Bab 6
Aku tidak peduli. Aku tidak peduli dengan ancamannya atau sikap manja yang selalu dia tunjukkan. Saat ini, aku hanya ingin menemukan Cahaya. Aku mengemudikan mobil dengan kecepatan yang hampir gila. Lampu jalan berganti-ganti menerangi wajahku yang tegang, sementara mataku terus menyapu jalan, berharap menemukan sosok Cahaya di antara kerumunan. Setiap kali melewati halte, pertokoan, atau gang kecil, aku memperlambat laju mobil, berharap melihat wajah yang selama ini kucari. Namun, nihil. Cahaya tidak ada di mana-mana. Ponselku kembali bergetar. Mama. Aku menghela napas panjang sebelum mengangkatnya. "Angkasa... kamu sudah ketemu Cahaya?" suara Mama terdengar lelah, nyaris putus asa. Aku menggigit bibir, menahan perih yang menjalar di dadaku. "Belum, Ma..." Aku bisa mendengar isakan tertahan dari seberang. Kemudian suara Papa menggantikan Mama. Tentu saja Papa masih terus menyudutkanku. Gigi-gigiku saling bergemeletuk. Aku tahu aku salah. Tapi aku benar-benar tidak tahu harus mencari ke mana lagi! "Apa kau tidak terpikir kalau dia bisa saja mengalami sesuatu?!" Sesuatu? Darahku berdesir. Sial! Kenapa aku tidak berpikir sejauh itu? Tanpa menunggu lebih lama, aku segera membanting setir, mengarahkan mobil ke rumah sakit terdekat. --- Rumah sakit pertama. Aku berlari ke bagian informasi, nyaris tersandung karena terlalu terburu-buru. "Permisi, apakah ada pasien bernama Cahaya Aisyah yang masuk ke sini?" tanyaku terengah-engah. Perawat di meja resepsionis memeriksa daftar pasien. "Tidak ada, Pak." Aku mengumpat dalam hati. "Bagaimana dengan pasien melahirkan dalam dua hari terakhir?" Perawat itu kembali memeriksa. "Ada beberapa, Pak. Tapi tidak ada yang bernama Cahaya." Aku menekan rahangku, menahan keputusasaan yang mulai merambat. "Terima kasih," ucapku sebelum bergegas pergi. Rumah sakit kedua. Hasilnya sama. Rumah sakit ketiga. Aku mulai kehilangan harapan. Rumah sakit keempat. Rumah Sakit kelima. Pun sama, tidak ada Cahaya. "Maaf, Pak. Tidak ada pasien bernama Cahaya di sini." Aku mengusap wajahku, napasku berat. Aku sudah keempat rumah sakit, tapi Cahaya tidak ada di mana-mana. Aku berbalik, berjalan lesu ke arah mobil. Langit sudah gelap sepenuhnya, angin malam terasa menusuk kulit. Aku meremas kemudi, menundukkan kepala di atasnya. Aku kehabisan akal. Aku sudah mencari mana-mana. Tapi Cahaya tetap tidak ditemukan. Bagaimana kalau Cahaya mengalami kecelakaan? Bagaimana kalau dia melahirkan di suatu tempat yang tidak aman? Bagaimana kalau— Tidak. Aku tidak boleh berpikir seperti itu. Aku harus menemukannya. Aku baru saja menghidupkan mesin mobil ketika seseorang mengetuk kaca jendela. Aku menoleh. Menurunkan kaca jendela dengan cepat. Seorang pria tua dengan jaket lusuh berdiri di sana, wajahnya dipenuhi kerutan yang samar terlihat di bawah cahaya lampu jalan. "Maaf, Nak, dari tadi saya lihat kamu mondar-mandir. Kamu lagi nyari seseorang?" tanyanya dengan suara serak. Jantungku berdebar. "Iya, Pak. Saya mencari istri saya. Dia sedang hamil dan sudah dua hari ini menghilang." Pria itu mengangguk pelan, seperti