[Aku mungkin memang bukan yang pertama dalam hidupmu, tapi aku ingin menjadi yang terakhir mengisi hari-harimu. Ingin membuatmu selalu tersenyum dan tertawa hingga kita menua bersama. Menikmati senja berdua dengan secangkir teh hangat yang menemani cerita kita. Aku tak paham kenapa aku bisa jatuh cinta. Karena yang aku tahu, hatiku berdebar tak menentu tiap kali menatap matamu. Aku selalu merindu jika tak bisa bertemu denganmu, hingga aku yakin, aku memang mencintaimu. Dan hanya namamu yang tersemat dalam hatiku.] Kubaca pesan dari Mas Latif yang membuat alisku menyatu. Lagi galau sepertinya si pengacara itu. [Mas, lagi gabut, ya?] Kukirimkan balasan singkat itu padanya. Bukannya membalas dia justru mengirimkan banyak sekali emoticon marah, membuatku tertawa ngikik. [Kapan mau dilamar? Keburu tua] Sebuah pesan masuk lagi ke ponselku. [Besok. Kalau nggak mau yasudah nggak jadi] Gurauanku kemarin itu ternyata membuatnya kegirangan. Dan detik ini dia benar-benar datang ke rumah.
Pov : AzkaHari ini aku sudah menjual mobil dengan harga 180 juta. Seperti rencana awal aku akan memakai uang itu untuk kerjasama dengan Abdul 50 juta. Yang lain untuk melunasi semua hutang mama dan kuliah Nina yang belum dibayar. Semoga masih ada sisa, karena akan kugunakan untuk membuka usaha. Entah apa. Masih aku pikirkan.[Sudah aku transfer 50 juta, Mas. Jadi, deal kerjasama kita ya!]Kukirimkan pesan itu pada Mas Abdul, teman Rizal yang memiliki usaha parabola itu. Semoga semuanya lancar dan tak ada hambatan. Sengaja kubelikan pizza dan dua kotak bika untuk mama, supaya dia berhenti mengomel untuk hari ini. "Ma, aku mau lunasi semua hutang perhiasan itu. Aku mohon mama stop utang-utang lagi, Ma. Hidup kita sudah berubah. Nggak kayak dulu lagi. Jangan sampai rumah ini juga kejual untuk menutupi keglamoran mama," ucapku pelan sembari menatap mama dan Nina yang masih duduk di ruang makan sembari menatap tudung saji tanpa isi. "Jadi, kamu nyalahin mama atas semua yang terjadi, Ka?
POV : AZKA Begini rasanya hidup di bawah, muter-muter seharian cuma dapat lima pesanan. Capek. Pusing. Mual nggak karuan. Mau ngeluh juga rasanya percuma. Mama dan Nina pasti bakal ngomel lagi dan lagi."Kamu tulang punggung, Ka. Apa pun yang terjadi kamu harus bisa mencukupi kebutuhan mama dan Nina. Kamu pengganti papa. Makanya, cari istri yang bener dan kaya raya biar nggak susah-susah cari kerja. Misal kerja pun juga dapat jabatan atas yang enak sambil ongkang-ongkang kaki."Ucapan mama itu selalu terngiang di benak. Dari dulu, apa pun yang kulakukan harus sesuai perintah mama. Jika mama setuju, boleh aku lanjutkan. Tapi jika tidak, suka atau pun tak suka aku harus mundur dan menolak. Lelah? Itu pasti. Tapi, aku tak bisa berbuat banyak selain mengiyakan. Walau bagaimanapun dia mamaku. Dia yang sudah bertaruh nyawa saat melahirkanku ke dunia. Aku hanya tak ingin durhaka. Itu saja. Meski kadang perintah mama sangat bertolak belakang dengan apa yang kurasa. "Kamu sudah gagal denga
Pov : Azka Cinta berasal dari hati. Dia yang berbicara, menjalar sempurna melalui mata dan gerak-gerik yang tak terencana. Mengalir begitu saja. Tak harus menggunakan ratusan kata untuk mengungkapkan cinta. Hanya dengan gerak-gerik dan sikapnya kita sudah bisa menilai, dia terpikat dengan kita atau tidak. Sorot mata dan salah tingkahnya saat bertemu juga sudah cukup membuktikan bahwa seseorang itu memiliki rasa yang sama atau berbeda. Itu menurutku. Aku pernah begitu meyakini ungkapan konyol itu. Ungkapan yang pada akhirnya patah dan berhamburan. Menyisakan keping-keping kecewa dan malu yang tak tertahan. Over kepedean, dia menyebutnya begitu. Dia? Iya! Siapa lagi kalau bukan mantan istriku. Ratna Ayu Ning Tyas. Nama yang akhir-akhir ini selalu ada dalam anganku. Aku jatuh cinta padanya. Bukan cinta semu pada Ratna istri keduaku. Tapi, cinta yang berbeda pada Tyas, teman dunia mayaku. Yang pada akhirnya kutahu, mereka orang yang sama. Orang yang hanya berusaha membalas rasa sakit
Pak Odi berdehem saat melihatku dan Mas Latif beriringan menuju mobil. "Sukses ya, Mas," liriknya pada Mas Latif yang masih tersenyum lebar. Mereka saling pandang kemudian melirik ke arahku. "Gimana? Mau kuantar pulang atau ikut Pak Odi?" tanyanya pelan sambil mengangkat-angkat kedua alisnya. "Pak Odi," jawabku singkat. "Sabar, ya, Mas. Perempuan memang begitu, kadang jual mahal." Pak Odi kembali melirikku sambil menepuk pundak Mas Latif pelan. Aku baru akan memasuki mobil saat tiba-tiba terdengar panggilan seseorang. "Latif tunggu! Aku mau bicara," panggilnya. Aku menoleh ke belakang. Tampak Viona berlari kecil ke arah kami. Aku melirik Mas Latif yang masih begitu santai mendengar panggilan teman kuliahnya itu. "Kenapa, Vi?" tanyanya singkat saat perempuan itu sudah berdiri di hadapan kami. "Bisa bicara empat mata kan, Tif?" Dia melirikku dan Pak Odi seolah meminta kami agar tahu diri. "Ayo Pak, kita pulang duluan," ajakku pada Pak Odi yang masih berdiri di samping Mas Lati
Hampir jam satu siang, rumah minimalis Mas Azka sudah cukup ramai. Aku sengaja meminta Pak Odi memarkir mobil tepat di depan rumah yang pintu gerbangnya terbuka lebar. Banyak tamu melihat ke arahku dan saling berbisik. Tiba-tiba wanita paruh baya yang kukenal itu pun menghampiriku dengan gaya noraknya. Dia terlihat begitu bangga kedatangan tamu dengan mobil mewah sepertiku. "Nah itu dia yang ditunggu-tunggu datang juga," ucapnya sambil tersenyum lebar ke arah tamu-tamunya. Mereka serempak melihat ke arahku turun dari mobil perlahan. Kutoleh ke belakang, mobil Mas Latif sudah ada di seberang jalan. Tak jauh dari mobilku terparkir. Dia menunggu perintahku selanjutnya. Dua puluh menitan lagi dia harus datang ke rumah ini untuk menjemputku. Aku sedikit mengancamnya. Kalau telat, akan kukembalikan cincin pemberiannya itu. Pesan yang kukirimkan padanya sepertinya cukup membuatnya ontime. Datang tepat waktu dan lebih baik menunggu daripada telat.Aku tersenyum manis pada tamu-tamu itu, l