Part 2
Panggilan berakhir. Aku menelan ludah. Setengah jam lagi? Berarti aku harus segera pulang sebelum Mama dan Papa sampai. Aku meraup wajah dengan ka5ar seraya mende5ah panjang. Aku menoleh bertepatan dengan Elena yang juga menatapku. "Mas?" Elena menatapku curiga. "Ada apa?" Aku menghela napas, berusaha meredakan gejolak di dadaku. "Mama dan Papa sedang dalam perjalanan ke rumah. Mereka ingin menemani Cahaya sampai melahirkan." "Apa?!" Nada suara Elena meninggi. "Jadi mereka akan tinggal di rumahmu? Berapa lama?" "Sampai bayi itu lahir." "Mas, ini nggak bisa dibiarkan! Kalau orangtuamu di sana, kita nggak bisa sering bertemu. Aku juga nggak bisa leluasa menemuimu!" Elena menggigit bibir, ekspresinya kesal. "Aku nggak bisa mengusir mereka, Elena. Mereka orangtuaku." Elena terdiam, tapi sorot matanya menyiratkan ketidaksukaan. "Baiklah, Mas. Aku nggak mau bertengkar sekarang. Tapi kamu ingat janjimu kan?" Aku menatapnya, membaca tuntutan dalam matanya. "Iya, aku ingat," jawabku datar. "Bagus." Elena tersenyum tipis, lalu bersandar ke jok mobil. "Kita jadi jalan-jalan kan?" Aku menghela napas. "Maaf, Sayang. Aku harus pulang dulu sebelum Mama dan Papa sampai. Kalau tidak, mereka akan curiga." Elena mendengus kesal. "Selalu Cahaya yang lebih penting!" "Elena, ini bukan tentang Cahaya. Ini tentang orangtuaku." Elena melipat tangan di dada. "Terserah, Mas. Aku nggak mau bertengkar sekarang." “Aku janji El, lain kali kita pergi jalan-jalan sepuasmu ya.” “Kapan? Jangan-jangan kamu akan lebih sibuk karena kelahiran bayi itu! Aku benci kamu, Mas!” Elena turun dari mmobil dan membanting pintu cukup keras. Aku mengambil napas dalam-dalam lalu tancap gas untuk pulang. Tidak bisa, aku harus sampai lebih dulu dari pada Papa dan Mama, aku takut Cahaya akan mengadu. Aku menginjak pedal gas dengan kecepatan tinggi. Sampai di rumah, tanpa basa-basi aku langsung masuk. “Cahaya, dandan yang rapi, mama dan papa mau ke sini!” teriakku. Saat berada di depan kamarnya. Pintu kamarnya tertutup rapat. Selama ini kami memang tidur di kamar yang terpisah. “Ingat ya, jangan bilang apapun pada Papa dan Mama, kamu harus terlihat baik-baik sjaa, jangan menangis!” tukasku. Namun suasana begitu hening. Tak ada sahutan dari dalam kamar. Keningku mengernyit lalu memanggilnya lagi. “Cahaya?!” Kuraih handle pintu dan membukanya, ternyata kamar kosong. Aku berbalik dan berkeliling mencari perempuan itu. Namun tak kulihat dia dimanapun. Kucoba menghubungi nomor teleponnya. Berdering, tapi ternyata Cahaya meninggalkan ponselnya di meja. "Ck! Kenapa ponselnya malah ditinggal sih!" Aku berjalan keliling kompleks perumahan mencari Cahaya, tapi taka da yang melihat keberadaannya. Padahal aku sudah mewanti-wantinya untuk tidak pergi kemanapun. Sementara itu, suara klakson dan deru mobil terdengar memasuki halaman. Itu mobil Papa! “Ck! Di saat darurat begini dia malah pergi! Aku harus bilang apa pada Papa dan Mama? Kepalaku mendadak berdenyut. Pikiranku berkecamuk. Bagaimana ini? Ah, mungkin saja Cahaya pergi beli kelapa muda sendiri. Tapi .... dia