Melihat bagaimana usaha Mas Arfan menghentikan aksi istri siri-nya itu dan menjauhkan dariku, salahkah jika aku merasa senang? Setelah sebulan lebih aku dibuat menderita setiap hari dengan sikapnya demi dia, sekarang gantian perempuan itu yang tampak tersiksa karna Mas Arfan melindungiku. Salahkah aku merasa terhibur?
"Dasar perempuan gatal. Buka saja jilbab kamu itu. Mau jadi pelakor syar'i kamu, hah?!" Lihat, menuduh seenaknya. Aku tidak merasa menjadi perempuan seperti itu justru aku adalah korban. "Saskia, sudah! Malu dilihat orang." Mas Arfan sibuk menenangkan dan menahan tubuhnya yang terus berusaha untuk menyerangku. Aku tersenyum tipis menonton. Seperti itu kelakuan perempuan yang kamu bela-bela, Mas? Sampai menentang keluargamu. Tetap membersamainya dengan menikah siri. "Ayo, pulang. Di mana mobilmu?""Aku nggak mau pulang. Aku mau perempuan itu jauh dari kamu!" jeritnya belum puas memakiku. "Kamu tidak boleh sentuh dia, Mas! Kamu jangan mencoba merayu suamiku!" Menyalahkanku padahal yang salah jelas lelaki itu! Mas Arfan sendiri yang ingin menyentuhku. "Asal kamu tau, Mas Arfanlah yang menginginkanku." Saskia meraung mendengarku bicara begitu. Lalu makian terlontar lagi dari bibir merahnya. Aku masih diam menikmati. Baru aku berkata segitu dia sudah seperti cacing kepanasan. Tidak peduli orang semakin ramai menonton. Dia sama sekali tidak sadar, akulah istri sah, lebih kuat statusku secara hukum dan negara, didukung dua keluarga, tidak seperti dia hanya istri yang disembunyikan."Diam kamu, Nabila!" Mas Arfan menghardikku. Tidak suka apa yang aku katakan."Memang benar, kamu yang paksa aku ke apotek ini. Kamu sengaja membelikan obat itu untukku." Mas Arfan hendak membalas ucapanku lagi, tapi urung saat melihat dari kejauhan sebuah motor PCX datang. Itu adik laki-lakiku membawa ibuku. "Saskia, pulanglah dulu. Aku akan menemuimu setelah ini." Mas Arfan membawa mundur tubuh Saskia. Memeluk perutnya sambil celingukan mencari mobil perempuan itu. "Tidak, Mas. Tidak!" Dia masih berontak berusaha melepaskan tangan Mas Arfan dari tubuhnya. "Sayang, kumohon, setelah ini aku akan membuat kamu senang. Membelikan apapun yang kamu mau. Sekarang pulanglah." Susah payah lelaki itu berhasil membawa masuk Saskia dalam mobil Jazz merah. "Non Saskia, Mbak lupa membeli pembalut. Mbak harus balik lagi." Perempuan umur 40-an datang tergopoh memberi tahu itu. Ada anak kecil digendongnya. Kerepotan karna sambil menenteng belanjaan."Tidak usah, Mbak. Pulang saja. Temani istri saya." Mas Arfan langsung menggiringnya masuk mobil di belakang. "Via, Sayang, nanti Papa nyusul." Dia mengecup sekilas kening anak kecil dengan rambut dikuncir dua. Pemandangan yang membuat panas mata. Kaca depan dibuka Saskia. "Mas harus ikut aku!" "Nanti, Sayang. Kamu cepat pergi. Ada Ibu Nabila ke sini. Kumohon nurut sama aku kalau ingin hubungan kita selamanya." Cemas Mas Arfan katakan karna perempuan itu bebal. Ibuku sudah berhenti dan hendak turun dari motor. Saskia melihat, langsung menutup kaca dan berlalu membawa mobil. Mas Arfan tampak menghela napas lega juga lelah. Aku memandangnya prihatin juga marah. Capek kan kamu, Mas? Menghadapi perempuan