dari dua hari, perempuan itu tidak sadarkan diri. Dan, setelah melewati proses yang cukup panjang, akhirnya hasil pemeriksaan medis Belinda pun keluar.Indira, selaku dokter yang menangani Belinda menghela panjang. Meletakkan berkas laporan medis pasiennya itu ke meja, lalu melepas kaca mata yang selalu dia pakai, dan menaruhnya di nakas."Begini, Pak," ucapnya seraya melipat tangan ke atas meja. Maniknya menatap serius Raffa yang sedari tadi sudah merasa gelisah dan khawatir. "Dengan sangat menyesal saya katakan, kalau istri Anda ternyata sempat mengalami benturan di kepala. Dan, hal itulah yang menyebabkan Nyonya Belinda belum sadarkan diri sampai sekarang."Kening Raffa mengernyit. "Maksudnya?" tanyanya sam