Bu Marni pura-pura panik. "Aduh, Pak! Maafkan saya. Saya gak tahu kalau Bu Cahaya bakal jatuh …"
Tapi Angkasa tidak peduli. Ia mengangkat tubuh Cahaya dan berlari ke luar. "Bertahan, Sayanf! Aku nggak akan biarin apa pun terjadi sama kamu dan bayi kita!"Namun, Cahaya hanya bisa menggenggam lengannya dengan lemah, air matanya jatuh, dan kesakitan yang luar biasa menyelimuti tubuhnya.Angkasa memacu mobilnya dengan kecepatan penuh menuju rumah sakit, satu tangannya terus menggenggam erat tangan Cahaya yang semakin dingin.“Bertahan, Sayang. Kita hampir sampai.” Suaranya bergetar, ada ketakutan yang menyelimuti hatinya.Cahaya berusaha tersenyum meski wajahnya sudah sepucat kertas. “Aku takut, Mas …”“Jangan bicara seperti itu! Kamu kuat, Sayang! Aku ada di sini, aku nggak akan ninggalin kamu!”Sesampainya di rumah sakit, Angkasa langsung menggendong Cahaya dan berteriak minta pertolongan. Para perawat segera berlari dengaPart 46Di balik jeruji besi yang dingin, Wajah Elena tampak begitu kusut daj kuyu. Ia duduk di bangku kayu kecil, menatap ibunya dengan tatapan penuh rasa penasaran. Ia tidak menyangka ibundanya akan datang mengunjunginya setelah sekian lama."Ibu?" Elena menyipitkan mata, memperhatikan wajah ibunya yang tampak lebih kurus dan sedikit lelah. "Kenapa tiba-tiba datang?"Bu Marni tersenyum tipis. Ia duduk di hadapan Elena, lalu menggenggam tangannya erat. "Gimana kabarmu dan bayimu, Nak?"Elena menunduk, menatap perutnya yang membesar lalu mendesah panjang. "Ya seperti yang ibu lihat. Hamil di penjara sungguh menyiksa, Bu. Aku harus menahan semuanya sendirian.""Kamu yang sabar ya, Nak. Semua akan baik-baik saja.""Ck! Baik-baik saja gimana, Bu? Aku di sini merana. Sementara Angkasa dan Cahaya bahagia!" "Sssttt! Kamu jangan bilang seperti itu. Ibu hanya ingin memberitahumu kabar baik, Nak."Elena menaikkan alis.
Bu Marni pura-pura panik. "Aduh, Pak! Maafkan saya. Saya gak tahu kalau Bu Cahaya bakal jatuh …"Tapi Angkasa tidak peduli. Ia mengangkat tubuh Cahaya dan berlari ke luar. "Bertahan, Sayanf! Aku nggak akan biarin apa pun terjadi sama kamu dan bayi kita!"Namun, Cahaya hanya bisa menggenggam lengannya dengan lemah, air matanya jatuh, dan kesakitan yang luar biasa menyelimuti tubuhnya.Angkasa memacu mobilnya dengan kecepatan penuh menuju rumah sakit, satu tangannya terus menggenggam erat tangan Cahaya yang semakin dingin.“Bertahan, Sayang. Kita hampir sampai.” Suaranya bergetar, ada ketakutan yang menyelimuti hatinya.Cahaya berusaha tersenyum meski wajahnya sudah sepucat kertas. “Aku takut, Mas …”“Jangan bicara seperti itu! Kamu kuat, Sayang! Aku ada di sini, aku nggak akan ninggalin kamu!”Sesampainya di rumah sakit, Angkasa langsung menggendong Cahaya dan berteriak minta pertolongan. Para perawat segera berlari denga