tercintamu itu dan ini belum seberapa. Akan banyak terjadi gesekkan lain setiap saat kami bertemu. Energimu akan terkuras setiap itu terjadi di antara kami. Kenapa kamu memilih jalan rumit ini?Aku melengos saat dia mendekat, benci mendengar beberapa kali dia menyebut 'sayang' pada Saskia. Dan usahanya yang membuat luluh dirinya. Sebaik itu kamu, Mas, terhadapnya. "Arfan, Nabila, kalian di sini?" Ibu dan adikku mendekat. Orang yang berkerumun bubar sambil berbisik-bisik yang kutahu membicarakan aksi ricuh tadi. "Iya, Bu." Mas Arfan memasang wajah ramah dan menyaliminya. Mungkin jika ibuku tidak datang, aku akan ditinggalkan. Mas Arfan pasti pergi dengan perempuan itu. Mungkin juga aku dimarahinya. "Ibu mau membeli vitamin dan obat buat Bapakmu, Bila." Aku tersenyum menyembunyikan perasaan rindu pulang dan rasa ingin menangis. Terlebih jika ingat Bapak. Yang sedang kurang sehat. "Semoga Bapak lekas pulih ya, Bu. Nanti Bila tengokin Bapak.""Iya, ajak suamimu juga." Ibu melirik Mas Arfan, lelaki itu tersenyum. "Nanti kami ke sana," ucapnya kemudian. Yang membuat bibir ibu sama melengkung senyum karna mungkin mengira menantunya baik dan perhatian. "Kalian habis ada keperluan apa di sini?" Giliran Ibu yang ingin tahu alasan kami ada di sini. "Kami tadinya mau beli tespek, tapi kosong." Aku sedikit melotot Mas Arfan mengatakan itu. Menatap tajam ia karna sudah membohongi Ibuku. Tapi lelaki itu tak peduli. Terus melihat Ibu senantiasa tersenyum ramah. "Bila, kamu telat datang bulan, Nak?" tanya Ibu sumringah padaku. "Tidak, Bu," tegasku. Tidak mau berkata dusta padanya. Tiba-tiba tangan Mas Arfan merengkuh bahuku membuatku sedikit terkejut. "Saya sengaja ingin membeli itu untuk nanti.""Ooh." Kening Ibu yang mengkerut heran cair lagi dan terkekeh kecil. "Ibu kira kamu positif, Bila.""Doakan saja, Bu." Mas Arfan lagi yang menimpali. Aku tidak menyukai sandiwara lelaki ini. Perlahan kuturunkan tangannya dari bahuku. "Tadi, keliatan rame di sini. Kaya ribut-ribut." Adikku Nizar maju selangkah, mengalihkan sejenak pandangan dari layar ponselnya. "Iya, tadi itu ada apa?" Rupanya Ibu juga penasaran. Kulihat Mas Arfan menjadi sedikit kaku dan kebingungan. Tidak lama, dia bisa menguasai wajahnya tenang kembali. "Bukan apa-apa, cuma orang lewat." Terus saja kamu berbohong, Mas. Kamu masih beruntung karna Ibuku tidak melihatmu tadi. "Ooh ... yasudah. Kalau begitu Ibu beli obat dulu, ya.""Iya, Bu." Aku yang menjawab Ibu. Melihatnya berlalu bersama Nizar. Sedikit tersentak saat Mas Arfan menggamit tanganku mengajak pergi begitu saja. Pintu mobil dibukanya dan aku dimasukkan. Pintu segera ditutup lagi cukup kencang. Lelaki itu lalu masuk ke kursi kemudi di sampingku. Kami pergi. "Kamu jangan bicara macam-macam terhadap Saskia." Tegas, Mas Arfan katakan di perjalanan. Mengancamku. "Yang aku katakan benar adanya. Aku tidak berdusta seperti ucapanmu, Mas.""Apapun. Kamu tidak boleh sembarangan mengatakan sesuatu terhadapnya," tekannya lagi. Terlihat dia sangat takut perempuannya itu tersakiti. "Apa peduliku? Kenapa aku harus menjaga perasaan dia? Juga perasaanmu. Kalian saja tidak peduli sama aku." Ya Allah, maafkan aku jika ucapanku