Beranda / Romansa / TERPAKSA MENIKAHI ADIK PACARKU / 2. MURID HARUSNYA TIDAK BERKASTA

Share

2. MURID HARUSNYA TIDAK BERKASTA

last update Terakhir Diperbarui: 2025-04-27 13:54:07

Membalikkan tubuh ke kanan dan ke kiri tidak membuat aku tenang. Aku benar-benar tidak tenang dengan apa yang aku lakukan hari ini. Hukuman yang tadi aku lakukan tidak salah namun kemarahan yang aku selipkan disana membuat aku benar-benar merasa bersalah. Tidak seharusnya aku melakukan itu!

Kulirik jam dinding dikamarku dan semakin larutnya malam membuat aku heran dengan Maya yang tidak pulang kekosan kami. Kuraih handphone ku untuk memeriksa barang kali dia meninggalkan pesan yang ternyata tidak sama sekali. Kemana dia? Dia tidak pernah begini.

"Kenapa Maya jadi begini?" Tanyaku pada diri sendiri. Berulang kali aku pikirkan alasan kemarahannya pun tetap tidak aku temukan. Aku bingung. Sangat bingung sampai tidak tahu lagi bagaimana harus memperbaiki hubungan persahabatan kami yang semakin lama semakin merenggang karena dinginnya komunikasi diantara kami.

Kuputuskan bangkit dari tidurku, toh percuma saja karena aku juga tidak akan bisa tidur dengan banyak pikiran yang bertumpuk-tumpuk disana. Masalah kehamilan dan kak Ariel menghilang, Maya yang terus bersikap dingin dan rasa bersalah terhadap Axel tadi pagi, semua itu menggerogoti pikiran aku, hampir menghilangkan akal sehat dipikiran aku.

"Pada akhirnya aku harus menghadapi semuanya sendiri," gumamku sambil memeluk lututku sendiri, aku sangat takut sekarang. Selama ini aku tidak benar-benar sendiri karena ada Maya yang selalu ada disamping aku dan kini dia pergi, aku harus menghadapi semuanya sendirian.

Sampai detik ini aku masih belum bisa mengungkapkan pada Maya tentang kehamilan ini, kalau sampai dia tahu apa mungkin dia akan sangat marah dan malah tidak mau bicara apapun dengan aku, menganggap tidak kenal dengan aku?

Malam ini, kubiarkan seluruh pikiranku berkelana tanpa arah tujuan, membiarkan semua rasa sakit dan ketakutan mengambil alih tubuhku. Membiarkan air mata mewakili semua yang aku rasakan dalam kesendirian.

Namun, tetap saja pada jam enam aku harus sudah bangun, bangkit dan bersiap kembali melakukan aktivitas disekolah walau dengan mood yang benar-benar tidak menentu, ketika aku mau membuka pintu kosan aku hampir terlonjak karena Maya membukanya lebih dulu dari luar dengan wajah marah.

"Maya?" Heranku, harusnya dia sudah berangkat kesekolah sekarang tapi kenapa dia malah disini.

"Kamu memukul Axel kemarin?!"

Aku diam. Mencoba mengelola pertanyaannya dalam kepalaku, sudah hampir satu minggu dia mendiamkan aku dan ini adalah obrolan pertamanya yang memulai pembicaraan lebih dulu dengan aku namun kenapa harus membahas masalah lain?

"Jangan diam saja Nadia, jawab!" Desaknya, terlihat tidak sabar.

"Hmm, dia terlambat dan rambutnya panjang, jadi sebagai wali kelas aku menghu..."

"Kamu gila?!" Hardiknya yang tidak membiarkan aku menyelesaikan ucapanku.

Kenapa dia semarah itu hanya karena aku menghukum salah satu murid dari kelas aku? Aku wali kelasnya dan dia melanggar peraturan sekolah, jadi ketika aku menghukumnya, dimana salahnya? Oke, aku merasa bersalah karena menghukumnya terlalu keras nyata karena matanya mirip dengan Kak Ariel.

