Alana memulas pelan lipstik coral di bibirnya perlahan lalu merapikan sedikit tatanan rambutnya. Dress tanpa lengan sepanjang lutut dengan warna nude pilihan bunda membalut cantik tubuhnya. Tak lupa menyemprotkan sedikit parfum aroma favoritnya. Ia mematut dirinya di depan cermin, nampak sempurna seperti biasanya. Hanya satu yang kurang, sebuah senyuman tulus harusnya bisa menyempurnakan penampilannya malam ini.
Suara mobil memasuki pekarangan lalu obrolan beberapa orang mulai menyeruak. Kembali menyadarkan Alana yang malam ini harus menghadapi pertemuan super mendadak di rumah orang tuanya ini. Kemarin setelah deep talk dengan bundanya, ia memilih untuk bermalam disini. Namun paginya ia justru harus menahan keterkejutan karena mendengar kabar kedatangan keluarga Pradipta sore ini.
Masih meratapi nasib, suara pintu kamar terbuka menarik atensinya. Adara dengan senyum cerianya berdiri di depan pintu sembari menatapnya antusias. Hanya sebuah senyum kecil yang bisa Alana bubuhkan.
Sahabatnya itu langsung masuk dan menutup pintu. "Cantik banget! Gak salah emang aku milih calon ipar," ucapan Adara masih terasa tak nyaman bagi Alana sekalipun itu sebuah pujian. Sejujurnya dia merasa sedikit kecewa. Satu sisi dia merasa sahabatnya ini mendadak tak peka terhadap perasaanya, atau justru memilih untuk tak peduli. Namun di sisi lain, dia juga merasa jahat karena tak membantu sahabatnya dengan tulus. Satu- satunya alasan Alana menerima pertemuan ini karena rasa hutang budinya.
Iya menerima pertemuan, bukan berarti perjodohan, kan? Sejujurnya dia sedikit berharap bahwa kakak Adara-lah yang akan menolak perjodohan. Mendengar bahwa dia benar- benar baru mendarat dari London tiga hari lalu. Lelaki itu sudah dewasa, dia pasti punya pilihan dan keinginannya sendiri. Meskipun presentasenya kecil, Alana masih menggantung harapan pada kemungkinan itu.
Alana melirik Adara yang kini tengah sibuk serius memilih deretan sepatu tinggi yang berjejer di dekat lemari. Gadis itu menjentikkan jari lalu menunjuk sepatu heels putih paling tengah. "Pakai yang ini, Al! Paling masuk warnanya dan matching sih menurutku," ucapnya lagi.
Tak mau banyak peduli dan berdebat, Alana langsung melirik dan mengambil pilihan Adara lalu mengenakannya dengan cepat. Setelah selesai, Adara kembali mencekal lembut dua pergelangan tangannya. "Thankyou Al! Semoga semuanya berjalan sesuai rencana," tuturnya bersemangat. Alana hanya mampu membalas dengan senyuman kecut. Ya, berjalan sesuai rencana. Rencana siapa memangnya?
Keduanya lalu keluar dari kamar Alana, berjalan menuruni tangga dan langsung menjadi sorotan utama empat parubaya yang telah duduk di meja makan. Alana menoleh karena tadinya rungunya dengan jelas menangkap obrolan dan ributnya orang tua namun kini mendadak senyap. Alana berusaha menarik lebih lebar senyumannya ketika Adara menyikut sedikit lengannya. Membalas senyuman para orang tua yang juga memusatkan perhatian padanya. Satu per satu pujian melayang, Alana juga dengan sopan menyapa orang tua Adara.
"Makanya jeng, saya benar- benar antusias waktu Adara mengutarakan ide ini. Dari dulu kan kalau ketemu Alana, saya selalu bercanda mengatakan untuk jadi anak saya aja. Gak nyangka ada jalannya juga, ya," mama Adara mengatakannya sembari tertawa. Semua orang tua juga tertawa kecil. Alana sedikit menghangat melihat raut bahagia dari orang tuanya, orang tua Adara, dan juga Adara. Namun di satu sisi dia masih merasa tak enak hati karena mengingat lagi apa yang tengah dia hadapi kali ini.
