Kamar Ayara masih sama. Seperti yang ia tinggalkan satu bulan yang lalu. Tentu saja, tidak ada yang bisa masuk ke sana, kecuali jika ada yang mau mendobrak pintunya. Ayara menguncinya, dan menitipkan satu kuncinya kepada sahabatnya, Gistara. Sedangkan satu lagi kunci yang dia bawa, dia lemparkan ke belukar dekat parit di kebun karet, saat akan berangkat ke rumah Nawang Nehan. Hal ini sengaja dia lakukan karena dia tidak ingin privasinya diinjak-injak.Ayara sengaja membuang kunci kamarnya agar tidak dirampas oleh pihak Arlo, maupun pamannya.Hari ini, saat Arlo mengijinkannya untuk pulang ke rumah Dihyan. Ayara terpaksa harus mencari kunci tersebut lebih dulu, karena tidak memungkinkan menghubungi dan pergi ke rumah Gistara, lebih dulu. Bisa-bisa Arlo akan mengiranya sebagai usaha kabur lagi. Dia bisa sampai di rumah tersebut pun harus mengalami sedikit perdebatan dulu dengannya tadi pagi, saat keduanya berada di meja makan.“Saya akan berangkat setelah ini, Tuan.” kata Ayara tadi pag
Di kamarnya Ayara merasa gelisah. Sudah sepuluh menit berlalu, panggilan balik yang ia tunggu belum juga ada tanda-tanda masuk. Perasaannya tidak enak. Hatinya mengatakan seseorang yang dia amanahi banyak rahasianya, orang yang paling ia sayangi saat ini, sedang ada dalam masalah. Sahabat sekaligus orang yang paling dekat dalam hidupnya membutuhkan bantuan.Sepuluh menit menanti, bagi Ayara adalah waktu yang sudah sangat panjang. Ia tidak bisa diam, dan hanya menanti kabar. Dia harus keluar. Peduli setan dengan peraturan Arlo, Ayara harus keluar dari sana.Tanpa berpikir panjang, Ayara langsung menghentak tubuhnya untuk bangkit. Ia langsung membuka pintu, menutupnya kembali dan berlari ke pintu gerbang. Persetan dengan peraturan Arlo, maupun kediaman Nawang Nehan, Ayara memutuskan. Dia siap dengan segala resiko yang akan dia hadapi selanjutnya."Mau ke mana, Nona?" Tanya satpam di gerbang kedua saat melihat Ayara berjalan ke arah luar."Saya ada urusan mendesak, tolong ijinkan saya ke
Kamar Ayara sangat lengang. Namun Arlo mendapati, semuanya masih utuh. Tidak ada satu barang pun pemberiannya yang dibawa kabur oleh Ayara. Arlo juga tidak menemukan pesan apa pun di sana. Puas memandangi setiap detail ruangan Ayara, Arlo membalik badan, menatap Cashel.“Apa yang kamu sembunyikan dariku?” Cashel juga sedang berada di kamar Ayara. Ada juga Among di depan pintu, dan empat security di halaman rumah. Arlo sengaja mengumpulkan mereka.“Apa maksudmu? Aku tidak menyembunyikan apa-apa,” balas Cashel.“Sungguh?”“Kamu tidak mempercayaiku?”“Kamu dekat dengan Ayara. Bahkan kulihat dia sering tertawa jika bersamamu. Kalian bercanda.” Mendengar itu Cashel tergelak.“Kamu cemburu rupanya?” goda Cashel, senyumnya yang manis langsung tampak di sana. Tidak ingin menanggapi adik bungsunya lebih lanjut, Arlo berjalan keluar rumah. Menghampiri ke empat security, lalu bertanya,“Siapa saja yang mengetahui hal ini?” tanya Arlo.“Hanya kami berempat, dan Tuan Cashel, Tuan.” jawab salah se
