Tak lama kemudian, Arga membawanya ke luar untuk mengenalkan lebih banyak hal tentang dunia modern. Di sebuah bangunan kantor, Hina berteriak sambil memegang tangan kanan Arga ketika melihat pintu otomatis terbuka sendiri.
"Pintunya bisa bergerak sendiri?!" Dia menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. Arga menjelaskan. "Itu pintu otomatis. Sensor akan mendeteksi ketika seseorang mendekat, jadi pintunya terbuka sendiri." Hina menyentuh bagian samping pintu dengan hati-hati, mencoba mencari "sihir" yang membuatnya bisa bergerak. Seorang satpam yang menjaga disampingnya hanya bisa tertawa kecil karena melihat tingkah Hina. Kemudian, saat mereka melewati bagian minuman dingin, Hina meraih sekaleng soda dan menatapnya penuh rasa penasaran. "Benda ini apa?" "Itu soda. Minuman bersoda," jawab Arga. Tanpa pikir panjang, Hina membuka kalengnya dan langsung menyesap. Matanya membesar saat sensasi karbonasi menyentuh lidahnya. "Gelembungnya menyerang lidahku!" katanya dengan ekspresi terkejut. Arga tidak bisa menahan tawanya. "Kau akan terbiasa." Penjual minuman tersenyum kecil "Kalian ini, sepasang kekasih yang lucu." "Eh, kami hanya dua orang yang baru saja berteman beberapa jam yang lalu." Jawab Arga. "Ahhh... Padahal kalian cocok loh, iya kan Bu?" Pria itu berbicara kepada istrinya. "Kau benar yah, mereka adalah pasangan pemuda yang lucu, aku jadi ingat masa muda." Sang istri tertawa kecil karena godaannya sendiri. Saat mereka kembali ke apartemen, Hina mencoba membantu di dapur. Tapi, saat pertama kali menggunakan kompor listrik, dia hampir menjerit karena mengira ada "api tak terlihat" yang muncul di bawah panci. "Bagaimana bisa tidak ada api, tapi airnya mendidih?!" protesnya. Arga hanya menghela napas dan mencoba menjelaskan teknologi induksi kepadanya, meski Hina masih terlihat bingung. Meskipun banyak kejadian aneh dan lucu, Arga menyadari bahwa Hina juga mulai berubah. Dia tidak lagi sekadar gadis misterius yang tersesat, tetapi seseorang yang perlahan mulai menemukan tempatnya di dunia baru ini. Namun, meski dia mulai terbiasa dengan dunia modern, ingatan tentang masa lalunya tetap menjadi misteri. Setiap kali Hina mencoba mengingat sesuatu, kepalanya terasa berat, seolah ada dinding tak kasat mata yang menghalanginya. Suatu malam, Arga mendapati Hina duduk di dekat jendela, menatap langit dengan tatapan kosong. "Apa yang kau pikirkan?" tanya Arga sambil duduk di sampingnya. Hina terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku mulai menyukai dunia ini... Tapi aku merasa seakan-akan aku tidak benar-benar menjadi bagian darinya. Aku merasa seperti bayangan yang tersesat." Arga tidak tahu harus berkata apa. Dia ingin menenangkannya, tapi bahkan dia sendiri belum memahami situasi ini sepenuhnya. "Kita akan menemukan jawabannya," kata Arga akhirnya. "Apa pun yang terjadi, kau tidak sendirian." Hina menatapnya dengan mata berkaca-kaca sebelum tersenyum tipis. "Terima kasih, Arga." Tak terduga, secara tiba-tiba degup kencang dan menyakitkan terasa di dada Arga. Saat ia melihat Hina, tiba-tiba Arga melihat seorang gadis yang wajahnya ditutupi gelap, berdiri disampingnya sambil melihat langit yang dipenuhi bintang, sama persis dengan apa yang Hina lakukan saat itu. Beberapa saat kemudian kembali normal. Arga terjatuh dan Hina menangkap tubuhnya yang lemas lesu dengan wajah yang kini pucat. "Arga, ada apa?" Tanya Hina dengan nada khawatir, Arga tidak menjawab apa-apa, hanya berdiri kaku sambil tubuhnya ditahan oleh hina. "Sepertinya kamu kelelahan. Maaf ya, sepertinya kamu terlalu memaksakan diri karena diriku." Hina menuntun Arga untuk kembali ke kamarnya. Walaupun keseharian mereka tampak mulai normal, kejadian aneh tetap menghantui. Setiap kali Hina berada di dekat benda-benda tua aneh, dia sering merasa pusing atau mendengar suara-suara yang tidak bisa dijelaskan. Seperti ada bisikan yang berasal dari masa lalu yang ingin menjangkaunya. Begitupula Arga yang mendapatkan perasaan dan bayangan aneh yang sering mengganggunya. Suatu hari, saat Arga dan Hina berjalan melewati distrik kota tua, mereka melewati sebuah toko barang antik. Hina tiba-tiba berhenti di depan