Security dengan badge name Suryadi itu mengangguk tanpa ragu. Lalu setengah berbisik dia berkata, "Menurut banyak cerita, tempat itu bekas makam janin-janin yang keguguran, Pak. Sebelum dipindahkan ke sebelah lapangan belakang rumah sakit ini." Suryadi mengusap lengan setelah menyelesaikan ucapannya."Makam? Tapi tadi saya lihat seseorang yang saya kenal menuju tempat parkir dekat taman, Pak!" sahut Evan bingung."Itu perasaan Bapak saja," jawab Suryadi lagi setengah berbisik.Evan mengusap lengannya yang meremang. Saat pintu lift terbuka, dilihatnya kedua orang tua Evan yang terlihat panik di depan nurse station."Evan, ke mana saja kamu? Kami cari dari tadi?" Bu Rudi yang terlihat panik melangkah cepat menghampiri anaknya. Evan dan Suryadi saling pandang sesaat. " Evan jalan-jalan sebentar Ma dan diantar ke sini sama Pak Suryadi," jawabnya setengah berbohong."Terima kasih, Pak." "Sama-sama, Bu. Selamat istirahat, Pak. Saya kembali ke pos jaga," jawab Pak Security sopan sebelum per
Benar saja, keesokan harinya, Evan diperbolehkan pulang, mengingat kondisinya yang sudah membaik. Sebelum memutuskan pulang ke rumah, Evan lebih dahulu pergi ke toko khusus keperluan anak-anak. "Pak, tolong tunggu sebentar, aku mau mampir beli sesuatu dulu," katanya pada sopir keluarga yang menjemputnya ke rumah sakit. "Baik Mas." Evan bergegas turun, dengan antusias dia membeli banyak barang untuk Bunga. Laki-laki itu merasa kasihan dengan Bunga, yang memakai pakaian lusuh dan sendal butut yang tak kalah lusuh. Berbagai pernak-pernik berhubungan dengan anak perempuan Evan beli. Mulai dari tas lucu warna pink dengan gambar tokoh animasi Barbie dan Rapunzel, gaun berwarna pink, baju-baju anak yang trendi juga sepatu serta mainan. Setelah membayar dengan black card-nya, arsitek muda itu keluar dari toko dengan membawa dua buah kantong berukuran besar. Dengan perasaan heran Pak Sopir membantunya meletakkan semua belanjaan Evan di jok belakang. "Siapa yang ulang tahun, Mas? Apa mau k
Keduanya masih sama-sama diam sibuk dengan pikiran masing-masing. Evan tidak mengerti, mengapa semenjak kecelakaan, dirinya menjadi aneh. Apa benar yang dikatakan Pak Faiz? Jika dirinya tengah berhalusinasi akibat kecelakaan hebat itu? Laki-laki berkemeja biru navy itu mendesah, yang mengundang Pak Faiz menoleh sekilas ke arahnya. Pak Faiz yang tengah fokus pada kemudi itu bertanya lirih, "Mas Evan mikirin tadi ya?" Tebakan Pak Faiz ternyata tepat.Evan menoleh sekilas lalu kembali menatap ke depan."Kok bisa ya, Pak, aku seperti itu? ""Iya, katanya orang habis kecelakaan itu bisa membuka indera keenam, entah benar atau nggak, Mas.""Aku nggak percaya itu, Pak. Oh, ya, nanti kalau Papa tanya kenapa kita baru pulang, tolong jangan bilang aku mampir nemuin Bunga ya, Pak. Bilang saja aku mampir ke apartemen," pinta Evan, yang diangguki patuh oleh Pak Faiz.Dia memilih mengalihkan pembicaraan, daripada melanjutkan membahas hal aneh yang membuatnya semakin pusing. Mobil mewah itu pun mema
Di kediaman orang tua Inno...Waktu telah melewati dini hari, tetapi laki-laki berwajah bule itu belum berniat untuk tidur. Sesuai pesan Paman Usman beberapa waktu lalu, dia tidak akan tidur sebelum jam dua dini hari. Walaupun lelah, tetapi dia tidak merasa keberatan melakukan semua itu. Demi keamanan sang istri dan calon anak mereka. Inno tidak ingin lengah dan hal buruk terjadi pada istrinya seperti waktu itu. Beruntung, Inno memiliki keluarga di Italia. Dengan perbedaan waktu sekitar 6 jam bisa dimanfaatkan lelaki jangkung itu. Sehingga dia bisa membunuh rasa bosannya dengan melakukan video call dengan kakek neneknya di Venezia. Kali ini Inno memilih menghubungi Matteo, sepupunya yang tinggal di kota Milan. "E la decisione del nonno? Tutto dipende dall'approvazione del nonno come proprietario dell'azienda e Celia consigliere delegato. Non dirmi che ne parli solo per interrompere il mio tempo Matteo." (Bagaimana dengan keputusan kakek? Itu semua tergantung pada persetujuan kakek se
