“Kamu pikir, semua bisa selesai hanya dengan minta maaf, hah?!” Sorot mata beriris biru itu menatap tajam ke arah Kay, membuat detik berjalan terasa sangat lambat sekarang.
“S—saya akan melakukan apapun agar Bapak bisa m—memaafkan saya.” Satu kalimat akhirnya lolos lagi. Satu kalimat yang mungkin, akhirnya akan Kay sesali. Kalimat itulah yang menyeretnya pada problematika baru dalam kehidupan Prabu.
“Oh, ya? Apapun?” Lelaki itu tersenyum miring sambil menilai Kay yang berdiri dengan perasaan kacau. Kay tak tahu lagi harus menjawab apa, dia hanya mengangguk dengan pikiran kosong.
“Kamu duduk dulu! Saya akan kasih tahu apa yang harus kamu lakukan, setelah dokter melakukan pemeriksaan ulang!” Prabu melirik ke arah sofa.
Kay yang sudah merasa kelelahan, menurut saja. Pikiran yang kosong membuatnya tak banyak bicara. Siapa yang tidak shock, harapan yang sedang melambung setinggi-tingginya, seperti dihempaskan begitu saja. Pantas saja Rey hanya mengatakan, ada hal yang ingin dia bicarakan empat mata, secara langsung. Kay kira, itu terkait kelangsungan hubungan mereka. Namun, rupanya … ah, sudahlah.
Rasa sejuk dari pendingin ruangan membuat Kay yang memang sedang lelah jiwa raga, beberapa kali menguap. Sementara itu, Prabu sendiri terdiam dan sibuk dengan pikirannya sendiri.
Pintu ruang rawat terbuka. Perawat yang kebagian visit langsung memeriksa kondisi Prabu. Setelah itu, mereka keluar ruangan. Prabu melirik ke arah Kay, hanya saja dia terkejut ketika melihat Kay yang tampak pulas tertidur di sofa sambil memeluk tas gendongnya.
“Bisa-bisanya dia malah tidur?” Prabu menggumam di dalam dadanya.
“Heh!” Suara Prabu yang masih terlalu pelan, tak mampu membuat Kay terbangun.
“Heh, kamu! Bangun!!” tutur Prabu dengan nada penuh kekesalan. Meskipun sebetulnya tadi Kay memperkenalkan diri, tetapi Prabu tak ingat siapa namanya.
Kay terperanjat dan hampir terjatuh dari sofa. Dia mengucek mata dan memindai ruangan.
“Ya ampuuuun, kok bisa malah ketiduran?” batin Kay merutuki kebodohannya.
“Bapak butuh sesuatu?” tanya Kay sambil mendekat. Dia menatap wajah Prabu yang ditekuk masam.
“Nama kamu siapa?” Prabu menatap ketus.
“Kay, Pak.” Kay menjawab singkat.
“Kamu bawa-bawa koper? Minggat dari rumah atau melarikan diri dari rumah majikan?” Prabu memandang skeptis.
Kay terdiam sejenak. Bingung harus menjawab apa. Tak mungkin dia harus menjelaskan panjang lebar semuanya. Tak mungkin dia harus mengatakan, kalau baru saja pulang dari Skotlandia, lulus kuliah S1 kedokteran dan kini mau pulang dan memberi kejutan pada sang tunangan. Namun, justru dia yang dikejutkan karena ternyata sang tunangan akan menikah dengan sahabatnya. Tidak, Kay merasa, lelaki itu tak perlu tahu.
“Ahm, saya sedang mencari pekerjaan, Pak.” Akhirnya itu yang keluar dari mulut Kay, singkat dan padat.
Prabu tampak menilai. Dia memperhatikan Kay, wajah oval, bibir tipis dengan warna pink natural, hidung mancung, bulu mata lebat dengan mata beriris cokelat, membuat wajahnya terlihat tak membosankan. Rambut panjangnya yang diikat asal ke atas, kaos lengan pendek pas badan, jeans dan sepatu kets membuatnya terlihat fresh, meskipun di wajahnya terlihat garis kelelahan. Benar, dia terlihat seperti seorang remaja yang sedang mencari pekerjaan. Postur tubuh yang mungil membuat Prabu menyimpulkan, mungkin Kay baru saja lulus SMA dan pergi dari kampung halaman.
“Kamu bisa masak?”
“Ya, bisa, Pak.”
“Mengurus anak kecil?”
“Hah?”
Kay bingung, pertanyaan Prabu membuatnya membeliak seketika.
“Mengurus anak kecil, ngasih makan, mandiin, gantiin baju?”
