Share

Part 7

Author: TrianaR
last update Huling Na-update: 2025-06-05 18:29:22

Bab 7

Cahaya berjalan keluar rumah dengan langkah pelan. Ia tak dapat berpikir jernih saat itu, semua amarah, kesal, sakit dan sesak berkecamuk jadi satu.

Matanya mulai terasa perih, langkahnya terhenti di depan sebuah warung kecil di pinggir jalan. Aroma masakan yang masih mengepul dari dapur kecil itu menusuk hidungnya, membangkitkan rasa lapar yang telah ia abaikan sejak tadi.

"Cahaya?"

Sebuah suara lembut menyapanya. Cahaya menoleh, mendapati seorang wanita paruh baya, Bu Laras--pemilik warung yang pernah ia kunjungi. Wanita itu tersenyum ramah, meskipun sorot matanya menyiratkan keheranan.

"Mau ke mana, Nak?" tanyanya sambil mengelap tangannya yang masih basah setelah mencuci piring.

Cahaya tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang menyesak di dadanya. "Jalan-jalan sebentar, Bu," jawabnya pelan.

Wanita itu menatapnya dengan cermat, lalu mengangguk. "Masuk dulu, istirahat sebentar. Kau kelihatan lelah."

Cahaya ragu sejenak, tapi tubuhnya benar-benar sudah tak sanggup berdiri lebih lama. Ia melangkah masuk, duduk di kursi kayu di sudut warung. Tangannya mengusap perutnya perlahan, berharap bayinya ikut merasa tenang.

"Kau mau makan dulu?" tanya wanita itu.

Cahaya menggeleng cepat. "Tidak usah, Bu. Saya hanya ingin duduk sebentar."

Wanita itu tak memaksa, hanya tersenyum dan kembali sibuk di dapurnya. Cahaya menatap piring-piring kotor yang menumpuk di bak cuci piring. Tanpa berpikir panjang, ia bangkit, menggulung lengan gamisnya, lalu mulai mencuci piring-piring itu.

"Nak, tak usah repot-repot," ucap si pemilik warung ketika melihatnya.

Cahaya hanya tersenyum kecil. "Tidak apa-apa, Bu. Saya ingin membantu sebentar."

Ia mencuci dengan teliti, membiarkan air mengalir di tangannya yang gemetar. Ada sedikit ketenangan dalam aktivitas sederhana ini.

Setelah semua piring bersih dan tertata rapi, Cahaya menyeka tangannya, lalu menoleh ke arah wanita itu. "Bu, saya pamit dulu."

Bu Laras menatapnya dengan sorot khawatir. "Kau yakin tidak mau makan dulu? Atau butuh sesuatu?"

Cahaya tersenyum, meskipun hatinya terasa berat. "Tidak, Bu. Terima kasih banyak."

"Kalau begitu minumlah teh hangat ini, Nak," Bu Laras menyodorkan satu gelas teh manis hangat untuknya.

Cahaya mengangguk, akhirnya duduk sejenak sambil meminum teh manis itu. Rasa dahaganya kini perlahan sirna.

"Bu, terima kasih tehnya. Saya pamit dulu ya."

Bu Laras mengangguk, meski raut wajahnya masih menyimpan tanda tanya. "Kalau butuh sesuatu, jangan sungkan datang ke sini, ya."

Cahaya hanya mengangguk pelan, lalu melangkah pergi.

Langkah Cahaya terseret di atas trotoar, tangannya sesekali bertumpu pada perutnya yang besar. Napasnya tersengal, bukan hanya karena kelelahan, tetapi juga karena hati yang terlalu sakit. Ia menatap lurus ke depan, tak menoleh ke belakang meskipun matanya mulai memanas.

Sudah cukup.

Ia tidak bisa terus tinggal di rumah itu. Di bawah satu atap dengan lelaki yang seharusnya menjadi pelindungnya, tetapi justru membuatnya merasa seperti penghuni asing. Suaminya, Angkasa, dingin seperti es. Ucapannya selalu menusuk, tajam seperti belati.

"Makanya jadi perempuan jangan murahan!"

Kata-kata itu menghantam Cahaya lebih keras dari tamparan.

"Giliran hamil, minta tanggung jawab. Harusnya tanggung sendiri! Besarkan sendiri anak itu! Siapa tahu bapaknya bukan Langit, tapi orang lain!"

Cahaya terhenyak, napasnya tercekat. “Jadi kau menuduhku, Mas?” suaranya lirih, hampir tak terdengar.

Angkasa mendecih, kedua tangannya terlipat di dada. "Ya iyalah! Sekali murahan, tetap murahan. Kamu itu nggak lebih dari seorang pelacur."