tengah mengingat sesuatu. "Tadi pagi, saya melihat seorang perempuan muda duduk sendirian di bangku halte dekat jembatan tua. Wajahnya pucat, seperti sakit atau kelelahan." "Seperti apa dia?" "Berhijab, pakai gamis warna coklat, dan terlihat seperti sedang menahan sakit." Darahku berdesir. Itu bisa saja Cahaya! "Halte mana, Pak?" tanyaku cepat, nyaris berteriak. "Di dekat jembatan tua, tidak jauh dari sini. Tapi sekarang saya tidak tahu dia masih di sana atau tidak." Tanpa pikir panjang, aku menginjak pedal gas, meninggalkan pria itu dengan teriakan terima kasih yang nyaris tidak terdengar. Aku melajukan mobil secepat mungkin menuju halte yang dimaksud. Mataku liar menatap ke luar, mencari sosok Cahaya. Namun, saat aku sampai di sana, halte itu kosong. Tidak ada siapa pun. Aku menggeram frustrasi, menendang ban mobil dengan marah. Aku sudah terlalu dekat. Aku yakin Cahaya ada di sini beberapa jam lalu. Tapi sekarang dia sudah pergi entah ke mana. Aku meremas rambutku, mencoba berpikir jernih. Jika Cahaya ada di sini tadi pagi, ke mana dia pergi setelah itu? Aku memejamkan mata, mengingat kembali sikapku yang kasar padanya. Suara marahnya, isakannya yang tertahan, tatapan matanya yang penuh luka. Ya, waktu itu aku memergokinya sedang menangis. "Kamu itu kenapa sih?! Jangan cengeng! Jangan nangis terus! Kamu sama saja seperti ibumu!" Aku melanjutkan, tanpa berpikir, tanpa menyaring kata-kataku. "Kalian berdua sama saja! Tidak bisa menjaga kehormatan! Ibumu menikah itu juga karena sudah hamil duluan!" Wajah Cahaya langsung memucat. Matanya membelalak, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan. Aku bisa melihat bibirnya bergetar, menahan tangis yang sudah di ujung batas. Kemudian, suaranya keluar pelan tapi tegas. "Jangan hina ibuku, Mas." Aku tertawa sinis. "Aku tidak menghinanya. Tapi itu kenyataan." Cahaya menggeleng, matanya berkilat tajam. "Cukup, Mas! Kamu boleh menghinaku, kamu boleh merendahkanku, tapi jangan hina ibuku!" suaranya meninggi, penuh kemarahan yang bercampur kesedihan. Aku terdiam. Cahaya menyeka air matanya dengan kasar. Napasnya tersengal, seperti menahan sakit di dalam dadanya. Lalu meninggalkanku begitu saja. Dering ponsel membuyarkan lamunanku. Aku terkesiap, saat melihat nama di layar muncul, kali ini bukan Mama. Melainkan Pak Lanang. Perasaan was was mengge layut di dada. Dengan ragu, aku menggeser ikon hijau, lalu menempelkan ponsel ke telinga. Belum sempat aku bicara, suara bentakan keras langsung menghantam telingaku. "Angkasa! APA YANG SUDAH KAU LAKUKAN PADA PUTRIKU?!" Aku menahan napas. Jadi, Pak Lanang sudah tau mengenai Cahaya? Apa Papa yang bilang padanya? Aargh ... "Pak—" "Anakku hilang! Sudah dua hari dia tidak pulang 'kan? Kenapa kau tidak memberitahuku hah? Kau bahkan menghubungiku seolah tidak terjadi apa-apa! APA KAU SUDAH GILA?!" "Ma-afkan saya, Pak. Saya tahu saya salah, Pak. Saya... saya sudah mencarinya ke mana-mana, tapi saya belum menemukannya." "Kau pikir aku bisa menerima jawaban itu begitu saja? Anak perempuanku menghilang, dan kau, sebagai