Share

Mereka Tertawa Bahagia

              Uang senilai Rp. 125.000.000,- itu sudah berhasil kukantungi. Aku pun gegas meninggalkan kantor WFI dengan jantung yang berdebar-debar. Asal tahu saja, 31 tahun aku hidup, baru sekarang diriku mengerjakan perbuatan ‘kriminal’ semacam ini.

              Mungkin rasa dendam telah membuatku jauh berubah. Dikecewakan dan disakiti oleh mereka yang dulunya kuanggap keluarga maupun kekasih hati, sudah cukup menjadi alasan besar mengapa aku senekat ini. Cukup sudah aku menjadi perempuan dungu. Biarkanlah kali ini aku menunjukkan taringku kepada mereka.

              Kupacu sepeda motorku dengan kecepatan sedang. Sepanjang perjalanan, sebenarnya ada pergulatan batin yang cukup alot. Betapa tidak. Aku tak pernah berbuat curang, menipu, apalagi sampai mencuri miliknya orang lain.

              Tapi, pikirku, kalau aku tidak nekat begini, sampai kapan mereka mau dimanjakan? Sudah seenaknya merebut pacar yang rencananya akan menjadi tunanganku, mereka bertiga malah dengan santainya minta uang resepsi. Nah, sekarang, nikmatilah uang ratusan juta ini. Meskipun bukan uang milikku, tapi setidaknya aku sudah berusaha buat membahagiakan kalian!

              Tak memakan waktu banyak, aku pun tiba di rumah. Lihatlah. Dedaunan kering dari pohon nangka dan pohon ketapang di halaman sudah berguguran banyak sekali sepagi ini. Kalau bukan aku yang menyapunya, sampai kiamat pun halaman ini akan dipenuhi sampah segunung.

              Sambil memasang muka santai dan cuek melihat halaman kotor, teras berpasir, dan ruang tamu yang juga belum dibereskan, aku pun berjalan terus menuju pintu kamar ibuku. Kuketuk dua kali, lalu tak lama terdengar suara derap langkah kaki dari dalam sana.

              Ceklek.

              Pintu kamar dibuka. Muka bantal Ibu menyeruak. Tercium aroma jigong dari mulutnya. Gila! Jam segini belum sikat gigi dan mandi!

              “Mana duitnya?” Ibu menguap di ujung kalimatnya.

              Kuintip sejenak ke arah ranjang sana. Ternyata Ayah masih mendengkur. Aku tak bisa berkata apa pun lagi terhadap tingkah mereka yang seenak udel tersebut.

              “Bisa nggak kalau kita bicar berempat, Bu?” tanyaku sambil memegangi tali ranselku.

              Ibu menaikkan sebelah alisnya yang disulam itu. “Kamu nggak lihat, ayahmu masih ngorok?”

              “Ada sesuatu yang mau aku sampaikan soalnya, Bu. Bisa kan, kalau Ayah dibangunin sebentar?” pintaku mendesak.

              “Dih! Kamu ini kaya mau ngasih ratusan juta aja, sih! Kebanyakan permintaan!” hujat Ibu sambil menipiskan bibirnya sinis.

              “Setelah ini, aku akan kasih uangnya, Bu. Emang nggak banyak. Tapi, cukuplah buat resepsi di gedung atau ballroom hotel yang bintang dua atau tiga,” kataku membujuk dengan wajah melas.

              “Ya, ya! Kakean cocot!” Ibu lagi-lagi berkata kasar padaku. Kakean cocot itu artinya terlalu banyak mulut dan bahasa itu sangatlah kasar. Tidak pantas buat dilontarkan seorang ibu kepada anaknya sendiri.

              Ibu lalu membalik badannya. Dia berjalan grasa grusu dan kulihat beliau menggoyang tubuh Ayah.

              “Yah, bangun! Si Agni bawa duit! Dia mau ngomong sesuatu juga!” kata Ibu dengan volume suara cukup nyaring.

              “Aduh, Bu! Ayah masih ngantuk!”

              “Bangun dulu, Yah! Cepetan! Ini anaknya mau ngasih duit!”

              Ayah kulihat bangkit dari tempat tidurnya. Lelaki 59 tahun dengan rambut yang masih hitam karena hampir tiap hari disemir itu pun mengucek-ngucek matanya. Kelihatan sekali raut wajahnya kesal karena dibangunkan.

              “Kenapa duitnya nggak dikasihin langsung, sih? Kenapa harus bangunin Ayah segala?” protes Ayah jengkel.

              “Nggak tahu tuh si Agni! Bikin ribet aja!” dengus Ibu muak.

              “Agni, pesenan Ibu dibawain nggak?”

