Share

TEROR BEGU GANJANG (Selanjutnya Kau Yang Akan Mati)
TEROR BEGU GANJANG (Selanjutnya Kau Yang Akan Mati)
Penulis: Dilan

Bab 01

Malam yang gelap dengan sedikit petir, badai sepertinya akan menerpa seisi kota Medan, Sumatra Utara. Karena tugas kuliah sangat menumpuk, mengharuskan Indah Saraspati mengerjakannya sebelum larut malam.

Dari balik horden kamar, desas-desus berdesik angin seakan membawa tiupan lembut. Tak hanya itu, meski suasana tengah gerimis, akan tetapi ruang kamar terasa sangat panas. Entah apa yang telah dia rasakan, yang pasti semua sudah terjadi beberapa hari belakangan.

Sembari mencatat sebuah jadwal kegiatan besok di kampus, lampu pun mati seketika. Mungkin karena petir yang datang secara tiba-tiba, mengharuskan padamnya listrik di setiap sudut rumah. Dengan menggunakan senter ponsel, Indah pun keluar dari ruang kamar dan berjalan menuju lantai satu.

Dapur adalah salah satu tempat yang dia tuju, menapak sedikit gontai dan beringsut menuju pusat tempat yang terletak di sudut rumah. Tepat arloji menunjukkan pukul 20.00 malam, suasana rumah sunyi dan sangat temaram.

Asisten rumah tangga, ayah dan ibu juga tak terdengar suaranya sama sekali. Entah ke mana perginya orang-orang, yang tersisa hanyalah sebuah nampan berisikan gelas kosong bekas minuman. Saking betahnya berada di dalam kamar, Indah tak tahu kalau seisi rumah telah pergi.

"Bi Ira ... Ayah ... Bu ... kalian di mana? Mati lampu, loh ...," teriak Indah sembari meletakkan ponselnya di atas meja.

Menggunakan tangan kanan, dia mengambil dimar ublik dan menyalakan lentera itu, akan tetapi pandangan masih menoleh kanan dan kiri. Rasa takut pun menyergap tubuh, ditambah hiruk pikuk terdengar di dalam ruang tamu, padahal tidak ada siapa pun ketika dia memanggil tadi.

Firasat aneh itu terus tumbuh bersama dengan bulu kudu meremang, menurut rumor yang pernah terdengar kalau rumah saat ini dia huni adalah tempat mutilasi kepala manusia pada zaman penjajahan. Pasalnya, sejak kedua orang tua Indah memboyongnya setahun lalu, dia tak pernah mendapati keanehan.

Suara ayam jantan seakan terdengar di luar rumah, ditambah dengan burung kedasik yang berkoar-koar tanpa henti. Rumor perihal burung tersebut adalah mampu mendeteksi orang yang hendak mati, hewan berbulu mendominasi warna hitam itu seakan mampu mencium aroma bangkai manusia, berjarak beberapa meter dari tempatnya hinggap.

Sedikit demi sedikit, Indah pun sampai di ruang kamar dan meletakkan dimar ublik di sampingnya, secarik kertas yang dia tinggalkan ketika tadi menghilang begitu saja dari atas mejanya.

'Loh, kertas tadi ke mana, ya? Bukannya, tadi kuletakkan di sini?' tanya Indah dalam hati.

Rupanya, secarik kertas yang tadinya dia letakkan di atas meja telah terjatuh di atas lantai, tetapi posisinya telungkup dan menutup isi tulisan itu. Ketika Indah mendudukkan tubuhnya di atas kursi, tanpa menoleh gadis berusia dua puluh satu tahun itu mengambil secarik kertas di lantai.

Yang tersentuh bukanlah kertas, akan tetapi sebuah kaki berkulit sangat dingin dan lembap, ditambah dengan aroma tak sedap datang secara tiba-tiba. Bau seperti air liur itu merasuki kedua lubang hidung Indah, padahal dia tak pernah membuang ludahnya di dalam kamar.

'Ini kaki siapa, ya? Kok, seperti telapak orang dewasa?' tanya Indah bersenandika.

Secara spontan, netra pun menoleh ke arah samping kiri. Hasilnya nihil, tidak terdapat siapa pun di sana, lalu dia mengambil secarik kertas tersebut dan meletakkan benda putih itu di atas meja belajarnya. Napas pun sangat ngos-ngosan, ditambah dengan degup jantung juga bergetar sangat kencang.

Sembari membuka catatan itu, netranya kembali tercengang. Dia mendapati sebuah penglihatan tak lazim, tulisan angka (9) tergambar jelas dan berukuran besar di kertas itu, tinta yang tertulis juga sangat aneh, sebuah bercak merah seperti darah.

