Bab 22
"Eh, Mass, kamu kenapa?" pekik Elena menghampiri Angkasa.Ia berusaha menopang tubuh lelaki bertubuh tinggi itu meski kepayahan."Tolong! Tolong, calon suami saya pingsan! Bisa bantu saya membawanya ke mobil?"Salah satu pegawai pria bertubuh besar, dengan cepat mengangguk. "Ayo, kami bantu!"Dibantu dua orang lainnya, mereka mengangkat tubuh Angkasa yang lemas menuju mobil Angkasa yang terparkir di luar. Sementara itu, Elena menyerahkan kunci motornya ke salah satu pegawai kafe."Tolong titip motor saya di sini, ya. Saya harus segera membawa dia ke rumah sakit."Pegawai itu mengangguk tanpa curiga, sementara Elena masuk ke dalam mobil. Namun, bukannya menuju rumah sakit, ia malah mengemudi ke rumahnya sendiri.Sebelum mobil berjalan, ia meraih kunci mobik di saku jaketnya. Elena menatap Angkasa yang sudah pingsan dengan senyum tipis penuh kemenangan. Ia mengusap pipi lelaki itu dengan lembut.Cahaya terdiam."Aku..." Cahaya menggigit bibirnya, mencari kata yang tepat. "Aku juga ingin kita hidup dengan baik, Mas. Aku tahu semuanya terasa cepat, tapi aku nggak pernah menyesali pernikahan ini."Angkasa mengangkat tangan, menyentuh pipi Cahaya dengan lembut. "Kalau begitu, mulai sekarang, jangan ragu untuk bersandar padaku. Aku suamimu, Cahaya. Dan aku akan selalu ada untuk kamu dan Altair."Tatapan mereka bertaut dalam keheningan. Perlahan, tanpa sadar, ia menyandarkan kepalanya ke dada suaminya.Angkasa tersenyum kecil, merengkuh istrinya lebih erat, dan mengecup puncak kepalanya. "Besok aku mau ajak kamu jalan-jalan sebentar, cari udara segar," katanya.Cahaya tersenyum kecil. "Ke mana?""Ke tempat yang kamu suka," jawab Angkasa santai. "Atau, kita bisa sekadar jalan-jalan sore di taman dekat sini."Cahaya menatapnya, lalu mengangguk. "Itu ide yang bagus."***Keesokan Har
Part 25Elena tertawa sinis. "Jadi ini cara kamu menyingkirkanku, Mas? Dengan memecatku dari perusahaan ini?"Angkasa meletakkan penanya, lalu bersandar di kursi. "Aku tidak ingin ada masalah di antara kita, Elena. Tapi kamu yang terus membuat semuanya menjadi rumit.""Rumit?" Elena mendekat, menatapnya penuh kebencian. "Kamu pikir aku akan diam saja setelah kamu mempermainkanku seperti ini?"Angkasa menatapnya tajam. "Aku tidak pernah mempermainkan siapa pun. Kamu yang terlalu berharap lebih."Elena balas menatapnya, dadanya bergemuruh karena amarah. "Kamu akan menyesal, Mas!"Elena keluar dari gedung kantor dengan langkah cepat, dadanya masih dipenuhi amarah. Tangannya mengepal, napasnya berat. Ia tidak bisa menerima ini. Tidak bisa menerima perlakuan Angkasa yang begitu dingin setelah semua yang mereka lalui.Dengan tangan gemetar, ia meraih ponselnya dan menekan nomor seseorang."Halo?" Suara di uj
Angkasa terdiam. Ia melirik Cahaya yang masih tertidur, lalu menarik napas panjang sebelum akhirnya membalas.[Aku tidak enak badan. Butuh istirahat.]Saat itu juga, Cahaya menggeliat pelan dan membuka matanya. "Mas?" suaranya masih terdengar mengantuk.Angkasa tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang tiba-tiba muncul. "Nggak apa-apa. Tidur lagi, aja ya."Cahaya mengangguk kecil dan kembali memejamkan mata. Sementara itu, Angkasa menatap langit-langit kamar dengan berbagai pikiran berputar di kepalanya.***Sore hari Elena menatap layar ponselnya dengan raut khawatir. Sudah dua hari Angkasa tidak masuk kantor. 'Apa Mas Angkasa benar-benar sakit?'Tanpa berpikir panjang, ia langsung mengambil kunci motornya dan bergegas menuju rumah Angkasa. Namun, sesampainya di sana, rumah itu kosong. Tak ada siapa pun.Ia mencoba mengetuk pintu beberapa kali, bahkan menghubungi no
