Hujan deras mengguyur kota. Di antara lampu-lampu jalan yang temaram, Arga Heaven, seorang mahasiswa pendidikan sejarah, berlari menerobos derasnya hujan. Dia baru saja pulang dari pekerjaannya setelah lembur bekerja. Jaketnya sudah basah kuyup, dan sepatu yang dikenakannya memercikkan air setiap kali menapak di aspal.
Namun, langkahnya terhenti ketika melihat seorang gadis berdiri di bawah lampu jalan yang berkedip-kedip. Dia tampak kebingungan, berdiri diam menghadap kearah lampu, mengenakan gaun putih panjang dengan renda klasik, mirip pakaian dari abad ke-19. Kulitnya pucat, rambut panjangnya basah, dan matanya yang abu-abu terlihat kosong. Arga ragu. Pemandangan itu terlalu aneh. Seorang gadis berpakaian seperti itu, berdiri sendirian di tengah derasnya hujan? Ia mengusap wajahnya yang basah, memastikan bahwa ini bukan ilusi. "Kau baik-baik saja?" tanyanya, mendekati gadis itu. Gadis itu sedikit tersentak, matanya bergerak menatapnya dengan penuh kebingungan. Bibirnya bergetar seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi tak ada suara yang keluar. "Kau kehujanan, kau bisa sakit kalau terus di sini," lanjut Arga, suaranya lebih pelan, mencoba menenangkan gadis itu. "Apa kau tersesat? Butuh bantuan?" Gadis itu masih diam. Hanya suara rintik hujan yang menemani mereka. Arga memperhatikan wajahnya lebih seksama, terlihat seperti seseorang yang baru saja terbangun dari mimpi panjang dan mendapati dirinya di tempat yang asing. "Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Arga lagi, mencoba membuatnya berbicara. Gadis itu menunduk sesaat, lalu mengangkat wajahnya perlahan. "Aku tidak tau apa yang kau bicarakan." Tunggu, ada yang janggal. Itu bukanlah bahasa modern negara ini, itu adalah bahasa kuno abad ke 19. Arga mengetahuinya dan mempelajarinya di buku sejarah negara ini. Arga berusaha untuk menggunakan bahasa kuno tersebut dan mengulangi kalimatnya. "Apa yang sedang kamu lakukan." Gadis itu menangis terharu, akhirnya dia menemukan orang yang bisa memahaminya. "Aku... Aku tidak tahu aku di mana..." Setelah melihat wajah gadis itu dengan jelas dan mendengar suaranya, hati Arga seketika berguncang, jantungnya berdegup kencang dan meneteskan sedikit air mata, Arga tidak tau apa yang terjadi padanya dan ia langsung mengusap air mata itu. Terlepas dari itu Arga menelan ludah. Ada sesuatu yang janggal dari gadis ini. Pakaian, ekspresi, dan cara bicaranya seolah-olah dia berasal dari masa yang berbeda. Arga mengernyit. Ia menatap gadis itu dengan lebih seksama. Gaunnya tampak tidak biasa, seperti berasal dari zaman yang berbeda. Hujan terus mengguyur, membuat mereka berdua semakin basah kuyup. "Kau tinggal di dekat sini?" Arga mencoba lagi. Gadis itu menggeleng pelan. "Aku... tidak ingat. Aku hanya tiba-tiba berada di sini." Hati Arga berdebar. Ini semakin aneh. Seorang gadis dengan pakaian gaun kuno, berdiri di tengah hujan, tanpa tahu di mana ia berada atau dari mana ia berasal. Apakah ini hanya seseorang yang sedang melakukan cosplay? Atau sesuatu yang lebih misterius? Tidak mungkin hanya sekadar cosplay. Arga menatap sekitar, mencari-cari kalau ada seseorang yang mungkin bersama gadis itu. Namun, jalanan kosong. Tak ada kendaraan yang melintas, dan hanya suara hujan yang terdengar oleh mereka. "Baiklah, kau tidak bisa terus di sini kehujanan," ujar Arga akhirnya. "Ayo, kita cari tempat berteduh dulu." Gadis itu menatapnya dengan ekspresi ragu, tapi pada akhirnya, ia mengangguk pelan. Arga pun membuka jaketnya dan menutupi kepala gadis itu sebelum membimbingnya menuju tempat yang lebih aman. Mereka berjalan di sepanjang jalan trotoar, menuju sebuah halte yang kosong. Gadis itu duduk di bangku kayu, sementara Arga berdiri di sampingnya dan memberinya lap untuk membersihkan wajahnya yang telah basah. Ia masih bingung dengan situasi ini. "Apa kau ingat sesuatu? Siapa namamu?" tanya Arga pelan. Gadis itu menggigit bibirnya, lalu menggeleng pelan. "Aku... Aku tidak bisa mengingat apa-apa. Namaku... Hina." Arga mengangguk pelan. "Namaku Arga." Setidaknya kau ingat namamu, itu sebuah permulaan. Hujan semakin deras. Karena halte yang kami tempati kecil, air dari hujan berhasil menerobos dan membasahi tubuh kami. Arga ragu-ragu, tetapi dia