Home / Fantasi / TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR / Bab 4: Dunia hanya sementara, tapi yang dialaminya kekal.

Share

Bab 4: Dunia hanya sementara, tapi yang dialaminya kekal.

Author: SURGAVERSE
last update Last Updated: 2025-08-06 12:11:49

Tak lama kemudian, Arga membawanya ke luar untuk mengenalkan lebih banyak hal tentang dunia modern. Di sebuah bangunan kantor, Hina berteriak sambil memegang tangan kanan Arga ketika melihat pintu otomatis terbuka sendiri.

"Pintunya bisa bergerak sendiri?!" Dia menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu.

Arga menjelaskan. "Itu pintu otomatis. Sensor akan mendeteksi ketika seseorang mendekat, jadi pintunya terbuka sendiri."

Hina menyentuh bagian samping pintu dengan hati-hati, mencoba mencari "sihir" yang membuatnya bisa bergerak. Seorang satpam yang menjaga disampingnya hanya bisa tertawa kecil karena melihat tingkah Hina.

Kemudian, saat mereka melewati bagian minuman dingin, Hina meraih sekaleng soda dan menatapnya penuh rasa penasaran. "Benda ini apa?"

"Itu soda. Minuman bersoda," jawab Arga.

Tanpa pikir panjang, Hina membuka kalengnya dan langsung menyesap. Matanya membesar saat sensasi karbonasi menyentuh lidahnya.

"Gelembungnya menyerang lidahku!" katanya dengan ekspresi terkejut.

Arga tidak bisa menahan tawanya. "Kau akan terbiasa."

Penjual minuman tersenyum kecil "Kalian ini, sepasang kekasih yang lucu."

"Eh, kami hanya dua orang yang baru saja berteman beberapa jam yang lalu." Jawab Arga.

"Ahhh... Padahal kalian cocok loh, iya kan Bu?" Pria itu berbicara kepada istrinya.

"Kau benar yah, mereka adalah pasangan pemuda yang lucu, aku jadi ingat masa muda." Sang istri tertawa kecil karena godaannya sendiri.

Saat mereka kembali ke apartemen, Hina mencoba membantu di dapur. Tapi, saat pertama kali menggunakan kompor listrik, dia hampir menjerit karena mengira ada "api tak terlihat" yang muncul di bawah panci.

"Bagaimana bisa tidak ada api, tapi airnya mendidih?!" protesnya.

Arga hanya menghela napas dan mencoba menjelaskan teknologi induksi kepadanya, meski Hina masih terlihat bingung.

Meskipun banyak kejadian aneh dan lucu, Arga menyadari bahwa Hina juga mulai berubah. Dia tidak lagi sekadar gadis misterius yang tersesat, tetapi seseorang yang perlahan mulai menemukan tempatnya di dunia baru ini.

Namun, meski dia mulai terbiasa dengan dunia modern, ingatan tentang masa lalunya tetap menjadi misteri. Setiap kali Hina mencoba mengingat sesuatu, kepalanya terasa berat, seolah ada dinding tak kasat mata yang menghalanginya.

Suatu malam, Arga mendapati Hina duduk di dekat jendela, menatap langit dengan tatapan kosong.

"Apa yang kau pikirkan?" tanya Arga sambil duduk di sampingnya.

Hina terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku mulai menyukai dunia ini... Tapi aku merasa seakan-akan aku tidak benar-benar menjadi bagian darinya. Aku merasa seperti bayangan yang tersesat."

Arga tidak tahu harus berkata apa. Dia ingin menenangkannya, tapi bahkan dia sendiri belum memahami situasi ini sepenuhnya.

"Kita akan menemukan jawabannya," kata Arga akhirnya. "Apa pun yang terjadi, kau tidak sendirian."

Hina menatapnya dengan mata berkaca-kaca sebelum tersenyum tipis. "Terima kasih, Arga."

