“Kamu mau apa, Nak?” Ayah makin tak sabaran dengan lanjutan kalimatku. Dia masih terisak, dengan wajahnya yang meminta iba.
“Aku mau Ayah, Ibu, dan Zara menanda tangani kuitansi penerimaan uang dariku,” sahutku mulai tegas.
“Apa? Kuitansi?” Ayah buru-buru menyeka air matanya. Sudah tidak kelihatan lagi kesedihan pada air mukanya.
“Sama keluarga mesti pake kuitansi juga, Ag?” Ibu kepanasan. Kelihatannya dia marah dengan permintaanku tadi.
“Iya, Bu. Sebagai tanda bukti kalau aku sudah memberikan uang kepada kalian untuk biaya pernikahan Zara.”
Ayah langsung menjauh dariku. Dia duduk lagi di sofanya sambil menarik napas. Sedangkan Ibu, rautnya jadi masam dan bibirnya meringis seperti orang geram.
“Udahlah, Bu, Yah. Kan, Mbak Agni cuma mau minta tanda tangan buat kuitansi doang. Apa susahnya sih, tanda tangan!” seru Zara dengan wajah yang jauh dari kata masam.
Hanya Zara yang kelihatannya senang. Dia sepertinya tidak berpikir jauh sama sekali dengan permintaanku.
“Ya, sudah. Mana Mbak, yang mesti aku tanda tanganin? Sini!” pinta Zara sambil menengadahkan tangan kanannya.
Aku pun langsung merogoh ranselku lagi. Mengeluarkan buku kuitansi, selembar materai sepuluh ribu, dan bolpoin hitam. Jangan tanya kenapa isi tasku selengkap ini. Pekerjaanku sebagai managerlah yang memaksaku untuk melengkapi isi tas dengan ragam alat tulis kerja dan materai.
Cepat kutulis kuitansi yang nantinya aku pegang sendiri. Aku juga melakukan karbon kopi pada lembar sebelahnya. Salinan kuitansi itu yang bakal dipegang oleh Zara atau orangtua angkatku.
Lancar tanganku menuliskan satu per satu huruf tanpa typo atau salah ketik. Setelahnya, kububuhkan materai untuk ditanda tangani oleh Ayah. Di sana tertulis keterangan bahwa Ayah telah menerima uang sebesar seratus dua puluh lima juta rupiah dari aku, Agnia Kemilau Rembulan, yang diperuntukkan buat pesta pernikahan adik angkatku ‘tercinta’.
“Ayah, tolong tanda tangan di atas materai,” ucapku sambil menyorongkan kuitansi tersebut pada Ayah.
Ayah tampak meragu. Dia melirik sekilas ke arah Ibu. Untungnya, Zara yang mendesak Ayah buat mempercepat semua prosesnya.
“Yah, cepetan! Itu Mbak Agni udah nungguin!” paksa Zara. Anak pintar, pikirku terhadap Zara.
Meski kelihatan agak keberatan, akhirnya Ayah pun menanda tangani kuitansi tersebut. Setelah itu, dia lalu memberikannya lagi kepada Ibu, karena meman sudah kutuliskan kolom buat tanda tangan ibuku.
“Nih, Bu. Tanda tanganin! Biar si Agni puas,” gerutu Ayah masam.
“Hmm!” Ibu berdehem sambil menyambar buku kuitansi panjang berwarna merah muda itu sambil cemberut. Masa bodoh kalian mau marah. Yang penting, aku sudah pegang buktinya!
Ibu pun ikut menanda tangani kuitansi tersebut. Setelahnya, giliran Zara. Gadis cantik yang tak lagi perawan itu tanpa basa basi langsung membubuhkan tanda tangannya.
Yang terakhir tanda tanganku. Bismillah. Semoga ini adalah langkah terbaik demi menghindari tuntutan Ayah dan Ibu di kemudian hari.