Bab 24"Aku juga kaget, tapi ... mungkin memang lebih baik begini. Kita jalani saja, Mas."Angkasa terdiam, menimbang kata-kata Cahaya. Semua ini terasa seperti mimpi yang berjalan terlalu cepat, tapi saat melihat Cahaya di depannya, ada sesuatu yang membuatnya ingin melindunginya, ingin memastikan bahwa mereka baik-baik saja."Baiklah," ujar Angkasa akhirnya, suaranya mantap. "Kalau ini jalan kita, aku akan memastikan semuanya berjalan dengan baik."***Hari pernikahan tiba. Cahaya duduk di depan cermin, wajahnya berseri-seri dengan riasan lembut yang mempercantik parasnya. Hijab putih yang dikenakannya terpasang rapi, memperlihatkan keanggunan yang sederhana. Seorang MUA sibuk membantunya merapikan kebaya dan menyematkan aksesoris terakhir.Angkasa terpana, seakan melihat sosok yang berbeda dari biasanya. Cahaya tampak begitu anggun dalam balutan kebaya berwarna putih dengan hijab senada yang membingkai waj
Elena tersenyum lalu melangkah pergi dari ruangan Angkasa. Pria itu mendesah pelan, rasanya kesal sekali. Entah kenapa dia jadi muak dengan tingkah Elena yang terobsesi padanya. Padahal dulu ia sangat mencintainya.Saat jam istirahat tiba, Angkasa melangkah keluar dari kantornya dengan perasaan berat. Mau tak mau, ia harus menemui Elena.Sesampainya di resto cepat saji tempat mereka biasa menghabiskan makan siang bersama, Elena sudah duduk di sudut ruangan, melambaikan tangan padanya dengan senyum penuh kemenangan. Angkasa menghela napas sebelum menghampirinya dan duduk di hadapannya."Kamu datang juga, Mas." Elena menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatapnya lekat-lekat."Apa yang kamu inginkan?" Angkasa bertanya tanpa basa-basi.Elena tertawa pelan. "Tenang, Mas. Kenapa buru-buru? Kita makan dulu, ya?"Pelayan datang membawa makanan yang sudah dipesan Elena sebelumnya. Namun, Angkasa sama sekali tak berselera."Elena, ja
Bab 23 Saat Angkasa membuka pintu kamarnya, ia menemukan Cahaya duduk di tepi ranjang, wajahnya sendu. "Cahaya..." Cahaya menoleh, tatapan mereka bersirobok untuk beberapa detik. Angkasa menghela napas panjang sebelum mendekati Cahaya. Hatinya terasa berat melihat wajah istrinya yang muram. Ia tahu Cahaya pasti khawatir semalaman. Perlahan, ia berlutut di hadapan istrinya, menggenggam kedua tangannya dengan erat. "Cahaya, maaf … Aku benar-benar minta maaf karena tidak pulang semalam. Aku tidak bermaksud membuatmu khawatir." Cahaya menatapnya dengan mata yang penuh rasa cemas. "Mas, sebenarnya ada apa? Aku sudah mencoba menghubungimu berkali-kali, tapi ponselmu tidak aktif. Aku takut terjadi sesuatu padamu." Angkasa mengeratkan genggamannya. Ia harus tetap tenang. "Ada masalah mendadak di kantor. Aku harus menyelesaikannya hingga larut malam, dan akhirnya ketiduran di ruang kerja