Home / Fantasi / TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR / Bab 3: Suatu saat akan datang hari di mana semua akan menjadi kenangan.

Share

Bab 3: Suatu saat akan datang hari di mana semua akan menjadi kenangan.

Author: SURGAVERSE
last update Last Updated: 2025-08-06 12:11:40

Seiring hari-hari berlalu, Hina mulai terbiasa tinggal bersama Arga, bahkan Hina telah mempelajari ataupun mengetahui sebagian kata ringan sehari-hari di zaman ini. Namun, bagi gadis yang tampaknya berasal dari masa lalu ini, dunia modern adalah tempat yang penuh kejutan.

Di pagi hari, Arga menemukan Hina menatap televisi dengan ekspresi bingung.

Mereka nonton acara pagi. Host berkata dengan semangat, "Pemirsa, jangan lupa sarapan, biar nggak lemas!"

"Dia bicara pada siapa? Tidak ada orang lain di sini, siapa pemirsa?" Hina bertanya kebingungan sambil melihat sekeliling mencari orang yang bernama 'Pemirsa'.

"Itu namanya 'kamera'. Orang di dalam kotak itu ngomong ke semua penonton. Pemirsa adalah nama lain dari kata penonton." Arga menjawabnya.

Hina: "Berarti dia... tahu kita belum makan?" Hina langsung melipat tangannya di pangkuan. “Maafkan aku, tuan penyiar...”

Arga menahan tawa. “Dia gak bisa lihat kamu, santai aja.”

Ketika layar menampilkan iklan seorang wanita yang berbicara dengan ponsel, Hina langsung menoleh ke Arga dengan mata berbinar.

"Dia berbicara dengan kotak kecil itu? Apakah itu sihir?"

Arga tertawa kecil. "Itu bukan sihir. Itu telepon. Orang bisa berbicara dengan orang lain yang jauh melalui benda itu."

Hina mendekat dan memegang ponsel Arga dengan hati-hati, seolah takut benda itu bisa meledak kapan saja. "Jadi... dengan benda ini, kau bisa berbicara dengan siapa pun, kapan pun?"

"Iya, selama ada sinyal."

Hina mengangguk, meski ekspresinya masih menyiratkan kebingungan. "Dunia ini penuh dengan keajaiban."

Arga duduk dilantai sambil tertawa karena tingkah Hina. "Arga, jangan duduk di lantai, nanti masuk angin," kata Hina sambil membawa bantal dan melemparkannya ke arahnya.

Arga tertawa kecil. "Kau terdengar seperti nenek-nenek."

Hina cemberut. "Aku hanya peduli padamu, dasar bodoh."

Hina memalingkan pandangannya kepada televisi kembali dan memencet tombol di remote dengan berhati hati, seperti teknik pencegahan agar bom tidak meledak.

Ia memencet tombol ganti saluran. "Eh, orang tadi berubah wujud menjadi gadis kecil."

Arga kembali tertawa dan terjatuh. "Bukan orangnya berubah wujud, kau mengganti saluran TV nya."

"Saluran apa?"

"Saluran TV, TV itu memiliki berbagai saluran untuk di tayangkan. Seperti perekaman oleh orang orang yang berbeda-beda, kamu bisa menonton sesuai yang kau inginkan."

"Ouh begitu ya? Tapi kenapa orang itu bentuknya aneh, seperti gambar gepeng."

Arga kembali tertawa dan mengucapkan kata 'gambar gepeng'.

"Hei... Apa? Apa yang kau tertawa kan?" Hina memegang pinggangnya dengan kedua tangan dan bertanya dengan nada cemberut.

Arga: "Itu memang bukan manusia, mereka hanya animasi."

Hina: "Animasi?"

Arga: "Iya, itu adalah video atau acara TV yang dibuat dengan gambaran tangan atau sistem komputer oleh manusia."

Hina: "Seperti gambar yang bergerak."

Arga: "Ya memang seperti itu."

Hina kembali memperhatikan televisi. Kini ia benar-benar fokus kepada karakter animasi itu.