Pelacur.

Satu kata itu menggema di kepala Cahaya, merobek sisa-sisa kesabarannya yang telah lama tergerus.

"Pelacur saja lebih mahal dari kamu, karena habis main pasti dibayar. Lha kamuu?"

Tangan Cahaya mencengkeram sisi gamisnya, tubuhnya bergetar hebat. Matanya mulai memanas, tapi ia menolak menangis. Tidak di depan lelaki ini. Tidak setelah semua yang telah ia lalui.

“Kalau aku memang serendah itu di matamu...” Cahaya menarik napas dalam, suaranya gemetar, “…kenapa Mas masih membiarkan aku tinggal di sini?”

Angkasa menatapnya dingin, lalu mengangkat bahu seolah semua ini tidak berarti apa-apa baginya. “Kau tahu sendiri alasannya, karena Papa dan Mamaku terlalu menyayangimu. Padahal belum pasti kalau yang kau kandung itu cucunya!"

Cahaya berdiri terpaku di tengah ruang tamu, tangannya gemetar di sisi tubuhnya. Dadanya naik turun, bukan hanya karena kelelahan, tetapi juga karena rasa sakit yang mengiris dari dalam.

Angkasa menatapnya dengan ekspresi dingin, sorot matanya tajam tanpa sedikit pun rasa iba.

Bukan sekali dua kali Angkasa menghina dengan kata-kata kasar dan merendahkan. Memakinya hingga mentalnya begitu down. Hari demi hari ia terus bertahan di dalam pernikahan yang bak neraka itu.

Harusnya dulu, ia menolak saja saat Angkasa, calon kakak iparnya akan menggantikan mendiang Langit untuk menikahinya. Tapi kedua keluarga sudah sepakat demi menjaga aibnya. Ya, aibnya.

Harusnya memang pernikahan ini tidak terjadi, biarlah dia hamil tanpa seorang suami dan melahirkan tanpa seorang ayah. Menerima sanksi sosial atau apapun itu. Ini semua memang kesalahannya. Kesalahan yang tak bisa diperbaiki. Sebuah penyesalannya yang terlalu dalam.

Cahaya sangat menyesal, dulu kehidupannya penuh lumpur dan dosa. Meskipun ia sudah bertaubat dan berusaha memperbaiki diri, namun citranya sudah terlalu kotor.

Dan hari ini adalah puncaknya.

Ia berjalan tanpa tujuan, tanpa barang bawaan, tanpa uang sepeser pun. Ia terus berjalan, langkahnya lunglai.

Dulu, ia bermimpi memiliki keluarga kecil yang bahagia. Ia berpikir, menikah dengan Angkasa bisa menjadi penebusan atas masa lalunya. Namun, ia salah besar.

Angkasa tidak mencintainya. Bahkan lebih dari itu—lelaki itu sangat membencinya.

Air mata yang sedari tadi tertahan akhirnya jatuh, mengalir pelan di pipinya yang mulai dingin diterpa angin. Tapi Cahaya tidak berusaha menghapusnya. Tidak ada gunanya.

Ia menatap jalan di depannya dengan nanar. 'Kemana aku harus pergi?'

Tidak ada yang bisa ia tuju. Tidak ada yang bisa ia datangi. Ia benar-benar sendirian. Ingin pulang ke rumah orang tua, rasanya begitu malu, karena dia sudah melempar kotoran ke wajah mereka.

Sebuah angkutan kota, elf tua dengan cat biru yang mulai pudar, berhenti di hadapannya. Sang sopir, pria paruh baya dengan wajah lelah, menurunkan kaca jendela.

"Mau ke mana, Nak?" tanyanya, nada suaranya lembut.

Cahaya menggigit bibir. Sejujurnya, ia tidak tahu. Yang ia tahu hanyalah ia ingin pergi sejauh mungkin dari rumah itu. Dari Angkasa. Dari semua luka yang terus-menerus ia tanggung.

"Ke terminal, Pak," jawabnya akhirnya, nyaris berbisik.

Sopir itu mengangguk, lalu membuka pintu. "Naiklah."

Cahaya menunduk. "Saya tidak punya uang."

Sang sopir menatapnya sejenak, lalu tersenyum samar. "Nggak apa-apa, Nak. Naik saja."

Hati Cahaya terasa menghangat sejenak oleh kebaikan pria asing itu. Tanpa berpikir panjang, ia melangkah masuk dan duduk di bangku belakang.

