“Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau saudara Gavin Davendra bin Tibra Devandra dengan putri saya yang bernama Prisha Lavani binti Egon Braun, dengan maskawinnya berupa kalung emas seberat 20 gram, tunai.”
Penglihatan Gavin berkabut kala menjawab ijab. Kesadarannya mengawang-awang. “Saya terima nikah dan kawinnya Nalini---“
Penghulu berdeham. Salah satu saksi menepuk bahu pemuda itu. “Mas Gavin, salah nyebut nama.”
Gavin tersentak, lalu mengulangi kabulnya, setengah linglung. Kalimat kedua, tetap salah ucap. Saksi menggeleng pelan dan kembali menegur. Lafaz kabul yang ketiga, tatapan Gavin menerawang. Masih menyebut Nalini.
Sesaat, pikirannya terbang pada kejadian satu jam sebelumnya. Menjelang akad, mamanya tiba-tiba mengancam bunuh diri.
“Mama akan bunuh diri kalo kamu tetap nekat menikahi mantan PSK itu!” Wajah Karina--mamanya--menyiratkan ancaman. Ujung pisau di tangannya, telah menempel pada leher.
Gavin terbeliak. Pucat pasi. Lebih dari apa pun di dunia, ia sangat menyayangi mamanya. Penderitaan yang disandang mamanya, telah ia saksikan sejak kecil, hingga Gavin bersumpah akan menjadi pelindung mama dan mematuhi semua kehendaknya.
Jika mamanya sampai ingin bunuh diri, hanya gara-gara perkara ini, Gavin tak kuasa berkata apa-apa lagi. Akan tetapi, mengapa? Mengapa mama tega mengganti pengantinnya?
“Turunkan pisau itu, Ma! Kenapa Mama sampai begini? Mama udah setuju, bahkan melamar Nalini untukku. Mengapa tiba-tiba berganti dengan putrinya?”
“Mama sengaja.” Karina menyeringai. “Karena Mama tau, kamu pasti nawar jika Mama bilang tidak setuju. Kamu memang selalu nurutin Mama. Tapi Mama udah tau sifatmu. Kamu sulit menyukai seseorang, tapi sekali suka, kamu bakal memperjuangkannya mati-matian. Mama sedih begitu tau, kamu menyukai wanita yang salah. Bikin malu! Kamu pikir, mudah buat Mama nerima mantan PSK sebagai menantu? Keluarga cemerlang kita bakal tercoreng aib. Kamu nggak mikir gimana dampaknya buat karir papamu? Bisa gagal kampanyenya jadi caleg tingkat satu!”
Mata abu-abu Gavin memerah dan berair. "Saya udah bilang berkali-kali. Nalini udah tobat. Kita juga bisa menutupi masa lalunya dengan membuatkan identitas baru.”
“Big no!”
Gavin menatap dengan perasaan hancur. “Tapi ... mengapa harus Prisha, putri Nalini?”
Sorot mata Karina berubah misterius dan berkaca-kaca. “Kita di ambang kehancuran, Vin. Perusahaan papamu bangkrut, padahal papamu perlu dana segar buat kampanye. Biaya perawatan nenekmu yang lumpuh total di rumah sakit juga sangat besar. Belum lagi utang berbunga di bank. Prisha adalah kunci keselamatan keluarga kita .... ”
Dunia serasa runtuh bagi Gavin begitu mendengar pemaparan mamanya. Kalimat selanjutnya, nyaris tak tersimak lagi karena hatinya terlalu hancur berkeping-keping.
***rimbuncahaya***
Dari kamar pengantin, suara Gavin lewat mikrofon terdengar jelas. Nalini, perempuan sensual berparas mirip artis India, menangis terisak-isak sampai dadanya sakit. Ia paham, lelaki itu pasti kaget dan sangat terpukul. Dari sekian banyak pria, Gavinlah pelabuhan terakhirnya. Ia dan dokter good looking itu sudah membangun mimpi mewujudkan manisnya hidup berumahtangga. Namun, hari itu impian tersebut musnah dalam sekejap.