Karena penasaran, Indah menyentuh tulisan itu yang masih basah, kemudian dia menciumnya perlahan. Ketika ujung jemarinya sampai di lubang hidung, bau amis pun didapati. Akan tetapi, darah itu bukanlah milik manusia, karena aromanya sangat asing dan susah ditebak.

Menelan ludah beberapa kali dan tatapan hanya sejurus pada dinding kamar, Indah mencoba menetralisir suasana hatinya yang teramat takut itu. Tiba-tiba, sebuah sentuhan terasa dari belakang badannya, tepat di atas pundak hingga leher.

Sentuhan itu sangatlah dingin, lembap, dan basah. Dimar ublik yang ada di hadapannya juga tertiup embusan angin dan seperti hendak padam. Karena penasaran, Indah mencoba untuk bangkit dari posisi duduknya dan menatap spontan arah belakang.

"Siapa itu!" pekiknya sembari berdiri tegap.

Ternyata semua sama seperti awal, tidak ada siapa pun di belakang, hanya perasaan ketakutan itu yang terus menghujani. Secarik kertas berulisakan angka (9) itu langsung dia robek menjadi empat bagian, lalu dia membuang benda tersebut di tempat sampah.

***

Pagi telah tiba, hari ini adalah kali pertama Indah masuk kampus dan belajar setelah menghabiskan liburan semester menoleh. Masuklah dia pada semester ketujuh tahun ini, dan seperti sudah diketahui bersama, kalau pada semester tersebut harus melaksanakan yang namanya magang, bahasa kerennya adalah KKN.

Karena Indah mengambil jurusan Hubungan Masyarakat di Universitas Nusantara, mengharuskannya terjun langsung ke tengah kehidupan masyarakat dan mencari tahu apa saja yang akan dia teliti nantinya. Menggunakan mobil berwarna putih, Indah keluar dari halaman rumah dan menuju jalan Pancing, tepat di kota Medan.

Membutuhkan sekitar lima belas menit untuk menuju kampus yang terletak di pusat kota Medan. Kalau jalanan tidak macet, untuk menuju ke lokasi hanya membutuhkan waktu lebih kurang sepuluh menit, yang namanya kota Metropolitan mana ada istilah tidak macet.

Sesampainya di halaman kampus, Indah pun memarkirkan mobilnya tepat di sebelah motor seorang cowok tampan yang paling terkenal seantero kampus. Namanya Bisma, pemuda berusia dua puluh tahun itu mengambil jurusan Hubungan Masyarakat juga, akan tetapi berbeda ruangan saja dengan Indah.

Wanita berambut sepinggang itu melintasi koridor kampus dan menatap sebuah majalah dinding di samping sekolah, papan pemberitahuan yang biasanya terletak di depan perpustakaan sekarang berpindah, menghadap arah Timur dipenuhi coretan.

Penglihatan tak lazim terpampang jelas di sepanjang majalah dinding, sebuah urutan abjad angka berawal dari 1 hingga 9 berbaris rapi dengan tinta merah, sama persis ketika tadi malam ada di kamarnya.

'Kok, tulisan ini sama dengan yang ada di kamarku? Bertinta merah dan ukurannya juga sama, apa ada yang sengaja ingin mengerjain aku, ya?' tanya Indah bermonolog.

"Hai! Bengong aja!" Dari belakang, Anita pun memukul pundak sahabatnya itu.

"Eh, Anita, aku kira siapa."

"Lagi ngapain di sini? Enggak masuk kampus?" tanya wanita berambut pendek itu.

"Eng-enggak, Nit." Setelah selesai berkata, Indah pun menatap lagi tulisan itu di depan majalah dinding.

Tiba-tiba, seseorang berteriak sangat keras dari arah belakang. "Indah ...!"

Seketika Indah memutar tiga ratus enam puluh derajat, dan tatapan sangat aneh Indah lempar pada wanita berambut pendek di hadapan yang sedang mengenakan pakaian merah.

"Anita, bukannya tadi ...."

"Tadi apa, Ndah?" tanya Anita.

"Ah, tadi kamu ada di samping aku pakai baju kuning. Kok, cepat banget ganti bajunya?" titah Indah seraya menoleh kanan dan kiri, ekspresinya juga menjadi seperti orang bodoh.

"Lagi lihat siapa? Aku baru aja sampai, kok, enggak pakai baju kuning. Ih, buta warna. Bagaimana bisa lulus angkatan kalau gitu," ledek Anita yang sedari tadi berkacak pinggang.

"Ta-tapi, tadi ...."

"Sudahlah, mungkin kau terlalu sering nonton film horror. Yuk, kita masuk."

Tanpa menunggu jawaban dari lawan bicara, Anita pun menggandeng sahabatnya seketika.

"Udah ... ayo ...."

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status