"Dara, coba kamu telpon kakak kamu. Jangan- jangan dia nyasar," nyonya utama Pradipta bersuara lagi. Adara mengangguk lalu dengan cekatan meraih ponselnya dan berjalan keluar ruangan utama.
"Maaf ya, tadi Arkasa bilang masih ada pertemuan dengan beberapa rekan di universitas," ujar wanita parubaya yang biasanya Alana sapa tante Tiana. Alana mengangguk mengiyakan. Dari percakapan para orang tua juga Alana tahu bahwa Arkasa akan menjadi dosen di salah satu universitas setelah lama tak kembali ke Indonesia. Sebelumnya, lelaki itu lebih sibuk di London mengurus berbagai macam penelitian akademik. Namun untuk beberapa alasan,akhirnya lelaki itu kembali untuk melanjutkan karir dosennya di Indonesia.
Sejujurnya, sebagai wanita yang amat sangat menghargai waktu, Arkasa sudah memberi kesan pertama yang cukup buruk. Lewat dua puluh menit dari janji temu tentu saja telah mengaduk batas kesabaran Alana. Namun dia pikir lelaki itu juga mungkin sengaja mengulur waktu karena sama-sama tak menginginkan perjodohan ini? Seutas senyum tipis terbentuk di bibir Alana. Berharap bahwa dugaannya yang ini bisa terealisasi. Kalau tak datang pun juga tak apa, kan? hehehe.
Namun sepertinya Alana harus menunda kesenangannya, ia mendongak mendapati Adara berjalan dengan seorang laki- laki yang ia yakini sebagai Arkasa. Sejujurnya dia tak heran lelaki tampan dengan penampilan rapi akan muncul, mengingat bagaimana luar biasanya gen keluarga Pradipta menurutnya. Sejauh pandangan Alana, lelaki yang kini bersalaman sopan dengan kedua orang tuanya itu punya bahu lebar, tubuh tinggi, dan senyuman yang cukup karismatik. Singkatnya, dia bahkan diatas kata tampan.
Sepersekian detik Alana masih diam memandangi interaksi lelaki itu dengan semua orang tua di ruangan. Sampai akhirnya ia mendapati netranya langsung bertubrukan dengan iris kelam yang tersenyum singkat memandangnya. Alana berdehem meradakan ganjalan aneh yang muncul dalam diri lalu memalingkan pandangannya. Lelaki itu duduk tepat dihadapannya, entah kenapa perasaan tak nyaman itu muncul dalam diri Alana.
Ayah Alana mempersilahkan semuanya untuk menyantap sajian. Sesekali mereka masih berbincang, membahas beberapa hal dengan santai. Ya, semuanya santai kecuali Alana yang merasakan ketegangan luar biasa. Bagaimana tidak? dia sadar betul laki- laki dihadapannya kerap mencuri pandang kearahnya. Alana kembali meraih jus jeruk disebelahnya.
Bukan bermaksud terlalu percaya diri, tapi apa Alana terlihat terlalu cantik sekarang ini? Jangan- jangan lelaki dihadapannya justru akan benar- benar menyetujui semuanya karena dia terpesona pada Alana? Itu mungkin keinginan bagi banyak gadis diluaran sana, tapi Alana sekarang ini benar- benar tak mengharapkannya.
Alana merasa jantungnya berhenti berdetak ketika tuan Pradipta, ayah dari Adara dan Arkasa mulai menyinggung hal yang dia takuti. "Jadi seperti yang sebelumnya sudah kita bahas, besar harapan kami agar kedepannya kita bisa menjadi besan yang rukun," ujarnya dengan senyuman bijaknya. Lelaki parubaya itu lalu memandang bergantian Alana dan Arkasa sebelum kembali melanjutkan kalimatnya yang sempat tergantung.
"Secara resmi kedatangan kami kesini ingin mempersunting Alana untuk anak saya Arkasa Dean Pradipta," dunia Alana bak berhenti. Lidahnya kelu seolah tak mampu menyampaikan satu kata apapun. Hanya matanya yang bergerilya kesana kemari memandang satu per satu raut orang- orang di ruangan. Para orang tua plus Adara tentu saja menyambut dengan wajah riangnya. Perlahan pandangannya mengarah pada Arkasa yang kini menampilkan ekspresi sebaliknya, wajah dingin tanpa pandangan jelas yang ia dapat tafsirkan maknanya.