Sebuah kesalahan fatal, yang tak mungkin diperbaiki, menghancurkan segala harapan muluk. Kekecewaan hebat, membuatnya tak kuasa mengontrol air mata di depan putri kandungnya sendiri. Putri yang telah ia korbankan.
Seorang gadis belia yang luar biasa cantik jelita dalam balutan kerudung berhiaskan bunga dan gaun pengantin putih, duduk diam bagai patung hidup. Matanya sembap. Bertolak belakang dengan Nalini, gadis itu justru terlihat lebih tenang, menyimpan badai dalam hati.
“Mami, jika sesakit itu, mari kembalikan semua pada tempatnya. Belum terlambat.” Gadis itu berkata lembut membujuk. Suaranya merdu. Mata kehijauannya yang besar dan berair, menatap pilu.
“Tidak! Prisha, jangan berubah pikiran! Kamu tidak tau dengan siapa kita berurusan!” tegas Nalini dengan suara serak. “Kamu mau Mami mati sekarang?”
Prisha tersentak. Kilat kebencian terpancar dari mata emerald-nya. Tiba-tiba, gadis remaja itu bangkit dan melompat ke pintu.
“Prisha!” jerit Nalini saat melihat putrinya menarik gagang pintu dengan kasar. Pintu sontak terbuka, memperlihatkan puluhan tamu wanita.
Wajah menawan si gadis langsung diterkam sinar tanya berpuluh-puluh pasang mata. Gadis itu, Prisha, terlihat kalap. Matanya merah. Tubuhnya memperlihatkan gelagat siap menyerbu ke depan. Tepat saat langkahnya terayun, suara Gavin dari mikrofon di ruang tengah berkumandang jelas.
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Prisha Lavani binti Egon Braun dengan maskawinnya yang tersebut, tunai.”
“Sah!”
“Sah!”
Gemuruh suara para tamu mengucapkan hamdalah, terdengar membahana.
Prisha menahan langkah. Wajahnya yang sudah putih bening, semakin pucat, menyamai baju pengantinnya. Sekonyong-konyong, pandangannya menjadi gelap.
Para tamu wanita terpekik menyaksikan tubuh gadis itu roboh ke lantai.
***rimbuncahaya***
Gavin mengusap mukanya yang dibasahi keringat dingin. Jantungnya terasa dingin dan detaknya melambat. Giginya gemeletuk.
"Tahan dirimu," tegur papanya. "Jangan mengamuk di sini," kata Tibra lagi, melihat putra tunggalnya itu mengepal tinju.
Gelagat Gavin memang seperti orang yang Ingin mengamuk.
"Kau bisa lampiaskan marah sepuas-puasnya, tapi nanti. Jaga nama baik keluarga ini. Kita sudah setengah mati merahasiakannya. Kau tidak pernikahan ini bocor ke publik, kan? Meski hanya ada kerabat di sini, siapa bisa menjamin mereka tak gatal tangan menyebar gosip?"
Berdenyut pening pelipis Gavin, dokter yang menjadi pemimpin rumah sakit di usia muda itu. Terbayang pengorbanannya yang luar biasa untuk memperjuangkan cinta dan meresmikan hubungannya dengan Nalini.
"Kamu benar-benar keras kepala. Susah payah kami didik kamu sebagai dokter sekaligus ahli waris bisnis rumah sakit. Kamu malah mau merusak citra keluarga ini! Mau ditaruh di mana muka kami punya menantu mantan PSK?!" Mamanya berteriak kalap ketika Gavin masih nekat melobi restu untuk yang ke sekian kali.
Papanya tak kalah gusar. Bahkan ingin menampar. Beruntung mamanya lekas menahan sang papa.
"Saya udah nurutin semua maunya Papa Mama. Sekali ini saja saya meminta dalam hidup ini. Mohon restui kami. Atau saya akan kembali ke Jerman!"