Part 45Sepanjang perjalanan pulang, Cahaya terus memeluk Altair erat. Anak itu tertidur lelap, tak menyadari bahaya yang baru saja mereka lalui. Angkasa menggenggam setir dengan kuat, rahangnya mengeras. Pikirannya terus berkelana. Apa ini hanya kebetulan atau ada seseorang yang mengincar keluarganya?Setibanya di rumah, Angkasa langsung memastikan semua pintu dan jendela terkunci rapat. Cahaya duduk di sofa dengan wajah masih pucat. Ia menatap suaminya dengan ragu-ragu."Mas Angkasa, apa kita harus lapor polisi?" tanyanya pelan.Angkasa menghela napas panjang. "Untuk saat ini, jangan dulu. Aku ingin tahu siapa yang ada di balik ini sebelum kita ambil langkah lebih jauh."Cahaya menggigit bibir. "Tapi kalau mereka datang lagi?"Angkasa berlutut di depannya, menggenggam tangannya erat. "Aku gak akan biarin itu terjadi. Aku bakal cari tahu siapa mereka dan apa yang mereka mau."Cahaya menatap suaminya, lalu mengangguk per
Cahaya menggenggam tangannya, berusaha menenangkan. "Yang penting sekarang kita baik-baik saja."Angkasa menatapnya beberapa detik, lalu tersenyum kecil. "Iya, kamu benar."Tak lama kemudian, Bu Ratna datang membawa beberapa hidangan."Nah, ini spesial buat kalian."Meja mereka segera dipenuhi makanan lezat, mulai dari ayam panggang madu, sup bening, hingga tumisan sayur segar.Cahaya menatap makanannya dengan antusias. "Wah, ini benar-benar spesial, Ma!""Ya sudah, cepat makan sebelum keburu dingin," kata Bu Ratna sambil tersenyum.Mereka mulai menikmati makanan, sesekali bercakap ringan. Untuk sesaat, suasana terasa begitu hangat dan menyenangkan.Namun, di sudut restoran, ada seseorang yang diam-diam memperhatikan mereka. Matanya tajam, memperhatikan setiap gerak-gerik Cahaya dan Angkasa.Orang itu mengangkat ponselnya dan mengetik pesan cepat.[Target ada di restoran sekarang. Haruskah kita
Part 44Bu Ratna menghela napas lega setelah menerima balasan dari Angkasa. Setidaknya anaknya tidak akan berlama-lama di luar kota, dan kehadirannya di rumah akan membuat keadaan lebih terkendali.Ia kembali ke kamar Cahaya dan melihat menantunya masih berbaring dengan wajah pucat. Altair sudah tertidur lelap di sampingnya.Bu Ratna duduk di kursi dekat ranjang, mengawasi mereka dalam diam. Jantungnya masih berdetak cepat setiap kali mengingat bayangan samar yang ia lihat tadi. Ada sesuatu yang tidak beres.Sementara itu, di luar kamar, Bu Marni berjalan mondar-mandir di dapur, sesekali melirik ke arah ruang tengah. Ia menggertakkan gigi."Kenapa selalu saja ada yang menggagalkan rencanaku?" gumamnya pelan.Ia mengeluarkan ponselnya dan mengetik pesan dengan cepat.[Rencana batal. Aku akan cari cara lain, tapi bukan hari ini.]Beberapa saat kemudian, sebuah balasan masuk.[Baiklah, tapi kalau gagal lag
Begitu pintu terbuka, Bu Ratna langsung masuk dengan langkah cepat. Matanya menyapu ruangan, lalu langsung menuju kamar Cahaya.Cahaya yang masih terbaring di tempat tidur tersenyum lemah begitu melihat ibu mertuanya. "Mama ..."Bu Ratna menghampiri dan menggenggam tangan Cahaya. "Kamu kenapa? Mukamu pucat sekali, Nak."Cahaya mencoba tersenyum. "Gak apa-apa, Ma. Mungkin karena kecapekan aja.""Bener, Nak? Kamu gak apa-apa?""Iya, Ma. Dibawa tidur juga pasti capeknya ilang.""Ya sudah kau istirahat saja ya. Mama mau nengokin Altair sebentar."Sementara itu, Bu Marni berdiri di ambang pintu, wajahnya semakin menegang. Ia tahu, masalah baru akan segera datang.Bu Marni semakin gelisah saat Bu Ratna berdiri. "Bu, biar saya saja yang urus Altair," katanya dengan senyum canggung, berusaha mengalihkan perhatian.Namun, Bu Ratna mengabaikan dan langsung berjalan menuju kamar bayi.Saat hendak masuk ke