Arga bergerak keluar kamar dan menutup pintu kamar tersebut. Tapi ketika dia hendak berbaring di sofanya, dia mendengar suara langkah pelan.
Saat dia membuka pintu, Hina berdiri di depan cermin besar di ruang tamu. Tatapannya kosong, tubuhnya sedikit gemetar. Arga mendekatinya. "Ada apa?" Hina mengangkat tangannya, menyentuh pantulan dirinya di cermin. "Aku... merasa seperti pernah di sini sebelumnya." Arga mengernyit. "Maksudmu di apartemen ini?" Hina menggeleng. "Bukan. Tapi tempat ini... dunia ini... terasa begitu asing, tapi juga familiar." Arga semakin kebingungan. Apa maksudnya familiar dengan dunia ini? Namun, sebelum dia bisa bertanya lebih jauh, tiba-tiba lampu apartemennya berkedip-kedip, menimbulkan bayangan-bayangan samar di dinding. Hawa di ruangan itu berubah drastis, terasa lebih dingin dan berat, seolah ada sesuatu dari balik realitas. Tatapan Arga beralih ke cermin. Bayangan Hina di sana bergetar, seperti pantulan di permukaan air yang bergelombang. Perlahan, gaun yang dikenakannya berubah-kain tipis yang sebelumnya membalut tubuhnya kini berganti menjadi pakaian bangsawan klasik dengan renda dan sulaman emas yang cantik. Rambutnya yang tergerai dikepang rapi, dihiasi tiara kecil yang berkilauan di bawah cahaya lilin, cantik sekali. Bukan hanya itu, yang paling mengejutkan bukanlah perubahan penampilannya, melainkan latar belakangnya. Apartemen Arga lenyap total, digantikan oleh sebuah ballroom megah dengan pilar-pilar tinggi, dinding yang megah, dan lampu gantung kristal yang memancarkan cahaya temaram. Di kejauhan, bayangan tamu-tamu berpakaian mewah yang tak ada di zaman ini tampak bercengkerama, seolah berada dalam sebuah pesta dari masa yang berbeda. Jantung Arga berdegup kencang. Dia mencoba melangkah mendekat, tetapi sebelum kata-kata dapat muncul dari bibirnya, Hina tersentak mundur. Kilatan ketakutan melintas di matanya, dan seketika bayangan itu pecah seperti kaca yang diremukkan. Cermin kembali memantulkan ruangan apartemen seperti semula, tak ada lagi tanda-tanda ballroom atau pakaian bangsawan. Hina memeluk dadanya, napasnya tersengal. "Apa yang terjadi...?" suaranya nyaris berbisik, penuh kebingungan dan ketakutan. Arga menelan ludah, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Namun, satu hal yang pasti, ini bukan sekadar ilusi biasa. Arga menelan ludah. Melihat tidak percaya dengan tatapan kosong. Apa yang baru saja terjadi? Malam itu, dia tidak bisa tidur. Tatapan mata Hina yang penuh kebingungan terus terbayang dalam pikirannya. Dan tanpa dia sadari, hatinya mulai terusik oleh keberadaan gadis misterius itu. --- Keesokan paginya, Arga terbangun lebih awal dari biasanya. Dia menemukan Hina masih tertidur di kasur, tubuhnya terbungkus selimut yang dia berikan semalam. Wajahnya terlihat damai, nyaris seperti boneka porselen yang rapuh. Setelah beberapa saat setelah Arga menatap gadis itu keanehan kembali terjadi, hatinya merasa hancur dan tidak enak, dadanya terasa sesak, jantungnya berdegup kencang dan tetesan air mata mengalir tanpa ia sadari, ia tak tau apa yang sebenarnya terjadi, perasaan itu benar benar terasa sangat sesak, ia menghapus air matanya dengan kedua tangannya. Tanpa sadar, Arga memperhatikannya lebih lama dari yang seharusnya. Ada sesuatu yang membuatnya ingin melindungi gadis itu, meskipun dia belum sepenuhnya memahami siapa dia sebenarnya. Saat mata Hina perlahan terbuka, pandangan mereka bertemu. Sejenak, keheningan menyelimuti mereka sebelum Hina berbicara dengan suara lemah. "Selamat pagi..." Arga tersenyum tipis. "Selamat pagi. Tidur nyenyak?" Hina mengangguk pelan. "Aku bermimpi..." "Tentang apa?" Gadis itu terdiam sejenak, seolah sedang berusaha mengingat. "Tentang sebuah rumah tua... dan seorang pria yang wajahnya mirip denganmu." Jantung Arga berdegup lebih