Akhirnya, sang mama luluh. "Oke, silakan menikah. Tapi rahasiakan pernikahanmu dari publik!"
Gavin bahagia sekali dan menyampaikan kabar tersebut pada Nalini. Nalini ikut bahagia. Tak masalah baginya nikah di bawah tangan, asalkan mereka bisa bersama. Gavin terharu dan makin cinta.
Namun, apa yang terjadi hari ini? Segala susah payahnya musnah dalam sekejap.
Mungkinkah kejadian hari ini, arti dari mimpi anehku tadi malam? Gavin membatin, frustrasi.
Semalam ia bermimpi menikah dengan seorang gadis berkerudung dan gaun panjang. Wajah gadis itu menunduk, sehingga wajahnya tak terlihat. Mereka berada di taman yang semarak berbunga. Saat terbangun pagi-pagi, Gavin merasa sangat bahagia, meski agak ganjil. Sebab Nalininya selalu fashionable tanpa kerudung.
Semua orang kelihatan gembira dan bahagia. Hanya Gavin yang terlihat pucat dan muram. Sebagian orang melongokkan kepala ke ruang tengah, ingin melihat pengantin wanita. Mereka menanti prosesi selanjutnya. Sesuai kebiasaan, setelah akad nikah, pengantin putri keluar untuk menandatangani buku nikah. Selanjutnya, ada acara tukar cincin. Pengantin wanita akan mencium tangan pengantin pria.
Sayangnya, yang ditunggu-tunggu tak kunjung tiba. Malah terdengar keributan kecil dari ruangan khusus wanita. Bisik-bisik tanya mulai berdengung di antara tamu pria.
Sarah, ibu Nalini, dengan sigap memberi isyarat ke panitia konsumsi di dapur untuk mulai menghidangkan makanan, agar perhatian para tamu teralihkan.
Kabar pun sampai ke telinga Gavin. Rupanya, mempelainya pingsan di depan kamar pengantin.
***
Empat jam sebelumnya. Belum tuntas Prisha berdoa selepas salat Subuh, suara ketukan di pintu terdengar bertalu-talu. Gegas gadis berusia 22 tahun itu bangkit dan membuka pintu. Hari itu adalah hari istimewa yang sangat dinanti-nanti ibunya. Mereka pasti bakal sibuk. Para tetangga di desa sudah sejak kemarin gotong royong membantu masak-memasak dan persiapan lainnya. Konon, pernikahan pertama ibunya berlangsung siri dan tak dihadiri Sarah, neneknya. Itulah sebabnya, di pernikahan kedua ibunya kali ini, meski digelar sederhana, neneknya tetap ingin menyiapkan walimah terbaik. Jadi Prisha pikir, wajar jika pagi-pagi pintu kamarnya sudah digedor. Mungkin Nenek butuh bantuan. Mungkin—“Prisha!” Nalini menghambur masuk, lalu memeluk putrinya sambil menangis sampai terguguk. “Mami, kok, nangis? Duh, sabar, sabar ....” Prisha mengelus-elus punggung ibunya. “Mami gugup, ya?” Gadis itu tersenyum kecil. Ia teringat beberapa kawan sekampungnya yang menikah di usia muda. Menjelang akad nikah,
Prisha masih merasa setengah melayang di udara kosong, tatkala siuman dari pingsannya. Perasaannya terjebak di ruang hampa ketika menyadari pakaian pengantin masih melekat di tubuhnya. Ini bukan mimpi. Aku benar-benar sudah menikah. Padahal, aku belum siap. Khitbah Dokter Salman pun belum kujawab. Trus, gimana kuliahku nanti? “Prisha, kamu udah siuman?” Suara lembut neneknya terdengar. Prisha menoleh. “Mami mana, Nek?”“Mami di sini.” Nalini muncul, mengelus kepala putrinya yang masih tertutup kerudung.Prisha mengangkat tangan, lalu menyusuti jejak air mata di pipi ibunya. “Mami, maafin Prisha. Harusnya Prisha bantu Mami mencari jalan keluarnya. Nggak mesti menggantikan Mami nikahin Om Gavin. Semua serba terburu-buru. Harusnya—“ “Prisha, sudahlah!” potong Nalini, seraya tersenyum getir.Tiba-tiba seorang wanita masuk ke kamar. Pakaiannya mewah, terbuat dari bahan bermerk yang mahal. Saat berjalan, suara gemerincing dari gelang-gelang emas di tangan dan kakinya terdengar. “Prisha