etalase toko cermin, menatap sebuah cermin besar dengan bingkai emas yang berukir indah dari depan toko. "Cermin itu..." bisiknya. Arga mendekat. "Apa ada yang aneh?" Hina menggeleng, tapi tetap tidak mengalihkan pandangannya dari pantulan cermin. "Aku merasa pernah melihatnya sebelumnya." Hina melirik sang pemilik toko yang sedang didepan toko, seorang pria tinggi yang memperhatikan mereka dengan senyum ramah. "Kalian tertarik dengan cermin itu? Ini berasal dari abad ke-19, dulunya milik seorang bangsawan." Hina menegang mendengar ucapan itu. "Bangsawan...?" gumamnya. Arga bisa melihat tangannya sedikit gemetar. Ada sesuatu tentang cermin itu yang mengganggunya. "Kau ingin masuk dan melihat lebih dekat?" tanya Arga. Hina terdiam sejenak sebelum mengangguk perlahan. "Ya... Aku ingin tahu lebih banyak." Tanpa mereka sadari, keputusan kecil itu akan membawa mereka semakin dalam ke misteri yang menyelimuti masa lalu Hina. --- Arga dan Hina melangkah masuk ke dalam toko barang antik yang berdebu. Aroma kayu tua dan buku lama menyeruak, menciptakan suasana yang terasa begitu berbeda dari dunia luar yang penuh dengan lampu neon dan suara kendaraan. Hina tetap menatap cermin besar itu, seolah tertarik oleh sesuatu yang tidak bisa dia jelaskan. Pemilik toko, pria tua berkacamata dengan senyum ramah (tapi agak sedikit mencurigakan karena ia terus mengeluarkan senyum serius di depan Arga dan Hina), ia melangkah mendekat. "Kalian tertarik dengan cermin ini? Ini adalah salah satu barang paling unik yang ada di sini. Konon, cermin ini berasal dari sebuah manor tua yang kini sudah tidak ada lagi." Hina menelan ludah. "Manor tua?" Pria tua itu mengangguk. "Dulunya milik keluarga bangsawan dari abad ke-19. Ada cerita bahwa seorang wanita bangsawan pernah memiliki cermin ini... tetapi manor itu terbakar dalam kebakaran besar, dan hanya beberapa barang yang selamat. Cermin ini salah satunya." Hina menyentuh permukaan cermin dengan lembut, ujung jarinya mengelus ukiran di bingkai emasnya. Saat dia menyentuhnya, kilasan bayangan melintas di kepalanya-suara tawa lembut, cahaya lilin yang berpendar, dan sepasang mata yang menatapnya dengan penuh kerinduan. Dia tersentak mundur, napasnya memburu. "Hina, kau baik-baik saja?" Arga segera menghampiri. Hina mengangguk, meski wajahnya masih pucat. "Aku... aku tidak tahu. Tapi rasanya cermin ini mengenaliku."Dengan penuh rasa ingin tahu dan sedikit ketakutan, mereka kembali menelusuri lembar demi lembar buku itu, berharap menemukan jawaban atas misteri yang kini mengikat mereka berdua. Setelah beberapa lembar, mereka menemukan sebuah sketsa yang menggambarkan seorang pria dan wanita berdiri di tepi sungai dengan pemandangan kastil di belakang mereka. Di bawah sketsa itu terdapat tulisan: "Di bawah bulan purnama, sumpah itu terukir. Hanya mereka yang mengingat akan menemukan jalan pulang." "Demi langit yang menyaksikan dan bumi yang menjadi saksi, aku, Julian Astrea, berjanji sebagai pangeran yang tak akan mengingkari kata-kataku. Aku bersumpah dengan segenap jiwa dan raga, dengan darah yang mengalir dalam nadiku, bahwa cintaku padamu adalah keabadian yang tak tergoyahkan. Aku akan melindungi, mencintai, dan berjuang, bahkan jika takdir mencoba memisahkan kita, bahkan jika dunia menentang keberadaan kita. Aku bukanlah pria sempurna, namun hatiku telah memilihmu, dan tidak ada yang da
Pustakawan itu mengangguk pelan, lalu berbalik menuju rak tinggi di sudut ruangan. Ia mengulurkan tangannya yang keriput, menarik satu buku tua bersampul kulit dari sela-sela buku lain yang tertata rapi. Debu berhamburan saat ia meletakkannya di meja. "Buku ini mencatat berbagai peristiwa yang sulit dijelaskan di kota ini. Mungkin kalian akan menemukan jawaban di dalamnya." Arga membuka buku itu dengan hati-hati. Tulisan tangan yang rapi namun memudar memenuhi halaman pertama: Pada tahun 1874, 2 orang yang merupakan laki laki dan perempuan muncul secara misterius di tengah kota. Ia mengenakan pakaian asing dan berbicara tentang masa depan yang belum pernah didengar siapa pun. Beberapa minggu kemudian, ia menghilang tanpa jejak... Hina menggenggam lengan Arga erat. Ini persis seperti apa yang mereka alami, tapi dalam pandangan masyarakat kuno. Arga menoleh dengan mata melebar. "Apa maksudnya semua ini? Apa mungkin kita... terhubung dengannya?" Pustakawan tua itu menutup buku
