"Ahahaha … tidak begitu, Tuan Kaivan. Anda salah paham. Niat kami kemari untuk membicarakan hubungan antara Gisella dan Danial ke jenjang yang lebih serius, agar … Danial bisa lebih memprioritaskan putriku dan putri-putri anda tidak mengganggu hubungan mereka lagi."Kaivan menaikkan sebelah alis, lagi-lagi menyunggingkan smirk tipis sembari menatap dingin ke arah Bagaskara. "Danial, kau masih ingin melanjutkan hubunganmu dengan putri dari Pak Bagaskara?" tanya Kaivan, tanpa menoleh ke arah putranya dan tetap menatap dingin ke arah Bagaskara. "Tidak, Pah," jawab Danial datar. "Apa-apaan kau ini?!" Tak terima mendengar jawaban kekasihnya, Gisella berdiri dan dengan marah langsung melempar tasnya ke arah Danial. Namun, dengan mudah Danial menangkisnya. "Aku serius padamu, tetapi kau …-!""Ini putrimu?!" Kaivan berdecis remeh. Bagaskara dan istrinya sontak saling bersitatap, sama-sama panik dan malu akibat ulah putri mereka. Dengan kesal Bagaskara menarik pergelangan tangan putrinya da
"Siap--" Ucapan Adera terhenti ketika melihat siapa orang yang berada di depan kamarnya– Davin Sbastian Lucas, pria yang ia takuti melebihi rasa takutnya pada Papanya sendiri. Davin mendorong pintu kamar Adera, masuk begitu saja dalam kamar perempuan yang telah sah menjadi calon istrinya tersebut. Langkah Davin berhenti tepat di depan sebuah cincin yang tergeletak mengenaskan di lantai. Davin mengambil cincin tersebut, kemudian menghampiri Adera yang masih berada di depan pintu. "Kau melempar cincin pertunangan kita?" ucapnya dengan mendekati perempuan itu, menutup pintu karena dia tahu Adera berniat kabur. 'Ah, sialan. Dia menutup pintu kamar ku. Yang benar saja dia mengurungku dalam kamarku sendiri,' batin Adera, terdiam dengan posisi tetap membelakangi Davin. Dia tidak mau menghadap pria ini karena dia takut– malu tak ada muka jika harus bersitatap dengan Davin. Bayang-bayang kejadian itu menghantui Adera. "Jawab, Era," ucap Davin pelan, nadanya rendah dan berat. Terkesan seks
"Kau masih yakin ingin memperistrinya?" Davin menganggukkan kepala, tersenyum penuh keyakinan pada Kaivan. "Semakin yakin, Uncle," jawabnya tanpa ragu. "Ah, yah. Aku sudah menghubungi Daddy-ku, mengatakan jika nanti aku pulang dengan membawa menantu untuknya. Dan Daddy setuju." "Hell." Kaivan mengumpat pelan, semakin frustasi karena mendengar penuturan calon menantunya, "tidak secepat itu juga. Cik, lagipula Adera-ku belum tentu menerimamu, Nak." Kaivan menyunggingkan smirk tipis. "Kau lihat sendiri, dia tidak peduli keberadaanmu," ejek Kaivan selanjutnya, mendapat tawa dukungan dari William dan Hansel. "Adera hanya malu-malu, Uncle," jawab Davin, menyunggingkan smirk tipis di bibirnya. "Ah terserah. Asal kau tidak memaksa putriku dan-- pernikahan itu hanya terjadi jika Adera setuju," ucap Kaivan tegas. Dalam hati dia sangat yakin jika putrinya tidak akan mau menerima Davin. Bukan tidak setuju Davin menjadi menantunya, malah dia merasa senang karena dia tahu Davin siapa dan menge
"Aku tidak punya uang. Minta," jawab Adera, mengulurkan tangan ke arah Davin tetapi dengan menatap lurus ke arah depan– enggan menatap pada pria dingin dan berbahaya tersebut. Davin menaikkan sebelah alis, menatap intens ke arah wajah jutek Adera. Cih, apa perempuan ini pikir dia menakutkan seperti itu? Tidak! She's so cute. Bahkan karena sangat menggemaskannya perempuan ini di mata Davin, rasanya Davin ingin sekali mencium Adera sampai perempuan ini kehabisan napas. Yah, ingin rasanya Davin mencuri napas perempuan yang duduk di sebelahnya ini. Davin mengeluarkan dompetnya lalu menaruhnya di atas telapak tangan Adera. Perempuan menggemaskan itu seketika menoleh ke arah Davin, menatap tak percaya pada Davin. Adera sedikit menganga, tercengang karena Davin memberikan dompet padanya. 'Eih, dikasih sumbernya langsung. Beneran ini?' batin Adera, menatap ragu pada dompet hitam berbahan kulit tersebut. "Beli apapun yang kau inginkan, Era," ucap Davin, menatap wajah cengang Kanza yang sa
