ホーム / Fantasi / TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR / Bab 2: Dunia akan terus berubah setiap hari dan tak menunggu siapapun.

共有

Bab 2: Dunia akan terus berubah setiap hari dan tak menunggu siapapun.

作者: SURGAVERSE
last update 最終更新日: 2025-08-06 12:11:30

Arga bergerak keluar kamar dan menutup pintu kamar tersebut. Tapi ketika dia hendak berbaring di sofanya, dia mendengar suara langkah pelan.

Saat dia membuka pintu, Hina berdiri di depan cermin besar di ruang tamu. Tatapannya kosong, tubuhnya sedikit gemetar.

Arga mendekatinya. "Ada apa?"

Hina mengangkat tangannya, menyentuh pantulan dirinya di cermin. "Aku... merasa seperti pernah di sini sebelumnya."

Arga mengernyit. "Maksudmu di apartemen ini?"

Hina menggeleng. "Bukan. Tapi tempat ini... dunia ini... terasa begitu asing, tapi juga familiar."

Arga semakin kebingungan. Apa maksudnya familiar dengan dunia ini? Namun, sebelum dia bisa bertanya lebih jauh, tiba-tiba lampu apartemennya berkedip-kedip, menimbulkan bayangan-bayangan samar di dinding. Hawa di ruangan itu berubah drastis, terasa lebih dingin dan berat, seolah ada sesuatu dari balik realitas.

Tatapan Arga beralih ke cermin. Bayangan Hina di sana bergetar, seperti pantulan di permukaan air yang bergelombang. Perlahan, gaun yang dikenakannya berubah-kain tipis yang sebelumnya membalut tubuhnya kini berganti menjadi pakaian bangsawan klasik dengan renda dan sulaman emas yang cantik. Rambutnya yang tergerai dikepang rapi, dihiasi tiara kecil yang berkilauan di bawah cahaya lilin, cantik sekali.

Bukan hanya itu, yang paling mengejutkan bukanlah perubahan penampilannya, melainkan latar belakangnya. Apartemen Arga lenyap total, digantikan oleh sebuah ballroom megah dengan pilar-pilar tinggi, dinding yang megah, dan lampu gantung kristal yang memancarkan cahaya temaram. Di kejauhan, bayangan tamu-tamu berpakaian mewah yang tak ada di zaman ini tampak bercengkerama, seolah berada dalam sebuah pesta dari masa yang berbeda.

Jantung Arga berdegup kencang. Dia mencoba melangkah mendekat, tetapi sebelum kata-kata dapat muncul dari bibirnya, Hina tersentak mundur. Kilatan ketakutan melintas di matanya, dan seketika bayangan itu pecah seperti kaca yang diremukkan. Cermin kembali memantulkan ruangan apartemen seperti semula, tak ada lagi tanda-tanda ballroom atau pakaian bangsawan.

Hina memeluk dadanya, napasnya tersengal. "Apa yang terjadi...?" suaranya nyaris berbisik, penuh kebingungan dan ketakutan.

Arga menelan ludah, mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Namun, satu hal yang pasti, ini bukan sekadar ilusi biasa.

Arga menelan ludah. Melihat tidak percaya dengan tatapan kosong. Apa yang baru saja terjadi?

Malam itu, dia tidak bisa tidur. Tatapan mata Hina yang penuh kebingungan terus terbayang dalam pikirannya.

Dan tanpa dia sadari, hatinya mulai terusik oleh keberadaan gadis misterius itu.

---

Keesokan paginya, Arga terbangun lebih awal dari biasanya. Dia menemukan Hina masih tertidur di kasur, tubuhnya terbungkus selimut yang dia berikan semalam. Wajahnya terlihat damai, nyaris seperti boneka porselen yang rapuh. Setelah beberapa saat setelah Arga menatap gadis itu keanehan kembali terjadi, hatinya merasa hancur dan tidak enak, dadanya terasa sesak, jantungnya berdegup kencang dan tetesan air mata mengalir tanpa ia sadari, ia tak tau apa yang sebenarnya terjadi, perasaan itu benar benar terasa sangat sesak, ia menghapus air matanya dengan kedua tangannya.

