Share

Bab 04

Author: Dilan
last update Huling Na-update: 2022-08-31 09:19:18

Setibanya di dalam vila dengan ruangan sangat lebar, terlihat pemandangan khas yang hadir memanjakan kedua netra, dinding dengan lapisan cat bernuansa serba putih mewarnai dari awal masuk hingga menuju sejurus anak tangga.

Lantai yang terbuat dari ubin seakan memberikan warna kemerlap terang, di antara plafon juga dihiasi lentera berukuran lumayan besar, sementara pojok ruangan tersebut terdapat lemari kristal dan arloji sakana klasik.

"Silakan masuk dulu, Nak." Penjaga—vila bernama—Pak Sukri memperkenankan para mahasiswa untuk masuk.

Sembilan orang yang tergabung dalam satu kelompok itu tak pernah terpikir akan mendapatkan tempat KKN paling spesial, sementara mahasiswa kelompok yang lainnya hanya melaksanakan kegiatan tersebut di satu kabupaten. Karena sangat senang, mereka pun menghambur masuk dan menaiki anak tangga lantai dua.

Tetapi tidak dengan Bisma, ketua dalam regu KKN itu tampak sangat gelisah dan memekik ketika awal menapakkan kakinya di Kecamatan Berastagi. Ketika di tengah perjalanan, dia telah mendapati sebuah penglihatan tak lazim, seperti sosok makhluk berwajah sangat lebar.

"Anak muda, kau tidak masuk bersama yang lainnya?" tanya penjaga—vila di hadapan.

"Maaf, Pak, kalau boleh tahu namanya siapa, ya?" Bisma malah balik nanya pada lelaki paruh baya itu, alisnya juga mengernyit seketika.

"Nama saya, Sukri," responsnya.

Secara spontan, Bisma menyodorkan tangannya dan menatap mantap penjaga yang terlihat seram tetapi baik hati itu. Kemudian dia berkata, "nama saya Bisma, Pak."

"Oh, Nak Bisma. Kamu sangat lembut dan sopan, saya kagum dengan anak muda yang masih menjunjung etika ketika berbicara pada orang tua," puji Pak Sukri.

"Terima kasih, Pak, kalau begitu saya masuk dulu, ya." Bisma pun menarik koper hitamnya yang berisikan pakaian.

"Silakan, Nak, saya juga mau lanjut ke kebun dulu. Kalau ada apa-apa, temui saya di pondok itu. Soalnya, pesan dari dosen kamu—Bu Intan, dia mempercayakan keamanan mahasiswanya pada saya." Lelaki yang membawa cangkul itu pun menatap pondok minimalis di tengah kebun sayur.

"Oh, iya, Pak. Assalammualaikum ...."

"Wa'alaikumsallam ...," respons Pak Sukri.

Ketika berjalan dua langkah ke depan, Bisma merasa sangat merinding, tengkuknya pun terasa sangat berat dan seperti ada suatu keanehan. Karena sangat penasaran, dalam hitungan detik dia memalingkan tatapan ke belakang.

Penjaga—vila pun tak lagi ada di sana, padahal orang itu sudah lumayan tua dan berjalan sangat gontai. Namun, yang membuat Bisma tercengang adalah, lelaki paruh baya seperti Pak Sukri tidak mungkin dapat berlari di tengah permadani ilalang yang tingginya hampir setengah meter.

'Loh, kok, Pak Sukri hilang gitu aja? Perasaan aku baru dua langkah berjalan, aneh banget tau enggak.' Bisma bersenandika.

Seraya membuang perasaan aneh, pemuda tampan berkumis tipis itu memutar badan kembali, tanpa mengetahui siapa gerangan di posisi depan dia menatap mantap sosok yang tengah tertegun.

"Astaghfirullah!" pekik Bisma.

Dengan napas ngos-ngosan, dia terdiam seribu bahasa. Rupanya yang berada di hadapan adalah Fernando seraya membuang senyum semringah, ekspresinya seperti orang bodoh.

"Kenapa, Ketua?" tanyanya.

"Ah, enggak. Ak-aku, cuma kaget aja."

"Pasti mau bilang kalau aku hantu, kan?" Nando membuang tatapan jijik.