Dihadapan orang tuanya, Alana tak punya kuasa apapun. Terlebih ketika ada keluarga Pradipta yang dengan riang menumpu harapan besar juga padanya. Satu-satunya harapan Alana adalah laki-laki dihadapannya yang masih terdiam. Ia tak tahu bagaimana pandangan Arkasa terkait perjodohan ini, tapi dari gerak- geriknya, Alana jelas tahu laki- laki itu juga sama kagetnya dengan dirinya. Masih memandangnya was- was, terutama ketika Arkasa akhirnya mengangkat sedikit kepalanya lalu tanpa sengaja kedua netra mereka bertemu. Lelaki itu mengulas senyuman tipis yang bahkan sebenarnya tak dapat dikategorikan sebagai sennyuman.
"Kalau kami sih terserah anak- anak saja. Toh mereka yang akan menjalani," Alana melirik ayahnya yang tersenyum kecil kearahnya. Jarang- jarang ia mendengar suara ayahnya selembut ini apalagi mendengar kalimatnya yang seolah tak memaksa. Tapi Alana jelas tahu bahwa penolakan darinya mungkin akan membuat para orang tua itu kecewa. Ia paham, bahwa meskipun mereka mengatakan tak memaksa, ada tekanan lain yang membuat Alana bisa merasakan bahwa sebenarnya pun ia dipaksa untuk menerima perjodohan ini. Terutama dari gadis disamping Arkasa yang kini nampak tersenyum paling lebar.
Alana menegang ketika sapaan tuan Pradipta terarah padanya, "jadi bagaimana, Alana? Kamu mau kan ?" Alana masih diam, satu ruangan memperhatikannya kini. Ia tersenyum kikuk karena bingung hendak menjawab apa.
"Maaf semuanya," Alana akhirnya mendongak ketika mendengar suara berat Arkasa mengalihkan atensi semua orang. Lelaki yang sejak tadi diam itu masih memasang wajah seriusnya.
"Kalau lamaran ini diperuntukkan kepada Alana dari saya, maka bukankah sebaiknya saya lah yang langsung menyampaikannya, bukan?"
Semuanya terdiam, termasuk tuan Aditama Pradipta yang mengerutkan kening menatap putranya. Masih menunggu lelaki tiga puluh tahun itu untuk melanjutkan kalimatnya.
"Saya rasa baik saya ataupun Alana sama-sama terkejut dengan agenda ini, meskipun kami sadar betul sejak awal kemana arah perbincangan kali ini. Tapi sebagai dua sosok yang belum saling mengenal, kami perlu sedikit adaptasi," ujarnya lugas. Alana menyapu bersih pandangan heran dari semua orang di meja. Berhenti pada satu titik yang menjadi anomali, ayahnya yang berbeda dari lainnya dan justru mencetak senyum jelas.
Arkasa kini beralih menatap Alana, "Sebelum Alana memberikan jawabannya, boleh saya berbicara berdua terlebih dulu dengan Alana?"