ini salah. Tapi bukankah aku yang paling disakiti di sini? Aku terjebak mulut manis dan topeng lelaki ini. Hingga tidak menyadari tipu dayanya yang ingin memanfaatkanku. "Jangan lakukan itu lagi, Nabila.""Aku tidak berbuat apapun, justru kamu yang macam-macam, Mas. Kamu tidak bisa berkomitmen dengan ucapanmu sendiri. Aku tidak pernah merayumu seperti yang dituduhkan perempuan itu, tapi kamu sendiri yang datang padaku!" Mobil berhenti mendadak. Aku hampir tersungkur jika tidak bisa menahan diri. Lirih, berucap istigfar sesudahnya. "Turun!" Seketika aku melihat Mas Arfan. "Kamu mau turunin aku di tengah jalan, Mas?" Menatapnya tak percaya. "Aku harus menemui Saskia secepatnya." "Setidaknya antarkan aku dulu sampai rumah!""Kamu menyebalkan. Keluar sekarang cari kendaraan lain.""Ya Allah, Mas ...." Aku menggeleng tak habis pikir dia akan setega ini. "Baik, Mas. Aku turun!" Tidak mau mengemis yang akan membuatnya senang, aku cepat keluar dari mobil. Menutup pintu kencang seperti yang dilakukannya tadi. Mobil pun melaju kembali. Membuatku sejenak mematung dan tak menyangka. Setidak berperasaan itu kamu, Mas, terhadapku? Baru kali ini aku diperlakukan seburuk ini oleh orang lain dan orang itu suamiku sendiri. Lemas, aku berjalan kaki sendirian. Mengabaikan kendaraan-kendaraan yang lewat. Melangkah dengan pikiran kemana-mana. Pernikahan ini ingin kuakhiri segera. Suara klakson mengejutkanku. Sontak aku menoleh pada mobil mewah yang berhenti di samping. "Mas Satya?" Menghapus cepat ujung mata yang tak terasa basah, tidak mau diketahuinya. "Naik, biar saya antar pulang."Apa aku salah menerima tawaran diantar pulang kakak sepupu suami sendiri? Gerimis mendadak turun. Aku yang awalnya menolak akhirnya mau masuk mobilnya. "Tidak usah sungkan dari pada kehujanan." Aku hanya mengangguk dan tersenyum kecil. Mas Satya kemudian menjalankan mobil kembali. Mendadak suasana kaku kurasakan karna memang kami tidak akrab dan baru beberapa kali bertemu. Mas Satya memiliki garis wajah yang mirip dengan suamiku dengan postur tubuh yang juga sama. "Saya melihat kamu turun dari mobil Arfan dan dia langsung pergi." Jadi, dia tadi ada di belakang mobil Mas Arfan?"Arfan pasti menurunkanmu karna perempuan itu." Mataku melebar menatap sosoknya. Mengapa dia tau? Lelaki itu balas menatapku lalu fokus mengemudi lagi. "Saya tau hubungan dia dan perempuan itu. Dengan Saskia."Apa? Dia mengetahuinya?"Termasuk pernikahan siri mereka dan Mas Arfan yang punya anak?" cecarku. Dia mengangguk. "Ya." "Apa keluarga yang lain tahu?""Sepertinya tidak." Aku menghela napas kecewa,
Pintu ditutup kencang. Membuatku terlonjak kaget dan termenung setelahnya. Mas Arfan akhirnya meninggalkanku tidak terus memaksa. Ampuni aku sudah menolaknya. Ada rasa sesal, bersalah, tapi juga marah. Ujung baju kurapatkan dan mendekap diri ditemani sepi, setelah tadi dibuat panas tingkah suami sendiri. Andai tidak ada Saskia, Mas. Kita pasti sudah bahagia. Mereguk rasa surgawi bersama. Perempuan itu sedang datang bulan aku tahu, meski Mas Arfan tidak mengatakannya. Sewaktu di apotek pembantu yang membersamai Saskia menyebutkan belanjaan pemba-lut. Tidak salah lagi. Terlihat dari wajah dan sikap Mas Arfan sendiri yang uring-uringan dan berubah-rubah, menjauh lalu tidak bisa menahan diri mendekatiku lagi. Lelaki itu tersiksa tidak ada tempat menyalurkan hasrat. Harusnya kamu bisa menahan diri. Bukankah itu hal biasa? Apa karna ada aku di sini sekarang, jadi tidak terkendali? Aku beranjak menuju lemari untuk mengganti baju. Pil KB yang diberikan Mas Arfan kubiarkan begitu saja di