"Habisnya, kedatanganmu sangat tiba-tiba, hampir aja aku tabrak," cibir Bisma.

"Ih, amit-amit ... aku juga masih normal kali." Dengan mengangkat siku sebelah kanan, Nando pun bergerak menuju ruangan yang berada di sudut vila.

Karena sangat lelah seharian membawa koper, Bisma pun akhirnya menaiki anak tangga lantai dua, kamar yang tersedia ada sembilan di sana, meski ruang tersebut sangatlah minimalis, tetapi cukup untuk tidur satu ataupun dua orang. Nomor di depan pintunya juga sangat unik, berurutan dari angka satu sampai sembilan.

Tepat di depan pintu nomor satu, Bisma berhenti. Dia menoleh ketujuh sahabatnya yang juga menatap serius menuju portal tertulis aneh itu, bercak merah yang terpampang sangat mengundang berjuta pertanyaan.

"Guys, kalian belum masuk?" tanya Bisma.

"Belum, Bis, kami enggak tahu harus pilih kamar nomor berapa. Soalnya, kamar ini sangat kecil—mana bisa kalau kita tidurnya bertiga." Dari posisi tengah, Anissa berujar.

'Iya juga, ya,' batin Bisma.

"Bagaimana kalau kita tidur di ruang kamar masing-masing? Kan, jaraknya juga dekat jadi gak perlu takutlah sama hantu," titah Bisma seraya membuang cengir.

"Bagus juga katamu. Ya, udah, kita masuk aja," sambar Tias dan Anita.

Bisma pun masuk lebih dulu di kamar nomor satu, yang lainnya juga memasuki kamar tersebut hingga urutan kedelapan. Tepat di kamar paling akhir, ditempati oleh Indah, wanita yang sangat peka akan kahadiran makhluk gaib. Dia berjalan sedikit limbung akibat banyaknya barang bawaan.

Koper yang dia bawa lumayan besar, berisikan pakaian dan perlengkapan praktik untuk meneliti. Lukisan yang ada di dalam ruangannya sangat bagus, dipenuhi dengan foto-foto Danau Toba dan destinasi khas Sumatra Utara. Sementara di jendela kamar, terdapat gorden berwarna hijau.

Indah mendudukkan tubuhnya di atas sprei bernuansa serba putih itu, seketika ruang kamar menjadi temaram ditimpali dengan angin yang masuk melalui ventilasi sangat kencang. Namun, dia tak mau mengambil pusing perihal keanehan, karena tujuannya datang ke Berastagi untuk meneliti.

Desas-desus berdesik memasuki indra pendengarannya, suara kecipak juga seperti terpapar jelas dari luar ruang kamar. Menggunakan tangan kanan, Indah mengambil diarynya dan membuka secarik kertas seraya memainkan benda bertinta hitam itu.

Kebiasaan Indah adalah menulis, menceritakan semua yang terjadi di dalam hidupnya, mulai dari masa lalu sejak dia dibenci ibu tirinya, hingga perihal cinta. Dalam hubungan asmara Indah adalah wanita lemah, tepat di usianya yang menginjak 21 tahun itu harus merelakan kekasihnya—menikah dengan sahabat sendiri.

Sejak kejadian mati suri yang dia alami beberapa bulan lalu, Indah kerap menjadi sasaran utama makhluk gaib yang ingin berkenalan dengannya, mungkin tujuan makhluk itu hanya ingin berteman dengan Indah— mahasiswi korban buli yang mendapat julukan 'PSIKOPAT.'

Ketika sedang menulis, jendela kamar Indah terbuka dengan sangat keras, padahal semilir angin sudah berhenti saat itu.

"Astaghfirullah!" sorak Indah seraya membangkitkan posisi duduknya.

Suara burung kedasik terdengar sejurus dari luar jendela, cahaya—sedikit temaram tampak jelas di netranya. Penasaran kembali menyergap, dengan langkah yang sedikit gontai, lalu dia beringsut menuju jendela tersebut.