Tanpa sadar, Arga memperhatikannya lebih lama dari yang seharusnya. Ada sesuatu yang membuatnya ingin melindungi gadis itu, meskipun dia belum sepenuhnya memahami siapa dia sebenarnya.

Saat mata Hina perlahan terbuka, pandangan mereka bertemu. Sejenak, keheningan menyelimuti mereka sebelum Hina berbicara dengan suara lemah.

"Selamat pagi..."

Arga tersenyum tipis. "Selamat pagi. Tidur nyenyak?"

Hina mengangguk pelan. "Aku bermimpi..."

"Tentang apa?"

Gadis itu terdiam sejenak, seolah sedang berusaha mengingat. "Tentang sebuah rumah tua... dan seorang pria yang wajahnya mirip denganmu."

Jantung Arga berdegup lebih kencang. "Maksudmu?"

Hina menggeleng, tampak frustasi. "Aku tidak tahu. Tapi rasanya aku mengenalnya. Aku merasa... ada sesuatu yang hilang. Seperti ada flashback yang masih aku bingung, ingatanku seolah hancur. Yang terakhir aku ingat adalah aku memang berada pada masa lalu, bukan dimasa sekarang."

Arga menatapnya dalam-dalam. Dia tahu bahwa gadis ini bukan sekadar tersesat. Ada misteri yang lebih dalam, dan entah mengapa, dia merasa dirinya juga terlibat di dalamnya.

---

Hari itu, Arga membawa Hina ke perpustakaan kota, berharap mereka bisa menemukan sesuatu yang bisa membantunya mengingat. Mereka mencari buku-buku sejarah, berusaha menemukan petunjuk.

Beberapa buku sejarah telah dibaca mereka berdua dan tak ada satupun yang Hina kenali. Namun, sesuatu yang aneh terjadi.

Saat Hina menyentuh sebuah buku tua berdebu, seluruh tubuhnya gemetar. Mata abu-abunya melebar, seolah melihat sesuatu yang tidak terlihat oleh orang lain.

"Arga..." suaranya bergetar.

Arga buru-buru mendekat. "Ada apa?"

Hina menatapnya dengan ekspresi ketakutan. "Aku ingat sesuatu..."

Namun sebelum dia bisa melanjutkan, halaman-halaman buku itu bergetar, seolah ada angin tak kasat mata yang menyelubunginya.

Dan dalam sekejap, Arga menyadari bahwa dunia yang mereka kenal akan segera berubah selamanya.

---

Arga menatap Hina dengan tatapan khawatir. Dia bisa melihat ketakutan di mata gadis itu, seolah sesuatu dari dalam buku itu mengusik ingatannya yang hilang. Halaman-halaman yang bergetar perlahan kembali diam, tetapi atmosfer di sekitar mereka terasa berbeda. Saat Arga berusaha membacanya seketika Arga mendadak rabun dan merasakan rasa sakit kepala yang luar biasa, begitu pula yang terjadi dengan Hina sehingga mereka berdua tak bisa sedikitpun membacanya.

"Apa yang kau ingat?" tanya Arga dengan suara pelan.

Hina masih menggenggam buku tua itu erat-erat. Tangannya sedikit gemetar. "Aku melihat... seseorang. Seorang pria. Dia mengenakan pakaian bangsawan, dan... dia menatapku dengan ekspresi penuh kesedihan."

Arga berusaha mencerna kata-kata itu. "Siapa dia? Kau mengenalnya?"

Hina menggeleng perlahan. "Aku merasa mengenalnya. Tapi aku tidak bisa mengingat namanya." Dia menggigit bibirnya, frustrasi dengan dirinya sendiri.

