ログインSeiring hari-hari berlalu, Hina mulai terbiasa tinggal bersama Arga, bahkan Hina telah mempelajari ataupun mengetahui sebagian kata ringan sehari-hari di zaman ini. Namun, bagi gadis yang tampaknya berasal dari masa lalu ini, dunia modern adalah tempat yang penuh kejutan.
Di pagi hari, Arga menemukan Hina menatap televisi dengan ekspresi bingung. Mereka nonton acara pagi. Host berkata dengan semangat, "Pemirsa, jangan lupa sarapan, biar nggak lemas!" "Dia bicara pada siapa? Tidak ada orang lain di sini, siapa pemirsa?" Hina bertanya kebingungan sambil melihat sekeliling mencari orang yang bernama 'Pemirsa'. "Itu namanya 'kamera'. Orang di dalam kotak itu ngomong ke semua penonton. Pemirsa adalah nama lain dari kata penonton." Arga menjawabnya. Hina: "Berarti dia... tahu kita belum makan?" Hina langsung melipat tangannya di pangkuan. “Maafkan aku, tuan penyiar...” Arga menahan tawa. “Dia gak bisa lihat kamu, santai aja.” Ketika layar menampilkan iklan seorang wanita yang berbicara dengan ponsel, Hina langsung menoleh ke Arga dengan mata berbinar. "Dia berbicara dengan kotak kecil itu? Apakah itu sihir?" Arga tertawa kecil. "Itu bukan sihir. Itu telepon. Orang bisa berbicara dengan orang lain yang jauh melalui benda itu." Hina mendekat dan memegang ponsel Arga dengan hati-hati, seolah takut benda itu bisa meledak kapan saja. "Jadi... dengan benda ini, kau bisa berbicara dengan siapa pun, kapan pun?" "Iya, selama ada sinyal." Hina mengangguk, meski ekspresinya masih menyiratkan kebingungan. "Dunia ini penuh dengan keajaiban." Arga duduk dilantai sambil tertawa karena tingkah Hina. "Arga, jangan duduk di lantai, nanti masuk angin," kata Hina sambil membawa bantal dan melemparkannya ke arahnya. Arga tertawa kecil. "Kau terdengar seperti nenek-nenek." Hina cemberut. "Aku hanya peduli padamu, dasar bodoh." Hina memalingkan pandangannya kepada televisi kembali dan memencet tombol di remote dengan berhati hati, seperti teknik pencegahan agar bom tidak meledak. Ia memencet tombol ganti saluran. "Eh, orang tadi berubah wujud menjadi gadis kecil." Arga kembali tertawa dan terjatuh. "Bukan orangnya berubah wujud, kau mengganti saluran TV nya." "Saluran apa?" "Saluran TV, TV itu memiliki berbagai saluran untuk di tayangkan. Seperti perekaman oleh orang orang yang berbeda-beda, kamu bisa menonton sesuai yang kau inginkan." "Ouh begitu ya? Tapi kenapa orang itu bentuknya aneh, seperti gambar gepeng." Arga kembali tertawa dan mengucapkan kata 'gambar gepeng'. "Hei... Apa? Apa yang kau tertawa kan?" Hina memegang pinggangnya dengan kedua tangan dan bertanya dengan nada cemberut. Arga: "Itu memang bukan manusia, mereka hanya animasi." Hina: "Animasi?" Arga: "Iya, itu adalah video atau acara TV yang dibuat dengan gambaran tangan atau sistem komputer oleh manusia." Hina: "Seperti gambar yang bergerak." Arga: "Ya memang seperti itu." Hina kembali memperhatikan televisi. Kini ia benar-benar fokus kepada karakter animasi itu. "Apakah kalian melihat swiper?" Karakter animasi itu berbicara. "Apa yang ia bicarakan, Arga?" Hina bertanya sambil kebingungan. "Dia menanyakan dimana swiper, swiper adalah salah satu tokoh di animasi itu. Kamu lihat itu? Yang mirip seperti serigala. Itulah swiper." Arga menjelaskan sambil menunjukkan keberadaan tokoh yang ditanyakan. "Ah, aku melihatnya! Disitu! Disitu si swiper!" Hina menjawabnya dengan antusias. "Dimana?" Gadis animasi itu kembali bertanya keberadaan 'swiper'. "Disitu!" Hina menjawab sambil menunjukkannya dengan jari telunjuk tangan kanan. "Dimana? Aku tidak melihatnya." Gadis animasi itu kembali bertanya. "Disitu dibelakangmu!" "Dimana?" Mengulangi kata itu lagi. Hina berjalan kedepan mendekat ke televisi tersebut dengan ekspresi marah, ia memegang televisi dengan kedua tangannya. "Dibelakangmu! Lihatlah belakangmu!" Arga tertawa lepas, arga tau betapa menjengkelkan karakter gadis animasi tersebut. Kata kata tak bisa sedikitpun keluar karena tingkah Hina yang menanggapinya dengan serius. "Ouh disitu, terimakasih teman-teman!" Akhirnya gadis animasi itu menemukan