              “Aku pesan lewat ojek online aja, Bu. Habis ngomong serius ini aku pesenin semuanya. Tadi nggak sempat. Buru-buru langsung ke sini karena uang yang kubawa banyak. Takut ada apa-apa di jalan.”

              Mendengar uang yang kubawa banyak, Ayah dan Ibu gegas berjalan keluar kamar. Muka Ayah yang semula mengantuk, sekarang jadi segar bugar. Rambutnya yang megar berantakan buru-buru dirapikannya. Ayah memang sangat mata duitan!

              “Kamu mau ngomongin apa? Ayo, kita ngobrol di ruang tamu!” ajak Ayah sambil menerobos keluar dari pintu dan merangkulku.

              Kutepis rangkulan itu. Muka Ayah kelihatan kaget.

              “Bentar, Yah. Aku mau bangunin Zara dulu,” potongku.

              “Ya, sudah. Sana bangunkan adikmu sekalian,” jawab Ayah sembari mengangguk dan membuang wajahnya dari aku. Kelihatannya Ayah malu karena rangkulannya kutolak mentah-mentah.

              “Pelan-pelan bangunin adikmu, Ag! Dia nggak bisa dikagetin orangnya. Kasihan. Nanti kepalanya jadi pusing!” Ibu mengingatkanku dengan wajahnya yang separuh kesal.

              Sesayang itu Ibu pada Zara. Ya, jelas. Wong Zara itu anak kandungnya! Beda dengan aku yang hanya anak pungut.

              “Iya, Bu.”

              Aku gegas berjalan menuju kamar Zara yang berada di sebelah kamarku. Kuketuk-ketuk pelan pintu kamarnya sambil kupanggil dia dengan nada yang sangat lembut. Ini kan, yang ibuku mau?

              “Zara! Bangun, Zara! Mbak bawain kamu uang buat kamu resepsi sama Mas Farhaaz!”

              Jangan tanya sesakit apa perasaanku saat mengucapkan kalimat itu. Sakit sekali! Tak bisa diungkapkan dengan kata-kata saking sakitnya!

              “Iya, Mbak.”

              Terdengar suara Zara dari dalam kamar sana. Dia sudah bangun ternyata. Syukurlah.

              Saat Zara membuka pintu kamar dan keluar dari sana, kulihat gadis berambut panjang itu ternyata sedang video call. Rambut Zara masih sedikit acak-acakan. Wajahnya juga sembab habis bangun tidur. Dan kalian tahu siapa yang sedang meneleponnya itu? Siapa lagi kalau bukan Mas Farhaaz.

              Bajingan memang lelaki itu! Tadi malam dia meneleponku sambil menangis-nangis. Tunggu saja kamu, Mas. Kelak, semua sandiwaramu itu akan terbongkar olehku!

              “Pi, udah dulu, ya. Mimi mau mandi dulu habis ini,” ucap Zara sambil menatap layar ponselnya.

              “Iya, Mi. Mandi yang wangi, yah. Kalau udah mandi, foto ke Pipi.” Suara Mas Farhaaz yang khas terdengar sangat mesra kepada adik angkatku. Sungguh menjijikan!

              “Iya, Pipi sayang. Assalamualaikum, Pi.”

              “Waalaikumsalam Mimi. Muah!”

              “Muah juga!”

              Hoek! Rasanya aku mau muntah mendengar kata-kata mereka. Mas Farhaaz yang kukenal selama ini elegan pun, ternyata semakin ‘jamet’ dan menggelikan kata-katanya. Bikin aku mual saja!

              “Kenapa, Mbak?” tanya Zara dengan mata yang masih mengantuk.

              “Aku mau bicara. Sekalian mau nyerahin uang buat kamu resepsi.”

              “Oh.” Zara menjawab singkat. Dia lalu menguap lebar-lebar.

              “Ngantuk banget rasanya. Nggak biasanya sengantuk ini. Apa gara-gara tadi malam makan kangkung, ya?” gumam Zara sambil berjalan di sebelahku.

              “Bukan karena kangkung. Itu bawaan janinmu!” celetukku santai.

              Kulirik, muka Zara langsung memerah padam. Dia diam saja. Tak menyahut dan malah mempercepat langkah kakinya.

              Kami berempat pun berkumpul di ruang tamu. Ibu duduk di sebelah Zara. Sedang Ayah di sofa yang berada di sebelah Ibu. Aku sendiri duduk di seberang Ibu dan Zara.

              “Mana duitnya, Ag?” tanya Ayah tak sabaran.

              Lelaki bersarung hijau itu kelihatan menatapku tajam. Dia seolah-olah ingin menelanku hidup-hidup.

              “Bentar.”

