Kalau bukan karena Adara, wanita dengan rambut hitam panjang itu mungkin tak akan tergesa-gesa pulang ke rumah orang tuanya sekarang. Setelah menempuh dua jam perjalanan, Audi putih Alana memasuki pekarangan salah satu hunian megah di kota sebelah. Alana merapikan tasnya sebelum keluar mobil dan melangkah masuk ke dalam rumah.
Masih sama seperti biasanya, tatanan perabot di rumah megah ini seakan tak bergeser, tetap setia pada posisinya. Terakhir pulang dua bulan lalu, Alana ingat betul letak lukisan besar, perabot mahal, dan foto-foto di nakas. Bahkan vas di samping ruangan keluarga, bunga lily segar masih menjadi pilihannya. Semua itu selera ayahnya yang bagi Alana nampak monoton. Menurutnya, sang ayah terlalu kaku dan strict pada perubahan.
Kaki jenjangnya melangkah kearah ruang televisi. Ruangan yang ia yakini saat ini dihuni bundanya. Benar saja, wanita parubaya itu nampak tengah serius menyaksikan kisah berderai air mata seorang istri di salah satu channel kesayangannya.
"Bunda," entah karena suaranya yang terlalu kecil atau memang yang dipanggil terlalu terlena dengan tontonannya sehingga tak ada respon yang didapat.
Baru setelah Alana duduk disebelahnya, wanita parubaya itu merasakan getaran di sofa. Ia melebarkan senyuman tulusnya. Meskipun kerutan mulai terlihat jelas, sama sekali tak memudarkan keanggunan dan kecantikan wajahnya. Perhatiannya kini fokus pada putri semata wayangnya yang tengah meraih tangan kanannya untuk cium tangan.
"Ayah belum pulang?" tanya Alana yang kini telah mencomot keripik diatas meja.
Dijawab sebuah gelengan pelan, sudah jelas Alana tahu. Dari dulu ayahnya memang selalu begitu. Mungkin dari sana juga Alana mendapatkan cipratan darah workaholic.
"Kantong mata kamu kok makin menjadi-jadi sih? Ini lagi kulit tambah kering. Pasti kurang minum air sama istirahat deh!"
Sang Bunda juga mengambil keripik kentang yang masih digenggam Alana, "kurang-kurangin makan micinnya, gak bagus buat kesehatan kulit," tambahnya lagi.
Mengendus aroma tak biasa. Alana kelewat peka terhadap perubahan sikap bunda kesayangannya. Biasanya tak pernah sang bunda mempermasalahkan makanan ataupun penampilannya. Wanita itu bahkan selalu bilang bahwa putrinya adalah gadis paling cantik di dunia.
Seratus persen yakin ada hubungannya dengan Adara, keyakinan itu dikonfirmasi sendiri setelah kalimat selanjutnya meluncur. "Setelah nikah, kamu juga harus kurang-kurangin kerja supaya bunda cepet dapat cucu," ujarnya antusias.
Alana mendesis tak suka, "siapa yang mau nikah sih, bun?"
Wanita parubaya itu nampak sedikit cemberut, "loh, kamu belum setuju? Padahal bunda udah berharap banyak sama usulan Adara. Bunda juga udah liat fotonya, ganteng tau. Kalau bunda masih muda pasti kepincut juga sama Arkasa," tuturnya menggebu-gebu.
Alana mulai terusik dengan pertanyaan dan pernyataan memusingkan ini. Tapi satu hal yang baru dia sadari, jadi nama kakaknya Adara itu Arkasa? Dia bahkan sejujurnya belum pernah dengar. Selama ini dia hanya tahu bahwa Adara punya kakak laki- laki yang menempuh pendidikan di London. Hanya sebatas itu.
Lamunannya terusik ketika jemarinya kembali diraih sang bunda. "Alana, mau sampai kapan kamu melajang dan sibuk sendiri? Kamu gak kasian sama ayah bunda? Kita juga sudah pingin gendong cucu. Tiap arisan, ibu-ibu kompleks paling sering tuh bangga-banggain cucunya. Bunda kan juga mau," cicit sang bunda lagi.
Sudah hafal pada modus orang tua yang terus meminta anaknya untuk segera menikah. Ini bukan sekali dua kali, sebelumnya pun Alana sempat dijodoh-jodohkan dengan beberapa putra kenalan bundanya. Tapi yang namanya Alana mana bisa kalah sih? Bak selicin belut, dia selalu bisa menghindar dengan berbagai alasan dan membatalkan semua pertemuan itu.