"Maya, aku menghukum murid dari kelasku, apa salahnya?" Tanyaku bingung, kenapa hal itu harus dipermasalahkan dijam genting yang membuat kita berdua bisa terlambat.

"Dia Axel Juel Nugraha, dia keluarga dari keluarga Nugraha yang bahkan kepala sekolah tidak berani menegur dia ketika dia berbuat salah, kenapa kamu harus melibatkan diri dengan murid seperti itu? Kamu harus minta maaf!"

"Kenapa kita harus membedakan kasta dari para murid. Anak siapapun itu tidak akan mengubah ketika berada disekolah mereka setara dan namanya murid. Seragam yang mereka pakai mencerminkan kalau mereka sama!" Kekehku, aku merasa untuk kali ini Maya dan pemikirannya itu sangat tidak masuk akal dan harusnya tidak perlu sampai begitu.

"Ini dia masalah kamu, kamu dan segala idiologi yang ada dalam diri kamu itu yang selalu menyusahkan hidup kamu, kamu dan sikap sok benar yang kamu miliki!" Timpal Maya yang langsung berbalik meninggalkan aku dengan napas naik turun terlihat sangat marah.

Kupejamkan mata sejenak, sadar jika aku keterlaluan dalam menanggapi apa yang Maya katakan tadi padahal apa yang dia katakan adalah bentuk kepeduliannya pada aku. Sepertinya kali ini aku salah lagi dalam mengambil sikap.

"Maya, tunggu!" Seruku yang berusaha mengejar langkahnya. Sepertinya kali ini minta maaf saja tidak cukup untuk meluluhkan dia.

Dan benar, dia bahkan tidak mengizinkan aku membuka komunikasi apapun didalam bus. Dengan sengaja dia memasang aerpod ditelinganya padahal orang yang duduk disampingnya adalah orang yang sangat dia kenal dan bisa dijadikan teman ngobrol selama perjalanan membosankan ini.

Anggap apa yang Maya katakan benar, tentang sebegitu berpengaruhnya Axel karena aku bisa merasakan betapa intimidasi dari tatapan para guru dan murid ketika kami berpapasan, bahkan ketika aku berusaha mengabaikannya, tetap saja tatapan itu terasa jadi setelah mengantarkan makan siang untuk Maya yang aku letakkan dihandle pintu UKS, aku berbalik dan ingin menyelesaikan masalah ini dengan Axel.

"AXEEEL!"

Langkahku terhenti ketika berada didepan stadion basket sekolah, aku sangat yakin tadi mendengar nama Axel diteriakkan disana dan kalau itu benar berarti Axel berada didalam dan mungkin saja dia salah satu pemain basket.

Kursi penonton stadion basket sekolah tidak pernah seramai ini sebelumnya dan hanya dari suara yang menggemakan satu nama, juga poster yang mereka bawa mayoritas menggambarkan wajah Axel, aku bisa langsung tahu betapa populernya Axel.

"Ini pertama kalinya saya melihat Bu Nadia masuk kesini!"

Kaget karena disapa, aku sedikit gelagapan dan tersenyum kecil. Ini adalah Pak Adam yang merupakan guru olahraga.

"Suara mereka sampai keluar dan saya penasaran," ujaru singkat namun mataku terpaku dengan setiap gerakan yang Axel lakukan, dia sangat lincah dalam mengoprasikan bola, dia memang luar biasa dan pantas saja banyak yang terpesona dengan dia.

"Dia memang MVP sekolah kita hanya saja mungkin ini adalah pertandingan terakhirnya, dia sudah kelas 3 dan sudah sangat jarang ikut latihan," jalas Pak Adam padahal aku tidak minta penjelasan apapun jadi kini aku menatapnya dengan penuh tanda tanya, kenapa dia harus menjelaskan kemampuan Axel padaku. "Bu Nadia terlihat kaget dengan kemampuan Axel, jadi saya menjelaskannya."