Semakin lama bersama Hina, Arga mulai mengalami kejadian yang tidak bisa dijelaskan. Bayangan dunia yang lain muncul dan menghilang begitu saja, seolah batas antara masa kini dan masa lalu semakin menipis. Saat mereka berjalan bersama di sebuah jalan setapak yang dipenuhi keramaian kota, tiba-tiba, jalanan di bawah kaki mereka berubah. Batu-batu besar menggantikan aspal yang sebelumnya ada. Kereta kuda melintas, orang-orang mengenakan pakaian dari abad ke-19. Arga terperangah, tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa, semuanya kembali seperti semula. Hina menggenggam lengannya erat. "Kamu lihat itu juga?" Hina bertanya dengan suara bergetar. Arga mengangguk, jantungnya berdetak kencang. "Apa yang baru saja terjadi?" Hina menggeleng, wajahnya menunjukkan ketakutan yang sama. "Aku juga tidak tahu... tapi ini bukan pertama kalinya." Suatu malam, Arga terbangun dengan tubuh basah oleh keringat dingin. Ia mendapati dirinya berada di sebuah kamar tua dengan perabotan kayu antik, cahay
Setelah keluar dari kafe, Arga dan Hina berjalan menyusuri trotoar kota yang mulai diterangi lampu-lampu jalan. Angin sore berembus lembut, menggoyangkan kelopak lili putih yang masih digenggam Hina. Hina tampak menikmati suasana sekitar. Dia berhenti sejenak, memperhatikan mobil-mobil yang melintas dengan penuh rasa ingin tahu. "Kau bilang ini disebut mobil?" tanyanya sambil menunjuk kendaraan yang lewat. Arga mengangguk. "Ya, kendaraan yang digunakan orang-orang untuk bepergian dengan cepat." Hina menyipitkan mata, lalu menghela napas. "Begitu banyak hal yang tidak kumengerti... Dunia ini terasa sangat asing, tapi anehnya, aku tidak merasa takut." Arga menoleh padanya. "Mungkin karena kau bukan hanya sekadar tersesat. Mungkin... ada sesuatu yang menghubungkanmu dengan tempat ini." Hina menggigit bibirnya. "Aku ingin mengingat, Arga. Aku benar-benar ingin mengingat segalanya. Tapi, setiap kali aku mencoba, rasanya seperti ada dinding tak terlihat yang menghalangi." Arga t
Arga: "Menurutku... mimpi itu bukan soal berhasil atau tidak. Yang penting adalah kita mencoba dan berusaha. Kalau gagal, setidaknya kita tahu sudah berusaha." Hina: tersenyum tipis "Jadi, mimpi apa yang ingin kamu coba wujudkan, Arga?" Arga: menatap lurus ke depan "Aku ingin membangun sesuatu yang bisa bertahan lama. Mungkin rumah, mungkin gedung... atau sesuatu yang lebih dari sekadar bangunan. Aku ingin meninggalkan sesuatu yang bisa diingat." Hina menoleh ke Arga dengan tatapan penuh perhatian. Angin sepoi-sepoi membuat helaian rambutnya sedikit berantakan, tapi ia tidak peduli. Hina: "Itu terdengar seperti mimpi yang indah." Arga: tersenyum "Kalau kamu sendiri? Apa mimpimu?" Hina: tertawa kecil "Aku?" lalu menatap lurus ke depan "Aku ingin hidup bebas. Tidak terikat oleh apa pun. Aku ingin bisa pergi ke mana saja, melihat dunia, dan merasakan setiap momen tanpa harus takut akan masa depan." Arga memperhatikan ekspresi Hina yang tampak serius. Ada sesuatu di matanya
Pria tua itu memperhatikannya dengan seksama, lalu tersenyum tipis. "Kadang, beberapa benda memang membawa kenangan dari masa lalu. Jika kau merasa ada sesuatu dengan cermin ini, mungkin ada kisah yang menunggumu untuk mengungkapnya." Arga memasang wajah curiga pada pria tua itu, seperti menyembunyikan sesuatu, dia dari tadi memasang senyum serius dan selalu memperhatikan Arga dan Hina, mengabaikan pengunjung yang lain. Arga menatap Hina dengan cemas. "Kau mau pergi dari sini?" Hina masih menatap cermin itu, lalu akhirnya mengangguk. "Ya, aku rasa itu ide yang baik." Saat Arga dan Hina akan keluar, pria tua itu memegang pundak Arga dan menghentikannya. "Seorang pangeran akan terus mencari sang putri dan menepati janjinya." Seketika Arga menjadi cemas, melepaskan tangan pria tua itu dan berlari menyusul Hina. Saat mereka melangkah keluar dari toko, Arga menyadari sesuatu sejak mereka masuk ke toko itu, udara di sekeliling mereka terasa lebih dingin, dan ketika mereka keluar, ra