Share

Bab 02

Dengan berjalan sedikit kencang, Anita dan Indah pun sampai di depan kelas, para mahasiswa telah menggerompok di setiap sisi ruangan. Sementara dari ambang pintu, Bu Intan datang seraya menenteng berkasnya berwarna hijau.

Wanita berhijab putih itu mendudukkan tubuh di atas kursinya dan seketika membuka tiap lembar berkas, sementara tatapannya sangat liar kali ini.

Sesekali lirikan itu menoleh ke arah Indah dan dia seakan menarik napas berat berulang-ulang, sebelum akhirnya wanita berusia empat puluh itu menyembunyikan wajah.

Karena sangat heran, Indah menoleh ke arah kanan dan kirinya, dia merasa ada yang terlihat aneh pada dirinya. Namun, gadis berusia dua puluh satu tahun itu mencoba mencekal firasat tersebut.

"Baiklah anak-anak, saya akan membacakan kelompok satu sampai sembilan yang akan melaksanakan KKN di masing-masing wilayah." Selepas berkata, wanita berkacamata di depan papan tulis putih itu menarik napas panjang.

Tatapan yang dia lempar sama dengan ketika awal, lirikan misterius sejurus pada Indah yang sedari tadi memekik karena perasaan aneh tumbuh begitu saja, tetapi tidak ada satu pun yang bisa memberitahukan perihal gelagat aneh guru pembimbing KKN itu.

Selesai menyebutkan kedelapan kelompok berserta nama-nama mahasiswanya, dia pun kembali menatap secarik kertas dengan sembilan nama di sana, karena sebagian mahasiwa ada yang tidak mendapatkan kelompak, mereka pun saling tukar tatap.

"Kelompok sembilan, berjumlah sembilan orang juga, mereka adalah; Bisma, Anissa, Nando, Anita, Siska, Pikram, Andre, Tias, dan Indah."

Secara spontan Anissa pun unjuk tangan, mahasiswi terkaya di kampus Universitas Nusantara itu seakan tak ingin satu tim dengan Indah, karena mereka tahu bahwa Indah adalah mahasiswi yang sempat mati suri beberapa bulan lalu.

"Bu!" panggil Anissa.

"Iya Anissa, ada apa?" tanya Bu Intan.

"Saya enggak mau kalau satu kelompok sama psikopat itu!" cibir Anissa, dia langsung menoleh ke arah orang yang dimaksud tadi.

Mendengar pernyataan Anissa, seisi ruangan pun terkekeh dan meledek Indah. Akan tetapi tidak dengan Anita—sahabat Indah, dia seakan tidak terima jika ada yang meledek Indah seorang psikopat.

"Anissa, kalau kau enggak mau KKN bareng kita, ya, udah. Jangan ngegas gitu ngomongnya," sambar Anita, kemudian dari arah depan, Nando pun angkat bicara.

"Maaf, Bu, bukannya apa-apa. Saya juga enggak mau kalau satu tim dengan Indah, karena dia sangatlah seram. Lihatlah wajahnya, penuh misteri sekali."

"Ha-ha-ha ... psikopat ...." Seisi ruang kelas meledek dan terkekeh-kekeh.

"Cukup ...!" teriak Bu Intan, wanita berkacamata bulat itu menghentikan tawa para mahasiswanya.

Tanpa basa-basi dosen yang berstatus janda itu berjalan menemui mahasiswanya, langkah kaki yang mulai beringsut dan gontai seketika sampai di depan Nando, dia pun membanting berkasnya di depan lelaki berkumis tipis itu.

"Kalau kau mau membantah pada ketetapan saya, silakan cari kampus lain! Saya akan laporkan kamu pada ketua kampus ini, saya dari dulu mengajarkan akhlak, keluar kamu dari ruangan ini!" Menggunakan jemari kanan, wanita yang mengenakan jas hitam itu menujuk ambang pintu.

Karena merasa sangat ketakutan dan bersalah, Nando pun berjalan menuju dosennya di hadapan, tatapan lirih juga dia lempar sembari meratap.

"Bu, maafkan saya," titah Nando, dia pun mencoba untuk menyentuh tangan dosen paling killer di kampus tersebut.