swiper, lebih tepatnya akhirnya gadis animasi itu mau melihat ke belakangnya. Hina kembali ceria karena karakter gadis animasi itu menemukan keberadaan swiper. "Nah akhirnya kau menemukannya!" Gadis animasi tersebut kembali berbicara. "Sepertinya swiper ingin merebut peta kita!" "Jangan biarkan pencuri itu merebutnya!" Hina berteriak. "Ayo ikuti perkataanku teman-teman! Pergilah swiper!" "Pergilah swiper!" Hina menirukan perkataan dari gadis animasi tersebut. Hal yang sama terjadi, gadis animasi itu meneriakkan kata yang sama sebanyak 5 kali. Hina langsung memencet tombol untuk mengganti saluran lainnya, kedua tangannya mengepal seakan sedang marah. Arga tertawa karena tingkahnya. Arga menenangkan Hina dan mengajari Hina beberapa kosakata bahasa zaman ini. "Kita mulai dari perkenalan. Ulangi: 'Halo, nama saya Hina.'" Hina menirukan kata yang Arga ucapkan "Halo, nama saya... Hina." "Bagus. Sekarang coba kamu bilang ke aku." Hina menatap serius. "Halo, nama saya kamu." "…Itu aku, bukan kamu. Kamu, kamu. Aku, aku." Hina mengetuk kepalanya. "Aku adalah kamu, dan kamu adalah aku. Filsafat yang dalam." Arga mengeluh. "…Oke, kita perlu jeda lima menit. Aku kena error." Setelah selesai belajar, Arga membawa Hina ke dapur dan memperlihatkannya caranya memasak dengan alat alat modern. Hina menatap microwave. "Apa ini? Kotak sihir?" Arga menjawabnya. "Bukan, itu buat manasin makanan." Hina memencet tombol asal, alarm berbunyi. "Aku menyentuhnya dan dia marah! Apa dia kesurupan?" Arga: "Itu bunyi timer, bukan dia marah atau kesurupan." Sarapan telah siap, mereka berdua sarapan bersama. Hina mulai berani bicara. Di meja makan kecil mereka. Hina berbicara menggunakan bahasa modern. "Arga, makanan ini… keren banget." Arga kaget karena itu, perkembangannya terlalu cepat. "Wah, kamu mulai jago juga." "Aku belajar dari… acara TV 'Super Chef' dan… Doramon." Hina menjawabnya, ternyata dia mempelajarinya dengan menonton acara televisi dan animasi. "Waduh, bisa-bisa kamu nanti bilang 'aku butuh pintu kemana saja' tiap hari." Hina tersenyum polos. "Kalau bisa… aku ingin pintu yang bisa membawaku ke masa sebelum semua ini rusak." Arga terdiam sejenak. Tatapan mereka bertemu. Sunyi. Tapi hangat.Udara malam itu terasa aneh—seperti ada sesuatu yang menekan dari langit. Langit di luar jendela rumah sakit berwarna abu-abu kebiruan, dan cahaya bulan yang seharusnya menenangkan kini terasa dingin dan menyakitkan di kulit. Lampu di lorong-lorong padam sebagian, hanya menyisakan kelap-kelip kecil dari monitor medis yang masih menyala di ruang rawat. Arga membuka matanya perlahan. Pandangannya buram. Tubuhnya terasa berat, terutama kaki kirinya. Ia mencoba bergerak sedikit—rasa sakit langsung menjalar dari pergelangan hingga ke tulang betis, seperti retakan kecil yang membara. Desahan keluar dari bibirnya. Ia memejamkan mata, menahan sakit. Dalam remang, suara dentuman keras terdengar di atasnya. Suara itu sangat keras hingga membuat telinganya sakit. Arga menoleh perlahan. Di kursi dekat ranjang, Sylvia tertidur dengan kepala bersandar di sisi tempat tidur. Rambutnya berantakan, dan di tangannya masih tergenggam erat selembar kain kecil—handuk dingin yang sejak sore tadi
Udara pagi itu terasa ringan, tapi entah mengapa dadanya begitu berat. Sinar matahari jam sembilan menembus tirai kamar kosnya, jatuh di atas meja tempat buku-buku berserakan. Beberapa halaman masih terbuka, sebagian lainnya terlipat karena terburu-buru. Arga menatapnya sebentar — catatan tentang “ramalan Evernight”, tulisan yang semalam sempat kupelajari sampai larut. Tapi bukan buku itu yang membebaniku hari ini. Ada hal lain. Arga menarik napas dalam, lalu berdiri perlahan. Di kaca jendela, wajahnya tampak lelah. Mata sedikit merah karena kurang tidur, tapi tekad di dalamnya masih sama: aku harus menemukan petunjuk tentang Hina — apapun yang terjadi. Arga menggenggam jaketnya, lalu keluar. Tujuannya pagi itu hanya satu: menemui Sylvia dan melanjutkan pencarian petunjuk tentang Hina. --- Rumah Sylvia terletak di ujung jalan yang dipenuhi pohon ketapang. Arga sudah hafal setiap tikungan di kawasan itu — mereka sudah sering bertemu karena urusan mencari petunjuk tentang