"Apakah kalian melihat swiper?" Karakter animasi itu berbicara.

"Apa yang ia bicarakan, Arga?" Hina bertanya sambil kebingungan.

"Dia menanyakan dimana swiper, swiper adalah salah satu tokoh di animasi itu. Kamu lihat itu? Yang mirip seperti serigala. Itulah swiper." Arga menjelaskan sambil menunjukkan keberadaan tokoh yang ditanyakan.

"Ah, aku melihatnya! Disitu! Disitu si swiper!" Hina menjawabnya dengan antusias.

"Dimana?" Gadis animasi itu kembali bertanya keberadaan 'swiper'.

"Disitu!" Hina menjawab sambil menunjukkannya dengan jari telunjuk tangan kanan.

"Dimana? Aku tidak melihatnya." Gadis animasi itu kembali bertanya.

"Disitu dibelakangmu!"

"Dimana?" Mengulangi kata itu lagi.

Hina berjalan kedepan mendekat ke televisi tersebut dengan ekspresi marah, ia memegang televisi dengan kedua tangannya. "Dibelakangmu! Lihatlah belakangmu!"

Arga tertawa lepas, arga tau betapa menjengkelkan karakter gadis animasi tersebut. Kata kata tak bisa sedikitpun keluar karena tingkah Hina yang menanggapinya dengan serius.

"Ouh disitu, terimakasih teman-teman!" Akhirnya gadis animasi itu menemukan swiper, lebih tepatnya akhirnya gadis animasi itu mau melihat ke belakangnya.

Hina kembali ceria karena karakter gadis animasi itu menemukan keberadaan swiper. "Nah akhirnya kau menemukannya!"

Gadis animasi tersebut kembali berbicara. "Sepertinya swiper ingin merebut peta kita!"

"Jangan biarkan pencuri itu merebutnya!" Hina berteriak.

"Ayo ikuti perkataanku teman-teman! Pergilah swiper!"

"Pergilah swiper!" Hina menirukan perkataan dari gadis animasi tersebut.

Hal yang sama terjadi, gadis animasi itu meneriakkan kata yang sama sebanyak 5 kali. Hina langsung memencet tombol untuk mengganti saluran lainnya, kedua tangannya mengepal seakan sedang marah. Arga tertawa karena tingkahnya.

Arga menenangkan Hina dan mengajari Hina beberapa kosakata bahasa zaman ini.

"Kita mulai dari perkenalan. Ulangi: 'Halo, nama saya Hina.'"

Hina menirukan kata yang Arga ucapkan "Halo, nama saya... Hina."

"Bagus. Sekarang coba kamu bilang ke aku."

Hina menatap serius. "Halo, nama saya kamu."

"…Itu aku, bukan kamu. Kamu, kamu. Aku, aku."

Hina mengetuk kepalanya. "Aku adalah kamu, dan kamu adalah aku. Filsafat yang dalam."

Arga mengeluh. "…Oke, kita perlu jeda lima menit. Aku kena error."

Setelah selesai belajar, Arga membawa Hina ke dapur dan memperlihatkannya caranya memasak dengan alat alat modern.

Hina menatap microwave.

"Apa ini? Kotak sihir?"

Arga menjawabnya. "Bukan, itu buat manasin makanan."

Hina memencet tombol asal, alarm berbunyi. "Aku menyentuhnya dan dia marah! Apa dia kesurupan?"

Arga: "Itu bunyi timer, bukan dia marah atau kesurupan."

Sarapan telah siap, mereka berdua sarapan bersama. Hina mulai berani bicara. Di meja makan kecil mereka.

Hina berbicara menggunakan bahasa modern. "Arga, makanan ini… keren banget."

Arga kaget karena itu, perkembangannya terlalu cepat. "Wah, kamu mulai jago juga."

"Aku belajar dari… acara TV 'Super Chef' dan… Doramon." Hina menjawabnya, ternyata dia mempelajarinya dengan menonton acara televisi dan animasi.

"Waduh, bisa-bisa kamu nanti bilang 'aku butuh pintu kemana saja' tiap hari."