Akan tetapi Bu Intan mencekal tangan mahasiswa di hadapannya. Emosi yang klimaks membuat dosen killer itu memutar badannya dan berjalan sedikit limbung keluar ruangan, tatapan yang dia lempar sejurus menuju ruang berkumpulnya para dosen.

Dari ambang pintu, Nando dan Anissa mendongak sejurus ke arah wanita yang telah diremehkan itu dalam memilih kelompok, padahal sebelumnya Bu Intan adalah dosen dengan tingkat ketelitian luar biasa.

Wanita paruh baya itu seakan memikirkan secara matang perihal kemampuan mahasiswanya sebelum memutuskan untuk menggabungkan setiap kelompok KKN. Karena sejak sembilan tahun terakhir, dia adalah dosen kepercayaan pemilik kampus Universitas Nusantara.

"Gara-gara kamu ini, Nis, aku jadi kena sasaran." Nando pun memukul kening Anissa sedikit.

Karena tidak terima, Anissa yang ada di samping membalas dengan memukul perut Nando, kemudian dia membalas, "kok, aku? Kamu, tuh, yang udah membuat Bu Intan sakit hati."

"Kalian berdua sama aja! Mulut lemes banget seperti comberan." Dari ujung tempat duduk Anita berkata.

"Eh, biasa aja muncung kau! Enggak usah ngegas juga, dong!" pekik Anissa lagi.

"Udah-udah, jangan dilanjutkan. Nanti masalah kita tambah besar lagi," papar Nando, lalu dia pun keluar dari ruangan membawa berkas yang tadi dibuang oleh Bu Intan.

Tak berapa lama, bel pun berbunyi. Para mahasiswa yang sedari tadi termenung tanpa mendapat materi pembelajaran menghambur keluar ruangan. Akibat dari ulah Anissa dan Nando, seisi ruangan pun mendapatkan imbasnya.

Cacian yang terus menghujani wanita berusia 21 tahun itu membuatnya seakan tidak kuat untuk menahan segalanya, hampir setiap hari perkataan menyakitkan ulu hati menghujam itu terlontar dari Anissa dan para cecunguknya. Sementara untuk membalas, Indah tak mampu, kapasitasnya di kampus tersebut hanyalah sekadar anak bawang.

Diam dia tersika, melawan dia dibantai, begitulah pepatah yang melekat pada gadis berbandana merah itu. Air mata pun keluar dari lekuk pipinya membuat beberapa mahasiswi di ruangan merasa sangat iba, peristiwa beberapa bulan lalu perihal mati suri yang Indah alami membuat penampilannya berubah.

Kedatangannya di kampus seakan menjadi momok mengerikan pada orang lain, julukan baru pun dia dapatkan. Semua mahasiswa mengatakan kalau dia adalah, wanita PSIKOPAT. Berwajah pucat, tak memiliki aura, dan tatapan sangat tajam.

"Udalah, Ndah ... jangan dipikrin lagi. Kan, kau juga sudah tahu kalau mereka seperti itu," ucap Anita yang berada di samping kanan.

"Iya, Ndah, enggak perlulah menghabiskan waktu untuk mereka," sambar Tias, lalu wanita berambut kepang dua itu memeluk erat tubuh Indah—si korban buli.

"Lebih baik aku mati dalam kecelakaan itu, kalau akhirnya menderita seperti ini." Air mata pun semakin tak mampu dibendung, isak tangis seakan membuat alam semesta murka.

Seketika terdengar petir dan gemuruh sedang berseteru hebat, langit nan anggun berubah menjadi ganas tanpa memberikan jeda untuk manusia beraktivitas.

"Tenang aja, kami masih mau, kok, berteman denganmu." Anita juga memeluk wanita berwajah pucat itu dari samping kiri.

"Iya, Anita benar, kami masih mau berteman denganmu," sambar Tias yang juga memeluk sahabatnya dari sebelah kanan.

Bagai cendawan di musim hujan, bersama dengan air yang terjatuh dari langit membasahi daun talas, hanya sekadar beberapa menit hinggap sebelum akhirnya pergi tanpa jejak. Bila kematian itu adalah suratan, mengapa sebagian insan menginginkannya, atau karena faktor utama karena tak mampu mencekal kenyataan.

Yang pasti, dalam kehidupan ini hanya ada dua pilihan, antara bertahan atau terlepasnya iman dari kepercayaan kepada Tuhan. Karena sakit hati tak kunjung pergi, Indah memutuskan untuk keluar dari ruangan, dia mendudukkan tubuh di atas kursi teras kampus.