              Kulepaskan ransel dari sandangan pundakku. Lalu kukeluarkan kresek berisi segepok uang tersebut. Kulihat ekspresi ketiganya. Sama-sama semringah!

              “Banyak banget, Ag?” tanya Ibu takjub.

              “Iya, banyak banget! Ternyata diam-diam kamu punya tabungan sebanyak ini, ya?” celetuk Ayah tak mau kalah.

              “Mbak Agni ternyata kaya banget! Mbak, kok, kamu bisa punya duit sebanyak itu, sih? Kenapa kamu nggak pernah bilang ke kami?” Zara terdengar kecewa dan kesal kepadaku.

              “Ini uangnya.”

              Aku tak mau menjawab ocehan mereka. Langsung saja uang satu kresek itu kulemparkan ke meja. Ibu dan Ayah langsung rebutan untuk menyambarnya.

              “Biar Ibu yang hitung, Yah!” bentak Ibu sambil mendelik garang.

              “Iya, iya! Takut banget sih, Bu,” sahut Ayah kecewa.

              Menjijikan! Tingkah bakhil, serakah, dan tamak mereka kini semakin terukir jelas di depan netraku. Ya Allah, jauhkan aku dari ketiga manusia laknat ini! Aku sungguh membenci mereka!

              Ibu pun tampak langsung menyobek plastik hitam yang membungkus uang ratusan juta tersebut. Mata Ibu langsung membelalak besar setelah selesai menghitung gepok demi gepok.

              “Agni! Ini seratus dua puluh lima juta? Kamu serius, Ag?!” tanya Ibu syok sekaligus bahagia.

              “Serius, Bu. Ambil semuanya!” kataku dengan wajah datar.

              “Ya Allah! Ini banyak banget, Mbak!” puji Zara berbinar-binar matanya.

              “Agni! Kamu memang anak solehah! Ayah bangga punya anak sepertimu, Nak!” Ayah langsung bangkit dari duduknya dan menghambur ke arahku. Dia memelukku erat-erat, tapi cepat kutepis tubuhnya supaya lekas menjauh.

              “Sudah, Yah. Nggak perlu segitunya,” tampikku dengan wajah muak.

              “Agni, kamu kenapa, Nak? Kamu nggak ikhlas?” tanya Ayah dengan kedua bola mata yang berkaca-kaca.

              “Ikhlas, kok. Sangat-sangat ikhlas!”

              “Makasih ya, Mbak Agni! Semoga Mbak lekas dapat jodoh!” seru Zara seraya mengusap air mata harunya di ujung pelupuk.

              “Amin!” seru Ayah dan Ibu kompak.

              “Nak, sering-sering begini! Khusus hari ini, kamu nggak usah masak, deh! Biar Ibu yang masakin kamu! Kamu habis pulang kerja leyeh-leyeh aja di kamar! Ibu ikhlas, Sayang!” seru Ibu ikut berkaca-kaca sambil mendekap gepok-gepok uang tersebut.

              Aku pun tersenyum kecil kepada mereka. Panasnya hatiku. Begini toh, kelakuan asli mereka. Hanya sayang kepadaku jika aku banyak duitnya saja. Kenapa aku baru sadar, ya? Oh, ternyata aku selama ini memang sudah terlalu dungu karena tipu daya ketiganya.

              “Ibu, Ayah, Zara. Aku mau minta satu hal ke kalian. Apa boleh?”

              Mereka bertiga saling pandang. Wajah Ayah langsung menaruh curiga. Ibu juga. Entah apa yang mereka takutkan.

              “Apa itu, Agni? Tapi, jangan minta yang aneh-aneh, ya!” Ibu memberikanku peringatan.

              Aku pun menggelengkan kepalaku.

              “Nggak, kok. Nggak aneh.”

              “Apa, Nak? Cepat katakan. Ayah mau dengar,” tanya Ayah sangat halus lembut dari sofa yang dia duduki.

              Kutatap dalam ke netra tuanya Ayah. Ekspresi Ayah langsung berubah semakin hangat dan kebapakan. Sungguh ekspresi yang tidak pernah dia tunjukkan kepadaku selama ini.

              “Aku boleh tidak, kalau aku—”

              “Kalau apa, Agni? Katakan, Anakku!” desak Ayah sambil bangkit dari kursinya dan duduk di lantai tepat di hadapanku.

              Tangan Ayah lalu menggenggam jemariku erat. Matanya berkaca-kaca dan tiba-tiba saja dia menangis.

              “Mintalah sesuatu, asal jangan minta pindah dari sini, Nak,” mohonnya terisak-isak.

              Apa yang kalian tunjukkan ini sungguh palsu! Sungguh membuatku jijik!

              “Aku mau ….”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status