“Sekarang, bukti foto, ya,” ucapku sambil menyobek lembaran kopian untuk disimpan oleh Ayah.
Alis Ayah dan Ibu sama-sama saling bertautan. Mereka pasti sangat-sangat marah besar. Apa daya, Zara keburu menceletuk dengan wajah semringah nan berseri-seri.
“Ayo, Mbak! Cepetan ambil fotonya! Aku siap, kok! Aku juga mau pamer ke medsos kalau kakakku yang manager di toko bangunan ternyata bisa kasih uang sebanyak ini buat pesta nikahanku!” seru Zara bahagia.
“Ck! Zara, kamu ini apa-apaan, sih?!” tegur Ibu tampak jengkel.
“Lho, Bu? Emangnya salah, gitu? Ayo, Bu! Action, dong! Emangnya Ibu nggak mau pamer lagi pegang uang banyak?!” tanya Zara sambil memunguti gepok-gepok uang di atas meja.
Aku tersenyum. Tanpa banyak bicara, langsung kukeluarkan ponselku dari saku depan tas.
“Ayo, Yah, Bu, Zara. Merapat. Aku mau foto kalian,” ucapku seraya berdiri dan mulai mengepaskan bidikan kamera.
“Buat apaan sih, Ag? Kamu ini ngasih duit banyak banget syaratnya! Udah kaya rentenir!” keluh Ibu dengan wajahnya yang merah padam bak udang rebus.
“Ya, buat kenang-kenangan, Bu. Supaya aku termotivasi buat ngasih uang yang lebih banyak lagi!” seruku enteng.
Sambil sama-sama memasang wajah masam, Ibu dan Ayah terpaksa masuk ke frame kameraku. Ayah berdiri di samping Ibu. Sedangkan Ibu dan Zara, mereka kompak memegang uang-uang yang kuberi. Akhirnya, Ibu mau tersenyum juga saat kuhitung mundur.
“Tiga, dua, satu! Senyum!”
Cekrek!
Lima foto sekaligus kuambil. Sudah cukuplah buat bukti penunjang! Alhamdulillah!
“Nah, keren!” pujiku sambil tersenyum-senyum sendiri.
“Apalagi, Ag, setelah ini?” keluh Ayah seraya berjalan kesal ke arah sofanya.
“Oh, ya. Satu lagi! Aku butuh tanda tangan Ayah, Ibu, dan Zara lagi. Yang ini cuma buat pernyataan bahwa aku telah menunaikan janjiku kepada keluargaku.”
“Apa?! Kamu jangan aneh-aneh dong, Ag!” Ibu sampai bangkit dari duduknya. Suasana jadi tiba-tiba memanas.
“Bu, udahlah! Apa susahnya sih, sekali-sekali nurutin maunya Mbak Agni? Emangnya tanda tangan doang susah apa?!” Zara langsung menarik tangan Ibu. Pernyataan Zara barusan sebenarnya membuat Ibu sangat geram. Namun, untungnya Ayah yang juga muak kali ini agak melunak.
“Sudah, sudah! Daripada ribut terus, mana lagi yangg mau ditanda tanganin? Ribet banget urusan sama kamu, Ag! Sumpah, Ayah jadi muak!” maki Ayah seraya menggerak-gerakkan empat jemarinya maju mundur sebagai kode minta diberikan kertas buat surat pernyataan.
Kukeluarkan lagi kertas HVS A4 kosong yang belum tertulis kalimat apa pun di sana. Sambil tersenyum, aku lalu menuliskan kolom buat ditanda tangani olehku, Ayah, Ibu, dan Zara.
Lagi-lagi, khusus untuk kolom tanda tangan Ayah, kububuhi selembar materai sepuluh ribu. Nah, Ayah, silakan tanda tangani, ya. Bulan depan, bersiaplah untuk menerima teror dari debt collector. Hahaha!