suaminya, bahkan tidak tahu dia ada di mana?!" Aku terdiam, lidahku kelu, tenggorokanku tercekat. "Sa-saya minta maaf, Pak..." "Maaf?! Maaf tidak akan membawa Cahaya kembali! Apa kau sadar betapa hancurnya keluargaku sekarang?! Apa yang sudah kau lakukan padanya, sampai dia pergi begitu saja? Apa kau sudah menyiksanya?" Darahku seketika berdesir. "Ti-tidak, Pak." Aku tergagap mendengar tuduhan Pak Lanang, tapi tuduhannya tidaklah meleset. Aku memang tidak menyiksa fisiknya, tapi aku sudah menyiksa batinnya. "Kalau sampai sesuatu terjadi pada putriku, aku tidak akan pernah memaafkanmu, Angkasa! Kamu akan menanggung akibatnya!""Biar Mama juga ikut main air," jawab Angkasa sebelum akhirnya melangkah masuk ke dalam air bersama Cahaya dalam gendongannya. Altair bertepuk tangan melihat itu. "Ma-ma! Ma-ma-ma!" Cahaya akhirnya menyerah dan menikmati waktu mereka bertiga di laut. Angkasa tak henti-hentinya memeluk dan mencium istrinya, memastikan Cahaya tahu bahwa dia akan selalu ada untuknya. Mereka tertawa bersama, membiarkan ombak kecil membasahi tubuh mereka. Saat matahari mulai terbenam, mereka duduk bertiga di atas pasir, menikmati pemandangan langit jingga yang indah. "Aku nggak mau momen ini berakhir," bisik Cahaya, menggenggam tangan Angkasa erat. Angkasa mencium punggung tangannya. "Momen ini nggak akan berakhir, Sayang. Selama aku ada di sampingmu, kebahagiaan ini akan terus ada." Cahaya menatap suaminya dengan penuh cinta. Dalam hati, ia berjanji akan menjaga keluarganya sebaik mungkin. Malamnya
Part 47Malam itu, Angkasa duduk di tepi ranjang sambil menatap Cahaya yang masih terlihat lelah. Wanita itu baru saja selesai mandi, mengenakan gaun tidur berbahan lembut yang membungkus tubuhnya dengan nyaman. Angkasa meraih tangannya, menggenggamnya erat."Kamu kenapa, Sayang?" tanya Angkasa lembut, jari-jarinya mengusap punggung tangan Cahaya.Cahaya mengangguk pelan. "Aku masih sulit percaya kalau selama ini Bik Mirna yang membuatku sakit. Aku benar-benar nggak menyangka, Mas. Kalau Bik Mirna ternyata ibu Elena. Dan sengaja bekerja di sini untuk menyakiti kita."Angkasa menarik Cahaya ke dalam pelukannya. Ia mengecup puncak kepala istrinya dengan penuh kasih. "Aku janji, nggak akan ada lagi yang menyakitimu. Aku akan selalu melindungimu dan Altair."Cahaya tersenyum tipis, menempelkan wajahnya di dada bidang suaminya. "Aku bersyukur kamu selalu ada di sampingku, Mas. Kalau nggak ada kamu, aku nggak tahu bagaimana aku harus menghadapi
"Mati? Jangan gila, Bik!""Haha tentu saja, Aku tidak akan membiarkan kalian bahagia di atas penderitaan anakku!" teriak Bu Marni, matanya nyalang."Anak? Siapa yang ibu maksud?""Hah, jadi kau melupakannya? Benar kau memang laki-laki pecundang, habis manis sepah dibuang! Dasar bedebah!""Aku tidak tahu apa maksud Bibi!".Cahaya yang di kamar mendengar keributan di dapur. Ia berjalan dengan langkah pelan memastikan apa yang sebenarnya terjadi meski kepalanya terasa begitu pening. Seketika ia membeku melihat pemandangan penuh ancaman itu. Ia menutup mulutnya."Elena. Apa kau sudah melupakannya?!""E-elena? Jadi Bibi--""Yaa, aku ibunya! Aku datang untuk membalas dendam. Apa yang sudah dirasakan anakku juga harus dirasakan oleh kalian!Cahaya berbalik, menyeret langkahnya pelan. Ia langsung meraih ponselnya dan menghubungi seseorang dengan tangan panik dan gemetar."Semua ini salah Cahaya! Seand