Evan mundur selangkah untuk mencapai meja kerjanya. Dengan pandangan tetap lurus ke arah Bunga, tangan kanan pria itu menyentuh tombol intercom yang menghubungkan ke kamar kedua orang tuanya. "Pulanglah, kamu jangan ke sini. Pulang kataku!" perintah Evan setengah berteriak. Berapa saat kemudian, dia menoleh hanya sekilas saat pintu kamarnya dibuka dari luar. Pak Rudi dan istrinya berdiri di ambang pintu sambil menatap Evan dengan wajah keheranan."Van,kamu kenapa, malam-malam begini teriak-teriak? Kamu bicara sama siapa?" Evan tak menjawab pertanyaan Pak Rudi. Dia memilih menatap ke arah luar jendela yang kini kosong. Tidak ada Bunga di sana. Evan bergegas membuka jendela dan mencari-cari keberadaan Bunga. Tetapi lagi-lagi kosong. Pak Rudi menatap istrinya sambil mengusap-usap tengkuknya yang meremang. "Tadi ada anak kecil berdiri di depan jendela, Pa," jawabnya pelan. Pak Rudi tertawa sumbang mendengar jawaban tidak masuk akal dari anaknya. "Kamu pasti ngigau Van, anak kecil? Nga
Inno menyingkirkan dengan pelan lengan adiknya. Entah mengapa setiap kali Aisyah bersikap seperti itu pada Inno, ada rasa tak nyaman di hati Amelia. "Cuci tangan dulu sana. Jogging dari pagi baru pulang?" tanya Inno dengan nada ketus yang langsung dituruti oleh adiknya.Aisyah melirik sekilas kakaknya lewat pantulan cermin di atas wastafel."Iya Kak, tadi ngobrol dulu sama Bella," jawabnya sambil mencuci tangan.Inno menyipitkan mata curiga, mengamati Aisyah yang kini duduk di sebelah ibunya. "Bella itu cowok, ya?" tanya Inno asal.Aisyah mencibir. "Kak Inno pasti curiga, deh. Bella ya teman aku, Kak, memang Ais itu Kak Inno, apa? Nama kontak WA-nya Fatma dikasih nama Syaiful. Dan kontak WA Ajeng dikasih nama Agus!" jawabnya dengan satu tarikan napas.Aisyah puas melihat wajah Inno yang semerah tomat busuk. Rupanya gadis itu sudah kehilangan kesabaran menghadapi sikap over protective kakaknya. Sedangkan Amelia yang tadi diam, tak kuasa menahan tawa. Inno melirik istrinya yang masih ter
"Bunga?" gumam lelaki berumur setengah abad itu yang diangguki oleh Inno.Pembicaraan terjeda sejenak, ketika Lisa memasuki ruangan mengantarkan dua cangkir kopi untuk keduanya. "Terima kasih, Lisa," ucap Inno sebelum gadis itu pergi. Inno menarik napas pelan sebelum kembali bercerita,"Benar, Om. Amelia pernah kerasukan. Ini adalah cobaan paling tidak masuk akal yang kami alami. Dan perempuan misterius itu katanya kehilangan bayi perempuan dalam kandungan. Maksudnya apa? Saya kurang ngerti, Om. Amelia dijadikan objek mencari keberadaan anaknya atau bagaimana, saya benar-benar tidak paham. Semua ini di luar nalar. Tapi, kata Paman Usman kalau anak kami laki-laki maka wanita itu berhenti menemui Amelia. Semoga saja." Inno menyelipkan harapan di akhir kalimatnya."Dan artinya perempuan itu mencari objek baru yang berhubungan dengan anak perempuan, begitu, Nak? Astaga, ini nggak masuk akal. Lalu, kami harus bagaimana, Nak?" tanya Pak Rudi bingung.Inno menatap Pak Rudi yang tampak frusta
Inno masih diam memperhatikan menu makan siangnya. Laki-laki itu masih berusaha menetralkan detak jantungnya yang berdetak lebih cepat. Perlahan, dia menarik napas kemudian membuangnya."Mau disuapin? Ditungguin sambil melamun juga paha ayam nggak berubah jadi paha kambing, Mas," celetuk sang istri tanpa menyadari kondisi sang suami.Inno membuang muka. Dia berusaha membatasi pandangan dengan sang istri. Istri cantiknya itu memang kadang-kadang perlu ditunjukkan bagaimana caranya peka akan situasi. "Bisa nggak sih, nggak usah memancing? Nggak ngerti saja!" gerutunya jengkel. Butuh waktu dua detik bagi Amelia untuk menangkap maksud ucapan suaminya. Dia menatap laki-laki yang kini memfokuskan pandangan ke layar komputer di atas meja, dengan heran."Mas kenapa sih uring-uringan terus?" Inno menatap malas Amelia. "Semua ini salahmu, masih pura-pura nggak tahu!" ketusnya.Amelia memutar bola mata malas. "Salahku?" ulangnya belum juga paham. Inno mengangguk dengan tatapan lurus ke arah la