Hina tersenyum polos. "Kalau bisa… aku ingin pintu yang bisa membawaku ke masa sebelum semua ini rusak."

Arga terdiam sejenak. Tatapan mereka bertemu. Sunyi. Tapi hangat.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR    Bab 10: Aku bersumpah melindungimu, mencintaimu, dan menjagamu selamanya.

    Dengan penuh rasa ingin tahu dan sedikit ketakutan, mereka kembali menelusuri lembar demi lembar buku itu, berharap menemukan jawaban atas misteri yang kini mengikat mereka berdua. Setelah beberapa lembar, mereka menemukan sebuah sketsa yang menggambarkan seorang pria dan wanita berdiri di tepi sungai dengan pemandangan kastil di belakang mereka. Di bawah sketsa itu terdapat tulisan: "Di bawah bulan purnama, sumpah itu terukir. Hanya mereka yang mengingat akan menemukan jalan pulang." "Demi langit yang menyaksikan dan bumi yang menjadi saksi, aku, Julian Astrea, berjanji sebagai pangeran yang tak akan mengingkari kata-kataku. Aku bersumpah dengan segenap jiwa dan raga, dengan darah yang mengalir dalam nadiku, bahwa cintaku padamu adalah keabadian yang tak tergoyahkan. Aku akan melindungi, mencintai, dan berjuang, bahkan jika takdir mencoba memisahkan kita, bahkan jika dunia menentang keberadaan kita. Aku bukanlah pria sempurna, namun hatiku telah memilihmu, dan tidak ada yang da

  • TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR    Bab 9: Sejarah atau sebuah pengalaman nyata?

    Pustakawan itu mengangguk pelan, lalu berbalik menuju rak tinggi di sudut ruangan. Ia mengulurkan tangannya yang keriput, menarik satu buku tua bersampul kulit dari sela-sela buku lain yang tertata rapi. Debu berhamburan saat ia meletakkannya di meja. "Buku ini mencatat berbagai peristiwa yang sulit dijelaskan di kota ini. Mungkin kalian akan menemukan jawaban di dalamnya." Arga membuka buku itu dengan hati-hati. Tulisan tangan yang rapi namun memudar memenuhi halaman pertama: Pada tahun 1874, 2 orang yang merupakan laki laki dan perempuan muncul secara misterius di tengah kota. Ia mengenakan pakaian asing dan berbicara tentang masa depan yang belum pernah didengar siapa pun. Beberapa minggu kemudian, ia menghilang tanpa jejak... Hina menggenggam lengan Arga erat. Ini persis seperti apa yang mereka alami, tapi dalam pandangan masyarakat kuno. Arga menoleh dengan mata melebar. "Apa maksudnya semua ini? Apa mungkin kita... terhubung dengannya?" Pustakawan tua itu menutup buku

  • TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR    Bab 8: Retakan bukan akhir, tapi awal perubahan, tempat cahaya baru bangkit.

    Semakin lama bersama Hina, Arga mulai mengalami kejadian yang tidak bisa dijelaskan. Bayangan dunia yang lain muncul dan menghilang begitu saja, seolah batas antara masa kini dan masa lalu semakin menipis. Saat mereka berjalan bersama di sebuah jalan setapak yang dipenuhi keramaian kota, tiba-tiba, jalanan di bawah kaki mereka berubah. Batu-batu besar menggantikan aspal yang sebelumnya ada. Kereta kuda melintas, orang-orang mengenakan pakaian dari abad ke-19. Arga terperangah, tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa, semuanya kembali seperti semula. Hina menggenggam lengannya erat. "Kamu lihat itu juga?" Hina bertanya dengan suara bergetar. Arga mengangguk, jantungnya berdetak kencang. "Apa yang baru saja terjadi?" Hina menggeleng, wajahnya menunjukkan ketakutan yang sama. "Aku juga tidak tahu... tapi ini bukan pertama kalinya." Suatu malam, Arga terbangun dengan tubuh basah oleh keringat dingin. Ia mendapati dirinya berada di sebuah kamar tua dengan perabotan kayu antik, cahay

  • TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR    Bab 7: Dunia masa kini dan masa lalu adalah 2 hal yang berbeda.