tidak bisa membiarkan gadis ini tetap di luar dalam kondisi seperti ini. "Kamu tinggal di mana?" Hina menggeleng. "Aku tidak ingat..." Arga semakin bingung. Gadis ini tersesat? Atau ada sesuatu yang lebih dari sekadar tersesat? Dengan sedikit keraguan, dia berkata, "Kalau begitu... ikut aku saja. Setidaknya sampai hujan reda." Hina menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk pelan. Arga membiarkan Jaketnya dipakai oleh gadis itu agar ia tidak sakit karena terlalu lama terkena hujan. --- Mereka berjalan melewati gang-gang kota menuju apartemen Arga. Setiap langkah kaki yang diambil gadis itu terasa begitu ringan, seolah dia tidak sepenuhnya nyata. Arga bahkan sesekali meliriknya, takut kalau-kalau gadis itu menghilang begitu saja. Sesampainya di apartemen, Arga memberikan handuk pada Hina dan menyuruhnya duduk di sofa. Gadis itu tampak ragu-ragu sebelum akhirnya duduk, tangannya menggenggam erat ujung gaunnya yang basah. "Kamu benar-benar tidak ingat apa pun?" tanya Arga sambil menuangkan teh hangat. Hina menerima cangkir itu dengan kedua tangan. "Aku hanya... merasa aneh. Aku ingat namaku. Aku ingat cahaya terang, lalu tiba-tiba aku sudah di tempat ini." Arga menghela napas. "Mungkin kau mengalami semacam penyakit linglung." Hina diam, menatap teh dalam cangkirnya sambil memasang wajah cemberut dan tidak percaya. Hening mengisi ruangan. Arga memperhatikan gadis itu. Ada sesuatu yang menarik darinya. Wajahnya begitu halus, nyaris seperti porselen. Matanya memiliki sorot yang dalam, misterius, seolah menyimpan rahasia yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ada sesuatu tentang Hina yang membuatnya sulit untuk berpaling. Dia hampir tidak percaya ada gadis seperti itu di zaman ini. Malam semakin larut. Arga menuntunnya menuju kamar tidurnya, kamar di apartemen ini hanya ada satu dan dia membiarkan Hina untuk tidur disana. memberikan selimut untuk Hina. "Apa tidak masalah jika aku tidur disini?" Tanya Hina kepada Arga. "Kau juga tidur disini, di ruang tamu dingin." "Ti... Tidak tidak, aku tidak tidur disini-aku akan tidur di sofa ruang tamu, tenang saja aku punya 2 selimut." Arga menjawab dengan nada tegas. Lagian orang mana yang akan tidur sekamar dengan gadis yang baru saja ia temui, aku bukan orang yang seperti itu. "Apa tidak masalah jika aku yang tidur disini?" Hina bertanya dengan lemah lembut, ia baru saja kedinginan karena hujan. "Tidak apa-apa, aku sudah terbiasa dengan itu. Tenangkan saja dirimu, jangan sampai kau sakit."Dengan penuh rasa ingin tahu dan sedikit ketakutan, mereka kembali menelusuri lembar demi lembar buku itu, berharap menemukan jawaban atas misteri yang kini mengikat mereka berdua. Setelah beberapa lembar, mereka menemukan sebuah sketsa yang menggambarkan seorang pria dan wanita berdiri di tepi sungai dengan pemandangan kastil di belakang mereka. Di bawah sketsa itu terdapat tulisan: "Di bawah bulan purnama, sumpah itu terukir. Hanya mereka yang mengingat akan menemukan jalan pulang." "Demi langit yang menyaksikan dan bumi yang menjadi saksi, aku, Julian Astrea, berjanji sebagai pangeran yang tak akan mengingkari kata-kataku. Aku bersumpah dengan segenap jiwa dan raga, dengan darah yang mengalir dalam nadiku, bahwa cintaku padamu adalah keabadian yang tak tergoyahkan. Aku akan melindungi, mencintai, dan berjuang, bahkan jika takdir mencoba memisahkan kita, bahkan jika dunia menentang keberadaan kita. Aku bukanlah pria sempurna, namun hatiku telah memilihmu, dan tidak ada yang da
Pustakawan itu mengangguk pelan, lalu berbalik menuju rak tinggi di sudut ruangan. Ia mengulurkan tangannya yang keriput, menarik satu buku tua bersampul kulit dari sela-sela buku lain yang tertata rapi. Debu berhamburan saat ia meletakkannya di meja. "Buku ini mencatat berbagai peristiwa yang sulit dijelaskan di kota ini. Mungkin kalian akan menemukan jawaban di dalamnya." Arga membuka buku itu dengan hati-hati. Tulisan tangan yang rapi namun memudar memenuhi halaman pertama: Pada tahun 1874, 2 orang yang merupakan laki laki dan perempuan muncul secara misterius di tengah kota. Ia mengenakan pakaian asing dan berbicara tentang masa depan yang belum pernah didengar siapa pun. Beberapa minggu kemudian, ia menghilang tanpa jejak... Hina menggenggam lengan Arga erat. Ini persis seperti apa yang mereka alami, tapi dalam pandangan masyarakat kuno. Arga menoleh dengan mata melebar. "Apa maksudnya semua ini? Apa mungkin kita... terhubung dengannya?" Pustakawan tua itu menutup buku