Arga menghela napas, mencoba menenangkan gadis itu. "Sudah cukup untuk hari ini. Kita bisa mencari tahu lebih banyak nanti."

Hina mengangguk pelan, meski masih terlihat ragu. Mereka pun keluar dari perpustakaan, kembali ke apartemen Arga.

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR    Bab 72: Akhir dari sebuah prolog.

    Udara malam itu terasa aneh—seperti ada sesuatu yang menekan dari langit. Langit di luar jendela rumah sakit berwarna abu-abu kebiruan, dan cahaya bulan yang seharusnya menenangkan kini terasa dingin dan menyakitkan di kulit. Lampu di lorong-lorong padam sebagian, hanya menyisakan kelap-kelip kecil dari monitor medis yang masih menyala di ruang rawat. Arga membuka matanya perlahan. Pandangannya buram. Tubuhnya terasa berat, terutama kaki kirinya. Ia mencoba bergerak sedikit—rasa sakit langsung menjalar dari pergelangan hingga ke tulang betis, seperti retakan kecil yang membara. Desahan keluar dari bibirnya. Ia memejamkan mata, menahan sakit. Dalam remang, suara dentuman keras terdengar di atasnya. Suara itu sangat keras hingga membuat telinganya sakit. Arga menoleh perlahan. Di kursi dekat ranjang, Sylvia tertidur dengan kepala bersandar di sisi tempat tidur. Rambutnya berantakan, dan di tangannya masih tergenggam erat selembar kain kecil—handuk dingin yang sejak sore tadi

  • TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR    Bab 71: Dibawah langit dan Flamboyan.

    Udara pagi itu terasa ringan, tapi entah mengapa dadanya begitu berat. Sinar matahari jam sembilan menembus tirai kamar kosnya, jatuh di atas meja tempat buku-buku berserakan. Beberapa halaman masih terbuka, sebagian lainnya terlipat karena terburu-buru. Arga menatapnya sebentar — catatan tentang “ramalan Evernight”, tulisan yang semalam sempat kupelajari sampai larut. Tapi bukan buku itu yang membebaniku hari ini. Ada hal lain. Arga menarik napas dalam, lalu berdiri perlahan. Di kaca jendela, wajahnya tampak lelah. Mata sedikit merah karena kurang tidur, tapi tekad di dalamnya masih sama: aku harus menemukan petunjuk tentang Hina — apapun yang terjadi. Arga menggenggam jaketnya, lalu keluar. Tujuannya pagi itu hanya satu: menemui Sylvia dan melanjutkan pencarian petunjuk tentang Hina. --- Rumah Sylvia terletak di ujung jalan yang dipenuhi pohon ketapang. Arga sudah hafal setiap tikungan di kawasan itu — mereka sudah sering bertemu karena urusan mencari petunjuk tentang

  • TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR    Bab 70.3: Hendrickson.

    Cermin besar yang kubawa masih bergetar pelan di tanganku, permukaannya memantulkan bayangan wajahku yang kusam. Tapi di balik pantulan itu… sesekali aku melihat sesuatu. Kilatan cahaya, atau mungkin… wajah Putri Hina. Samar, seolah terperangkap di sisi lain kaca. “Yang Mulia Putri… Anda di sana?” Tak ada jawaban. Hanya riak lembut di permukaan cermin. Aku menggigit bibir, menahan emosi yang hampir meledak. Aku telah kehilangan sang pangeran, dan kini sang putri pun terseret oleh kekuatan yang tak bisa kupahami. Namun satu hal pasti—aku masih hidup, dan mungkin itu berarti sesuatu. Mungkin… takdir belum selesai denganku. Kota itu kulihat dari kejauhan—bangunan-bangunan menjulang dengan atap aneh, jalanan dipenuhi kendaraan besi bergerak sendiri, dan orang-orang berpakaian aneh menatapku seolah aku bagian dari sandiwara. Setiap langkahku menarik tatapan. “Siapa orang itu?” “Pakaian cosplay ya?” “Kenapa bawa kaca segede itu?!” Aku tak mengerti apa yang mereka katakan. Bahasa

  • TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR    Bab 70.2: Hendrickson.