Sejujurnya agak ketar-ketir kali ini karena Alana paham tabiat sang bunda kalau sudah diracuni Adara. Gadis itu memang yang paling bisa meracuni bundanya Alana. Jangankan tentang perjodohan Alana dengan Arkasa Arkasa itu, Adara kerap jadi partner gosip dan ghibah yang klop untuk bunda Alana. Mulai dari skincare, artis-artis, barang-barang lucu, bahkan drama baru. Kalau Alana bilang, sahabatnya itu memang sangat cocok jadi juru dagang, pasti jualannya akan laris manis.
"Jangan mudah dihasut Dara deh, bun. Kan aku juga belum ketemu sama kakaknya Adara. Jangan terlalu buru-buru," ujar Alana yang mulai melemah. Dia sungguh lelah memikirkan ini seharian. Kalau saja perjodohan ini hanya disarankan bundanya, dia bisa menolak meskipun tak mudah. Tapi kalau sudah ada tambahan faktor Adara?
Si bunda kini justru senyum-senyum, "berarti kamu mau kan kalau coba ketemu dulu?"
Yah sebenarnya mau tak mau sih. Mau bagaimana lagi kalau Adara sudah berkehendak? Gadis itu seperti memegang kartu As Alana. Lagi-lagi Alana ingat, dia ksatria terhadap kata-kata dan janjinya. Memang benar dia bilang akan membayar jasa besar Adara lima tahun lalu. Gadis itupun selama ini tak pernah minta apapun padanya. Baru kali ini Adara memohon sampai sebegitunya pada Alana.
"Bunda gak memaksa kamu sebenarnya. Tapi seperti yang bunda bilang tadi, besar harapan bunda agar kamu segera menikah. Bunda gak mau kamu hidup sendirian terus. Lagipula Arkasa kan keluarga Pradipta, kamu sudah kenal keluarganya. Gak mungkin lah kamu diperlakukan seperti di drama televisi tontonan bunda," Alana sudah agak mellow sebenarnya, namun memang sulit bicara serius dengan bundanya ini. Akhirnya tawa kecil Alana pun lolos begitu saja.
"Ketemu dulu, kalau kamu ngerasa belum cocok, yasudah. Tapi jangan dijadikan alasan juga. Karena kadang semua yang cocok memang terlihat gak cocok pada awalnya," kata-kata mutiara apa lagi ini?
Alana menyamankan diri dengan bersandar pada bahu sang bunda lalu memeluknya dari samping. Biar sesangar apapun Alana di kantor, tetap saja dia kucing kecil dalam dekapan bundanya.
Perlahan tangan yang mulai keriput itu membelai pucuk kepala Alana. "Bunda gak bosan-bosan cerita sama kamu kalau dulu ayah dan bunda pun juga hasil dari perjodohan. Meskipun ayahmu terlihat cuek dan gila kerja, tapi dia benar-benar sayang keluarga. Bahkan sampai sekarang masih romantis," kekehan kecil terdengar, Alana ikut tersenyum menanggapi.
Memang benar. Terlepas dari sifat ayahnya yang cukup kaku dan terkesan tak suka perubahan, Alana mengakui ayahnya itu selalu menunjukkan sisi romantis pada bundanya. Beberapa kali sang bunda memamerkan foto bunga ataupun foto piknik sederhana keduanya lewat chat w******p pada Alana. Bahkan di usia kedua orang tuanya yang menginjak lima puluh lima tahun itu, dia harus mengakui bahwa romantisnya tak ikut menua.
"Wajar kalau kamu merasa belum siap, semua manusia gak akan pernah merasa siap. Tapi sebagai manusia, kita harus adaptasi sama suasana baru. Biar bagaimanapun, semuanya akan terjadi kalau memang sudah jalannya," kata-kata bijak melantun lagi di telinga Alana. Kali ini mengingatkannya pada kalimat serupa yang Adara lontarkan pagi tadi saat di kantornya. Duh, jangan- jangan mereka memang sudah briefing sebelumnya.
Bunda Alana membalas pelukan Alana lebih erat. Sudah lama mereka tak lovey dovey begini terlebih karena jadwal super sibuk Alana yang membuatnya jarang bertandang kemari. Bercerita dengan bundanya adalah salah satu cara healing terbaik bagi Alana. Dia sayang bundanya, pasti. Sayang itu juga yang membuatnya mempertimbangkan tawaran Adara. Sahabat yang telah mendonorkan darah super langkanya pada bunda Alana saat kritis lima tahun lalu.