kan tidak pegang u@ng? Selama ini, selama Cahaya tinggal denganku, aku hanya membelikan bahan makanan serta bumbunya untuk dimasak sendiri tanpa memberinya sepeserpun uang. Aku tak peduli dia suka ataupun tidak, yang penting aku sudah memenuhi kebutuhannya. Sementara aku sendiri memang jarang makan di rumah, justru lebih menghabiskan waktu berkunjung ke rumah Elena dan makan bersamanya. Aku memijat pelipis pelan. Brak! Suara pintu mobil tertutp menghenyakkanku. Kulihat papa dan mama turun dari mobil membawa beberapa barang di paper bag yang mereka tenteng dan juga sebuah koper besar. Mama meghampiriku seraya tersenyum cerah. “Gimana kabarmu, Nak?” tanya Mama. Pandangannya menoleh ke dalam rumah, aku yakin mama pasti mencari Cahaya. “Oh, aku lagi sedikit pusing, Ma, lagi banyak pekerjaan.” Mama tersenyum lagi. "Pekerjaan terus yang kamu pikirin. Kamu kok sendirian, mana Cahaya, Nak?” tanya Mama seraya masuk ke dalam rumah. “Cahaya, Mama datang, Nak. Ini Mama bawa sesuatu untukmu. Bawa perlengkapan bayi juga!” seru Mama memanggil menantu kesayangannya. Aku terdiam, berusaha menyembunyikan gelisahku. Kusalami tangan Papa. “Ini ada perlengkapan baju-baju untuk anak kalian, kemarin Mama video call Cahaya, katanya kalian belum sempat beli perlengkapan bayi karena kamu terlalu sibuk dengan pekerjaan,” ujar Papa dengan tatapan menyelidik. “Ah, eh, i-iya, Pa. Aku memang sibuk kerja jadi belum sempat beli, rencananya sih nanti kalau ada liburan aku akan ajak Cahaya belanja keperluan baby.” “Keterlaluan kamu, Angkasa! Kamu gak memikirkan perasaan Cahaya? HPL-nya sudah dekat lho, masa kamu belum beliin satupun perlengkapan untuk anak kalian? Kalau tiba-tiba anak kalian mbrojol gimana?” tegur Papa. Aku tersenyum kaku seraya mengusap ytengkukku. Sumpah, selama ini aku tak pernah memikirkannya sampai sejauh itu. Cahaya memang tidak pernah memintaku untuk membelikan baju bayi. Bahkan selama menikah denganku, aku juga tak pernah membelikan baju untuknya. Tak pernah melihat dia shopping barang kesukaannya. Tidak. Aku benar-benar tak pernah mau mendengar keluhannya, tak peduli padanya. Dan hanya beberapa kali saja, ia memintaku untuk mengantar periksa kandungan. Itupun aku hanya menunggu di mobil tak ikut memunculkan diri di hadapan dokter. “Jangan bilang kamu mengabaikannya selama ini?!” tukas Papa membuatku tersentak. “Ti-tidak, Pa,” sahutku gugup. “Pa, Cahaya tidak ada di rumah, Mama udah mencarinya ke dalam, tapi dia gak ada. Cahaya pergi kemana, Angkasa?” tanya Mama dengan raut khawatir. Tubuhku tiba-tiba membeku, tak tahu harus menjawab apa. Aku menatap Mama yang berdiri di ambang pintu dengan raut cemas, sementara Papa menatapku tajam, menunggu jawaban. "Cahaya pergi kemana, Angkasa?!" tanya Mama lagi. Kali ini dengan tatapan penuh curiga. “Cahaya tadi bilang mau keluar sebentar, Ma. Dia mungkin sedang beli sesuatu," jawabku, mencoba terdengar santai meski jelas-jelas suaraku bergetar. Mama mengernyitkan alis. “Beli sesuatu? Tapi kamu tahu sendiri kan, Cahaya jarang pergi keluar tanpa kamu? Apalagi dengan kondisi perutnya