Home / Fantasi / TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR / Bab 1: Kamu percaya padaku dan aku percaya padamu.

Share

Bab 1: Kamu percaya padaku dan aku percaya padamu.

Author: SURGAVERSE
last update Last Updated: 2025-05-08 11:34:58

Hujan deras mengguyur kota. Di antara lampu-lampu jalan yang temaram, Arga Heaven, seorang mahasiswa pendidikan sejarah, berlari menerobos derasnya hujan. Dia baru saja pulang dari pekerjaannya setelah lembur bekerja. Jaketnya sudah basah kuyup, dan sepatu yang dikenakannya memercikkan air setiap kali menapak di aspal.

Namun, langkahnya terhenti ketika melihat seorang gadis berdiri di bawah lampu jalan yang berkedip-kedip.

Dia tampak kebingungan, berdiri diam menghadap kearah lampu, mengenakan gaun putih panjang dengan renda klasik, mirip pakaian dari abad ke-19. Kulitnya pucat, rambut panjangnya basah, dan matanya yang abu-abu terlihat kosong.

Arga ragu. Pemandangan itu terlalu aneh. Seorang gadis berpakaian seperti itu, berdiri sendirian di tengah derasnya hujan? Ia mengusap wajahnya yang basah, memastikan bahwa ini bukan ilusi.

"Kau baik-baik saja?" tanyanya, mendekati gadis itu.

Gadis itu sedikit tersentak, matanya bergerak menatapnya dengan penuh kebingungan. Bibirnya bergetar seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi tak ada suara yang keluar.

"Kau kehujanan, kau bisa sakit kalau terus di sini," lanjut Arga, suaranya lebih pelan, mencoba menenangkan gadis itu. "Apa kau tersesat? Butuh bantuan?"

Gadis itu masih diam. Hanya suara rintik hujan yang menemani mereka. Arga memperhatikan wajahnya lebih seksama, terlihat seperti seseorang yang baru saja terbangun dari mimpi panjang dan mendapati dirinya di tempat yang asing.

"Apa yang sedang kau lakukan?" tanya Arga lagi, mencoba membuatnya berbicara.

Gadis itu menunduk sesaat, lalu mengangkat wajahnya perlahan.

"Aku tidak tau apa yang kau bicarakan."

Tunggu, ada yang janggal. Itu bukanlah bahasa modern negara ini, itu adalah bahasa kuno abad ke 19. Arga mengetahuinya dan mempelajarinya di buku sejarah negara ini.

Arga berusaha untuk menggunakan bahasa kuno tersebut dan mengulangi kalimatnya. "Apa yang sedang kamu lakukan."

Gadis itu menangis terharu, akhirnya dia menemukan orang yang bisa memahaminya. "Aku... Aku tidak tahu aku di mana..."

Setelah melihat wajah gadis itu dengan jelas dan mendengar suaranya, hati Arga seketika berguncang, jantungnya berdegup kencang dan meneteskan sedikit air mata, Arga tidak tau apa yang terjadi padanya dan ia langsung mengusap air mata itu.

Terlepas dari itu Arga menelan ludah. Ada sesuatu yang janggal dari gadis ini. Pakaian, ekspresi, dan cara bicaranya seolah-olah dia berasal dari masa yang berbeda.

Arga mengernyit. Ia menatap gadis itu dengan lebih seksama. Gaunnya tampak tidak biasa, seperti berasal dari zaman yang berbeda. Hujan terus mengguyur, membuat mereka berdua semakin basah kuyup.

"Kau tinggal di dekat sini?" Arga mencoba lagi.

Gadis itu menggeleng pelan. "Aku... tidak ingat. Aku hanya tiba-tiba berada di sini."

Hati Arga berdebar. Ini semakin aneh. Seorang gadis dengan pakaian gaun kuno, berdiri di tengah hujan, tanpa tahu di mana ia berada atau dari mana ia berasal. Apakah ini hanya seseorang yang sedang melakukan cosplay? Atau sesuatu yang lebih misterius? Tidak mungkin hanya sekadar cosplay.