"Baik. Aku pergi sekarang juga!" Kutinggalkan Mas Arfan melangkah cepat dan berlari kecil menaiki tangga. Tidak peduli dia yang tertegun setelah mendengar jawaban tegasku. Di kamar mengeluarkan koper dan membuka lemari. Aku sudah ingin pergi sejak dia jujur malam itu. Baju-baju kumasukkan asal dengan hati perih dan rasa tak menentu. Mas Arfan keterlaluan. Menyuruhku pergi demi perempuan itu. Tetes air mata jatuh di pipi teringat Bapak. Maafkan, Nabila, Pak. Jika sekarang kembali ke rumah Bapak. Semoga tidak mengganggu kesehatan Bapak. Kuseka kasar tangisku dengan telapak tangan. Koper ditutup dan menurunkannya dari tempat tidur. Mas Arfan terdiam melihatku saat menuruni tangga. Sedangkan Saskia tersenyum senang sambil merangkul lengannya manja. Aku menunduk tidak mau melihat keduanya. "Saya pamit, Mas. Nanti Mas Arfan nyusul untuk menjatuhkan talak di hadapan orang tua saya." Setelah itu, tanpa menunggu jawabannya aku keluar. Melangkah dengan berat hati dan perasaan yang hancur.
"Kok?" Mama Papa seketika keheranan. "Di mana sebenarnya kamar kalian?" "Kamarnya di atas!" "Kamarnya di bawah!" Kami menjawab berbarengan lagi tapi masih tidak satu tujuan. Tadi Mas Arfan menyebut kamarnya di bawah sekarang menyebutkan kamarku di atas. Pun sebaliknya, aku menyebutkan kamarnya. Berkebalikan dengan sebelumnya yang menyebut kamar masing-masing. Orang tua Mas Arfan terdiam semakin terheran-heran. Aku dan Mas Arfan kembali saling melirik. "Maksudnya, kami kadang tidur di kamar atas, kadang di kamar bawah, bukan begitu, Sayang?" "Oh, i-iya, Ma, Pa." Aku jadi menjawab gugup karna Mas Arfan kali ini merengkuh pinggangku mesra. "Ooh." Mama Papa lalu tertawa. "Kalian ... ya ampuun."Suamiku pun ikut tersenyum dan menghela napas lega. Kamu masih aman, Mas!***"Jangan deket-deket, Mas." Aku sedikit menjauhkan kepala Mas Arfan karna dekat sekali dengan kepalaku. "Apa sih, kamu?" sahutnya kesal. "Itu udah ada guling, Mas. Jangan lewatin batas guling." Kami terpaksa tidur
"Maaf, Bu. Arfan baru bisa nyusul Nabila ke sini." "Iya, tidak apa-apa. Kamu orang sibuk Ibu ngerti." Rupanya Mas Arfan nekat ke rumah orang tuaku meski tengah malam. Aku mendengar suaranya dari dalam kamar. "Diminum teh-nya, Fan. Mumpung masih anget.""Iya, Bu. Terimakasih." "Sudah makan? Kalau belum Ibu ada sayur dan lauknya. Ibu bisa angetin.""Udah, Bu. Nggak usah." "Nabila ada di kamarnya, tadi katanya kurang enak badan.""Oh, ya, Bu. Arfan memang belum sempat membawa ke dokter. Kalau gitu Arfan temuin Nabila dulu. Silakan Ibu istirahat. Maaf, sudah mengganggu.""Iya, silahkan. Bawa saja tehnya.""Iya, Bu."Aku buru-buru meringkuk. Sudah menyimak obrolan mereka. Pintu kamar dibuka Mas Arfan. Terdengar suara gelas ditaruh. Aku yakin itu teh manisnya. "Bila." Dia menyentuh bahuku. "Kamu nggak apa-apa?" Mau tidak mau aku membuka mata. Melihatnya sudah duduk di sisiku. "Aku nggak tau kamu sakit. Kamu nggak bilang.""Memangnya kalau bilang kamu peduli?" Lelaki itu diam. Aku