yang semakin besar.” Aku menelan ludah. Jantungku berdegup tak keruan. Benar apa yang Mama katakan. Cahaya jarang sekali keluar rumah sendirian, bahkan mungkin tidak pernah, apalagi tanpa uang sepeser pun. Tapi aku tak mungkin mengatakan hal yang sebenarnya pada mereka. “Ah, iya, Ma. Mungkin dia ke minimarket dekat sini. Biasanya sih gak lama,” kataku sambil memaksakan senyum. Namun, tatapan Papa masih menghujamku, seolah membaca semua kebohonganku. “Angkasa, kamu yakin Cahaya baik-baik saja? Jangan-jangan kamu melakukan sesuatu yang membuatnya pergi?”Bab 13Aku mengemudikan mobil dengan sisa tenaga yang kupunya. Mataku sedikit berkunang-kunang karena lebam di wajahku, sementara dadaku masih terasa nyeri akibat pukulan tadi. Aku menggertakkan gigi, menahan amarah yang belum juga reda.Begitu tiba di rumah, aku turun dengan langkah gontai. Argh sial sekali, ayah mertuaku sendiri yang memukuliku.Namun, baru saja aku menghempaskan tubuh ke tempat tidur, ponselku kembali bergetar. Dengan malas, aku meraihnya dan melihat nama yang tertera di layar: Pak Surya--Sekretaris Kantor Pusat.Aku langsung terduduk, mengusap wajahku yang masih terasa perih sebelum akhirnya mengangkat panggilan itu."Halo?""Pak Angkasa, Anda baik-baik saja?" Suara sekretaris terdengar sedikit ragu.Aku mengerutkan kening. "Ya, Pak. Ada apa?" tanyaku, mencoba terdengar profesional meskipun suaraku sedikit serak."Setelah kami amati beberapa minggu terakhir ini, sepertinya ada masalah dengan
Aku menatap tangannya yang menggenggam tanganku. Aku tahu Elena peduli, tapi aku tidak butuh ini sekarang.Perlahan, aku menarik tanganku. "Elena, aku menghargai niat baikmu."Elena menatapku dalam diam, lalu tersenyum kecil. "Aku mengerti. Tapi Mas, kalau suatu hari kamu sadar, aku harap kamu ingat, masih ada tempat untukmu kembali. Aku masih di sini, Mas. Menunggumu."Aku menatapnya dalam. Kasihan juga kekasihku ini. Entah kenapa Elena berubah jadi lembut begini, padahal terakhir ketemu Elena terus marah-marah.Elena lalu berdiri, merapikan tasnya, lalu tersenyum padaku. "Sekarang, pulanglah, Mas. Istirahatlah dulu. Jangan terlalu keras pada diri sendiri. Aku pulang dulu ya, aku tetap cinta sama kamu, apapun yang terjadi."Aku hanya bisa diam saat dia pergi meninggalkan kafe.***Hari-hari berlalu, aku memutuskan beristirahat tidak melakukan pencarian, meski Papa mendesakku agar terus mencari Cahaya."Pa, aku
Bab 12Aku langsung berdiri. "Di mana alamatnya?! Tolong beri tahu saya!"Suara di telepon menyebutkan alamat. Entah kenapa mendengarnya jantungku terasa berbunga-bunga. Tanpa berpikir panjang, aku langsung menghubungi Papa."Hallo Papa! Aku dapat informasi!""Apa?" "Ada yang melihat Cahaya di pinggiran kota!""Cepat susul dia! Bawa Cahaya pulang.""Baik, Pa, aku akan ke lokasi sekarang!"Tanpa membuang waktu, aku mengambil kunci mobil dan berlari keluar menuju tempat parkir.Aku tidak peduli seberapa jauh atau seberapa buruk kondisiku sekarang. Aku hanya ingin menemukan Cahaya. Aku menginjak pedal gas lebih dalam, membuat mobil melaju lebih cepat di jalan yang sepi. Malam sudah larut, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin menemukan Cahaya secepat mungkin.Saat tiba di alamat yang disebutkan, aku langsung keluar dari mobil dan berdiri di depan kompleks kos-kosan kecil. Aku