kencang. "Maksudmu?" Hina menggeleng, tampak frustasi. "Aku tidak tahu. Tapi rasanya aku mengenalnya. Aku merasa... ada sesuatu yang hilang. Seperti ada flashback yang masih aku bingung, ingatanku seolah hancur. Yang terakhir aku ingat adalah aku memang berada pada masa lalu, bukan dimasa sekarang." Arga menatapnya dalam-dalam. Dia tahu bahwa gadis ini bukan sekadar tersesat. Ada misteri yang lebih dalam, dan entah mengapa, dia merasa dirinya juga terlibat di dalamnya. --- Hari itu, Arga membawa Hina ke perpustakaan kota, berharap mereka bisa menemukan sesuatu yang bisa membantunya mengingat. Mereka mencari buku-buku sejarah, berusaha menemukan petunjuk. Beberapa buku sejarah telah dibaca mereka berdua dan tak ada satupun yang Hina kenali. Namun, sesuatu yang aneh terjadi. Saat Hina menyentuh sebuah buku tua berdebu, seluruh tubuhnya gemetar. Mata abu-abunya melebar, seolah melihat sesuatu yang tidak terlihat oleh orang lain. "Arga..." suaranya bergetar. Arga buru-buru mendekat. "Ada apa?" Hina menatapnya dengan ekspresi ketakutan. "Aku ingat sesuatu..." Namun sebelum dia bisa melanjutkan, halaman-halaman buku itu bergetar, seolah ada angin tak kasat mata yang menyelubunginya. Dan dalam sekejap, Arga menyadari bahwa dunia yang mereka kenal akan segera berubah selamanya. --- Arga menatap Hina dengan tatapan khawatir. Dia bisa melihat ketakutan di mata gadis itu, seolah sesuatu dari dalam buku itu mengusik ingatannya yang hilang. Halaman-halaman yang bergetar perlahan kembali diam, tetapi atmosfer di sekitar mereka terasa berbeda. Saat Arga berusaha membacanya seketika Arga mendadak rabun dan merasakan rasa sakit kepala yang luar biasa, begitu pula yang terjadi dengan Hina sehingga mereka berdua tak bisa sedikitpun membacanya. "Apa yang kau ingat?" tanya Arga dengan suara pelan. Hina masih menggenggam buku tua itu erat-erat. Tangannya sedikit gemetar. "Aku melihat... seseorang. Seorang pria. Dia mengenakan pakaian bangsawan, dan... dia menatapku dengan ekspresi penuh kesedihan." Arga berusaha mencerna kata-kata itu. "Siapa dia? Kau mengenalnya?" Hina menggeleng perlahan. "Aku merasa mengenalnya. Tapi aku tidak bisa mengingat namanya." Dia menggigit bibirnya, frustrasi dengan dirinya sendiri. Arga menghela napas, mencoba menenangkan gadis itu. "Sudah cukup untuk hari ini. Kita bisa mencari tahu lebih banyak nanti." Hina mengangguk pelan, meski masih terlihat ragu. Mereka pun keluar dari perpustakaan, kembali ke apartemen Arga.Ia berdiri di tengah ruangan gelap itu, seolah tubuhnya bebas-tapi pikirannya masih terpenjara. Semua luka, semua rasa kehilangan, semua suara yang membekas dalam kepalanya tidak benar-benar pergi. Ia hanya berdamai dengan kenyataan bahwa sebagian dari dirinya telah mati sejak lama. "Manusia itu aneh, ya," gumamnya dalam hati, lirih. "Kita ingin sembuh... tapi sebagian dari kita juga takut sembuh. Karena saat sembuh, kita harus melepaskan luka yang sudah terlalu lama kita peluk." Arga menatap cermin retak di sudut kamar itu. Untuk pertama kalinya, ia melihat dirinya bukan sebagai musuh... tapi sebagai satu-satunya saksi dari semua perjalanan dan perjuangan hidupnya. "Aku ini... bukan pecundang," bisiknya. "Aku ini..." Kepalanya mendongak. Napasnya berat, tapi kali ini bukan karena sesak. Melainkan karena sebuah kesadaran yang menghantam dirinya: Bahwa hidup i
Malam itu, Arga tidak tidur. Ia duduk, memeluk lutut, seperti mayat yang menolak membusuk. Pandangannya kosong, tubuhnya dingin. Tapi pikirannya... penuh. Penuh dengan racun. Dan di dalam kekacauan itu, suara kecil dalam dirinya kembali berbisik-nyaris seperti doa yang kehilangan arah: "Kalau aku hilang... akankah dunia terasa lebih ringan?" Tidak ada jawaban. Hanya sunyi yang menatap balik-dan cermin yang merefleksikan luka yang tak bisa dilihat siapa pun. Arga masih kecil ketika pertama kali merasakan bahwa dunia ini bukan tempat yang aman. Ia duduk di pojok rumah, memeluk boneka singa kecil-hadiah terakhir dari ibunya. Malam itu hujan turun deras, membasahi jendela dengan gemuruh tak henti. Tapi yang lebih menusuk dari suara hujan adalah keheningan. Rumah itu terlalu sunyi... karena ibunya sudah tidak ada disana. Bukan karena meninggal