Arga menatap sekitar, mencari-cari kalau ada seseorang yang mungkin bersama gadis itu. Namun, jalanan kosong. Tak ada kendaraan yang melintas, dan hanya suara hujan yang terdengar oleh mereka.

"Baiklah, kau tidak bisa terus di sini kehujanan," ujar Arga akhirnya. "Ayo, kita cari tempat berteduh dulu."

Gadis itu menatapnya dengan ekspresi ragu, tapi pada akhirnya, ia mengangguk pelan. Arga pun membuka jaketnya dan menutupi kepala gadis itu sebelum membimbingnya menuju tempat yang lebih aman.

Mereka berjalan di sepanjang jalan trotoar, menuju sebuah halte yang kosong. Gadis itu duduk di bangku kayu, sementara Arga berdiri di sampingnya dan memberinya lap untuk membersihkan wajahnya yang telah basah. Ia masih bingung dengan situasi ini.

"Apa kau ingat sesuatu? Siapa namamu?" tanya Arga pelan.

Gadis itu menggigit bibirnya, lalu menggeleng pelan. "Aku... Aku tidak bisa mengingat apa-apa. Namaku... Hina."

Arga mengangguk pelan. "Namaku Arga." Setidaknya kau ingat namamu, itu sebuah permulaan.

Hujan semakin deras. Karena halte yang kami tempati kecil, air dari hujan berhasil menerobos dan membasahi tubuh kami. Arga ragu-ragu, tetapi dia tidak bisa membiarkan gadis ini tetap di luar dalam kondisi seperti ini.

"Kamu tinggal di mana?"

Hina menggeleng. "Aku tidak ingat..."

Arga semakin bingung. Gadis ini tersesat? Atau ada sesuatu yang lebih dari sekadar tersesat?

Dengan sedikit keraguan, dia berkata, "Kalau begitu... ikut aku saja. Setidaknya sampai hujan reda."

Hina menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk pelan. Arga membiarkan Jaketnya dipakai oleh gadis itu agar ia tidak sakit karena terlalu lama terkena hujan.

---

Mereka berjalan melewati gang-gang kota menuju apartemen Arga. Setiap langkah kaki yang diambil gadis itu terasa begitu ringan, seolah dia tidak sepenuhnya nyata. Arga bahkan sesekali meliriknya, takut kalau-kalau gadis itu menghilang begitu saja.

Sesampainya di apartemen, Arga memberikan handuk pada Hina dan menyuruhnya duduk di sofa. Gadis itu tampak ragu-ragu sebelum akhirnya duduk, tangannya menggenggam erat ujung gaunnya yang basah.

"Kamu benar-benar tidak ingat apa pun?" tanya Arga sambil menuangkan teh hangat.

Hina menerima cangkir itu dengan kedua tangan. "Aku hanya... merasa aneh. Aku ingat namaku. Aku ingat cahaya terang, lalu tiba-tiba aku sudah di tempat ini."

Arga menghela napas. "Mungkin kau mengalami semacam penyakit linglung."

Hina diam, menatap teh dalam cangkirnya sambil memasang wajah cemberut dan tidak percaya. Hening mengisi ruangan.

Arga memperhatikan gadis itu. Ada sesuatu yang menarik darinya. Wajahnya begitu halus, nyaris seperti porselen. Matanya memiliki sorot yang dalam, misterius, seolah menyimpan rahasia yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ada sesuatu tentang Hina yang membuatnya sulit untuk berpaling. Dia hampir tidak percaya ada gadis seperti itu di zaman ini.

Malam semakin larut. Arga menuntunnya menuju kamar tidurnya, kamar di apartemen ini hanya ada satu dan dia membiarkan Hina untuk tidur disana. memberikan selimut untuk Hina.

"Apa tidak masalah jika aku tidur disini?" Tanya Hina kepada Arga. "Kau juga tidur disini, di ruang tamu dingin."

