Part 3
Aku tersentak. “Tentu tidak, Pa! Aku nggak mungkin melakukan hal seperti itu!” sahutku cepat. Papa masih menatapku tajam, seolah menel4n jangi kebohongan yang mungkin kusembunyikan. Sementara itu, Mama tampak semakin gelisah, tangannya saling mer3mas di pangkuan. Ia bangkit dari duduknya dan berjalan mendekat, meletakkan tangannya di bahuku. “Angkasa, Mama tahu kamu sibuk. Tapi jangan sampai Cahaya merasa diabaikan, apalagi saat dia sedang mengandung. Kamu harus lebih perhatian. Jangan sampai kamu menyesal, Nak.” Aku hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Tenggorokanku terasa kering. Cahaya, di mana kamu? “Papa, Mama... silakan istirahat dulu. Aku pastikan dia nggak apa-apa. Aku akan cari Cahaya,” kataku akhirnya sambil merogoh ponsel dari saku celana. "Coba telepon dia dulu!" "Maaf, Pa. Cahaya nggak bawa HP, HP-nya ditinggal." Papa mengernyit. "Kenapa ponselnya ditinggal? Apa dia marah sama kamu?” Aku terdiam, rahangku mengatup rapat. Sejujurnya, aku tahu betul kalau Cahaya tidak pernah meninggalkan rumah tanpa izin, apalagi tanpa membawa ponselnya. Tapi aku juga tidak mungkin mengaku kalau aku baru saja memarahinya tadi. Aku terlalu sibuk mengurusi urusanku sendiri dan sama sekali tidak memerhatikan perasaannya. "Sudah, Ma, Pa. Aku akan cari Cahaya sekarang juga," kataku buru-buru sebelum mereka semakin mendesakku. "Bawa Cahaya pulang, Nak," suara Mama terdengar lirih, penuh kekhawatiran. "Iya, Ma." Aku bergegas keluar, berusaha menahan detak jantung yang semakin menggila. Sial! Ke mana perempuan itu pergi? Merepotkan saja! Huh. *** Aku mencari Cahaya bahkan bertanya ke satpam kompleks, tetapi tidak ada yang melihatnya. Perasaan gelisah semakin menggerogoti dada. Aku mengacak rambutku frustrasi. "Cahaya, kamu di mana?" gumamku. Aku terus menyusuri setiap sudut kompleks, bahkan ke minimarket dan warung-warung kecil di sekitar, tetapi tak satu pun yang melihat Cahaya. Keringat mulai mengalir di pelipis, napasku memburu, sementara matahari perlahan mulai condong ke barat. Saat aku hampir menyerah, seorang ibu-ibu paruh baya yang sedang menata lauk di warung makannya menatapku. "Mas Angkasa?" sapanya. Dia cukup mengenalku. Aku langsung mendekat. "Iya, Bu. Ibu lihat Cahaya?" tanyaku penuh harap. Ibu itu mengangguk. "Iya, tadi pagi dia ke sini. Dia kelihatan pucat dan duduk di sini cukup lama. Saya sempat kasih dia teh hangat." Darahku berdesir. "Terus, Bu? Dia bilang mau kemana?" Ibu itu menghela napas. "Dia nggak banyak ngomong, Mas. Hanya bilang kalau dia lelah dan ingin pergi sebentar. Terus saya lihat dia bantu-bantu cuci piring di belakang sebentar. Habis itu, dia naik elf ke arah kota." Jantungku mencelos. "Kota? Maksud Ibu kota mana?" "Kayaknya ke arah terminal, Mas. Saya nggak tanya lebih jauh." Aku mengumpat pelan, mengusap wajah kasar. Cahaya pergi sejauh itu? Apa yang ada di pikirannya? Aku harus segera menemukannya sebelum terjadi sesuatu! Namun, sebelum aku sempat bertindak, matahari sudah hampir tenggelam. Aku tahu Papa dan Mama pasti menunggu di rumah. Dengan berat hati, aku kembali, berharap Cahaya sudah lebih dulu pulang. Tetapi begitu aku tiba, wajah Papa langsung tegang, sementara Mama tampak menangis. "Mana Cahaya?!" bentak Papa begitu aku masuk. Aku menghela napas berat. "Aku sudah cari ke mana-mana, Pa. Ada yang lihat Cahaya naik elf ke kota, tapi aku nggak tahu dia ke mana setelah itu." Papa menggebrak meja. "Kamu ini suami macam apa, Angkasa? Istri sendiri hilang nggak tahu ke mana! Harusnya kamu lebih bertanggung jawab!" Mama terisak, sementara aku hanya bisa menunduk, tak sanggup membantah. "Tunggu apa lagi? Hubungi orang tuanya! Mereka harus tahu!" ujar Papa dengan nada penuh amarah. Aku menelan ludah. Kalau sampai Pak Lanang tahu, pasti masalah ini semakin rumit. Tapi aku tak punya pilihan. Dengan tangan gemetar, aku mengambil ponsel dan menekan nomor Pak Lanang. Cukup lama menunggu... akhirnya telepon