Setelah mengusir orang tuanya dari kamar, Adera hanya diam murung di sana. Hingga tiba-tiba saja …-Ceklek' Pintu kamar Adera terbuka, memperlihatkan seorang pria menjulang tinggi di ambang pintu. Adera menghela napas pelan, berdecak kesal kemudian menatap sinis pada pria tersebut. "Ngapain Papa kemari?" sinisnya, membuang jauh pandangan lalu pura-pura fokus pada HP. Kebetulan HP Adera berada tak jauh darinya saat itu. "Hah." Hembusan napas berat terdengar keluar dari bibir Kaivan. Dia menatap putri bungsunya lamat, kemudian berjalan masuk untuk mendekat. "Papa ingin bicara padamu."Adera melirik sejenak, memilih cuek dengan bermain ponsel. Sayangnya, itu pengalihan karena pada kenyataannya Adera hanya men-scroll galeri ponsel. "Begini sikapmu jika berbicara dengan orang tua?" Saat itu juga Adera meletakkan HP ke atas meja. "Cik." Dia berdecak malas. "Tumben-tumbenan Papa ke sini menemuiku, pake acara sok sokan berbicara denganku lagi. Biasanya juga malas. Berpapasan denganku s
"Atas nama Melisa, keponakan saya, saya meminta maaf yang sebesar-besarnya pada Tuan Kaivan." Pria berwajah ditutup topeng tersebut menatap dingin ke arah pria paruh baya yang barusan berbicara padanya. Dia duduk dengan menyender di sebuah single sofa sembari mengetuk-ngetukkan jemari telunjuknya ke tangan sofa. Hal itu membuat semua orang dalam ruangan tersebut was-was dan cukup takut. Kaivan Rafindra Kendall, seorang CEO dari perusahaan elektronik ternama di negaranya. Wajahnya ditutupi oleh topeng-- dengan hanya menutupi sebagian wajah saja. Ada alasan kenapa dia menutupi wajahnya tersebut dengan topeng, dan karena menggunakan topeng juga orang-orang sering menjulukinya Ugly King. "Saya sebagai orang tua Melisa, juga sangat meminta maaf pada Tuan. Ini diluar kehendak kami, dan kami …-" ucapan pria paru Bayah lainnya seketika berhenti. Kaivan mengangkat satu tangan, isyarat jika dia gak ingin mendengarkan apapun ucapan dari keluarga Melisa. Harusnya Kaivan menikah di hari ini,
Rachel masih tak mengira jika dia telah resmi menjadi istri dari pria bertopeng itu. Bahkan sekarang dia telah berada di dalam bangunan mewah milik pria itu-- rumah besar dan megah Kaivan Rafindra Kendall. "Nona, mari saya antar anda ke kamar anda."Rachel menganggukkan kelapa, tersenyum kaku dengan air muka pias dan kaku. Matanya masih sembab, habis menangis karena berpisah dari keluarganya. Sebenarnya, sebelum ke sini dia memang diizinkan ke rumah sakit untuk menjenguk Mamanya. Rachel sangat sedih. Dia menikah tanpa disaksikan oleh Mamanya. 'Ini pernikahan yang penuh dengan keterpaksaan. Dan entah sampai kapan aku harus menjadi istri si Pria bertopeng ini?!' batin Rachel yang sudah berada di depan sebuah pintu hitam klasik. "Nona, ini adalah kamar anda. Silahkan masuk."Lagi-lagi Rachel hanya tersenyum kaku. Dia membuka pintu lalu menyeret kopernya masuk ke dalam kamar. "Luas sekali kamar ini." Rachel bergumam pelan, dia berkacak pinggang sembari menatap sekeliling kamar. Apa
"Kenapa kau bersedih menikah denganku?""Loh?" Rachel reflek menoleh kaget pada pria bertopeng di depannya. Dia mengerjabkan mata beberapa kali sembari melogo keheranan. "Itu … harusnya aku yang tanya, Tuan. Kenapa Tuan ini menikahiku? Padahal aku ini kan masih kuliah dan terlalu muda untuk anda. Lagian tampang aku pas-pasan dan …-" Rachel menoleh ke arah dadanya, "rata," lanjutnya dengan mencicit pelan. Kaivan menoleh ke arah dada perempuan itu, kemudian dengan cepat mengalihkan pandangannya ketika Rachel kembali mendongak. Tidak rata. Menonjol dan mungkin pas digenggaman Kaivan. 'Holyshit! Apa yang aku pikirkan?!' Kaivan mengerjab beberapa kali, lalu kembali menatap perempuan yang telah sah menjadi istrinya ini. "Aku menikahimu karena ayahmu punya hutang padaku." Kaivan menjawab tanpa beban. Dia mendudukkan dirinya di pinggir ranjang, bersedekap di dada dengan menatap datar pada Rachel yang masih berdiri. "Jadi aku penebus hutang, Tuan?" tanya Rachel dengan air muka syok dan ta