Sang dokter lalu mengucap salam dan mengetuk pintu. “Assalamualaykum.”Terdengar suara halus merdu menyahut salam dari dalam kamar. “Wa alaykumussalam. Siapa?”“Aku ... Salman. Apakah kamu lupa suaraku?”Ariana yang berada di dalam kamar, tertegun sejenak. Ariana bukannya tidak hapal suara lemah lembut sang dokter, tapi ia hanya tak percaya kalau itu betul-betul Salman. Selama sepuluh tahun, selalu dirinya yang mencari Salman. Selalu dirinya yang menelepon, mengirim chat, mencari-cari kesempatan untuk berjumpa. Dan Ariana kebal menghadapi sikap sepi dokter itu. Salman selalu menganggapnya tidak ada.Bodohnya, Ariana malah bertambah penasaran dan gigih mencari perhatian dokter itu. Sampai-sampai Gavin yang biasanya cuek urusan romansa, menegurnya.“Ari, kamu itu dokter spesialis anak yang jenius. Bahkan sudah fellowship bedah anak di rumah sakit internasional negeri tetangga. Kamu dan Salman itu setara. Jangan rendahkan dirimu!”Namun, Ariana bebal. Walaupun keahlian medisnya di atas
“Dok, saya sudah berjanji untuk tak menoleh ke belakang lagi. Masih ingat perpisahan kita setahun lalu? Saya berkata bahwa jika Anda tetap menolak, maka saya akan berhenti.” Nada suara Ariana tetap rendah dan lembut.Salman berdiri gamang. Tak menyangka kalau Ariana berkomitmen pada kalimat perpisahan tersebut.“Aku tak bisa menerimanya. Kamu rela menderita bertahun-tahun menerima sikap dinginku. Kamu bahkan jadi relawan medis untuk mengobati hatimu. Ari, izinkan aku—““Nggak perlu merasa bersalah, Dok.” Ariana menggeleng. “Itu adalah pilihan saya di masa lalu. Dan saat ini, juga pilihan saya untuk ... berhenti. Saya tidak ragu, hidup saya bakal sempurna di sisi calon imam sehebat Anda. Tapi saya telah melihat banyak hal di luar sana ....”“Apakah Zakki yang mengubahmu? Aku baca berita, kamu terjebak dengannya di pulau kosong. Siapa tau ....”Paras Ariana memerah. Mata indahnya berkilat gusar. “Serendah itu Anda menilai saya? Oh, I see. Mungkin karena dulu saya tak segan-segan mengej
“Ari, kau tau, kita bangkrut. Rumah terjual. Kita tak punya rumah lagi,” ungkap mama Ariana saat putrinya datang ke ruang ICCU. Saat itu, Danan masih tidur pulas di ruangan observasi ICCU. Ariana dan sang mama duduk di bangku khusus pendamping, tak jauh dari tempat tidur pasien.“Aku akan mencarikan kontrakan yang harganya terjangkau, Ma.”Lidya—sang mama—menggeleng, lesu. “Mama tak sanggup tinggal di rumah biasa. Paling tidak, standarnya sama dengan rumah di pulau terpencil itu.”“Rumah setara itu di kota besar, biaya sewanya bisa jutaan per bulan, Ma.” Bahu Ariana terkulai. Diam-diam ia kecewa terhadap mamanya yang tetap sulit menurunkan gaya hidup walau telah jatuh miskin. “Tabunganku tinggal separoh, Ma. Lima puluh persennya habis buat bayar gaji nahkoda dan anak buah kapal yang membantuku pulang. Sisanya hanya cukup ngontrak rumah sederhana selama satu tahun. Kalau mau rumah mewah, paling-paling cuma buat 1 bulan.”“Sebenarnya Pak Zed menarik papamu kembali memimpin industri fa
Teriknya matahari di langit ibukota metropolis, terasa menyengat di kulit putih Ariana. Peluh membanjiri pelipisnya. Leher dan sebagian baju atasnya pun sudah dibasahi keringat.Ia menanti bus di pinggir jalan raya besar. Sesungguhnya, bisa saja ia memanggil taksi lewat aplikasi online. Namun, Ariana memilih menunggu bus, karena ingin menikmati perjalanan seperti orang kebanyakan, demi melatih kesederhanaan jiwa.Dokter spesialis anak yang cantik dan berkulit halus lembut itu dulu terbiasa naik turun mobil mewah ber-AC. Tak pernah merasakan gerahnya sengatan sinar matahari.Semenjak keluarganya bangkrut, ia terpaksa membiasakan diri menunggu atau berlarian mengejar bus. Menahan ekstremnya hawa daerah konflik. Gersang dan berangin panas di siang hari, dingin membekukan di malam hari. Kulitnya tak terawat seperti dulu. Kini kulitnya kering dan kusam. Tapi Ariana tak peduli. Setelah setahun menjauh dari Salman, Ariana akhirnya sadar ada yang lebih berharga daripada penampilan fisik dan