"Dia memang terlihat luar biasa!" tuturku yang tidak bisa untuk tidak mengakui kehebatannya karena memang terlihat luar biasa.

Pak Adam tersenyum kecil dan itu membuat aku bingung kenapa dia harus tersenyum ketika aku memperhatikan Axel yang sedang ada ditengah pertandingan.

"Pak Adam, kemarin saya menghukum Axel," ucapku yang entah kenapa jadi membicarakan hukumanku pada Axel kemarin.

"Ya, saya sudah mendengarnya. Itu menjadi tranding topik hari ini."

Apa benar begitu? Kenapa beritanya bisa menjadi sebesar itu? Apa itu berarti aku sekarang menjadi guru yang paling dibenci karena menghukum siswa yang paling dicintai para murid perempuan?

"Bu Nadia baru 3 bulan disini jadi wajar kalau tidak tahu. Dikelas Ibu ada dua siswa yang bisa dibilang over power dan kalau boleh bisa lebih baik untuk tidak terlibat masalah dengan mereka. Yang pertama adalah Axel, dia adalah anak dari Adipati Noel Nugraha, pemilik perusahan obat terbesar di Negeri ini dan sebuah rumah sakit swasta yang terkemuka, yang kedua adalah Stela Angela Xavier, kalau bisa jangan sampai membuat masalah dengan mereka berdua."

Axel dan Stela? Keduanya adalah murid dari kelas aku dan juga kalau tidak salah mereka duduk satu bangku. Apa mereka berteman karena mereka sama-sama anak orang berpengaruh?

"Apa kita harus memperlakukan mereka berbeda padahal disini mereka adalah siswa sama dengan yang lain?" Tanyaku yang masih tidak suka dengan orang yang memandang hal ini seperti sebuah kasta yang harus dijunjung tinggi.

"Pokoknya, akan lebih baik kalau Ibu tidak berurusan dengan mereka. Itu saja!"

Aku menatap Pak Adam yang kini memberikan peringatan pada pada aku dengan serius dan tepat pada saat itu Axel meluncur mulus ke dalam ring, denting peluit terdengar, menandakan berakhirnya pertandingan.

Sorakan kemenangan memecah keheningan yang mendebarkan dan pemain-pemain dalam timnya bergegas ke tengah lapangan, berlari memeluk Axel dalam puncak euforia kemenangan. Tepuk tangan dan teriakan penonton menggema di stadion, menciptakan atmosfer yang elektrik.

"Dia menang!" Celetuk Pak Adam tersenyum kecil, membuat pandangan mataku kembali teralih pada Axel yang tengah dipeluk teman-temannya.

Namun, suasana berubah ketika salah satu teman Axel yang terlalu bersemangat tanpa sengaja menyentuh kepalanya saat memeluk. Raut wajah Axel berubah drastis, dingin dan mengeras, tiba-tiba dia mendorong temannya itu dengan kasar sampai membuat temannya itu tersungkur.

"Anak itu, kenapa sekasar itu?!" Hardik Pak Adam melotot namun tidak beranjak dari tempatnya dan itu juga membuat aku yang kaget sampai menahan napas beberapa detik, dia tidak tahu apa yang salah dengan dia yang tiba-tiba berubah kasar padahal itu adalah perayaan kemenangan mereka.

Suasana yang tadinya hangat dan riuh, seketika sunyi. Para pemain dan penonton yang tadinya bersorak, kini hanya bisa saling pandang dalam keheningan yang canggung.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun bahkan maaf, Axel berbalik dan pergi meninggalkan lapangan dengan langkah cepat. Kejadian itu tidak hanya meninggalkan kebingungan di hati rekan-rekannya. Mereka sangat tahu kalau Axel tidak ramah namun mereka tidak tahu kalau Axel akan bersikap seanarkis itu.