“Ini, Yah. Pakai materai, ya,” kataku menyodorkan kertas yang telah kutululisi tadi dengan wajah yang full senyum.
Ayah menyeka keringatnya. Rautnya terlihat agak terheran-heran. Apa mungkin dia mulai curiga?
“Agni, sebenarnya buat apa kami tanda tangan di kertas kosong begini? Apa yang kamu mau, Ag? Kamu sedang bikin skenario apa?” tuduh Ayah masih menahan dirinya buat tanda tangan.
“Itu nanti mau aku tulis pernyataan bahwa aku telah menunaikan janjiku dan Ayah juga telah menerima uang untuk resepsinya Zara dengan senang hati. Kalau nulis sekarang, aku udah nggak sempat, Yah. Aku mau buru-buru balik ke kantor soalnya. Jam makan siang nanti direktur mau mampir ke kantor sama ninjau gudang. Kalau aku nggak nyiapin kantor sama gudang, bisa-bisa gajiku dipotong lima puluh persen!” ucapku mengkarang-karang cerita.
“Ckckck! Awas kalau kamu aneh-aneh ya, Ag! Kalau kamu sampai menyelewengkan tanda tangan kami semua, kamu akan Ayah buat menderita!” ancam Ayah naik pitam. Mata Ayah lantas nyalang menatapku. Aku tak mau gentar.
“Ya, Ayah. Tanda tangan aja, sekarang. Nanti, Ayah bisa lihat sendiri. Apa aku bakal nyelewengin tanda tangannya atau nggak,” sahutku sembari tersenyum culas. Memangnya Ayah doang yang bisa jadi manusia jahat?
Ayah pun akhirnya menanda tangani kertas kosong tersebut. Diam-diam aku bersorak sorai di dalam hati. Kegembiraan pun menyertai segenap isi jiwaku.
“Dikasih duit banyak baru kali ini, tapi ribetnya ngalah-ngalahin dikasih duit semilyar tiap minggu!” gerutu Ibu sambil menanda tangani setelah Ayah menyodorkan kertas tadi padanya.
“Doain Agni supaya bisa kasih uang banyak terus, Bu,” sahutku manis.
“Doa mah, jalan terus! Nggak tahu deh, kamu tergerak atau nggak buat ngelakuinnya. Hmm, untung ya, semua biaya hidupmu dari lahir sampai gede nggak Ibu jadiin kuitansi. Coba kalau iya? Apa sanggup kamu buat ngembaliinnya?” Seringai Ibu tampak tajam dan buas padaku usai menanda tangani kertas kosong tersebut.
“Lah, kan, udah aku cicil sejak aku lulus SMA, Bu. Biaya makan sehari-hari, listrik, air, sama kuliahnya Zara juga aku bantu. Bahkan, dia nikah sama pacarku aja, aku masih tolongin dia. Masa kurang?” timpalku geram.
Ibu menatapku berang. Aku tatap dia balik. Memangnya aku takut.
“Jangan kurang ajar kamu, Agni! Sampai kapan pun, kamu nggak bisa ngebalas kebaikan orangtuamu! Emangnya kamu bisa ngebalas jasa Ibu yang udah mengandung, melahirkan, dan menyusuimu selama dua tahun? Bisa, kamu?”
“Emangnya Ibu nyusuin aku, ya? Kok, aku nggak ingat.”
Aku santai saja menjawab. Senyumku pun kini terulas dengan sangat lebarnya. Entah kenapa, wajah Ibu jadi berubah pucat pasi seperti mayat hidup. Sedangkan Zara, dia tak tampak menggubris pertanyaanku dan memilih fokus menanda tangani bagiannya.
“Dulu Ibu cerita kalau Mbak Agni itu minumnya air tajin. Makanya agak oon dibanding aku. Karena aku minumnya ASI sama susu formula mahal. Mbak Agni pernah dengar itu nggak, Mbak?”
“Zara!”