Menggunakan tangan kanan, Indah menyibak gorden bernuansa serba hijau itu dan meraih penutup jendela. Namun, tepat di kebun sayuran milik Pak Sukri, dia mendapati siluet pemandangan yang berbeda. Tak sama ketika dia menatap di awal tadi, permadani kebun sayuran tampak seperti batu nisan yang berjajar rapi.

Dengan napas ngos-ngosan, Indah memalingkan tatapan menuju pintu ruang kamar. Kemudian, dia kembali meraih engsel dan menutup rapat jendela kamarnya.

'Kenapa kebun yang ada di bawah berubah jadi kuburan? Padahal, ketika tadi kami berbincang sama penjaga, kebun itu dipenuhi sayuran dan buah-buahan.'

Selesai bermonolog, Indah kembali berjalan menuju kursi dan meja belajarnya. Dengan tangan kanan, dia menyibak rambutnya yang menutup wajah sebagian. Tatapan penuh pun hanya tertuju pada buku diary di hadapan, yang menjadi pertanyaan besar baginya adalah, mengapa diary miliknya sudah tertulis angka 9. Tulisan dengan bercak merah yang sama seperti ketika Indah berada di rumahnya.

'Astaghfirullah, kok, ada angka sembilan lagi? Perasaan aku enggak ada nulis sama sekali.'

Berjuta pertanyaan datang secara bertubi-tubi dari dalam kepala Indah, otak tak lagi berpikir netral merumuskan penglihatan tak lazim belakangan ini. Bulir bening keluar dari leher bergerak sejurus melalui lekuk pipi, sentuhan tangan lembut juga terasa mendarat di pundaknya.

'Itu tangan siapa, ya?' tanyanya dalam hati.

Karena tak tahan, dia menoleh secara spontan. "Siapa itu!"

Akan tetapi, di belakang tidak ada siapa pun, jendela yang tadinya sudah tertutup malah kembali terbuka. Pintu kamarnya pun seperti ada yang mengetuk beberapa kali.

"Masuk ...!" teriaknya mempersilakan.

Pintu kamar pun terbuka, mereka adalah Anita dan Tias yang datang menjumpai.

"Indah, kau lagi apa?" tanya Anita.

"A-aku, lagi ... ini, nulis. Iya, lagi nulis," titah Indah terbata-bata.

"Lagi nulis, kok, seperti orang dikejar hantu gitu?" sambar Tias sekenanya.

Percakapan pun hening seketika, kedua sahabat Indah mendudukkan tubuh di atas sprei bernuansa serba putih, sambil mengunyah cokelat yang mereka bawa dari rumah. Namun, Indah hanya fokus pada tulisan angka sembilan di buku diarynya.

"Lagi lihat apa, sih? serius amat?" Anita kepo, lalu dia berdiri menemui posisi sahabatnya.

Dengan sagat cepat, Indah menutup buku diarynya dan menekan kening seketika. "Enggak lihat apa-apa, kok."

"Kita keluar, yuk, bosan di dalam kamar terus," ajak Tias penuh harap.

"Boleh, aku juga bosen di kamar terus. Indah, kau ikut enggak?" tanya Anita.

"Gimana, ya, aku lagi malas benget keluar kamar."

"Udah, ayo ...." Anita pun menarik tangan sahabatnya yang pemalu itu.

Mereka keluar dari kamar dan menuju lantai satu. Ketika sampai di ruang tamu, Indah menoleh ke arah dapur. Dengan mata telanjang, dia mendapati sosok bertubuh tinggi berjalan memasuki ruangan berukuran minimalis itu.

"Siapa itu?" tanya Indah, dia berhenti di samping lemari kristal.

"Kenapa, Ndah?" tanya Anita penasaran.

"Tadi ada laki-laki berjalan kencang banget ke arah sana."

"Di mana? Perasaan enggak ada siapa-siapa," sambar Tias, wanita berbandana merah itu mendongak secara saksama.

"Tadi aku lihat di sana ... ada orang lewat kencang banget," timpal Indah meyakinkan.

"Halah ... paling juga Nando atau Pikram. Mereka, kan, memang super jahil jadi anak. Udah, yuk, kita keluar aja," desak Anita, kedua sahabat pun memaksa Indah untuk keluar dari vila.