“Oh, itu, bisa, Pak. Saya pernah urus keponakan saya dulu.”
“Oke, bagus! Kamu bersiap! Sebentar lagi kamu ikut saya!”
“Hah, ikut? Ke mana, Pak?”
Kay bingung dan menggaruk pelipisnya sambil menatap wajah Prabu. Jika dilihat dari dekat, lelaki itu terlihat tampan. Postur tubuhnya tinggi tegap, hidungnya mancung, rahangnya kokoh dengan bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar pelipis, bibirnya merah natural, alis tebal dan sepasang mata beriris biru itu, membuat Kay pun tak berani lama-lama menatapnya.
“Kamu bilang, kamu mau tanggung jawab ‘kan? Gara-gara kamu, saya seperti ini!” Prabu menatap sinis.
“Lalu?” Kay menatap bingung.
“Kamu harus tanggung jawab! Gara-gara kamu, dokter mengatakan saya mengalami kelumpuhan!” Prabu menatap tajam ke arah Kay.
Kay terdiam sejenak. Lalu menimbang-nimbang dan berpikir beberapa saat.
“Sepertinya, aku tak perlu tawar menawar lagi. Aku juga tidak mungkin balik lagi ke Skotlandia, mau balik ke rumah juga malas, cuma miara sakit hati. Setidaknya untuk sementara waktu, aku bisa numpang tidur di rumah orang itu. Ya … sambil menjernihkan pikiran, sampai dia sembuh.”
“Saya gak akan maksa. Kalau kamu keberatan buat merawat saya! Kamu cukup tanggung jawab membayar semua biaya rumah sakit sampai saya sembuh!” ketus Prabu.
“Saya bersedia, Pak.” Kay menjawab pasti.
Siska tersenyum lega. Dia meminta assitennya mengambilkan tas berisi alat-alat medis miliknya yang selalu ia bawa. Lalu segera memeriksa kondisi Kay, lalu menyipit dan bertanya. “Kamu kapan terakhir datang bulan?” Kay terdiam, semua seperti dejavu. Dulu ketika hamil Pangeran, satu pertanyaan yang sama dari Prabu yang membuatnya tersadar, jika sudah terlewat tiga minggu dan ternyata dia hamil. Kali ini, pertanyaan dr Siska membuatnya mengerjap mengingat-ingat. “Ya Tuhaaan, jangan-jangan ….” Kay menutup wajahnya. Dia baru ingat, kesibukkan dan antusiasme menyambut ulang tahun Pangeran, membuatnya bahkan tak mengingat dengan benar jadwal datang bulannya. "Sepertinya kamu hamil lagi, Kay."Seisi ruangan terdiam sejenak sebelum Prabu berbicara sambil mengangkat satu alisnya. "Berarti gak sia-sia kerja keras kita selama ini, Honey?"Sontak semua yang hadir tertawa melihat tingkah Prabu yang jenaka. Sementara itu, wajah Kay merona. Dia mendelik dan mencubit perut Prabu. “Mas, ish … janga
Mentari pagi menembus tirai putih di kamar utama kediaman Prabu dan Kay, menciptakan cahaya keemasan yang lembut. Di tengah ruangan yang nyaman itu, suara tawa kecil terdengar, menggema dalam harmoni kebahagiaan. Pangeran, bayi kecil yang kini sudah berusia lima belas bulan, berdiri dengan kaki mungilnya yang masih goyah, ditopang oleh tangan lembut Kay."Ayo, Sayang, satu langkah lagi ...." Kay berjongkok di depan Pangeran, kedua tangannya terentang, siap menangkap buah hatinya jika terjatuh. Mata Kay berbinar penuh haru melihat anak lelakinya yang mulai berani melangkah tanpa bantuan.Jehan tak kalah bersemangat. Dia berlutut di samping Kay, wajahnya penuh antusias sambil bertepuk tangan. "Ayo, Adek! Adek! Adek!" Namun, Pangeran kembali terjatuh. Kay dan Jehan kompak tertawa. Prabu yang sejak tadi duduk di sofa, menikmati pemandangan istri dan anak-anaknya, tak bisa menyembunyikan senyum bahagianya. Dia menutup laptopnya, bangkit, lalu bersila dan mengambil mainan yang berwarna. "J