"Enggak, Mas." Tangan itu kulepas dari perut. Dia bilang tidak akan menyentuhku tapi dia sendiri yang seenaknya menyentuh. Tidak bisa dipercaya ucapanmu!"Aku mau menginap lagi di sini. Masih ingin menemani Bapak. Sudah lama aku baru ke sini lagi.""Ternyata kamu keras kepala, Nabila." Raut wajah Mas Arfan berubah dingin lagi. Setelah kemauannya tidak kuturuti. "Kamunya mikir, dong, Mas. Jangan cuma bisanya berkata manis di depan orang tuaku saja. Tapi saat anaknya mau menjenguknya hanya diberi waktu sedikit!""Kamu tidak takut dosa menolakku? Aku suamimu yang harus kamu patuhi!""Kamu yang tidak takut dosa, Mas. Membohongi semua orang. Kamu tidak usah keterlaluan mengaturku. Niatmu saja salah menikahiku!" "Aku akan memberimu imbalan setelah itu. Jadi, tidak usah merasa rugi.""Sudah, Mas. Lebih baik kamu pergi. Aku mau menginap sehari lagi di sini.""Terserah. Mau tidak pulang pun. Semaumu saja!" Aku terhenyak dia merespon seperti itu. Lalu berbalik membuka pintu dan keluar melang
"Dasar mes-um!" Kujauhi pintu setelah mengunci. "Nabila!" Tidak peduli dia mengumpat lagi di luar sana. Tidak peduli besok bertemu dengannya akan bagaimana. Temui saja Saskia! Tuntaskan hasratmu bersamanya. Menyesal pergi ke dapur. Hanya membuat sakit mata.Melangkah gontai menuju tempat tidur. Memikirkannya yang sekarang begitu ingin menyentuhku. Tidak seperti awal-awal menikah bisa menjaga jarak. Duduk termenung di sisi ranjang. Apa istimewanya Saskia, Mas? Sampai-sampai kamu menggilainya. Apa karna dia sangat cantik dan tinggi seperti model? Memiliki tubuh ideal sesuai maumu, begitukah Mas? Atau karna penampilannya yang seksi? Yang memperlihatkan paha, tangan, leher mulusnya dengan memakai dress pendek atau hotpant. Perih diperut terasa lagi. Aku sampai gagal mengambil makanan dan lupa setelah melihat kemesraan mereka. Membuka tas teringat ada makanan, mengeluarkan sebungkus roti dan satu teh kotak. Memakannya dengan pikiran kemana-mana. ***Besoknya pagi-pagi sarapan sudah ter
"Savia anak Mas Arfan!" balas Saskia menjerit kembali. "Kamu menipu Mas Arfan dengan mengatakan anaknya. Padahal Ayah sebenarnya bukanlah Mas Arfan!" tekanku lagi tegas. "Mas, dia fitnah aku!" Perempuan itu meraung duduk di bawah. Menangis seperti anak tantrum. Mas Arfan melotot ke arahku. "Savia anakku." Anak itu direbut paksa olehnya. Memeluk lehernya dan masih menangis. Ruangan menjadi riuh. "Bukan, Mas. Lihat, dia tidak mirip!" "Savia memang tidak mirip denganku. Tapi mirip Saskia, cantik seperti Mamanya." "Meski mirip Mamanya sekali pun. Setidaknya ada sedikit saja mirip Papanya, tapi Savia tidak. Perhatikan, Mas. Saskia hanya memanfaatkanmu!" "Cukup, Nabila. Kamu jangan asal bicara!" "Kamu jangan bod-oh, Mas!""Aku tidak bod-oh dan percaya.""Apa yang membuat kamu percaya, apa yang membuat kamu yakin itu anak kamu? Kamu harus melakukan tes DNA, Mas!" Lelaki itu pergi tidak menjawabku. Diiringi tatapan hawatir Saskia yang masih terisak-isak.Tidak lama Mas Arfan datang l