    Setelah keluar dari kafe, Arga dan Hina berjalan menyusuri trotoar kota yang mulai diterangi lampu-lampu jalan. Angin sore berembus lembut, menggoyangkan kelopak lili putih yang masih digenggam Hina. Hina tampak menikmati suasana sekitar. Dia berhenti sejenak, memperhatikan mobil-mobil yang melintas dengan penuh rasa ingin tahu. "Kau bilang ini disebut mobil?" tanyanya sambil menunjuk kendaraan yang lewat. Arga mengangguk. "Ya, kendaraan yang digunakan orang-orang untuk bepergian dengan cepat." Hina menyipitkan mata, lalu menghela napas. "Begitu banyak hal yang tidak kumengerti... Dunia ini terasa sangat asing, tapi anehnya, aku tidak merasa takut." Arga menoleh padanya. "Mungkin karena kau bukan hanya sekadar tersesat. Mungkin... ada sesuatu yang menghubungkanmu dengan tempat ini." Hina menggigit bibirnya. "Aku ingin mengingat, Arga. Aku benar-benar ingin mengingat segalanya. Tapi, setiap kali aku mencoba, rasanya seperti ada dinding tak terlihat yang menghalangi." Arga t

  • TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR    Bab 6: mimpi bukan hanya soal berhasil atau tidak.

    Arga: "Menurutku... mimpi itu bukan soal berhasil atau tidak. Yang penting adalah kita mencoba dan berusaha. Kalau gagal, setidaknya kita tahu sudah berusaha." Hina: tersenyum tipis "Jadi, mimpi apa yang ingin kamu coba wujudkan, Arga?" Arga: menatap lurus ke depan "Aku ingin membangun sesuatu yang bisa bertahan lama. Mungkin rumah, mungkin gedung... atau sesuatu yang lebih dari sekadar bangunan. Aku ingin meninggalkan sesuatu yang bisa diingat." Hina menoleh ke Arga dengan tatapan penuh perhatian. Angin sepoi-sepoi membuat helaian rambutnya sedikit berantakan, tapi ia tidak peduli. Hina: "Itu terdengar seperti mimpi yang indah." Arga: tersenyum "Kalau kamu sendiri? Apa mimpimu?" Hina: tertawa kecil "Aku?" lalu menatap lurus ke depan "Aku ingin hidup bebas. Tidak terikat oleh apa pun. Aku ingin bisa pergi ke mana saja, melihat dunia, dan merasakan setiap momen tanpa harus takut akan masa depan." Arga memperhatikan ekspresi Hina yang tampak serius. Ada sesuatu di matanya

  • TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR    Bab 5: semua yang kita lihat belum tentu benar.

    Pria tua itu memperhatikannya dengan seksama, lalu tersenyum tipis. "Kadang, beberapa benda memang membawa kenangan dari masa lalu. Jika kau merasa ada sesuatu dengan cermin ini, mungkin ada kisah yang menunggumu untuk mengungkapnya." Arga memasang wajah curiga pada pria tua itu, seperti menyembunyikan sesuatu, dia dari tadi memasang senyum serius dan selalu memperhatikan Arga dan Hina, mengabaikan pengunjung yang lain. Arga menatap Hina dengan cemas. "Kau mau pergi dari sini?" Hina masih menatap cermin itu, lalu akhirnya mengangguk. "Ya, aku rasa itu ide yang baik." Saat Arga dan Hina akan keluar, pria tua itu memegang pundak Arga dan menghentikannya. "Seorang pangeran akan terus mencari sang putri dan menepati janjinya." Seketika Arga menjadi cemas, melepaskan tangan pria tua itu dan berlari menyusul Hina. Saat mereka melangkah keluar dari toko, Arga menyadari sesuatu sejak mereka masuk ke toko itu, udara di sekeliling mereka terasa lebih dingin, dan ketika mereka keluar, ra

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status