Nalini ternganga dan merasa penglihatannya berkunang-kunang. Selama satu tahun menjalin hubungan rahasia dengan Gavin, tak satu sentuhan pun ia terima. Pemuda itu terlalu alim untuk ukuran anak muda milenial. Gavin mengaku, sangat menghargai wanita dan tak berani menyentuh jika belum halal, karena ingat kalau ibunya juga wanita. Itulah yang membuat Nalini merasa tersanjung, karena dicintai bukan semata karena kecantikan fisik. Namun, hari ini, detik ini, tepat di depan mata kepalanya, Gavin melayangkan sentuhan tak terduga terhadap putri Nalini sendiri! Wanita mana yang tak terbakar hatinya? Nalini merasa seluruh darahnya mendidih, sampai ke urat paling kecil. Ia jadi merasa ingin amblas ke dasar bumi atau menjedotkan kepala ke tembok dengan sekuat tenaga. Setengah mati wanita itu mengendalikan diri. Sepasang tangannya dikepal ketat sampai kuku-kukunya melukai telapak tangan. Tapi ia mengerti, tak boleh memperturutkan emosi. Adalah keputusannya, yang membiarkan semua kesalahan itu
Prisha ingin ke depan, mencari neneknya. Otomatis, ia melewati kamar ibunya yang terbuka, hanya dihalangi dua gorden. Dari sela gorden, ia melihat bayangan sepasang manusia berhadapan, berdebat dengan suara rendah.Untuk alasan yang sukar dimengerti, ia merasa tak nyaman melihat ibunya dan Gavin hanya berdua di satu ruangan. Betapa tidak pantas setelah apa yang dilakukan ibu terhadap dirinya. Prisha tak sanggup menoleransinya. Jiwa pemberontaknya meronta-ronta. Gadis itu langsung menerobos masuk."Mami, tahu dirilah!" desisnya, tajam. Nalini terbelalak. Sementara Gavin mengernyit."Kalian sudah terhalang bersama! Dan itu adalah keputusan kalian sendiri! Jadi, berkomitmenlah terhadap keputusan tersebut!"Nalini terkejut dan marah. "Sha, kasar betul mulutmu!""Kasar?" Prisha menatap sinis. "Setelah apa yang Mami lakukan padaku, Mami mau nambah dosa baru?""Sha, Mami dan Om Gavin hanya ingin menyelesaikan masalah di antara kami!""Silakan! Tapi tolong, jangan berdua-duaan begini! Dulu
Dia baik dan hebat. Aku ingin seperti dirinya.Bisikan hati Prisha mengalun di alam khayali tatkala meninggalkan ruang poli umum puskesmas kecamatan. Usianya waktu itu baru 14 tahun dan belum pernah mengenal cinta pertama. Hatinya begitu gelisah. Antara senang, cemas, dan bingung. Jantung berdebar-debar setiap mengingat tatap mata, senyum, dan suara pak dokter. Ia hanya ingat namanya Gavin, berikut mata abu-abunya yang menawan dan menawarkan misteri. Namun, bukan semata itu yang membuatnya kagum, melainkan sikap pak dokter yang penuh perhatian dalam melakukan pemeriksaan. Jiwa gadisnya merasa tersanjung. Apalagi ketika teringat, dokter itu sebelumnya telah membalut luka dan menolongnya bangkit ketika jatuh dari sepeda. Sejak kecil, Prisha menyukai hal-hal yang berkaitan dengan medis. Hadiah mainan dokter-dokteran dari neneknya, saat ia berusia enam tahun, masih disimpannya sampai sekarang. Ketika menginjak kelas IV SD, Prisha didaulat sebagai dokter cilik di sekolah. Ia bertahan m