Paduan aroma citrus dan wood mendominasi penciuman Alana ketika angin berhembus sedikit lebih kencang dari sebelumnya. Wanita itu masih menatap tanpa gentar si pemilik aroma, lelaki tiga puluhan yang berdiri dihadapannya. Setelah tiga menit lalu pamit dari ruangan dan menyisakan tanya di benak semua orang, kini Alana dan Arkasa telah berada di taman belakang. Dari jarak sedekat ini, ketampanan Arkasa Dean Pradipta makin jelas tercetak. Alana menarik nafas pelan, berusaha menghalau pikiran- pikiran buruknya."Maaf, kamu mungkin terkejut," suara pertama Arkasa setelah beberapa saat terdiam akhirnya terdengar.Alana berusaha sopan karena biar bagaimanapun, sosok dihadapannya lebih tua darinya. "Sebenarnya tidak juga," balasnya singkat.Arkasa tersenyum simpul. Ia mencuri pandang kearah ruang makan dimana lima manusia di dalamnya nampak harap- harap cemas lalu kembali memandang lamat Alana."Jadi, sudah berapa lama kamu ber
"Aku bisa bawa sendiri, mas!"Arkasa melepaskan tangannya dari koper besar berwarna silver, membiarkan Alana kini sibuk mengatur beberapa tombol di kopernya dan mulai menariknya. Belum genap seminggu resmi menjadi suami Alana, sedikit banyak ia mulai paham bagaimana wanita itu begitu tak mau terlihat lemah. Arkasa mungkin juga tak akan kaget nantinya kalau melihat Alana mengangkat dan mengganti galon sendiri atau mungkin membenahi rumah bocor.Yap, setelah pertemuan keluarga malam itu, semuanya sepakat bahwa pernikahan Alana dan Arkasa dilaksanakan dua minggu setelahnya. Kenapa? Karena keluarga percaya itu adalah hari baik terdekat. Mereka tak mau menunda- nunda pernikahan Arkasa dan Alana. Lagipula, bagi keluarga super kaya raya seperti keluarga Pradipta, mengurus satu acara pernikahan bukanlah hal sulit.Arkasa dan Alana tinggal terima jadi. Mereka hanya diharuskan memilih satu konsep dan langsung memilih yang paling sederhana. Perhelatannya pun dilaksan
Alana menganga ketika melihat di depan ruang kerjanya berjejer bunga dan aneka bentuk ucapan selamat entah dari pegawainya atau kiriman rekan kerja. Tadi juga sepanjang perjalanan menuju ruangan ia harus terus memasang senyum saat tiap orang menyapanya sembari memberi selamat. Memang Alana tak mengundang semua pegawainya, tapi siapa di kota ini yang tak tahu bahwa dirinya menikahi salah satu anak konglomerat paling hits?Menghela nafas pelan sebelum mengambil beberapa bidikan foto menggunakan ponselnya. Tak butuh waktu lama baginya untuk mengunggahnya ke salah satu media sosial dan melayangkan ucapan terimakasih. Tak perlu menandai siapapun, terlalu banyak nama yang harus disebutkan kalau dia mau menandai. Jadi sebagai wanita sibuk, Alana hanya mengunggahnya secara umum saja. Yap, untuk mempermanis dramanya, setidaknya dia harus melakukan ini bukan?Hendak membuka pintu ruangannya, namun sulit karena dihalangi berbagai karangan bunga. Ia memanggil salah satu office boy
Arkasa hampir memuntahkan kembali air yang baru saja dia teguk ketika rungunya menangkap suara tak biasa di pagi temaramnya. Setelah mengusap bibirnya, perlahan juga netranya makin terbuka. Arkasa menyingkirkan residu disekitar matanya untuk memperjelas penglihatan, melirik jam dinding yang menunjuk pukul enam pagi. Rambut laki- laki itu masih acak-acakan, mengenakan kaos hitam polos seadanya dan celana trening yang biasa nyaman ia pakai tidur. Kaki panjangnya melangkah mengikuti asal keributan. Tadinya Arkasa berada di dapur untuk minum air setelah bangun tidur. Namun suara kecipak air yang lumayan kencang cukup membuat rasa penasarannya membuncah. Dapur dan taman belakang hanya dibatasi satu pintu sliding besar. Arkasa membuka sedikit lalu menyembulkan kepalanya keluar guna mengamati. Benar saja, ada sosok yang tengah berenang jam enam pagi dengan brutal di kolam. Arkasa mengernyit heran namun beberapa saat kemudian sadar bahwa ia tak tinggal sendirian di rumah ini. Sia