Tak terduga, secara tiba-tiba degup kencang dan menyakitkan terasa di dada Arga. Saat ia melihat Hina, tiba-tiba Arga melihat seorang gadis yang wajahnya ditutupi gelap, berdiri disampingnya sambil melihat langit yang dipenuhi bintang, sama persis dengan apa yang Hina lakukan saat itu. Beberapa saat kemudian kembali normal.

Arga terjatuh dan Hina menangkap tubuhnya yang lemas lesu dengan wajah yang kini pucat. "Arga, ada apa?" Tanya Hina dengan nada khawatir, Arga tidak menjawab apa-apa, hanya berdiri kaku sambil tubuhnya ditahan oleh hina. "Sepertinya kamu kelelahan. Maaf ya, sepertinya kamu terlalu memaksakan diri karena diriku." Hina menuntun Arga untuk kembali ke kamarnya.

Walaupun keseharian mereka tampak mulai normal, kejadian aneh tetap menghantui. Setiap kali Hina berada di dekat benda-benda tua aneh, dia sering merasa pusing atau mendengar suara-suara yang tidak bisa dijelaskan. Seperti ada bisikan yang berasal dari masa lalu yang ingin menjangkaunya. Begitupula Arga yang mendapatkan perasaan dan bayangan aneh yang sering mengganggunya.

Suatu hari, saat Arga dan Hina berjalan melewati distrik kota tua, mereka melewati sebuah toko barang antik. Hina tiba-tiba berhenti di depan etalase toko cermin, menatap sebuah cermin besar dengan bingkai emas yang berukir indah dari depan toko.

"Cermin itu..." bisiknya.

Arga mendekat. "Apa ada yang aneh?"

Hina menggeleng, tapi tetap tidak mengalihkan pandangannya dari pantulan cermin. "Aku merasa pernah melihatnya sebelumnya."

Hina melirik sang pemilik toko yang sedang didepan toko, seorang pria tinggi yang memperhatikan mereka dengan senyum ramah. "Kalian tertarik dengan cermin itu? Ini berasal dari abad ke-19, dulunya milik seorang bangsawan."

Hina menegang mendengar ucapan itu.

"Bangsawan...?" gumamnya.

Arga bisa melihat tangannya sedikit gemetar. Ada sesuatu tentang cermin itu yang mengganggunya.

"Kau ingin masuk dan melihat lebih dekat?" tanya Arga.

Hina terdiam sejenak sebelum mengangguk perlahan. "Ya... Aku ingin tahu lebih banyak."

Tanpa mereka sadari, keputusan kecil itu akan membawa mereka semakin dalam ke misteri yang menyelimuti masa lalu Hina.

---

Arga dan Hina melangkah masuk ke dalam toko barang antik yang berdebu. Aroma kayu tua dan buku lama menyeruak, menciptakan suasana yang terasa begitu berbeda dari dunia luar yang penuh dengan lampu neon dan suara kendaraan. Hina tetap menatap cermin besar itu, seolah tertarik oleh sesuatu yang tidak bisa dia jelaskan.

Pemilik toko, pria tua berkacamata dengan senyum ramah (tapi agak sedikit mencurigakan karena ia terus mengeluarkan senyum serius di depan Arga dan Hina), ia melangkah mendekat. "Kalian tertarik dengan cermin ini? Ini adalah salah satu barang paling unik yang ada di sini. Konon, cermin ini berasal dari sebuah manor tua yang kini sudah tidak ada lagi."

Hina menelan ludah. "Manor tua?"

Pria tua itu mengangguk. "Dulunya milik keluarga bangsawan dari abad ke-19. Ada cerita bahwa seorang wanita bangsawan pernah memiliki cermin ini... tetapi manor itu terbakar dalam kebakaran besar, dan hanya beberapa barang yang selamat. Cermin ini salah satunya."

Hina menyentuh permukaan cermin dengan lembut, ujung jarinya mengelus ukiran di bingkai emasnya. Saat dia menyentuhnya, kilasan bayangan melintas di kepalanya-suara tawa lembut, cahaya lilin yang berpendar, dan sepasang mata yang menatapnya dengan penuh kerinduan.