"Kenapa aku harus pergi?" Arga berpikir dalam... ...dan tiba-tiba, semuanya menjadi gelap. Ketika ia membuka mata, ia tak lagi berada di kamar. Ia berdiri di antara ladang bunga yang tak pernah ia lihat sebelumnya, di bawah langit ungu yang berkilauan. Angin berhembus pelan, membawa aroma yang menenangkan. Di kejauhan, seseorang berdiri membelakanginya-rambut panjang terurai, gaun putih berkibar. "Ibu?" bisiknya. Perempuan itu menoleh, tersenyum. Tapi sebelum ia sempat mendekat, dunia di sekitarnya mulai runtuh. Bunga-bunga layu, langit menjadi merah, dan suara tawa-tawa teman-temannya di sekolah-bergema di langit seperti gema neraka. "Kau anak buangan..." "Kenapa kamu masih hidup?" "Laki-laki macam apa kamu?" Arga menutup telinganya, tapi suara-suara itu terus menembus, seakan-akan berasal dari dalam dirinya sendiri. Ia j
Hari-hari berjalan tanpa perubahan berarti, sampai suatu malam, saat ia menatap dirinya di cermin, ia mendengar suara lembut yang tak pernah ia duga. "Arga, aku di sini. Aku tidak akan meninggalkanmu lagi." Itu suara ibunya, tapi dari mana suara itu datang? Dalam cermin yang retak, ia bisa melihat sesuatu yang berbeda, dan untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia merasa... terhubung kembali dengan dunia. Hujan deras membasahi atap rumah. Suara air yang jatuh ke tanah terdengar seperti bisikan dunia yang tak mengerti. Arga menatap ke luar jendela, di mana langit yang kelabu menyelimuti segalanya. Ada rasa sunyi yang lebih dalam dari biasanya. Ada ruang kosong yang ia rasakan semakin luas, dan untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa ia tak akan pernah keluar dari tempat ini. Kenapa dia hidup? Kenapa dia menderita? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benakny
Langit hari itu tak menangis, tapi hatinya sudah tenggelam. Arga duduk di depan jendela ketika ibunya berkemas cepat. Ibunya tak menjelaskan apa pun. Tak satu pun kata perpisahan, hanya sebuah bisikan. "Arga, maaf... jaga dirimu. Waktu akan menyatukan kita semua suatu saat nanti." Dan kemudian, suara pintu tertutup. Dan kemudian... sunyi. Selamanya. Ayahnya-seorang pria yang dulu penuh senyum-berubah seperti bayangan tembok. Ia tak pernah menanyakan kabar Arga di sekolah, tak pernah melihat wajahnya ketika makan malam. Sering kali, Arga berbicara sendiri, berharap suaranya cukup keras untuk menghidupkan kembali keluarganya. Tapi yang ia terima hanya: "Diam, Arga. Dunia ini tidak punya waktu untuk bocah lemah." Ayahnya bekerja sampai malam, pulang dalam keadaan mabuk, dan kadang melempar botol kosong ke temb
Sylvia menatapnya sejenak, lalu tersenyum nakal. "Kalau begitu, kau kalah telak. Rambutmu berantakan dan wajahmu… seperti orang habis putus cinta lima kali dalam sehari." "Rasanya lebih dari lima," balas Arga datar. Sylvia mengeluh pura-pura kecewa. "Yah, setidaknya kau masih bisa jawab candaan. Kupikir kau sudah berubah jadi batu." Arga tidak membalas. Tatapannya kosong, mengarah ke langit yang perlahan mulai dipenuhi warna senja. Sylvia menghela napas, lalu menepuk-nepuk tempat duduk di sebelahnya. "Duduklah. Aku nggak akan gigit, meskipun kamu enak digoda." Arga menurut, duduk di sampingnya. Hening beberapa detik. "Kau tahu," ujar Sylvia, menoleh ke arahnya dengan senyum tipis, "aku sempat berpikir untuk meninju wajahmu agar kau sadar, tapi aku memutuskan membawakanku permen mint sebagai gantinya. Tapi, tentu, kamu tak mau."