"Jika dia bersikap begitu, dia tidak akan punya teman," desis ku merasa bingung dengan sikap Axel, padahal tadinya aku ingin minta maaf karena kemarin terlalu keras pada Axel dan jadi sadar kalau ternyata Axel berprestasi diluar akademik.

Aku menarik napas dalam-dalam, sebenarnya tidak ingin terlalu terlibat dengan Axel. Jadi ku putuskan meninggalkan stadion basket yang kembali riuh, namun, langkahku terhenti ketika mataku tertumbuk pada sosok Axel yang duduk sendirian di taman belakang stadion. Dia masih mengenakan jersey basket hitamnya, tampak tenggelam dalam pikiran yang dalam, terpisah dari keramaian dan sorak-sorai kemenangan timnya.

"Apa aku minta maaf sekarang saja?" Aku mencoba bernegosiasi pada diri sendiri karena merasa tidak enak dengan karena tersulut hanya karena mata Axel yang sama dengan Ariel, bukan karena background orang tuanya.

Kugigit bibir bawahku, bimbang antara keinginan untuk mendekati Axel atau melanjutkan langkah pergi. Sebelum dia bisa memutuskan, getaran handphone di sakuku membuat aku menghentikan langkah. Sebuah pesan dari Kak Ariel. Datang kerumahku, alamatnya Jl. Kencana Bahtera no XXX.

Tanpa berpikir dua kali, aku membalikkan tubuhku. Menunda permintaan maaf pada Axel yang bisa dilakukan kapan saja karena sekarang setelah satu bulan menghilang akhirnya Kak Ariel menghubungi dan mengatakan ingin bertemu dirumahnya. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya dia rencanakan namun aku harus datang, kita harus membicarakan tentang bayi yang sekarang aku kandung.

Aku tidak tahu lagi bagaimana menggambarkan perasaan aku sekarang yang bercampur aduk tidak menentu ketika berada didalam bus, namun yang membuat aku bingung bercampur ragu adalah ketika sudah berada didepan rumah Kak Ariel yang ternyata ada dikawasan perumahan elit dan rumahnya super amat sangat besar, untuk mamastikan ini adalah alamat yang benar aku sampai harus berkali-kali membaca alamat yang ada dilayar handphone ku.

"Permisi! Apa benar ini rumah Kak Ariel?" Tanyaku pada satpam yang berjaga didepan dari balik gerbang rumahnya, setidaknya aku harus memastikan lebih dulu kalau alamat yang Kak Ariel berikan asli.

"Tuan muda Ariel? Apa anda adalah Nona Nadia?"

Kaget karena penjaga rumah tahu namaku, spontan aku hanya mengangguk dan dia dengan segera membukakan gerbang rumah besar tersebut.

"Silahkan, Tuan dan Nyonya sudah menunggu didalam!"

Lagi-lagi aku hanya bisa mengangguk, aku hanya tidak mengira akan diperlakukan sesopan ini sampai ditunggu. Dulu Kak Ariel memang sangat populer saat dikampus dan selalu memakai pakaian dan barang-barang yang terkesan mahal namun aku tidak tahu kalau dia sekaya ini.

"Nyonya dan Tuan masih belum turun dari kamarnya, silahkan anda masuk dulu!"

Tapi aku adalah tamu, bagaimana mungkin aku dipersilahkan masuk padahal aku tidak tahu arah rumah sebesar ini. Aku bahkan tidak tahu kiri dan kanan menuju ketempat apa.

Aku hanya berjalan dalam kebingungan yang tidak jelas ketika tiba-tiba langkahku terhenti ketika melihat kolam renang besar didepanku. Ini tidak tidak asing, aku seperti pernah berada disini.

"Jangan bersikap seakan kalian peduli dengan aku!"

Kepalaku menoleh ketika mendengar sentakan dari dalam rumah dan secara naluriah aku mendekati arah suara itu. Dari belakang aku melihat Papa Kak Ariel yang sebulan lalu dia kenalkan pada aku sedang berdebat dengan seorang pria yang membelakangi memakai jarsey hitam.