Cermin besar yang kubawa masih bergetar pelan di tanganku, permukaannya memantulkan bayangan wajahku yang kusam. Tapi di balik pantulan itu… sesekali aku melihat sesuatu. Kilatan cahaya, atau mungkin… wajah Putri Hina. Samar, seolah terperangkap di sisi lain kaca. “Yang Mulia Putri… Anda di sana?” Tak ada jawaban. Hanya riak lembut di permukaan cermin. Aku menggigit bibir, menahan emosi yang hampir meledak. Aku telah kehilangan sang pangeran, dan kini sang putri pun terseret oleh kekuatan yang tak bisa kupahami. Namun satu hal pasti—aku masih hidup, dan mungkin itu berarti sesuatu. Mungkin… takdir belum selesai denganku. Kota itu kulihat dari kejauhan—bangunan-bangunan menjulang dengan atap aneh, jalanan dipenuhi kendaraan besi bergerak sendiri, dan orang-orang berpakaian aneh menatapku seolah aku bagian dari sandiwara. Setiap langkahku menarik tatapan. “Siapa orang itu?” “Pakaian cosplay ya?” “Kenapa bawa kaca segede itu?!” Aku tak mengerti apa yang mereka katakan. Bahasa
“Biar kuceritakan.” Hendrickson melangkah maju dan berkata dengan nada kecewa. ---------------------------------------------- (dalam point of view dari Hendrickson) Udara menusuk kulit. Dari jendela besar di ujung koridor, aku melihat api membakar atap rumah-rumah rakyat di bawah sana. Langit seolah ikut menangis—merah, bergetar, dan dipenuhi suara lonceng kematian dari menara kuil. “Yang Mulia…” Suaraku nyaris tak terdengar ketika aku berlari menembus aula menuju kamar utama. Pintu kamar terbuka lebar. Cahaya lilin di dalamnya bergoyang liar, dan di sana—di atas ranjang dengan seprai putih yang kini berlumuran darah—Pangeran Julian terbaring tanpa suara. Aku berhenti. Kedua kakiku seolah kehilangan kekuatan. Udara yang keluar dari paru-paruku terasa berat, seolah aku menelan seluruh kesedihan dunia dalam satu tarikan napas. “Tidak… Yang Mulia…” Tubuhnya tak lagi hangat. Darah di perutnya masih menetes, mengalir di antara lipatan kain yang dulu ia kenakan saat
Perjalanan menuju alamat yang tertulis di kertas itu. Arga berjalan perlahan, membaca kembali alamat itu. Langkahnya membawanya ke sebuah toko cermin yang waktu itu pernah ia kunjungi bersama hina. Toko itu tampak tua, dengan cat yang mulai redup dan lampu yang terus berkedip. Jantungnya berdetak lebih kencang. Ia ragu sejenak sebelum akhirnya mengangkat tangannya dan mengetuk pintu. Tok. Tok. Tok. Tidak ada jawaban. Arga menunggu beberapa saat sebelum mengetuk lagi, kali ini lebih keras. Hatinya semakin gelisah, takut bahwa tidak ada siapa-siapa di dalam. Namun, sebelum ia bisa mengetuk untuk ketiga kalinya, pintu itu berderit terbuka. Seorang pria berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan mata tajam. Wajahnya tegas dan sorot matanya menyimpan sesuatu yang membuat Arga merasa seakan pria itu tahu sesuatu yang ia cari. "Kau akhirnya datang," suara pria itu dalam, nyaris seperti bisikan yang terbawa angin laut. Arga terkejut. "Anda... siapa?" Pria itu tidak langsung men
Udara di perpustakaan itu seolah berhenti berputar ketika Arga menatap buku tua yang kini terbuka di depannya. Cahaya dari lentera gantung bergoyang pelan, memantulkan bayangan di wajahnya yang pucat. Tangannya gemetar, tapi matanya tidak berpaling sedikit pun. Ia tahu — jika ia berhenti sekarang, semua yang sudah terjadi, semua yang sudah dikorbankan Hina, akan sia-sia. Arga menarik napas panjang. Dalam hatinya, sesuatu bergetar. Rasa takut, sedih, dan penyesalan berpadu jadi satu… tapi di tengah badai itu, ada satu hal yang tumbuh perlahan—tekad. “Kalau memang ini tentang kami,” gumamnya pelan, “aku harus melihatnya sampai akhir.” Penjaga perpustakaan menatapnya dengan sorot mata yang berat. “Anak muda… pikirkan baik-baik. Takdir tidak selalu bisa diterima tanpa harga. Kadang, mengetahui terlalu banyak justru membunuh bagian dari dirimu yang masih hidup.” Arga menatap balik, dan untuk pertama kalinya malam itu, ia tersenyum. “Kalau bagian dari diriku harus mati de