Ibu dan Ayah kompak berteriak panik. Keduanya sama-sama membelalakkan mata sebesar biji kedondong. Aku pun jadi semakin yakin, bahwa aku ini hanya anak pungut yang sejak masih merah sudah diperlakukan bak binatang tak berguna.
“Nggak apa-apa, Bu, Yah. Zara nggak perlu dimarahin. Emang benar kok, aku oon ketimbang Zara. Yah, mungkin karena sejak bayi cuma dikasih air tajin. Mungkin ASI Ibu waktu itu nggak bisa keluar kali, ya. Makanya aku sampai dikasih air tajin doang.”
Senyum palsuku kutujukan kepada Ibu dan Ayah. Keduanya sama-sama membuang muka. Kenapa? Kalian tidak berani ya, mengakui bahwa aku bukan anak kandung kalian? Kalian takut aku lari dan berhenti memberikan uang?
'Maaf, setelah ini, kita putus hubungan. Aku berhak bahagia. Aku juga berhak buat lari dari manusia iblis seperti kalian bertiga!'
Halo, teman-teman pembaca! Sembari menunggu update cerita ini, kalian juga bisa cek karya-karyaku yang lain juga, ya Terima kasih juga karena sudah membaca cerita terbaruku. Terus ikuti kelanjutannya, ya. Jangan lupa untuk vote dan komentar :)
Dua Bulan Seusai Kematian Zulkifli dan Zara “Saya terima nikahnya Agnia Kemilau Rembulan dengan mas kawin satu unit rumah di Jalan Melati Kusuma nomor 17, logam mulia seberat dua ratus gram, dan sebuah mobil All New Toyota Land Cruiser dibayar tunai!” “Sah?” “Sah!” “Alhamdulillah!” Debaran kencang di dadaku yang sedari pagi buta tak bisa diredakan itu, kini perlahan normal iramanya. Desah napas lega keluar dari mulutku. Kedua tanganku yang gemetar pun kontan langsung tengadah, memanjatkan doa-doa suci yang tanpa sadar malah membuat kedua mata ini berlinang. Sosok pria yang duduk di kursi tepat di sebelahku itu tampak tersedu-sedu setelah mengucapkan ijab qabul di hadapan wali hakim dan dua orang saksi yang tak lain adalah Hartawan Surya Wijaya, om dari Mas Nathan yang juga ayah dari CEO dan direktur perusahaan tempatku bekerja. Selain Om Hartawan, yang menjadi saksi pernikahan kami lainnya adalah Mas G
“Ayang, bangun ya, Ay. Aku udah di sini. Aku nggak mau kamu terus-terusan pingsan kaya gini, Ay.” Sebuah suara yang terdengar begitu pilu, tiba-tiba menembus masuk ke telingaku. Perlahan, aku mulai menggeliat. Kedua kelopak mataku pun membuka seperti kuncup bunga yang mekar ketika pagi menyapa. Silau. Satu kata itulah yang kurasa ketika berkas cahaya lampu di atas sana menembus ke pupil mata. Aku mengerang. Mencoba menerka, di mana aku sekarang. “Agni!” Panggilan itu membuatku campur aduk rasanya. Kenapa aku? Kenapa suara itu terdengar sangat khawatir? “A-aku d-di mana?” gagapku pelan. Mendadak lidah dan kerongkonganku terasa begitu kering kerontang. Apa yang sebenarnya telah terjadi padaku? “Ayang, kamu udah sadar?! Alhamdulillah! Ya Allah, makasih!” Jeritan penuh gegap gempita itu kudengar jelas. Aku mencoba membuka kelopak mata lagi meski awalnya begitu berat. Kuedarkan p