Wanita bersurai hitam itu masih setia di depan laptop, berkutat pada rancangan terbarunya. Alisnya naik turun seiringan dengan pening yang tiba- tiba menyeruak dibarengi lantunan paduan suara dari perut. Mata kucingnya melirik jam dinding, pukul 11 lewat, ini sudah larut malam. Sial. Kenapa harus lapar selarut ini? Pikirnya.Alana baru ingat, terakhir ia menyentuh makanan hari ini saat makan siang. Itupun hanya setengah porsi pasta. Salahkan hari super sibuk dan hecticnya hingga sulit sekali rasanya untuk makan. Sekali lagi egonya berdebat, jam kritis mau makan apa? Kata orang, makan tengah malam bisa membuat berat badannya naik. Tapi suara dan alarm kelaparan itu terus mengganggu konsentrasinya. Setelah perdebatan batin itu, akhirnya dengan langkah berat Alana menuju dapur. Persetan dengan berat badan naik! Yang penting dia bisa konsentrasi lagi melanjutkan pekerjaannya yang harus dia selesaikan sebelum berangkat seminar tig
"Mau saya pesankan sesuatu, bu?"Lagi dan lagi hanya gelengan yang ia dapat sebagai jawaban. Rosaline untuk kesekian kalinya masuk dengan raut cemas kedalam ruangan bos utamanya. Ini pukul 2 siang dan bosnya itu tidak berpindah posisi sama sekali sejak pagi tadi. Beginilah Alana kalau sudah terlalu fokus pada pekerjaannya, makan dan istirahat sama sekali tak ia indahkan. Memang Alana bukan tipikal yang sering sakit dan bahkan dianggap punya daya tahan tubuh yang cukup bagus. Namun tetap saja, riwayat penyakit lambungnya dan terlebih dulu ia pernah kumat saat di kantor cukup membuat Rosaline was-was. Ia tentu tak mau bos kesayangannya itu jatuh sakit lagi."Tapi sebentar lagi akan ada meeting di ruangan utama. Bu Alana belum makan siang sedikitpun, kan?" Rosaline berusaha mengingatkan lagi.Kali ini Alana menatapnya, "ah iya, client itu sudah datang belum?" tanya Alana.Rosaline yang tadinya hampir tersenyum kini kembali melunturkan senyuman di bibirnya. D
Manhattan rasanya jauh sekali. Oh bukan rasanya, tapi memang benar- benar jauh. Hampir dua puluh empat jam berada di dalam pesawat termasuk transit dan segala macamnya membuat tubuh Alana rasanya hampir remuk. Sudah lama sekali ia tak mengikuti lokakarya dan semacamnya hingga sejauh ini, ke benua Amerika pula. Siapa sih yang memilih perhelatan tahunan ini dilaksanakan disini?Dengan sisa kekuatannya, Alana menarik koper milik suaminya itu. Dia telah disapa ramah oleh beberapa utusan yang bertugas menjemput para peserta lokakarya. Ada beberapa juga kenalannya yang pernah ia temui di beberapa kesempatan sebelumnya sehingga Alana tak merasa terlalu kesepian. Alana melirik Rosaline yang nampak jauh tertinggal dibelakangnya, gadis itu nampak sibuk dengan ponselnya sejak tadi. Mungkin sedang mengabari kekasihnya.Mereka masuk kedalam mobil yang disediakan panitia untuk diantar ke hotel tempat diadakannya acara yang akan digelar tiga hari kedepan. Yap, acara seriusnya hanya t
Alana menggenggam erat seminar kit dan tas bawaannya. Langkahnya masih terasa berat, apalagi ketika harus kembali masuk kedalam ruangan sesak yang telah menguras otaknya dua hari kemarin. Dia menghela nafas kasar dan menatap sekeliling, berusaha mengumpulkan kembali energi dan semangatnya setelah melewati aneka sesi focus group discussion dan serentetan acara lainnya. Perlahan senyuman cantiknya terpancar, ini adalah hari yang paling dia tunggu-tunggu.Tak seperti dua hari sebelumnya yang menghabiskan masing- masing sepuluh jam full di dalam ruangan untuk terus berpikir kritis, rundown hari ini jelas berbeda. Setelah memastikan kembali rundown yang dibagikan, Alana bisa bernafas sedikit lega. Hanya tersisa seminar motivasi dan upacara penutupan yang totalnya kurang lebih hanya dihelat selama lima jam. Ia mengembangkan senyumannya makin lebar, setelah ini dia bisa berlibur.Mempertahankan senyumnya kala menyapa beberapa panitia dan peserta lokakarya yang sudah