"Kos-kosan punya kenalan. Tempatnya bersih, cukup nyaman buat istirahat. Aku udah ngobrol sama pemiliknya, dia bisa kasih harga murah, dan kalau kamu belum ada uang, bisa bayar belakangan."Cahaya menatapnya, bingung. "Kenapa kamu repot-repot nolongin aku?"Alam menatap lurus ke matanya. "Aku cuma nggak tega, Cahaya. Kamu hamil besar, sendirian, dan nggak punya tujuan. Aku bukan orang kaya, tapi kalau bisa bantu meskipun sedikit, kenapa nggak?"Cahaya menggigit bibir, hatinya berkecamuk. Sejak ia pergi dari rumah tadi pagi, ia tidak pernah membayangkan akan bertemu seseorang seperti Alam—orang asing yang dengan tulus mau membantunya tanpa pamrih.Perawat datang lagi dan mulai melepaskan infusnya. "Baik, Bu Cahaya, kalau sudah siap, nanti bisa langsung ke meja administrasi untuk penyelesaian berkas."Setelah perawat pergi, Alam berdiri. "Ayo, aku temenin ke luar."Mereka berjalan perlahan keluar dari ruang perawatan, menuju meja a
Bab 11Cahaya masih menggeleng lemah, tetap bersikeras. "Aku nggak mau ke rumah sakit…"Alam menghela napas panjang. "Bukan rumah sakit, kita ke puskesmas aja. Deket dari sini.""Tapi aku nggak mau berhutang…" suara Cahaya nyaris tak terdengar.Alam menatapnya dengan serius. "Siapa yang bilang kamu harus bayar? Di puskesmas nggak semahal rumah sakit. Yang penting kamu dan bayi kamu selamat."Namun, Cahaya tetap diam, menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi. Alam mengumpat pelan. Melihat Cahaya yang makin pucat dan tubuhnya mulai gemetar, ia tahu tak bisa terus membujuknya dengan kata-kata.Tanpa pikir panjang, Alam langsung berdiri dan menoleh ke sekeliling. Ia melihat beberapa ibu pedagang kaki lima yang tengah duduk di bangku dekat warung, serta beberapa juru parkir yang tengah bersandar di bawah pohon."Ibu! Pak! Tolong bantu saya!" serunya lantang.Beberapa orang langsung menoleh. Se
Bab 10"Kalau sampai sesuatu terjadi pada putriku, aku tidak akan pernah memaafkanmu, Angkasa! Kamu akan menanggung akibatnya!"Suara ancaman Pak Lanang menggema di telingaku, penuh amarah dan kecemasan. Aku menutup mata, menahan debar jantung yang berdegup kencang.Aku ingin menyangkal, tapi... tidak bisa. Karena itu benar. Cahaya pergi karena aku.Panggilan telepon dari bapak mertuaku seolah menjadi cambuk yang menyadarkanku. Tanpa membuang waktu, aku kembali menyalakan mesin mobil dan melajukan kendaraan sekali lagi berkeliling menyusuri kota Surabaya. Aku menginjak pedal gas dalam-dalam, membelah jalanan malam yang semakin sepi. Kata-kata Pak Lanang terus terngiang di benakku. Setibanya di rumah, aku melihat mobil Papa sudah terparkir di garasi. Aku buru-buru masuk dan mendapati Mama duduk di ruang tamu dengan wajah penuh kecemasan."Angkasa!" Mama langsung berdiri begitu melihatku. "Bagaimana? Ada kabar Cahaya?"Aku menggeleng lemah. "Belum, Ma..."Mama menutup mulutnya, matan