Semakin lama bersama Hina, Arga mulai mengalami kejadian yang tidak bisa dijelaskan. Bayangan dunia yang lain muncul dan menghilang begitu saja, seolah batas antara masa kini dan masa lalu semakin menipis. Saat mereka berjalan bersama di sebuah jalan setapak yang dipenuhi keramaian kota, tiba-tiba, jalanan di bawah kaki mereka berubah. Batu-batu besar menggantikan aspal yang sebelumnya ada. Kereta kuda melintas, orang-orang mengenakan pakaian dari abad ke-19. Arga terperangah, tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa, semuanya kembali seperti semula. Hina menggenggam lengannya erat. "Kamu lihat itu juga?" Hina bertanya dengan suara bergetar. Arga mengangguk, jantungnya berdetak kencang. "Apa yang baru saja terjadi?" Hina menggeleng, wajahnya menunjukkan ketakutan yang sama. "Aku juga tidak tahu... tapi ini bukan pertama kalinya." Suatu malam, Arga terbangun dengan tubuh basah oleh keringat dingin. Ia mendapati dirinya berada di sebuah kamar tua dengan perabotan kayu antik, cahay
Setelah keluar dari kafe, Arga dan Hina berjalan menyusuri trotoar kota yang mulai diterangi lampu-lampu jalan. Angin sore berembus lembut, menggoyangkan kelopak lili putih yang masih digenggam Hina. Hina tampak menikmati suasana sekitar. Dia berhenti sejenak, memperhatikan mobil-mobil yang melintas dengan penuh rasa ingin tahu. "Kau bilang ini disebut mobil?" tanyanya sambil menunjuk kendaraan yang lewat. Arga mengangguk. "Ya, kendaraan yang digunakan orang-orang untuk bepergian dengan cepat." Hina menyipitkan mata, lalu menghela napas. "Begitu banyak hal yang tidak kumengerti... Dunia ini terasa sangat asing, tapi anehnya, aku tidak merasa takut." Arga menoleh padanya. "Mungkin karena kau bukan hanya sekadar tersesat. Mungkin... ada sesuatu yang menghubungkanmu dengan tempat ini." Hina menggigit bibirnya. "Aku ingin mengingat, Arga. Aku benar-benar ingin mengingat segalanya. Tapi, setiap kali aku mencoba, rasanya seperti ada dinding tak terlihat yang menghalangi." Arga t
Arga: "Menurutku... mimpi itu bukan soal berhasil atau tidak. Yang penting adalah kita mencoba dan berusaha. Kalau gagal, setidaknya kita tahu sudah berusaha." Hina: tersenyum tipis "Jadi, mimpi apa yang ingin kamu coba wujudkan, Arga?" Arga: menatap lurus ke depan "Aku ingin membangun sesuatu yang bisa bertahan lama. Mungkin rumah, mungkin gedung... atau sesuatu yang lebih dari sekadar bangunan. Aku ingin meninggalkan sesuatu yang bisa diingat." Hina menoleh ke Arga dengan tatapan penuh perhatian. Angin sepoi-sepoi membuat helaian rambutnya sedikit berantakan, tapi ia tidak peduli. Hina: "Itu terdengar seperti mimpi yang indah." Arga: tersenyum "Kalau kamu sendiri? Apa mimpimu?" Hina: tertawa kecil "Aku?" lalu menatap lurus ke depan "Aku ingin hidup bebas. Tidak terikat oleh apa pun. Aku ingin bisa pergi ke mana saja, melihat dunia, dan merasakan setiap momen tanpa harus takut akan masa depan." Arga memperhatikan ekspresi Hina yang tampak serius. Ada sesuatu di matanya
Pria tua itu memperhatikannya dengan seksama, lalu tersenyum tipis. "Kadang, beberapa benda memang membawa kenangan dari masa lalu. Jika kau merasa ada sesuatu dengan cermin ini, mungkin ada kisah yang menunggumu untuk mengungkapnya." Arga memasang wajah curiga pada pria tua itu, seperti menyembunyikan sesuatu, dia dari tadi memasang senyum serius dan selalu memperhatikan Arga dan Hina, mengabaikan pengunjung yang lain. Arga menatap Hina dengan cemas. "Kau mau pergi dari sini?" Hina masih menatap cermin itu, lalu akhirnya mengangguk. "Ya, aku rasa itu ide yang baik." Saat Arga dan Hina akan keluar, pria tua itu memegang pundak Arga dan menghentikannya. "Seorang pangeran akan terus mencari sang putri dan menepati janjinya." Seketika Arga menjadi cemas, melepaskan tangan pria tua itu dan berlari menyusul Hina. Saat mereka melangkah keluar dari toko, Arga menyadari sesuatu sejak mereka masuk ke toko itu, udara di sekeliling mereka terasa lebih dingin, dan ketika mereka keluar, ra