“Ayah dengar kan, apa yang aku bilang?” tanyaku dingin dengan tatapan setajam silet. Ayah kini tertunduk lemas. Napasnya kelihatan tak beraturan. Matanya tiba-tiba terpejam, kemudian kedua tangannya menangkupi wajahnya yang berubah pucat pasi. “Z-zara,” gagapnya terisak-isak dengan kedua bahu yang berguncang. “Yah, Ibu juga lagi dipasangi oksigen di ranjang sebelahnya Zara. Ibu syok dan pingsan.” Aku sengaja memberi tahu semuanya. Buat apalagi ditutup-tutupi. Supaya Ayah tahu apa yang tengah terjadi pada hidupnya dan keluarga kecil kebanggaannya itu. Tangisan Ayah semakin tersedu-sedu. Entah sehancur apa perasaan Ayah, aku juga tak mau mengerti. Sedangkan dia saja, bisa melontarkan kalimat sadis nan hina ke arahku. Anak hasil zinalah, apalah. Subhanallah! Hanya Allah saja yang tahu betapa leburnya perasaanku saat mendengarkan umpatan Ayah tadi! “Oh, ya. Calon suamiku, Mas Nat, akan datang ke sini bersa
“Agni … kamu mau kan, maafin Ibu, Ayah, dan Zara?” lirih Ibu dengan wajah yang tertekan. Sendu wajahnya Ibu, lirih suaranya, dan sesak isak tangisnya mendadak hatiku jadi hancur lebur berkeping. Aku jadi tak tega luar biasa. Benar-benar menyesal dan frustrasi karena telah menipu beliau. “B-bu … sebenarnya ….” Aku tergagap dengan napas yang tercekat. “Kenapa, Ag? Sebenarnya apa?” tanya Ibu yang bengkak matanya karena terlalu banyak menangis. Kulirik sejenak tubuh Zara yang masih dikemaskan oleh dua perawat yang kini berganti menjadi perawat wanita. Tadinya yang melakukan pertolongan bantuan napas pada Zara adalah perawat lelaki. Kini, jenazah gadis cantik itu tengah dikemasi oleh dua perawat wanita yang sungguh lembut mengikat dagunya, kedua pergelangan tangan, dan ujung kaki-kakinya dengan kain kasa. Ya Allah, sungguh tak tega hatiku melihatnya. “Bu, sebenarnya … uang seratus dua puluh lima juta itu b
Kepala Farhaaz kutendang dengan kakiku saking geramnya. Kemarahanku kini mencapai ubun-ubun. Meskipun Zara adalah adik angkat yang telah menghancurkan hubunganku dengan Farhaaz dan menjadi penyebab mengapa aku kabur dari rumah, tetapi bagaimanapun juga, dia pernah berbuat manis di dalam hidupnya. Tetap saja bagiku dia adalah seorang adik kecil yang memerlukan uluran bantuanku ketika dia terpuruk. Apalagi, sekarang Zara sudah tiada. Sakit sekali perasaanku membayangkan betapa menderitanya dia sebelum nyawanya lepas dari raga. Kasihan. Karena salah kenal pria, hidupnya jadi hancur seperti ini. Aku langsung merogoh ponselku. Kutelepon Mas Nat demi meminta pertolongannya. Aku tahu dia orang baik. Meskipun keluargaku bejat, tapi aku yakin bahwa pria tampan itu pasti mau menolong Zara buat mendapatkan keadilan. Setidakn
“Ya Allah, Zara!” pekikku histeris sembari menghambur ke arah ranjang Zara. Gadis malang itu tengah terbaring lemah dan masih diberikan tindakan medis dengan semaksimal mungkin. Tangannya dipasangi infus hingga dua jalur. Dadanya penuh terpasang kabel. Sedang mulutnya, kini terpasang selang yang terhubung dengan sebuah balon yang tengah ditekan-tekan oleh seorang perawat pria. Seorang perawat lagi kini sibuk menekan dada Zara berkali-kali. Mereka berdua benar-benar fokus memberikan pertolongan supaya Zara bisa hidup dan tetap bernapas. Hatiku hancur saat melihat betapa lemahnya Zara saat ini. Suara ‘tut’ panjang itu masih saja terdengar memekik keras. Sedang gambar di monitor hanya garis lurus saja. Tubu Zara makin pucat kulihat. Apalagi wajahnya.Ibu berada di dalam de