Sesampainya di depan halaman, mereka tercengang setelah melihat anak cowok sibuk membersihkan halaman. Di sana ada Bisma, Andre, Nando dan Pikram. Sementara Anissa dan Siska berfoto di samping kebun strawberry.

"Bentar-bentar, mereka semua ada di luar. Jadi, tadi yang kamu lihat siapa, Ndah?" tanya Tias, tatapannya gelenyar ke posisi sejurus.

Bersambung ...

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • TEROR BEGU GANJANG (Selanjutnya Kau Yang Akan Mati)   Bab 23

    'Mereka kenapa, ya? Aneh banget, perasaan tadi masih baik-baik aja.' Selesai bersenandika, Indah menyentuh kening Anita sembari mengecek suhu badannya. Sebelum telapak tangan mendarat di kening wanita berdasi merah itu, lawan bicara pun menarik tangan kanan Indah dan memutarnya sangat erat.Karena kesakitan, wanita berusia 21 tahun itu melayangkan pukulan lewat kaki kanannya, kemudian dia terlempar sekitar satu meter dari depan ketiga sahabat. Tubuh mungil dan semampai itu seketika terbanting di atas lantai, ekspresi Indah juga berubah menjadi meringis kesakitan."Ach, mereka kenapa jadi seperti ini, sih? Padahal tadi baik-baik aja, atau mereka kerasukan hantu?" Ketiga dari sahabatnya itu berdiri dan masing-masing mengambil pisau di atas nakas. Mereka tertegun seraya berjalan gontai mememui Indah, tatapan kosong Anita dan yang lainnya juga sangat membuat gemetar. Karena sangat takut, Indah mundur dengan menggeser tubuhnya yang telah terjatuh."Anita, jangan lakuin ini. Tias, Anissa,

  • TEROR BEGU GANJANG (Selanjutnya Kau Yang Akan Mati)   Bab 22

    Tepat di hari kelima belas para peserta KKN melaksanakan tugas mereka, setelah hilangnya nyawa ketiga sahabat secara dramatis, muncul kehadiran seseorang yang tak pernah terlihat sebelumnya.Seorang pemuda yang mengaku sebagai alumni itu datang secara tiba-tiba baik dalam mimpi maupun dunia nyata, akan tetapi hanya Indah yang menjadi orang satu-satunya sebagai target pemuda asing itu, sosok berwajah tampan yang hampir setiap hari datang dalam bunga tidur seakan telah menguasai dunia alam bawah sadar gadis berusia 21 tahun itu.Karena pagi ini ada proyek kegiatan meneliti seputar tanaman yang hidup di Desa Berastagi, keenam mahasiswa dan mahasiswi yang tersisa menggerompok ke pusat lokasi vila tersebut. Ruang tamu dengan ukuran lebih lebar dari lokasi lain adalah titik tumpu berkumpulnya para mahasiswa KKN. Dengan langkah kaki sedikit kencang, Indah melompat dari atas dipan setelah mendengar jam beker di atas nakas berdering sangat keras. Mimpi yang terjadi beberapa hari belakangan me

  • TEROR BEGU GANJANG (Selanjutnya Kau Yang Akan Mati)   Bab 21

    'Dimas? Perasaan enggak ada siapa-siapa di sini. Kan, cuma ada aku dan dia aja?' tanya Bisma bersenandika."Kenalin, ini Dim ...."'Loh, Dimas pergi ke mana, ya? Cepat banget ngilangnya!' pekik Indah bermonolog.Tatapan pun menoleh ke kanan dan ke kiri. Pasalnya, pemuda yang sedari tadi dia ajak berbicara hilang secara spontan. Sementara Bisma mematung di posisi awal, sebelum akhirnya dia duduk di sebelah kanan lawan bicara.Tampak dari kedua bola matanya, Indah kebingungan dan mencari-cari pemuda tersebut. Namun, setelah kehadiran Bisma di depan, pemuda asing itu hilang seperti embusan angin. Semburat jingga arunika menyingsing dan menggandeng nuansa hitam putih, suara burung kedasik kembali terdengar."Indah, sudah sore. Yuk, kita kembali ke vila," ajak Bisma seraya menoleh sekilas wanita aneh di sampingnya.Tanpa membalas ucapan ketua tim, Indah pun mengikuti langkah Bisma dari belakang. Sementara dari balik pohon randu, Dimas memantau wanita yang dia sukai itu tengah berjalan bers