Dia tersentak mundur, napasnya memburu.

"Hina, kau baik-baik saja?" Arga segera menghampiri.

Hina mengangguk, meski wajahnya masih pucat. "Aku... aku tidak tahu. Tapi rasanya cermin ini mengenaliku."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR    Bab 72: Akhir dari sebuah prolog.

    Udara malam itu terasa aneh—seperti ada sesuatu yang menekan dari langit. Langit di luar jendela rumah sakit berwarna abu-abu kebiruan, dan cahaya bulan yang seharusnya menenangkan kini terasa dingin dan menyakitkan di kulit. Lampu di lorong-lorong padam sebagian, hanya menyisakan kelap-kelip kecil dari monitor medis yang masih menyala di ruang rawat. Arga membuka matanya perlahan. Pandangannya buram. Tubuhnya terasa berat, terutama kaki kirinya. Ia mencoba bergerak sedikit—rasa sakit langsung menjalar dari pergelangan hingga ke tulang betis, seperti retakan kecil yang membara. Desahan keluar dari bibirnya. Ia memejamkan mata, menahan sakit. Dalam remang, suara dentuman keras terdengar di atasnya. Suara itu sangat keras hingga membuat telinganya sakit. Arga menoleh perlahan. Di kursi dekat ranjang, Sylvia tertidur dengan kepala bersandar di sisi tempat tidur. Rambutnya berantakan, dan di tangannya masih tergenggam erat selembar kain kecil—handuk dingin yang sejak sore tadi

  • TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR    Bab 71: Dibawah langit dan Flamboyan.

    Udara pagi itu terasa ringan, tapi entah mengapa dadanya begitu berat. Sinar matahari jam sembilan menembus tirai kamar kosnya, jatuh di atas meja tempat buku-buku berserakan. Beberapa halaman masih terbuka, sebagian lainnya terlipat karena terburu-buru. Arga menatapnya sebentar — catatan tentang “ramalan Evernight”, tulisan yang semalam sempat kupelajari sampai larut. Tapi bukan buku itu yang membebaniku hari ini. Ada hal lain. Arga menarik napas dalam, lalu berdiri perlahan. Di kaca jendela, wajahnya tampak lelah. Mata sedikit merah karena kurang tidur, tapi tekad di dalamnya masih sama: aku harus menemukan petunjuk tentang Hina — apapun yang terjadi. Arga menggenggam jaketnya, lalu keluar. Tujuannya pagi itu hanya satu: menemui Sylvia dan melanjutkan pencarian petunjuk tentang Hina. --- Rumah Sylvia terletak di ujung jalan yang dipenuhi pohon ketapang. Arga sudah hafal setiap tikungan di kawasan itu — mereka sudah sering bertemu karena urusan mencari petunjuk tentang

  • TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR    Bab 70.3: Hendrickson.

    Cermin besar yang kubawa masih bergetar pelan di tanganku, permukaannya memantulkan bayangan wajahku yang kusam. Tapi di balik pantulan itu… sesekali aku melihat sesuatu. Kilatan cahaya, atau mungkin… wajah Putri Hina. Samar, seolah terperangkap di sisi lain kaca. “Yang Mulia Putri… Anda di sana?” Tak ada jawaban. Hanya riak lembut di permukaan cermin. Aku menggigit bibir, menahan emosi yang hampir meledak. Aku telah kehilangan sang pangeran, dan kini sang putri pun terseret oleh kekuatan yang tak bisa kupahami. Namun satu hal pasti—aku masih hidup, dan mungkin itu berarti sesuatu. Mungkin… takdir belum selesai denganku. Kota itu kulihat dari kejauhan—bangunan-bangunan menjulang dengan atap aneh, jalanan dipenuhi kendaraan besi bergerak sendiri, dan orang-orang berpakaian aneh menatapku seolah aku bagian dari sandiwara. Setiap langkahku menarik tatapan. “Siapa orang itu?” “Pakaian cosplay ya?” “Kenapa bawa kaca segede itu?!” Aku tak mengerti apa yang mereka katakan. Bahasa

  • TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR    Bab 70.2: Hendrickson.