Ketika elp mulai berjalan, Cahaya menyandarkan kepalanya ke kaca jendela. Dalam hatinya, ia bertanya-tanya, apakah bayi di dalam kandungannya juga bisa merasakan kesedihan ibunya?

---

Terminal Kota

Hiruk-pikuk manusia menyambutnya ketika ia turun dari elp. Orang-orang berlalu-lalang, menarik koper, menggendong anak, membawa tas besar. Tapi Cahaya hanya berdiri di sudut, memegangi perutnya yang mulai terasa berat.

Angin kencang hari itu, membuatnya merapatkan tangan di perutnya.

Bagaimana ini?

Kakinya melangkah pelan, mencari tempat untuk duduk. Ia menemukan bangku kosong di sudut terminal dan mendudukkan diri di sana. Badannya terasa lelah, punggungnya nyeri. Dan perutnya kini terasa begitu lapar.

Ia mengusap perutnya, berbicara lirih. “Bertahanlah, Nak… Ibu akan cari cara. Maafkan ibumu yang egois ini. Tapi ibu gak bisa bertahan dengan orang yang gak menginginkan kita."

Bibirnya bergetar. Ia mengeratkan jemarinya di atas perut, seolah ingin menyalurkan ketenangan pada bayi di dalam kandungannya. Cukup lama beristirahat, perlahan ia bangkit.

Tiba-tiba, sebuah suara mengagetkannya.

"Tunggu sebentar!"

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Soes Susiani
Pantesan Cahaya nekat pergi karena perlakuan Angkasa sudah kelewat batas Kuatkan dirimu Cahaya... pasti ada bahagia di belahan bumi Allah
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • TERPAKSA MENIKAHI CALON ADIK IPAR   Part 47B (END)

    "Biar Mama juga ikut main air," jawab Angkasa sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam air bersama Cahaya dalam gendongannya. Altair bertepuk tangan melihat itu. "Ma-ma! Ma-ma-ma!" Cahaya akhirnya menyerah dan menikmati waktu mereka bertiga di laut. Angkasa tak henti-hentinya memeluk dan mencium istrinya, memastikan Cahaya tahu bahwa dia akan selalu ada untuknya. Mereka tertawa bersama, membiarkan ombak kecil membasahi tubuh mereka. Saat matahari mulai terbenam, mereka duduk bertiga di atas pasir, menikmati pemandangan langit jingga yang indah. "Aku nggak mau momen ini berakhir," bisik Cahaya, menggenggam tangan Angkasa erat. Angkasa mencium punggung tangannya. "Momen ini nggak akan berakhir, Sayang. Selama aku ada di sampingmu, kebahagiaan ini akan terus ada." Cahaya menatap suaminya dengan penuh cinta. Dalam hati, ia berjanji akan menjaga keluarganya sebaik mungkin. Malamnya

  • TERPAKSA MENIKAHI CALON ADIK IPAR   Part 47A

    Part 47Malam itu, Angkasa duduk di tepi ranjang sambil menatap Cahaya yang masih terlihat lelah. Wanita itu baru saja selesai mandi, mengenakan gaun tidur berbahan lembut yang membungkus tubuhnya dengan nyaman. Angkasa meraih tangannya, menggenggamnya erat."Kamu kenapa, Sayang?" tanya Angkasa lembut, jari-jarinya mengusap punggung tangan Cahaya.Cahaya mengangguk pelan. "Aku masih sulit percaya kalau selama ini Bik Mirna yang membuatku sakit. Aku benar-benar nggak menyangka, Mas. Kalau Bik Mirna ternyata ibu Elena. Dan sengaja bekerja di sini untuk menyakiti kita."Angkasa menarik Cahaya ke dalam pelukannya. Ia mengecup puncak kepala istrinya dengan penuh kasih. "Aku janji, nggak akan ada lagi yang menyakitimu. Aku akan selalu melindungimu dan Altair."Cahaya tersenyum tipis, menempelkan wajahnya di dada bidang suaminya. "Aku bersyukur kamu selalu ada di sampingku, Mas. Kalau nggak ada kamu, aku nggak tahu bagaimana aku harus menghadapi