"Nadia, kamu sudah datang!" Sapa Om Adipati dengan tersenyum kecil yang kala itu Kak Ariel kenalkan sebagai Papanya.

Sebagai sopan santun, yang bisa aku lakukan hanya menganggukkan kepala sedikit sambil berjalan mendekat dan ketika berada tepat disebelah pria berbaju jarsey hitam itu dia menoleh yang membuat aku sampai kesulitan menelan ludah aku sendiri. Axel? Kenapa dia disini?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fuad Hasan
Tipikal sekolah elit dengan para penyembah orang beruang
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • TERPAKSA MENIKAHI ADIK PACARKU   45. PARADOKS

    "Errgghh." Aku terbangun karena tenggorokan terasa kering, pandanganku tertuju pada sebotol air yang ada diatas meja sebelah ranjang, jadi kugeser tubuhku, berusaha untuk menggapainya walau pun dengan susah payah karena ternyata bagian bawahku masih ada rasa sakit ketika digerakkan.GRRAABBB.Kepalaku terangkat ketika menyadari ada tangan lain yang meraih botol tersebut, membukanya dan menyerahkannya padaku. Stela. Sejak kapan dia ada disini? Kenapa aku tidak sadar kalau tadi kami satu ruangan."Axel sedang ada diruang bayi," Stela menjelaskan tanpa ditanya kemudian dengan gerakan santai dia duduk kembali dengan matanya yang kembali fokus pada iPad ditanganya.Canggung, itu adalah yang aku rasakan saat ini karena memang sebelumnya kami tidak pernah terjebak berdua dalam ruangan yang sama dan aku juga tidak tahu bagaimana karakternya yang sebenarnya jadi tidak tahu bagaimana cara mencairkan suasana

  • TERPAKSA MENIKAHI ADIK PACARKU   44. TIDAK INGIN BERPISAH

    "Menikah dengan orang kaya memang berbeda. Dua jam setelah observasi kamu langsung ditempatkan diruangan Presidenial Suite. Benar-benar kesenjangan yang nyata!" Celetuk Maya sambil menikmati fasilitas ranjang empuk yang tidak jauh dariku. Aku menatap sekeliling, ruangan ini memang terlihat berlebihan untuk pasien. Untuk ukuran rumah sakit, untuk apa ada pantry kecil diujung padahal makanan pasien dan penunggu juga sudah disediakan, bahkan ada microwave juga. "Kak Nadia tidak akan percaya, kamar mandinya bisa hangat otomatis, hanya dengan menggeser kran. Tempat ini luar biasa!" Ungkap Maxim tersenyum senang begitu keluar dari kamar mandi. "Tapi Nadia, sejak kemarin kamu mematikan handphone, apa tidak apa-apa? Mertua kamu dan Axel mungkin akan khawatir?" Tanya Maya hati-hati. Kutatap handphone yang ada diatas meja kecil sebelah ranjang, aku tidak tahu bagaimana menggambarkan perasaanku sendiri sekarang

  • TERPAKSA MENIKAHI ADIK PACARKU   43. MELAHIRKAN

    "Jangan membuat Stela menunggu! Dia akan marah kalau dibuat menunggu terlalu lama." Axel terlihat ragu-ragu, dia sedang menghindari kontak mata kami dan terlihat gelisah, apa yang salah dengan dia sekarang? "Mungkin lebih baik aku tidak ikut," desisnya sambil meriah handphone, menimang-nimang benda tersebut untuk memastikan pilihan apa yang akan dia buat. "Kenapa tidak ikut? Kamu bilang setelah ini Stela akan kuliah diluar Negri dan mungkin saja kalian sulit bertemu." Axel menatap perutku kemudian menarik napas panjang, "Perkiraan persalinan Kak Nadia bulan depan dan Tante Rania bilang bisa maju atau mundur, bagaimana kalau ketika aku berada di Bali, persalinannya maju?" "Aku akan menghubungi Maya," jawabku cepat tanpa menyebutkan nama Maxim karena itu hanya akan membuat konflik baru diantara kita. Kalau boleh jujur, aku juga ingin Axel tetap tinggal tapi aku tidak ingin keberadaan kami m