Tanpa ditemani siapa pun, wanita berusia 21 tahun itu menoleh ke arah kanan, tepat di pojok ruang kelasnya. Sosok makhluk bertubuh kerdil memasuki pintu kamar mandi, barisannya juga sangat rapi.

Karena sangat penasaran terus menghujani, akhirnya Indah pun mengubah posisi duduk dan berjalan sejurus menuju tatapan awal. Setibanya di ruangan minimalis itu, Indah menoleh sosok yang sedari tadi mengikuti tubuh Anissa.

'Itu makhluk apa, ya? Kok, aneh banget?' tanya Indah dalam hati.

Kedatangannya di depan pintu kamar mandi membuat Anissa dan Siska jijik, mereka masih menyimpan dendam ketika tadi di dalam ruangan. Namun, setibanya dua wanita itu di hadapan Indah, mereka hanya berkacak pinggang dan menatap benci.

"Ngapain kamu ngikuti kita?" tanya Anissa, kemudian dia menoleh ke belakang badannya, lawan bicara tak memerdulikan ucapan wanita di depan netra.

"Lagi lihat siapa, sih?" tanya Siska, dia juga menoleh ke belakang badannya.

"Itu! Ada manusia kerdil." Tunjuk Indah menggunakan tangan kanan.

"Udah, yuk, Nis. Kita pergi aja, nanti tambah gila kalau dekat dengan manusia ini," cibir Siska, mereka pun meninggalkan wanita berambut sepinggang itu di hadapan.

Karena sangat penasaran, Indah terus menatap makhluk kerdil tersebut. Dengan kedua bola mata telanjang, mata dari sosok makhluk itu menyala seperti senter, berwarna merah merona dan mendelik. Lama-kelamaan, tubuh kecilnya pun menjadi sangat panjang dan tinggi, semakin ditatap ke atas langit-langit semakin terlihat sangat tinggi.

Lamat-lamat, sosok yang pada awalnya samar tampak nyata. Alih-alih ingin beringsut dari posisi, dia tak mampu menggerakkan kedua kakinya. Alhasil Indah hanya mematung sembari memandang pusat tatapan, meskipun tidak kuat dengan semburat kedua netra makhluk itu yang terpancar.

Akhirnya kedua kaki bisa bergerak meskipun hanya sedikit, yang pasti Indah sudah berusaha untuk pergi dari ruangan minimalis itu. Kecipak air keran di setiap kamar mandi menyala dengan sendirinya, lentera berwarna putih di atas plafon seakan main mata, padahal tak ada siapa pun saat itu.

Secara spontan, makhluk bertubuh panjang menjulang semampai di hadapan pun beringsut mendekati wajah Indah. Sorot netra sosok bertubuh hitam itu membunuh gerak-gerik siapa saja yang memandang, akhirnya Indah memutuskan untuk menutup netranya.

"Tidak ...!" teriak Indah, dia pun berlari meninggalkan kamar mandi dan menuju ruang kelasnya.

Ketika sampai di depan pintu, tanpa sengaja Indah menabrak—Bisma—pemuda paling tampan di kampus. Buku yang kala itu dia bawa berjatuhan dan berserak tak tentu arah lagi.

"Kamu enggak apa-apa?" tanya Bisma. Pemuda berkumis tipis itu mengernyitkan kedua alisnya.

"A-aku, enggak apa-apa," titah Indah terbata-bata.

Karena sangat malu menatap sosok The Most Wanted seantero kampus, Indah hanya menadahkan tatapan menuju lantai. Degup jantungnya semakin kencang seperti kendaraan yang akan berperang, kemudian dia tertegun seraya menarik napas berat.

"Indah!" sorak seseorang dari posisi belakang.

Karena ada yang memanggil namanya, seketika dia menoleh secara saksama. Tatapan penuh pun sejurus ke arah koridor, rupanya Bisma tengah berdiri di sana. Kedua bola mata kembali tercengang, sebelum akhirnya tatapan itu kembali menuju posisi pemuda yang ketika tadi dia tabrak.

'Loh, bukannya tadi Bisma di sini? Kenapa bisa hilang cepat benget, ya?' tanya Indah bersenandika.

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status