tersambung. "Halo? Assalamu-alaikum." Suara berat Pak Lanang terdengar di seberang. Aku menarik napas dalam-dalam. "Waalaikum salam." "Iya, Nak, ada apa? Apa ada sesuatu? Gimana kabar Cahaya, Nak? Apa dia baik-baik saja?" Deg! Aku terdiam cukup lama mendengar pertanyaan Pak Lanang. Lidah terasa kelu saat aku ingin mengatakan hal yang sebenarnya. "Hallo, Nak Angkasa? Kok diam saja dari tadi?" "Eh emhh anuu, Pak, aku, aku ...." "Nak Lanang, Cahaya bentar lagi mau lahiran, tolong sampaikan pada Cahaya ya, Nak, kami belum bisa berkunjung. Ibu masih sakit. Nanti kalau ibu sudah sembuh, kami pasti akan ke sana jenguk kalian. Tolong maklumi ya, Nak." Jantungku berdebar lebih kencang, tak mungkin aku mengatakan hal yang sebenarnya, kalau Pak Lanang tahu Cahaya pergi, habislah aku! Bahkan kesehatan ibunya pasti akam bertambah drop. Aku menggeleng pelan, tidak, tidak, aku tidak akan memberitahunya lebih dulu sampai Cahaya ketemu. "Baik, Pak. Nanti akan kusampaikan," sahutku cepat, berusaha menjaga suara tetap tenang. "Lalu, kamu ada apa menghubungi kami, Nak?" tanya Pak Lanang lagi. Aku mengusap tengkukku yang terasa dingin. "Ah, tidak apa-apa, Pak. Cahaya tadi sempat bilang kalau dia kangen kalian. Jadi, aku pikir, lebih baik aku menelepon untuk menyambungkan kalian sebentar." Pak Lanang tertawa kecil. "Ah, dasar anak itu. Bilang ke Cahaya, kalau kami juga kangen dia. Kalau bukan karena kondisi ibunya, pasti sudah dari kemarin-kemarin kami ke sana." "Iya, Pak," jawabku lirih. Aku buru-buru mengakhiri telepon sebelum beliau bertanya lebih jauh. Begitu sambungan terputus, aku terduduk lemas di sofa, mengusap wajah dengan kasar. Ini gawat. Aku harus menemukan Cahaya sebelum semuanya terbongkar. Papa masih menatapku tajam, sementara Mama terus mengusap air matanya. "Maaf Pah, aku gak bisa mengatakan hal yang sebenarnya pada mereka. Ibunya sedang sakit, aku takut nanti malah tambah drop karena kepikiran anaknya." Papa menggeram, marah tentu saja. "Kita sudah bilang dari awal," kata Papa dengan nada dingin. "Kalau kamu nggak bisa menjaga Cahaya, kamu akan menyesal, Angkasa." Aku terdiam. Untuk pertama kalinya, aku merasakan ketakutan yang nyata. Aku sudah terlalu lama mengabaikan Cahaya, dan sekarang dia pergi. Dan aku tidak tahu apakah dia akan kembali. "Jadi, sekarang apa rencanamu, Angkasa?"Bab 13Aku mengemudikan mobil dengan sisa tenaga yang kupunya. Mataku sedikit berkunang-kunang karena lebam di wajahku, sementara dadaku masih terasa nyeri akibat pukulan tadi. Aku menggertakkan gigi, menahan amarah yang belum juga reda.Begitu tiba di rumah, aku turun dengan langkah gontai. Argh sial sekali, ayah mertuaku sendiri yang memukuliku.Namun, baru saja aku menghempaskan tubuh ke tempat tidur, ponselku kembali bergetar. Dengan malas, aku meraihnya dan melihat nama yang tertera di layar: Pak Surya--Sekretaris Kantor Pusat.Aku langsung terduduk, mengusap wajahku yang masih terasa perih sebelum akhirnya mengangkat panggilan itu."Halo?""Pak Angkasa, Anda baik-baik saja?" Suara sekretaris terdengar sedikit ragu.Aku mengerutkan kening. "Ya, Pak. Ada apa?" tanyaku, mencoba terdengar profesional meskipun suaraku sedikit serak."Setelah kami amati beberapa minggu terakhir ini, sepertinya ada masalah dengan
Aku menatap tangannya yang menggenggam tanganku. Aku tahu Elena peduli, tapi aku tidak butuh ini sekarang.Perlahan, aku menarik tanganku. "Elena, aku menghargai niat baikmu."Elena menatapku dalam diam, lalu tersenyum kecil. "Aku mengerti. Tapi Mas, kalau suatu hari kamu sadar, aku harap kamu ingat, masih ada tempat untukmu kembali. Aku masih di sini, Mas. Menunggumu."Aku menatapnya dalam. Kasihan juga kekasihku ini. Entah kenapa Elena berubah jadi lembut begini, padahal terakhir ketemu Elena terus marah-marah.Elena lalu berdiri, merapikan tasnya, lalu tersenyum padaku. "Sekarang, pulanglah, Mas. Istirahatlah dulu. Jangan terlalu keras pada diri sendiri. Aku pulang dulu ya, aku tetap cinta sama kamu, apapun yang terjadi."Aku hanya bisa diam saat dia pergi meninggalkan kafe.***Hari-hari berlalu, aku memutuskan beristirahat tidak melakukan pencarian, meski Papa mendesakku agar terus mencari Cahaya."Pa, aku