Melihat Prisha lambat merespon, perawat lainnya meraih ponsel korban, lalu menelepon nomor teratas yang terakhir dihubungi korban."Assalamualaykum, halo, dengan Bu Karina?" Sambil menelepon, si perawat mengulurkan tangan ke arah Prisha, meminta KTP. "Apakah Anda anggota keluarga saudara Gavin Davendra? Oh, putra Ibu, ya? Saya informasikan, putra Ibu mengalami kecelakaan di jalan raya, dan sekarang dalam perjalanan menuju rumah sakit provinsi!"Usai menelepon, si perawat mengembalikan ponsel dan KTP ke Prisha.Setibanya di IGD rumah sakit, korban langsung ditangani di zona kritis sesuai prinsip code blue. Prisha melaporkan kondisi pasien kepada dokter spesialis gawat darurat serta dokter spesialis anestesi. Dokter spesialis gawat darurat memutuskan pasien harus dioperasi cito atau segera, sebab lewat pemindaian CT Scan ditemukan pasien mengalami perdarahan di daerah epidural yang terletak antara tulang tengkorak dan lapisan duramater. Lapisan duramater sendiri merupakan lapisan terlu
Prisha bergerak maju. Namun, baru selangkah, ia terjeda. Ucapan Nalini berikutnya, membuat gadis itu tercengang."Saya yang menolong putra Anda. Andai bukan saya yang menemukan dan membawanya ke rumah sakit, putra Anda sudah tewas di tempat!""Bohong!" bantah Karina keras."Tak percaya? Tanya putri saya. Dia saksi matanya!" Nalini menarik lengan Prisha hingga gadis itu maju ke hadapan orang tua Gavin.Melebar sepasang mata Prisha, mengandung protes. Akan tetapi, Nalini menajamkan tatapannya, mengandung tekanan agar putrinya itu mengikuti permainannya.Hati bening Prisha yang sensitif mendeteksi kepanikan sang ibu. Agaknya, Nalini merasa terancam oleh ayah ibu Dokter Gavin. Nalurinya sebagai seorang anak yang ingin membela ibu, seketika bangkit. Apalagi ia hanya memiliki ibu, selain nenek, sebagai anggota keluarganya. Tentu saja Prisha tak ingin membiarkan ibunya terancam."Ibu saya yang menolong Dokter Gavin. Saya saksinya. Tapi kami tidak memaksa kalian untuk percaya. Itu tidak penti
Untuk pertama kali dalam hidup, wanita yang sangat berpengalaman menghadapi pria itu, terkesan menyaksikan sikap santun yang langka. Wajah tampan dan mata abu-abu Gavin yang eksotis, membuat Nalini tertantang menaklukkannya.Mudah ditebak, Nalini yang terampil berkomunikasi dan memiliki wawasan cukup luas, berhasil menarik perhatian Dokter Gavin. Pelan-pelan, ekspresi jijik yang sempat singgah di paras sang dokter menghilang. Tergantikan rasa terima kasih sekaligus kagum, iba, dan respek ketika Nalini menceritakan kisah hidupnya yang dramatis. "Saya berutang budi pada Anda. Izinkan saya membalasnya." Gavin meletakkan parcel di meja. "Katakan apa yang Anda inginkan. Saya akan berusaha memenuhinya."Nada suara Gavin terdengar mantap dan menjanjikan. Hati Nalini bergetar. Takjub dan serasa berada dalam mimpi. Baru kali ini ia menemukan pria yang bersedia memberi tanpa pamrih.Sementara Prisha hanya bungkam seribu bahasa. Ada tiga poin yang meresahkan jiwanya. Pertama, kebohongan yang