Sandra memacu vespanya dengan kecepatan sedang saat dia membawaku menuju RSIA Impian Bunda. Rumah sakit ibu dan anak tersebut memang lokasinya dekat dengan rumah pribadi milik Farhaaz. Maka, semakin sakitlah hatiku membayangkannya. Apa mungkin, Farhaaz menyetubuhi adikku di rumahnya hingga anak itu sekarat dan pendarahan? Apa hanya disetubuhi tok atau dengan tindak kekerasan lain seperti dipukuli atau dihantam bagian kemaluannya dengan benda tumpul yang berbahaya? Astaghfirullah! Nyeri hatiku memikirkannya. Kasihan Zara kalau memang dia betul-betul sakaratul maut saat ini. Farhaaz benar-benar harus bertanggung jawab! Kalau perlu masuk ke penjara jika memang dia melakukan tindakan gila itu. Yang aku heran, kok, bisa Farhaaz memiliki sikap layaknya psikopat, padahal saat bersamaku, dia tidak begitu. “San, kok, bisa ya, Farhaaz sekejam itu sama Zara? Pas sama aku, Farhaaz nggak pernah kasar, San. Dia cuma senangnya morotin duitku
“Ag, kenapa adikmu?” Sandra bertanya dengan wajah yang pias dan mimik terkaget-kaget. “San, si Zara pendarahan sampe koma ini! Ya Allah, Zara! Aku nggak nyangka bisa kaya gini!” ucapku sesak sambil terus meneteskan air mata. “Astaghfirullah! Kok, bisa, sih?” Sandra terlihat makin panik. Membuatku kian berdebar-debar, takut terjadi sesuatu hal yang lebih menakutkan ketimbang kabar Zara yang sekarang. “Kata ibuku disiksa sama Farhaaz, San. Ya Allah, setega itu Farhaaz ampe bikin adikku koma. San, tolong aku, San. Bisa nggak boncengin aku ke rumah sakit Impian Bunda? Aku lemes banget. Lututku gemetar saking kagetnya,” pintaku dengan suara yang parau dan penuh sesak di dada. “Gila! Sinting apa si Farhaaz, Ag? Wah, tindak kriminal ini. Bisa dipenjarain, tuh!” teriak Sandra menggebu-gebu. “Tapi, Ag, apa ini bukan strateginya orangtua angkatmu? M-maksudku … apa bukan akal-akalan mereka buat ngejebak kamu doang?” tanya Sand
“Iya, San. Aku juga minta maaf kalau ada salah-salah kata. Mulai besok, aku nggak di sini lagi. Aku harus pindah ke rumahnya calon suamiku. Kami emang belom satu rumah. Tapi, aku mau nggak mau harus ikut kata-kata dia buat nempatin rumahnya dia yang sempat dikontrakan itu, San. Sorry ya, San, kemarin bikin kamu repot sampai harus ngebayarin duit DP kostanku segala,” sahutku sambil balik mendekapnya. “Santai aja, Ag. Nggak apa-apa, kok. Aku harus ikutan seneng dengan kebahagiaanmu. Kayanya, aku mau balikan aja sama Nino. Doain ya, Ag, dia mau nerima aku lagi.” Aku pun melepaskan diri dari dekapannya Sandra. Kuanggukkan kepala. Kuulas senyuman kecil pada Sandra. “Pasti mau, San. Aku tahu, kalau Nino itu cinta matinya sama kamu doang. Nanti kamu coba aja hubungin dia. Bilang, kalau kemarin kamu mutusin dia itu karena lagi pusing sama kerjaan aja.” Sandra mengangguk-angguk. Dia mengusap buliran bening di sudut mata sendunya. Gadis it