"Ti... Tidak tidak, aku tidak tidur disini-aku akan tidur di sofa ruang tamu, tenang saja aku punya 2 selimut." Arga menjawab dengan nada tegas. Lagian orang mana yang akan tidur sekamar dengan gadis yang baru saja ia temui, aku bukan orang yang seperti itu.

"Apa tidak masalah jika aku yang tidur disini?" Hina bertanya dengan lemah lembut, ia baru saja kedinginan karena hujan.

"Tidak apa-apa, aku sudah terbiasa dengan itu. Tenangkan saja dirimu, jangan sampai kau sakit."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR    Bab 72: Akhir dari sebuah prolog.

    Udara malam itu terasa aneh—seperti ada sesuatu yang menekan dari langit. Langit di luar jendela rumah sakit berwarna abu-abu kebiruan, dan cahaya bulan yang seharusnya menenangkan kini terasa dingin dan menyakitkan di kulit. Lampu di lorong-lorong padam sebagian, hanya menyisakan kelap-kelip kecil dari monitor medis yang masih menyala di ruang rawat. Arga membuka matanya perlahan. Pandangannya buram. Tubuhnya terasa berat, terutama kaki kirinya. Ia mencoba bergerak sedikit—rasa sakit langsung menjalar dari pergelangan hingga ke tulang betis, seperti retakan kecil yang membara. Desahan keluar dari bibirnya. Ia memejamkan mata, menahan sakit. Dalam remang, suara dentuman keras terdengar di atasnya. Suara itu sangat keras hingga membuat telinganya sakit. Arga menoleh perlahan. Di kursi dekat ranjang, Sylvia tertidur dengan kepala bersandar di sisi tempat tidur. Rambutnya berantakan, dan di tangannya masih tergenggam erat selembar kain kecil—handuk dingin yang sejak sore tadi

  • TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR    Bab 71: Dibawah langit dan Flamboyan.

    Udara pagi itu terasa ringan, tapi entah mengapa dadanya begitu berat. Sinar matahari jam sembilan menembus tirai kamar kosnya, jatuh di atas meja tempat buku-buku berserakan. Beberapa halaman masih terbuka, sebagian lainnya terlipat karena terburu-buru. Arga menatapnya sebentar — catatan tentang “ramalan Evernight”, tulisan yang semalam sempat kupelajari sampai larut. Tapi bukan buku itu yang membebaniku hari ini. Ada hal lain. Arga menarik napas dalam, lalu berdiri perlahan. Di kaca jendela, wajahnya tampak lelah. Mata sedikit merah karena kurang tidur, tapi tekad di dalamnya masih sama: aku harus menemukan petunjuk tentang Hina — apapun yang terjadi. Arga menggenggam jaketnya, lalu keluar. Tujuannya pagi itu hanya satu: menemui Sylvia dan melanjutkan pencarian petunjuk tentang Hina. --- Rumah Sylvia terletak di ujung jalan yang dipenuhi pohon ketapang. Arga sudah hafal setiap tikungan di kawasan itu — mereka sudah sering bertemu karena urusan mencari petunjuk tentang

  • TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR    Bab 70.3: Hendrickson.

    Cermin besar yang kubawa masih bergetar pelan di tanganku, permukaannya memantulkan bayangan wajahku yang kusam. Tapi di balik pantulan itu… sesekali aku melihat sesuatu. Kilatan cahaya, atau mungkin… wajah Putri Hina. Samar, seolah terperangkap di sisi lain kaca. “Yang Mulia Putri… Anda di sana?” Tak ada jawaban. Hanya riak lembut di permukaan cermin. Aku menggigit bibir, menahan emosi yang hampir meledak. Aku telah kehilangan sang pangeran, dan kini sang putri pun terseret oleh kekuatan yang tak bisa kupahami. Namun satu hal pasti—aku masih hidup, dan mungkin itu berarti sesuatu. Mungkin… takdir belum selesai denganku. Kota itu kulihat dari kejauhan—bangunan-bangunan menjulang dengan atap aneh, jalanan dipenuhi kendaraan besi bergerak sendiri, dan orang-orang berpakaian aneh menatapku seolah aku bagian dari sandiwara. Setiap langkahku menarik tatapan. “Siapa orang itu?” “Pakaian cosplay ya?” “Kenapa bawa kaca segede itu?!” Aku tak mengerti apa yang mereka katakan. Bahasa

  • TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR    Bab 70.2: Hendrickson.