Marsha menggigit bibirnya, berusaha menahan isakan. Hatinya terasa seperti dipelintir, diremuk menjadi kepingan-kepingan kecil yang mustahil untuk diperbaiki lagi. Tanpa menunggu lebih lama, dia berlari ke tepi jalan lalu mencegat sebuah angkot dan segera meninggalkan tempat tersebut dengan luka yang menganga dan perih yang kian dalam. Angkot mulai melaju, meninggalkan kemegahan rumah sakit yang kini hanya menjadi saksi betapa hancurnya hati seorang perempuan yang dulu merasa menang, tetapi ternyata telah kalah sejak awal.Sementara itu, Kay yang baru saja selesai menggunting pita menyerahkan kembali gunting kepada tim EO yang sejak tadi sigap melayani mereka. Lalu sebuah mic disodorkan padanya. Kay menerimanya sambil menyeka sudut matanya yang basah. Namun, tanpa disangka, Prabu mengambil tissue dari sakunya dan menghapuskan air mata sang istri. Sontak sorakan segenap kaum hawa yang merasa iri terdengar riuh. “Saya speechless, gak tahu harus menyampaikan apa.”Kay menjeda. Dia mene
“Ainsley Grup cabang Depok kali ini, lebih dari istimewa. Penyelesaiannya sengaja disesuaikan dengan momen ulang tahun pernikahan saya dengan istri tercinta. Satu lagi yang tak kalah penting. Seluruh akta dan asset dalam rumah sakit cabang Depok ini, bukan lagi milik saya, sejak hari ini … semua ini resmi saya hadiahkan sebagai hadiah ulang tahun pernikahan pertama saya dengan istri tercinta, Kayshila Aghnia Khansa!” Tak hanya hadirin yang terkejut, Kay dan keluarganya juga.Riuh tepuk tangan menggema. Beberapa berdecak kagum, ada yang menggeleng takjub, ada juga yang memegang dadanya sendiri, ikut bahagia. Seseorang menatap sendu, tetapi tangannya digenggam hangat oleh Fredi. Dialah Firly yang akhirnya datang menghadiri peresmian kantor cabang. Namun, dua orang dari masa lalu Kay terperanjat luar biasa ketika melihat sosok mungil yang terlihat berkelas dan menawan, menghampiri lelaki gagah yang tadi memanggilnya. Lalu, Prabu mengecup punggung tangan Kay dengan romantis, sesaat set
“Ya ampuun, Non Jehan, Mbak sampe khawatir.” Dia tergopoh mendekat. “Kenapa, Mbak?” Kay menatap Leni. “Tadi sibuk beli-beli ini, Bu. Katanya buat adek bayi. Nah itu sendoknya dibawa kabur duluan.” Leni menunjukkan kantong belanja yang ditentengnya. Kay dan Prabu saling bertukar pandang, lalu mereka memeluk Jehan bergantian. Rupanya dia begitu antusias ketika diberi tahu akan punya adik. Langsung membeli beberapa mainan dan sendok-sendok kecil untuk hadiah dedek bayinya nanti. Malam itu mereka habiskan dengan penuh suka cita. Sebuah kebahagiaan baru menyelinap hadir. Harapan Prabu kian deras mengalir. Dia ingin memiliki banyak anak dan membuat suasana rumah menjadi ramai. “Habis ini, nanti bisa gak kita program bayi kembar, Honey? Biar cepet banyak,” bisik Prabu yang dihadiahi cubitan kecil di perutnya oleh Kay. *Waktu terus bergerak. Hari-hari berlalu dengan cepat, dan akhirnya rumah sakit cabang Depok yang Prabu siapkan untuk kejutan, kini sudah selesai. Bangunan megah itu ber
“Astagaa, jadwal datang bulanku kelewat tiga mingguan. Apa jangan-jangan?” Kay meraba perutnya dengan pandangan masih tertuju pada tanggalan yang ada di kalender meja. Suara pintu yang terbuka membuat Kay menoleh, Prabu sudah berdiri sambil memperhatikannya. “Kenapa?” “Enggak, kok.” Kay tak hendak membuat Prabu berharap, tetapi dia sendiri sudah menaruh curiga jika kemungkinan dia sedang hamil, apalagi perubahan emosinya terasa begitu jelas akhir-akhir ini. “Masih marah?” Pertanyaan Prabu membuat Kay menatap pekat wajah lelaki itu, lalu menggeleng, “Aku cuma gak suka Mas urusin perempuan itu.” Prabu membuang napas kasar. Jika biasanya, dia sudah menarik Kay ke dalam dekapan. Namun, saat ini tampaknya Kay sedang mode garang. Jadinya Prabu memilih menjatuhan tubuhnya ke tepi tempat tidur dan menatap Kay. “Yang urus dia siapa? Kerjaan aku aja banyak, Honey.” Prabu berbicara dengan raut muka serius kali ini.“Dia datang ke rumah kita, Mas.” Kay akhirnya buka suara. “Firly?” Prab