Bab 12Aku langsung berdiri. "Di mana alamatnya?! Tolong beri tahu saya!"Suara di telepon menyebutkan alamat. Entah kenapa mendengarnya jantungku terasa berbunga-bunga. Tanpa berpikir panjang, aku langsung menghubungi Papa."Hallo Papa! Aku dapat informasi!""Apa?" "Ada yang melihat Cahaya di pinggiran kota!""Cepat susul dia! Bawa Cahaya pulang.""Baik, Pa, aku akan ke lokasi sekarang!"Tanpa membuang waktu, aku mengambil kunci mobil dan berlari keluar menuju tempat parkir.Aku tidak peduli seberapa jauh atau seberapa buruk kondisiku sekarang. Aku hanya ingin menemukan Cahaya. Aku menginjak pedal gas lebih dalam, membuat mobil melaju lebih cepat di jalan yang sepi. Malam sudah larut, tapi aku tidak peduli. Aku hanya ingin menemukan Cahaya secepat mungkin.Saat tiba di alamat yang disebutkan, aku langsung keluar dari mobil dan berdiri di depan kompleks kos-kosan kecil. Aku
"Kos-kosan punya kenalan. Tempatnya bersih, cukup nyaman buat istirahat. Aku udah ngobrol sama pemiliknya, dia bisa kasih harga murah, dan kalau kamu belum ada uang, bisa bayar belakangan."Cahaya menatapnya, bingung. "Kenapa kamu repot-repot nolongin aku?"Alam menatap lurus ke matanya. "Aku cuma nggak tega, Cahaya. Kamu hamil besar, sendirian, dan nggak punya tujuan. Aku bukan orang kaya, tapi kalau bisa bantu meskipun sedikit, kenapa nggak?"Cahaya menggigit bibir, hatinya berkecamuk. Sejak ia pergi dari rumah tadi pagi, ia tidak pernah membayangkan akan bertemu seseorang seperti Alam—orang asing yang dengan tulus mau membantunya tanpa pamrih.Perawat datang lagi dan mulai melepaskan infusnya. "Baik, Bu Cahaya, kalau sudah siap, nanti bisa langsung ke meja administrasi untuk penyelesaian berkas."Setelah perawat pergi, Alam berdiri. "Ayo, aku temenin ke luar."Mereka berjalan perlahan keluar dari ruang perawatan, menuju meja a
Bab 11Cahaya masih menggeleng lemah, tetap bersikeras. "Aku nggak mau ke rumah sakit…"Alam menghela napas panjang. "Bukan rumah sakit, kita ke puskesmas aja. Deket dari sini.""Tapi aku nggak mau berhutang…" suara Cahaya nyaris tak terdengar.Alam menatapnya dengan serius. "Siapa yang bilang kamu harus bayar? Di puskesmas nggak semahal rumah sakit. Yang penting kamu dan bayi kamu selamat."Namun, Cahaya tetap diam, menggigit bibirnya, menahan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi. Alam mengumpat pelan. Melihat Cahaya yang makin pucat dan tubuhnya mulai gemetar, ia tahu tak bisa terus membujuknya dengan kata-kata.Tanpa pikir panjang, Alam langsung berdiri dan menoleh ke sekeliling. Ia melihat beberapa ibu pedagang kaki lima yang tengah duduk di bangku dekat warung, serta beberapa juru parkir yang tengah bersandar di bawah pohon."Ibu! Pak! Tolong bantu saya!" serunya lantang.Beberapa orang langsung menoleh. Se
Bab 10"Kalau sampai sesuatu terjadi pada putriku, aku tidak akan pernah memaafkanmu, Angkasa! Kamu akan menanggung akibatnya!"Suara ancaman Pak Lanang menggema di telingaku, penuh amarah dan kecemasan. Aku menutup mata, menahan debar jantung yang berdegup kencang.Aku ingin menyangkal, tapi... tidak bisa. Karena itu benar. Cahaya pergi karena aku.Panggilan telepon dari bapak mertuaku seolah menjadi cambuk yang menyadarkanku. Tanpa membuang waktu, aku kembali menyalakan mesin mobil dan melajukan kendaraan sekali lagi berkeliling menyusuri kota Surabaya. Aku menginjak pedal gas dalam-dalam, membelah jalanan malam yang semakin sepi. Kata-kata Pak Lanang terus terngiang di benakku. Setibanya di rumah, aku melihat mobil Papa sudah terparkir di garasi. Aku buru-buru masuk dan mendapati Mama duduk di ruang tamu dengan wajah penuh kecemasan."Angkasa!" Mama langsung berdiri begitu melihatku. "Bagaimana? Ada kabar Cahaya?"Aku menggeleng lemah. "Belum, Ma..."Mama menutup mulutnya, matan