    “Biar kuceritakan.” Hendrickson melangkah maju dan berkata dengan nada kecewa. ---------------------------------------------- (dalam point of view dari Hendrickson) Udara menusuk kulit. Dari jendela besar di ujung koridor, aku melihat api membakar atap rumah-rumah rakyat di bawah sana. Langit seolah ikut menangis—merah, bergetar, dan dipenuhi suara lonceng kematian dari menara kuil. “Yang Mulia…” Suaraku nyaris tak terdengar ketika aku berlari menembus aula menuju kamar utama. Pintu kamar terbuka lebar. Cahaya lilin di dalamnya bergoyang liar, dan di sana—di atas ranjang dengan seprai putih yang kini berlumuran darah—Pangeran Julian terbaring tanpa suara. Aku berhenti. Kedua kakiku seolah kehilangan kekuatan. Udara yang keluar dari paru-paruku terasa berat, seolah aku menelan seluruh kesedihan dunia dalam satu tarikan napas. “Tidak… Yang Mulia…” Tubuhnya tak lagi hangat. Darah di perutnya masih menetes, mengalir di antara lipatan kain yang dulu ia kenakan saat

  • TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR    Bab 70: Hendrickson.

    Perjalanan menuju alamat yang tertulis di kertas itu. Arga berjalan perlahan, membaca kembali alamat itu. Langkahnya membawanya ke sebuah toko cermin yang waktu itu pernah ia kunjungi bersama hina. Toko itu tampak tua, dengan cat yang mulai redup dan lampu yang terus berkedip. Jantungnya berdetak lebih kencang. Ia ragu sejenak sebelum akhirnya mengangkat tangannya dan mengetuk pintu. Tok. Tok. Tok. Tidak ada jawaban. Arga menunggu beberapa saat sebelum mengetuk lagi, kali ini lebih keras. Hatinya semakin gelisah, takut bahwa tidak ada siapa-siapa di dalam. Namun, sebelum ia bisa mengetuk untuk ketiga kalinya, pintu itu berderit terbuka. Seorang pria berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan mata tajam. Wajahnya tegas dan sorot matanya menyimpan sesuatu yang membuat Arga merasa seakan pria itu tahu sesuatu yang ia cari. "Kau akhirnya datang," suara pria itu dalam, nyaris seperti bisikan yang terbawa angin laut. Arga terkejut. "Anda... siapa?" Pria itu tidak langsung men

  • TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR    Bab 69: Titik balik sebuah kebencian.

    Udara di perpustakaan itu seolah berhenti berputar ketika Arga menatap buku tua yang kini terbuka di depannya. Cahaya dari lentera gantung bergoyang pelan, memantulkan bayangan di wajahnya yang pucat. Tangannya gemetar, tapi matanya tidak berpaling sedikit pun. Ia tahu — jika ia berhenti sekarang, semua yang sudah terjadi, semua yang sudah dikorbankan Hina, akan sia-sia. Arga menarik napas panjang. Dalam hatinya, sesuatu bergetar. Rasa takut, sedih, dan penyesalan berpadu jadi satu… tapi di tengah badai itu, ada satu hal yang tumbuh perlahan—tekad. “Kalau memang ini tentang kami,” gumamnya pelan, “aku harus melihatnya sampai akhir.” Penjaga perpustakaan menatapnya dengan sorot mata yang berat. “Anak muda… pikirkan baik-baik. Takdir tidak selalu bisa diterima tanpa harga. Kadang, mengetahui terlalu banyak justru membunuh bagian dari dirimu yang masih hidup.” Arga menatap balik, dan untuk pertama kalinya malam itu, ia tersenyum. “Kalau bagian dari diriku harus mati de

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status