    “Biar kuceritakan.” Hendrickson melangkah maju dan berkata dengan nada kecewa. ---------------------------------------------- (dalam point of view dari Hendrickson) Udara menusuk kulit. Dari jendela besar di ujung koridor, aku melihat api membakar atap rumah-rumah rakyat di bawah sana. Langit seolah ikut menangis—merah, bergetar, dan dipenuhi suara lonceng kematian dari menara kuil. “Yang Mulia…” Suaraku nyaris tak terdengar ketika aku berlari menembus aula menuju kamar utama. Pintu kamar terbuka lebar. Cahaya lilin di dalamnya bergoyang liar, dan di sana—di atas ranjang dengan seprai putih yang kini berlumuran darah—Pangeran Julian terbaring tanpa suara. Aku berhenti. Kedua kakiku seolah kehilangan kekuatan. Udara yang keluar dari paru-paruku terasa berat, seolah aku menelan seluruh kesedihan dunia dalam satu tarikan napas. “Tidak… Yang Mulia…” Tubuhnya tak lagi hangat. Darah di perutnya masih menetes, mengalir di antara lipatan kain yang dulu ia kenakan saat

  • TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR    Bab 70: Hendrickson.

    Perjalanan menuju alamat yang tertulis di kertas itu. Arga berjalan perlahan, membaca kembali alamat itu. Langkahnya membawanya ke sebuah toko cermin yang waktu itu pernah ia kunjungi bersama hina. Toko itu tampak tua, dengan cat yang mulai redup dan lampu yang terus berkedip. Jantungnya berdetak lebih kencang. Ia ragu sejenak sebelum akhirnya mengangkat tangannya dan mengetuk pintu. Tok. Tok. Tok. Tidak ada jawaban. Arga menunggu beberapa saat sebelum mengetuk lagi, kali ini lebih keras. Hatinya semakin gelisah, takut bahwa tidak ada siapa-siapa di dalam. Namun, sebelum ia bisa mengetuk untuk ketiga kalinya, pintu itu berderit terbuka. Seorang pria berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan mata tajam. Wajahnya tegas dan sorot matanya menyimpan sesuatu yang membuat Arga merasa seakan pria itu tahu sesuatu yang ia cari. "Kau akhirnya datang," suara pria itu dalam, nyaris seperti bisikan yang terbawa angin laut. Arga terkejut. "Anda... siapa?" Pria itu tidak langsung men

  • TERLAHIR KEMBALI UNTUK MENGUBAH TAKDIR    Bab 69: Titik balik sebuah kebencian.

    Udara di perpustakaan itu seolah berhenti berputar ketika Arga menatap buku tua yang kini terbuka di depannya. Cahaya dari lentera gantung bergoyang pelan, memantulkan bayangan di wajahnya yang pucat. Tangannya gemetar, tapi matanya tidak berpaling sedikit pun. Ia tahu — jika ia berhenti sekarang, semua yang sudah terjadi, semua yang sudah dikorbankan Hina, akan sia-sia. Arga menarik napas panjang. Dalam hatinya, sesuatu bergetar. Rasa takut, sedih, dan penyesalan berpadu jadi satu… tapi di tengah badai itu, ada satu hal yang tumbuh perlahan—tekad. “Kalau memang ini tentang kami,” gumamnya pelan, “aku harus melihatnya sampai akhir.” Penjaga perpustakaan menatapnya dengan sorot mata yang berat. “Anak muda… pikirkan baik-baik. Takdir tidak selalu bisa diterima tanpa harga. Kadang, mengetahui terlalu banyak justru membunuh bagian dari dirimu yang masih hidup.” Arga menatap balik, dan untuk pertama kalinya malam itu, ia tersenyum. “Kalau bagian dari diriku harus mati de

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status