Part 46Di balik jeruji besi yang dingin, Wajah Elena tampak begitu kusut daj kuyu. Ia duduk di bangku kayu kecil, menatap ibunya dengan tatapan penuh rasa penasaran. Ia tidak menyangka ibundanya akan datang mengunjunginya setelah sekian lama."Ibu?" Elena menyipitkan mata, memperhatikan wajah ibunya yang tampak lebih kurus dan sedikit lelah. "Kenapa tiba-tiba datang?"Bu Marni tersenyum tipis. Ia duduk di hadapan Elena, lalu menggenggam tangannya erat. "Gimana kabarmu dan bayimu, Nak?"Elena menunduk, menatap perutnya yang membesar lalu mendesah panjang. "Ya seperti yang ibu lihat. Hamil di penjara sungguh menyiksa, Bu. Aku harus menahan semuanya sendirian.""Kamu yang sabar ya, Nak. Semua akan baik-baik saja.""Ck! Baik-baik saja gimana, Bu? Aku di sini merana. Sementara Angkasa dan Cahaya bahagia!" "Sssttt! Kamu jangan bilang seperti itu. Ibu hanya ingin memberitahumu kabar baik, Nak."Elena menaikkan alis.
Bu Marni pura-pura panik. "Aduh, Pak! Maafkan saya. Saya gak tahu kalau Bu Cahaya bakal jatuh …"Tapi Angkasa tidak peduli. Ia mengangkat tubuh Cahaya dan berlari ke luar. "Bertahan, Sayanf! Aku nggak akan biarin apa pun terjadi sama kamu dan bayi kita!"Namun, Cahaya hanya bisa menggenggam lengannya dengan lemah, air matanya jatuh, dan kesakitan yang luar biasa menyelimuti tubuhnya.Angkasa memacu mobilnya dengan kecepatan penuh menuju rumah sakit, satu tangannya terus menggenggam erat tangan Cahaya yang semakin dingin.“Bertahan, Sayang. Kita hampir sampai.” Suaranya bergetar, ada ketakutan yang menyelimuti hatinya.Cahaya berusaha tersenyum meski wajahnya sudah sepucat kertas. “Aku takut, Mas …”“Jangan bicara seperti itu! Kamu kuat, Sayang! Aku ada di sini, aku nggak akan ninggalin kamu!”Sesampainya di rumah sakit, Angkasa langsung menggendong Cahaya dan berteriak minta pertolongan. Para perawat segera berlari denga
Part 45Sepanjang perjalanan pulang, Cahaya terus memeluk Altair erat. Anak itu tertidur lelap, tak menyadari bahaya yang baru saja mereka lalui. Angkasa menggenggam setir dengan kuat, rahangnya mengeras. Pikirannya terus berkelana. Apa ini hanya kebetulan atau ada seseorang yang mengincar keluarganya?Setibanya di rumah, Angkasa langsung memastikan semua pintu dan jendela terkunci rapat. Cahaya duduk di sofa dengan wajah masih pucat. Ia menatap suaminya dengan ragu-ragu."Mas Angkasa, apa kita harus lapor polisi?" tanyanya pelan.Angkasa menghela napas panjang. "Untuk saat ini, jangan dulu. Aku ingin tahu siapa yang ada di balik ini sebelum kita ambil langkah lebih jauh."Cahaya menggigit bibir. "Tapi kalau mereka datang lagi?"Angkasa berlutut di depannya, menggenggam tangannya erat. "Aku gak akan biarin itu terjadi. Aku bakal cari tahu siapa mereka dan apa yang mereka mau."Cahaya menatap suaminya, lalu mengangguk per