  • TEROR BEGU GANJANG (Selanjutnya Kau Yang Akan Mati)   Bab 20

    Siang itu tepat di desa yang penuh dengan berjuta pertanyaan, seraya merumuskan kejadian datang secara bertubi-tubi setiap harinya. Indah Saraspati adalah seorang gadis yang tertutup, untuk segala masalah dia tak mau menceritakan pada siapa pun.Sejak kehadirannya kembali di tengah-tengah para sahabat, kehidupan terasa sangat berbeda. Semenjak dinyatakan mati dan kembali hidup membuat Indah teropsesi pada kesendirian, dengan begitu dia bisa merasakan ketenangan. Semburat arunika menerpa jiwa lara, terpatri indah di dalam hati gadis berusia 21 tahun itu. Nestapa seakan ambil andil dalam bagiannya, kematian demi kematian yang terjadi terlontar akibat keberadaannya dalam satu tim KKN. Karena sangat kecewa, dia keluar dari Vila dan berjalan menuju pohon randu. Tepat di pinggir desa dengan pepohonan berukuran lumayan besar. Sambil mendengarkan musik menggunakan earphone, Indah bersenandung bersama tembang lagu-lagu nostalgia. Kecintaannya kepada musik gondang suku Batak sangat melekat,

  • TEROR BEGU GANJANG (Selanjutnya Kau Yang Akan Mati)   Bab 19

    "Kau bisa menjamin kalau bukan dia yang membunuh?" sambar Anissa spontan bernada sedikit mendayu."Kalian lagi ngomongi siapa? Sepertinya serius sekali. Perihal membunuh, siapa yang dibunuh?" Indah hadir di tengah-tengah perseteruan yang terjadi, kedatangannya yang secara tiba-tiba membuat bungkam perbincangan."Eh, Indah, kita enggak ngomongi soal pembunuhan, kok. Kau salah dengar kali," titah Anissa meringis takut, dia menggigit bibir bawahnya seraya menoleh ke wajah para sahabat yang telah melotot."Oh, kirain lagi ngomongi apa. Soalnya, aku bukan pembunuh. Kalau kalian berpikir aneh tentang kejadian ini, suatu saat permainan ini akan terungkap." Indah kembali memutar badan dan berjalan menuju lantai dua.Setelah orang yang tengah mereka bahas pergi, napas pun kembali netral setelah sebelumnya terhenti sejenak. Pembahasan tak lagi terdengar, mereka lebih memilih meninggalkan ruang tamu.Anita dan Tias berjalan menemui sahabatnya yang sedang berada di dalam kamar tidur. Pintu kamar

  • TEROR BEGU GANJANG (Selanjutnya Kau Yang Akan Mati)   Bab 18

    Hari berganti hari, minggu kedua telah mereka lewati bersama dengan kejadian yang tak pernah terpikirkan. Keenam mahasiswi Universitas Nusantara sedang diruntuk rasa bingung, pertanyaan datang tanpa jeda seolah otak tak mampu untuk merumuskan segalanya.Permadani terpampang jelas di luar vila, makam tanpa batu nisan menghabiskan ketiga mahasiwa yang tak mampu untuk mencekal takdir. Ironi itu memang hakiki, akan tetapi maut tak mau berdamai dengan mereka. Karena kematian itu terjadi sangat tidak wajar, kehadiran mereka dalam vila hanyalah bagai tawanan dalam penjara pesugihan."Aku mengajak kalian berkumpul di ruangan ini karena ingin membahas sesuatu," ucap Bisma yang sedari tadi memekik di atas kursi sofa.Kerlingan netra masing-masing mahasiswa menoleh kiri dan kanan, sepertinya Bisma memiliki pemikiran yang sama, lamat-lamat para mahasiswi tak percaya perihal makhluk gaib itu ada di sekitar vila."Berhubung kita sudah berkumpul di ruangan ini, apa yang ingin kalian bahas." Anissa m

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status