Alana memulas pelan lipstik coral di bibirnya perlahan lalu merapikan sedikit tatanan rambutnya. Dress tanpa lengan sepanjang lutut dengan warna nude pilihan bunda membalut cantik tubuhnya. Tak lupa menyemprotkan sedikit parfum aroma favoritnya. Ia mematut dirinya di depan cermin, nampak sempurna seperti biasanya. Hanya satu yang kurang, sebuah senyuman tulus harusnya bisa menyempurnakan penampilannya malam ini.Suara mobil memasuki pekarangan lalu obrolan beberapa orang mulai menyeruak. Kembali menyadarkan Alana yang malam ini harus menghadapi pertemuan super mendadak di rumah orang tuanya ini. Kemarin setelah deep talk dengan bundanya, ia memilih untuk bermalam disini. Namun paginya ia justru harus menahan keterkejutan karena mendengar kabar kedatangan keluarga Pradipta sore ini.Masih meratapi nasib, suara pintu kamar terbuka menarik atensinya. Adara dengan senyum cerianya berdiri di depan pintu sembari menatapnya antusias. Hanya sebuah senyum k
Paduan aroma citrus dan wood mendominasi penciuman Alana ketika angin berhembus sedikit lebih kencang dari sebelumnya. Wanita itu masih menatap tanpa gentar si pemilik aroma, lelaki tiga puluhan yang berdiri dihadapannya. Setelah tiga menit lalu pamit dari ruangan dan menyisakan tanya di benak semua orang, kini Alana dan Arkasa telah berada di taman belakang. Dari jarak sedekat ini, ketampanan Arkasa Dean Pradipta makin jelas tercetak. Alana menarik nafas pelan, berusaha menghalau pikiran- pikiran buruknya."Maaf, kamu mungkin terkejut," suara pertama Arkasa setelah beberapa saat terdiam akhirnya terdengar.Alana berusaha sopan karena biar bagaimanapun, sosok dihadapannya lebih tua darinya. "Sebenarnya tidak juga," balasnya singkat.Arkasa tersenyum simpul. Ia mencuri pandang kearah ruang makan dimana lima manusia di dalamnya nampak harap- harap cemas lalu kembali memandang lamat Alana."Jadi, sudah berapa lama kamu ber
"Aku bisa bawa sendiri, mas!"Arkasa melepaskan tangannya dari koper besar berwarna silver, membiarkan Alana kini sibuk mengatur beberapa tombol di kopernya dan mulai menariknya. Belum genap seminggu resmi menjadi suami Alana, sedikit banyak ia mulai paham bagaimana wanita itu begitu tak mau terlihat lemah. Arkasa mungkin juga tak akan kaget nantinya kalau melihat Alana mengangkat dan mengganti galon sendiri atau mungkin membenahi rumah bocor.Yap, setelah pertemuan keluarga malam itu, semuanya sepakat bahwa pernikahan Alana dan Arkasa dilaksanakan dua minggu setelahnya. Kenapa? Karena keluarga percaya itu adalah hari baik terdekat. Mereka tak mau menunda- nunda pernikahan Arkasa dan Alana. Lagipula, bagi keluarga super kaya raya seperti keluarga Pradipta, mengurus satu acara pernikahan bukanlah hal sulit.Arkasa dan Alana tinggal terima jadi. Mereka hanya diharuskan memilih satu konsep dan langsung memilih yang paling sederhana. Perhelatannya pun dilaksan
Alana menganga ketika melihat di depan ruang kerjanya berjejer bunga dan aneka bentuk ucapan selamat entah dari pegawainya atau kiriman rekan kerja. Tadi juga sepanjang perjalanan menuju ruangan ia harus terus memasang senyum saat tiap orang menyapanya sembari memberi selamat. Memang Alana tak mengundang semua pegawainya, tapi siapa di kota ini yang tak tahu bahwa dirinya menikahi salah satu anak konglomerat paling hits?Menghela nafas pelan sebelum mengambil beberapa bidikan foto menggunakan ponselnya. Tak butuh waktu lama baginya untuk mengunggahnya ke salah satu media sosial dan melayangkan ucapan terimakasih. Tak perlu menandai siapapun, terlalu banyak nama yang harus disebutkan kalau dia mau menandai. Jadi sebagai wanita sibuk, Alana hanya mengunggahnya secara umum saja. Yap, untuk mempermanis dramanya, setidaknya dia harus melakukan ini bukan?Hendak membuka pintu ruangannya, namun sulit karena dihalangi berbagai karangan bunga. Ia memanggil salah satu office boy