  • TERPAKSA MENIKAHI ADIK PACARKU   42. ML

    "Axel, kamu sudah bangun!" Sapaku begitu Axel keluar dari kamar.Tidak menjawab dan melewati aku begitu saja untuk masuk kedalam kamar mandi, melakukan aktivitas paginya sebelum kemudian keluar dengan wajah yang lebih segar dan duduk disofa lalu menyalakan TV dan makan apel sebagai rutinitas sarapan kami."Axel, aku sudah memilihkan beberapa restoran yang mungkin akan kamu suka, mau lihat?" Tawarku sambil menyodorkan handphone ku padanya namun dilirik pun tidak, dia sama sekali tidak peduli dan matanya lurus memandang TV didepan kami.Dia dan sikap acuhnya ketika marah sangat menyiksa orang yang ada disekitarnya. Aku sangat ingin menjelaskan apa yang membuat aku tidak bisa makan malam dengan dia kemarin tapi jika aku melakukannya, bukannya itu terkesan aku membela diri atas apa yang aku lakukan."Axel, apa kamu marah?" Tanyaku dengan suara lirih. Pertanyaan bodoh memang tapi aku sudah tidak punya apapun lagi yang bisa aku keluarkan dari kepalaku. Aku seperti kehabisa

  • TERPAKSA MENIKAHI ADIK PACARKU   41. DIANTARA DUA PILIHAN

    "Axel, ingat fokus dengan soalnya dan jangan lengah!" Aku memberikan ultimatum pada Axel sebelum dia berangkat untuk tes masuk Universitas. Axel mengangguk sambil tersenyum. Bagaimana dia bisa setenang itu padahal tes ini menentukan masa depannya, bisa atau tidaknya dia masuk Universitas Negri. "Kamu yakin tidak ingin diantar?" Tanyaku entah yang keberapa kalinya menawari untuk mengantar dia ujian. Awalnya aku pikir dia tidak mau kuliah di Indonesia tapi dia mengatakan kalau dia tidak ingin kuliah diluar Negri dan ingin tinggal di Indonesia saja. "Aku tidak mentargetkan apa pun dalam hidup, kalau tidak bisa masuk Universitas Negri ya swasta saja. Aku tidak masalah, toh pada akhirnya aku juga akan menjadi dokter!" Kelakar Axel sambil tertawa, dia terlalu santai menghadapi ujian kali ini. Kami sudah belajar beberapa hari terakhir ini dan aku bisa menilai kalau kemampuan Axel naik drastis karena dia bisa mendapatkan nilai 70 dirata-rata ujiannya

  • TERPAKSA MENIKAHI ADIK PACARKU   40. NGIDAM

    Axel menggandengku kepesta yang sebenarnya aku tidak paham ini pesta apa, Axel bilang ini semacam pesta yang diperuntukkan oleh orang tua mereka untuk saling mengenal dimasa depan untuk mempermudah koneksi. Yang ada dipesta itu adalah anak-anak orang berpengaruh di Negri ini, dari konglomerat sampai anak mentri pun ada. Gaya mereka memang sangat berbeda dengan orang-orang biasa, dari cara bicara dan outfit yang mereka kenakan seakan menunjukkan siapa mereka. Menggambarkan bagaimana selama ini mereka menjalani hidup dengan bergelimang harta. Usia yang mengikuti pesta ini bervariatif. Yang paling muda adalah anak 10 tahun dan yang terlihat paling tua adalah mereka yang berusia dua puluhan. Selain Axel, satu-satunya orang yang aku kenal disini adalah Stela yang saat ini sedang duduk disofa, sedang mengobrol dengan beberapa teman seusianya dan sempat melirik sebentar kearah kami tapi setelahnya acuh dan kembali melanjutkan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status