“Aku membutuhkan saranmu,” ungkap Ariana pada Prisha, setelah menceritakan serunya pengalaman bekerja di medan konflik sebagai relawan medis. pada Prisha. Prisha baru saja menidurkan bayinya dalam ranjang mungil berpagar. Ia memandang Ariana dengan serius.“Pak Dokter bilang, Akak kelihatan galau.”“Kalian udah punya bayi, kamu masih memanggil Gavin pak dokter?” Ariana mengernyit.Prisha mengedikkan bahu. “Udah kebiasaan. Susah ngubahnya.”“Terserahlah.” Ariana mengganjur napas. “Oke, Kak Ariana mau curhat atau minta saran apa?”“Kamu tau, aku awam soal cinta.”Prisha mengangguk. Ia teringat semua curhatan Ariana, saat ia masih dibimbing sepupu Gavin itu di rumah sakit. Ariana semakin terbuka ketika mendampingi Prisha dirawat inap gara-gara percobaan pembunuhan waktu itu.“Dokter Salman akhirnya meminangku.”“Alhamdulillaah ....” Prisha tersenyum lebar. Ia bersiap mengucap selamat dan memberi pelukan hangat, tapi urung tatkala menemukan wajah mendung Ariana.“Tapi kurasa ... aku tak
Tatkala Salman menyampaikan hasil pembicaraannya dengan Ariana, Dokter Farid dan Dokter Adinda terbelalak tak percaya dan nyaris kehilangan kata-kata.“Bukankah papanya sudah merestui? Mengapa Ariana malah menolak?” Dokter Farid tak habis pikir. “Kamu dulu emang sangat keterlaluan. Aku kasian sekali pada Ariana. Ia sampai berusaha hijrah agar jadi calon istri shalihah yang engkau mau. Terlepas dari niatnya yang kurang tepat, gadis itu gigih sekali. Sepertinya sekarang ia sudah lebih matang dan dewasa.” Dokter Adinda mengungkapkan pandangannya. “Sepuluh tahun menyukaiku, apakah waktu satu tahun sudah cukup baginya untuk melupakanku?” Salman tak rela dilupakan begitu saja. Sebelah hatinya masih berharap Ariana berubah pikiran.Saat itu, malam minggu. Mereka bertiga duduk bersama di beranda rumah Dokter Farid sambil menikmati teh panas dan beberapa camilan. Malam itu sejuk, tapi Salman merasa kedinginan. Saat menceritakan isi dialog terakhirnya dengan Ariana, kenangan demi kenangan be
“Nak, Papa tak ingin mendiktemu lagi seperti dulu. Jangan pikirkan perasaan papa atau mama. Pikirkan kebahagiaanmu sendiri.” “Benar.” Lidya menimpali sambil mengiringi langkah putrinya. “Maafkan Mama yang marah-marah gegara kamu nolak dia. Mama hanya kasian padamu. Kamu putri mama tak pernah hidup susah. Selalu dilayani, tak pernah melayani. Cuma tau belajar, baca buku, lalu bersenang-senang. Hidupmu lurus, menjalani profesi dengan bahagia. Tiba-tiba kita bangkrut dan di-bully. Kamu menderita. Tak ada lelaki yang sudi menikahimu. Mama sedih sekali .... Mama cuma pengen kamu kayak dulu. Bahagia dan bersinar.”“Ari bakal kembali seperti dulu. Bahagia dan bersinar dengan cara berbeda.” Senyum Ariana mengembang. “Jangan khawatir, Ma, Pa.”Danan diam. Raut mukanya tak menunjukkan ketenangan meski putrinya telah ceria seperti biasa, setelah sebelumnya muram.“Apakah kamu tetap baik-baik saja jika mendengar kabar Dokter Salman menikahi wanita lain?” Lelaki itu memastikan sambil memandang pu
Zakki memanggil sopir kantor, lalu meminta diantar ke Mutiara Hospital. Begitu tiba di rumah sakit tersebut, ia bergegas menuju ruangan direktur. Ada papan berukirkan nama Dokter Salman di bawah tulisan direktur utama rumah sakit Mutiara. Zakki hendak menerobos masuk, tapi dua orang satpam menghalanginya. “Kalian nggak tau siapa aku?” desis Zakki.“Bikin janji dulu, Pak. Gak boleh seenaknya masuk ruangan direktur!” tegur salah satu satpam.“Aku Zakki Devandra, cucu pemilik Healthy Light yang menjalin kemitraan dengan rumah sakit ini! Kalian cari masalah kalau menghalangiku!” Zakki terpaksa menggunakan nama keluarganya untuk mengancam dua satpam itu.Kedua satpam bersitatap. Ragu-ragu.“Bisa saja kamu ngaku-ngaku! Mana mungkin cucu pemilik Healthy Light nyasar ke sini!” bantah mereka. Tatapan dua satpam tersebut jatuh ke ID card berupa gantungan kartu nama yang terkalung di leher Zakki.“Heh, kamu cuma sekretaris biasa di Healthy Light. Gak punya kapasitas buat ketemu presdir rumah