Arkasa hampir memuntahkan kembali air yang baru saja dia teguk ketika rungunya menangkap suara tak biasa di pagi temaramnya. Setelah mengusap bibirnya, perlahan juga netranya makin terbuka. Arkasa menyingkirkan residu disekitar matanya untuk memperjelas penglihatan, melirik jam dinding yang menunjuk pukul enam pagi. Rambut laki- laki itu masih acak-acakan, mengenakan kaos hitam polos seadanya dan celana trening yang biasa nyaman ia pakai tidur. Kaki panjangnya melangkah mengikuti asal keributan. Tadinya Arkasa berada di dapur untuk minum air setelah bangun tidur. Namun suara kecipak air yang lumayan kencang cukup membuat rasa penasarannya membuncah. Dapur dan taman belakang hanya dibatasi satu pintu sliding besar. Arkasa membuka sedikit lalu menyembulkan kepalanya keluar guna mengamati. Benar saja, ada sosok yang tengah berenang jam enam pagi dengan brutal di kolam. Arkasa mengernyit heran namun beberapa saat kemudian sadar bahwa ia tak tinggal sendirian di rumah ini. Sia
Wanita bersurai hitam itu masih setia di depan laptop, berkutat pada rancangan terbarunya. Alisnya naik turun seiringan dengan pening yang tiba- tiba menyeruak dibarengi lantunan paduan suara dari perut. Mata kucingnya melirik jam dinding, pukul 11 lewat, ini sudah larut malam. Sial. Kenapa harus lapar selarut ini? Pikirnya.Alana baru ingat, terakhir ia menyentuh makanan hari ini saat makan siang. Itupun hanya setengah porsi pasta. Salahkan hari super sibuk dan hecticnya hingga sulit sekali rasanya untuk makan. Sekali lagi egonya berdebat, jam kritis mau makan apa? Kata orang, makan tengah malam bisa membuat berat badannya naik. Tapi suara dan alarm kelaparan itu terus mengganggu konsentrasinya. Setelah perdebatan batin itu, akhirnya dengan langkah berat Alana menuju dapur. Persetan dengan berat badan naik! Yang penting dia bisa konsentrasi lagi melanjutkan pekerjaannya yang harus dia selesaikan sebelum berangkat seminar tig
"Mau saya pesankan sesuatu, bu?"Lagi dan lagi hanya gelengan yang ia dapat sebagai jawaban. Rosaline untuk kesekian kalinya masuk dengan raut cemas kedalam ruangan bos utamanya. Ini pukul 2 siang dan bosnya itu tidak berpindah posisi sama sekali sejak pagi tadi. Beginilah Alana kalau sudah terlalu fokus pada pekerjaannya, makan dan istirahat sama sekali tak ia indahkan. Memang Alana bukan tipikal yang sering sakit dan bahkan dianggap punya daya tahan tubuh yang cukup bagus. Namun tetap saja, riwayat penyakit lambungnya dan terlebih dulu ia pernah kumat saat di kantor cukup membuat Rosaline was-was. Ia tentu tak mau bos kesayangannya itu jatuh sakit lagi."Tapi sebentar lagi akan ada meeting di ruangan utama. Bu Alana belum makan siang sedikitpun, kan?" Rosaline berusaha mengingatkan lagi.Kali ini Alana menatapnya, "ah iya, client itu sudah datang belum?" tanya Alana.Rosaline yang tadinya hampir tersenyum kini kembali melunturkan senyuman di bibirnya. D
Manhattan rasanya jauh sekali. Oh bukan rasanya, tapi memang benar- benar jauh. Hampir dua puluh empat jam berada di dalam pesawat termasuk transit dan segala macamnya membuat tubuh Alana rasanya hampir remuk. Sudah lama sekali ia tak mengikuti lokakarya dan semacamnya hingga sejauh ini, ke benua Amerika pula. Siapa sih yang memilih perhelatan tahunan ini dilaksanakan disini?Dengan sisa kekuatannya, Alana menarik koper milik suaminya itu. Dia telah disapa ramah oleh beberapa utusan yang bertugas menjemput para peserta lokakarya. Ada beberapa juga kenalannya yang pernah ia temui di beberapa kesempatan sebelumnya sehingga Alana tak merasa terlalu kesepian. Alana melirik Rosaline yang nampak jauh tertinggal dibelakangnya, gadis itu nampak sibuk dengan ponselnya sejak tadi. Mungkin sedang mengabari kekasihnya.Mereka masuk kedalam mobil yang disediakan panitia untuk diantar ke hotel tempat diadakannya acara yang akan digelar tiga hari kedepan. Yap, acara seriusnya hanya t