    “Biar kuceritakan.” Hendrickson melangkah maju dan berkata dengan nada kecewa. ---------------------------------------------- (dalam point of view dari Hendrickson) Udara menusuk kulit. Dari jendela besar di ujung koridor, aku melihat api membakar atap rumah-rumah rakyat di bawah sana. Langit seolah ikut menangis—merah, bergetar, dan dipenuhi suara lonceng kematian dari menara kuil. “Yang Mulia…” Suaraku nyaris tak terdengar ketika aku berlari menembus aula menuju kamar utama. Pintu kamar terbuka lebar. Cahaya lilin di dalamnya bergoyang liar, dan di sana—di atas ranjang dengan seprai putih yang kini berlumuran darah—Pangeran Julian terbaring tanpa suara. Aku berhenti. Kedua kakiku seolah kehilangan kekuatan. Udara yang keluar dari paru-paruku terasa berat, seolah aku menelan seluruh kesedihan dunia dalam satu tarikan napas. “Tidak… Yang Mulia…” Tubuhnya tak lagi hangat. Darah di perutnya masih menetes, mengalir di antara lipatan kain yang dulu ia kenakan saat

  • TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR    Bab 70: Hendrickson.

    Perjalanan menuju alamat yang tertulis di kertas itu. Arga berjalan perlahan, membaca kembali alamat itu. Langkahnya membawanya ke sebuah toko cermin yang waktu itu pernah ia kunjungi bersama hina. Toko itu tampak tua, dengan cat yang mulai redup dan lampu yang terus berkedip. Jantungnya berdetak lebih kencang. Ia ragu sejenak sebelum akhirnya mengangkat tangannya dan mengetuk pintu. Tok. Tok. Tok. Tidak ada jawaban. Arga menunggu beberapa saat sebelum mengetuk lagi, kali ini lebih keras. Hatinya semakin gelisah, takut bahwa tidak ada siapa-siapa di dalam. Namun, sebelum ia bisa mengetuk untuk ketiga kalinya, pintu itu berderit terbuka. Seorang pria berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan mata tajam. Wajahnya tegas dan sorot matanya menyimpan sesuatu yang membuat Arga merasa seakan pria itu tahu sesuatu yang ia cari. "Kau akhirnya datang," suara pria itu dalam, nyaris seperti bisikan yang terbawa angin laut. Arga terkejut. "Anda... siapa?" Pria itu tidak langsung men

  • TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR    Bab 69: Titik balik sebuah kebencian.

    Udara di perpustakaan itu seolah berhenti berputar ketika Arga menatap buku tua yang kini terbuka di depannya. Cahaya dari lentera gantung bergoyang pelan, memantulkan bayangan di wajahnya yang pucat. Tangannya gemetar, tapi matanya tidak berpaling sedikit pun. Ia tahu — jika ia berhenti sekarang, semua yang sudah terjadi, semua yang sudah dikorbankan Hina, akan sia-sia. Arga menarik napas panjang. Dalam hatinya, sesuatu bergetar. Rasa takut, sedih, dan penyesalan berpadu jadi satu… tapi di tengah badai itu, ada satu hal yang tumbuh perlahan—tekad. “Kalau memang ini tentang kami,” gumamnya pelan, “aku harus melihatnya sampai akhir.” Penjaga perpustakaan menatapnya dengan sorot mata yang berat. “Anak muda… pikirkan baik-baik. Takdir tidak selalu bisa diterima tanpa harga. Kadang, mengetahui terlalu banyak justru membunuh bagian dari dirimu yang masih hidup.” Arga menatap balik, dan untuk pertama kalinya malam itu, ia tersenyum. “Kalau bagian dari diriku harus mati de

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status