  • TERPAKSA MENIKAHI CALON ADIK IPAR   Part 46B

    "Mati? Jangan gila, Bik!""Haha tentu saja, Aku tidak akan membiarkan kalian bahagia di atas penderitaan anakku!" teriak Bu Marni, matanya nyalang."Anak? Siapa yang ibu maksud?""Hah, jadi kau melupakannya? Benar kau memang laki-laki pecundang, habis manis sepah dibuang! Dasar bedebah!""Aku tidak tahu apa maksud Bibi!".Cahaya yang di kamar mendengar keributan di dapur. Ia berjalan dengan langkah pelan memastikan apa yang sebenarnya terjadi meski kepalanya terasa begitu pening. Seketika ia membeku melihat pemandangan penuh ancaman itu. Ia menutup mulutnya."Elena. Apa kau sudah melupakannya?!""E-elena? Jadi Bibi--""Yaa, aku ibunya! Aku datang untuk membalas dendam. Apa yang sudah dirasakan anakku juga harus dirasakan oleh kalian!Cahaya berbalik, menyeret langkahnya pelan. Ia langsung meraih ponselnya dan menghubungi seseorang dengan tangan panik dan gemetar."Semua ini salah Cahaya! Seand

  • TERPAKSA MENIKAHI CALON ADIK IPAR   Part 46A

    Part 46Di balik jeruji besi yang dingin, Wajah Elena tampak begitu kusut daj kuyu. Ia duduk di bangku kayu kecil, menatap ibunya dengan tatapan penuh rasa penasaran. Ia tidak menyangka ibundanya akan datang mengunjunginya setelah sekian lama."Ibu?" Elena menyipitkan mata, memperhatikan wajah ibunya yang tampak lebih kurus dan sedikit lelah. "Kenapa tiba-tiba datang?"Bu Marni tersenyum tipis. Ia duduk di hadapan Elena, lalu menggenggam tangannya erat. "Gimana kabarmu dan bayimu, Nak?"Elena menunduk, menatap perutnya yang membesar lalu mendesah panjang. "Ya seperti yang ibu lihat. Hamil di penjara sungguh menyiksa, Bu. Aku harus menahan semuanya sendirian.""Kamu yang sabar ya, Nak. Semua akan baik-baik saja.""Ck! Baik-baik saja gimana, Bu? Aku di sini merana. Sementara Angkasa dan Cahaya bahagia!" "Sssttt! Kamu jangan bilang seperti itu. Ibu hanya ingin memberitahumu kabar baik, Nak."Elena menaikkan alis.

  • TERPAKSA MENIKAHI CALON ADIK IPAR   Part 45B

    Bu Marni pura-pura panik. "Aduh, Pak! Maafkan saya. Saya gak tahu kalau Bu Cahaya bakal jatuh …"Tapi Angkasa tidak peduli. Ia mengangkat tubuh Cahaya dan berlari ke luar. "Bertahan, Sayanf! Aku nggak akan biarin apa pun terjadi sama kamu dan bayi kita!"Namun, Cahaya hanya bisa menggenggam lengannya dengan lemah, air matanya jatuh, dan kesakitan yang luar biasa menyelimuti tubuhnya.Angkasa memacu mobilnya dengan kecepatan penuh menuju rumah sakit, satu tangannya terus menggenggam erat tangan Cahaya yang semakin dingin.“Bertahan, Sayang. Kita hampir sampai.” Suaranya bergetar, ada ketakutan yang menyelimuti hatinya.Cahaya berusaha tersenyum meski wajahnya sudah sepucat kertas. “Aku takut, Mas …”“Jangan bicara seperti itu! Kamu kuat, Sayang! Aku ada di sini, aku nggak akan ninggalin kamu!”Sesampainya di rumah sakit, Angkasa langsung menggendong Cahaya dan berteriak minta pertolongan. Para perawat segera berlari denga

  • TERPAKSA MENIKAHI CALON ADIK IPAR   Part 45A

    Part 45Sepanjang perjalanan pulang, Cahaya terus memeluk Altair erat. Anak itu tertidur lelap, tak menyadari bahaya yang baru saja mereka lalui. Angkasa menggenggam setir dengan kuat, rahangnya mengeras. Pikirannya terus berkelana. Apa ini hanya kebetulan atau ada seseorang yang mengincar keluarganya?Setibanya di rumah, Angkasa langsung memastikan semua pintu dan jendela terkunci rapat. Cahaya duduk di sofa dengan wajah masih pucat. Ia menatap suaminya dengan ragu-ragu."Mas Angkasa, apa kita harus lapor polisi?" tanyanya pelan.Angkasa menghela napas panjang. "Untuk saat ini, jangan dulu. Aku ingin tahu siapa yang ada di balik ini sebelum kita ambil langkah lebih jauh."Cahaya menggigit bibir. "Tapi kalau mereka datang lagi?"Angkasa berlutut di depannya, menggenggam tangannya erat. "Aku gak akan biarin itu terjadi. Aku bakal cari tahu siapa mereka dan apa yang mereka mau."Cahaya menatap suaminya, lalu mengangguk per

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status