Cashel merasa geram, namun dia juga tidak tahu, kepada siapa. Tidak mungkin kepada Ayara, atau pun Arlo yang menuduhnya melakukan konspirasi dengan Ayara. Kepada penjaga gerbang apalagi. Pada diri sendiri karena keterlambatannya menyelamatkan Ayara? Bisa jadi.Saat kejadian, Cashel sedang ada urusan. Dia hendak keluar rumah, ketika dilihatnya dua penjaga Gerbang Dalam, tidak menyambutnya. Keduanya justru terkulai di tanah. Setelah peroleh penjelasan bahwa ada pelayan yang melarikan diri dengan melumpuhkan keduanya, Cashel langsung menduga, pelakunya pasti Ayara. Siapa lagi? Di kalangan pelayan di rumah itu, tidak ada yang memiliki kemampuan ilmu bela diri selain Ayara. Tidak buang-buang waktu lagi, Cashel langsung mengejar ke Gerbang Utama setelah membantu penjaga Gerbang Dalam pulih. Sayangnya terlambat, Ayara sudah melumpuhkan penjaga Gerbang Utama dan bersiap melarikan diri. Bahkan gadis itu tidak menggubris teriakannya.Cashel langsung kembali ke Gerbang Dalam setelah membantu me
"Ada apa?" tanya Birdella, saat telepon sudah tersambung"Maafkan kami, Nona." suara di seberang terdengar ketakutan."Kenapa?" Suara Bidella meninggi."Nona Hyuna Sada…,""Katakan cepat!""Nona Hyuna Sada, berhasil dibawa kabur seseorang.""Apaa???""Maafkan kami, Nona.""Kalian benar-benar bodoh! Tidak berguna! Percuma aku membayar kalian mahal, kalau mengurus satu perempuan lemah saja kalian tidak becus!" Emosi Birdella langsung memuncak. Charlie terkejut."Ada apa, Sayang?" tanya Charlie."Hyuna Sada, berhasil keluar dari gedung itu." kata Birdella."Hah? Bagaimana bisa?""Entahlah," Birdella gelisah. "bagaimana ini Charlie, dia sudah melihat wajah kita. Dia juga sudah tahu, akulah di balik penculikan itu." Wajah Birdella tampak ketakutan."Tenang Sayang, kita akan membuat rencana baru lagi." kata Charlie berusaha menenangkan Birdella."Tapi, Charlie..""Sudahlah, nanti kita pikirkan lagi sebuah cara untuk menyingkirkan dia. Sekarang lebih baik kita lanjutkan bersenang-senang," aj
Ayara memutar tubuhnya. Pria yang duduk bersila di atas ranjang itu, sepertinya dia mengenali postur tubuh itu.Dengan pelan Ayara berjalan menuju ranjang, kemudian terkejut demi melihat sosok Arlo yang ada di sana. Pria itu memejamkan kedua matanya.Langkah Ayara terhenti. Hatinya gamang, haruskah ia memenuhi permintaan Arlo untuk memijat tubuhnya? Ataukah sebaiknya dia memutar arah, dan melompat dari jendela, yang tadi digunakan oleh wanita penghibur itu melarikan diri?Arlo memiliki tubuh yang kebal, penciumannya sudah sangat terlatih. Tidak akan mudah menjatuhkannya, hanya dengan obat-obatan. Apalagi hanya sejenis obat tidur. Dia juga memiliki mata batin yang tajam, sehingga akan sulit mempengaruhinya agar tidur. Selain itu, jika Arlo sampai mengetahui bahwa wanita yang bersamanya saat ini adalah Ayara, sudah pasti pria itu akan siaga sepanjang malam.“Pelayan! Apa lagi yang kamu tunggu? Cepatlah, aku mengantuk” ucap Arlo lagi. Ayara berjalan mundur, jendela hanya beberapa langkah
Tidak ada pilihan, Arlo tidak mau berhenti, apalagi mundur. Terpaksa Ayara mencabut pisau di selipan ikat rambutnya. Dengan gerakan cepat gadis itu menyerang Arlo.Di luar, orang-orang yang masih terjaga dan sedang duduk-duduk di Gazebo, termasuk Among dan pemilik penginapan. Mereka terkejut karena mendengar keributan dari kamar Arlo. Among langsung bertindak cepat, berlari menuju kamar tuannya. Pemilik penginapan mengikuti.Tok! Tok! Tok!“Tuan Arlo, Anda baik-baik saja?” teriak Among setelah diawali dengan ketukan pintu.“Ya, Among, aku baik-baik saja. Pergilah,” balas Arlo dari dalam. Among dan pemilik penginapan saling pandang.“Hehe, sepertinya mereka sedang menikmati keseruan di dalam,” kata pemilik penginapan. Among tidak menanggapi. Dia tahu sekali siapa Arlo, dia tidak mungkin akan menyentuh wanita itu, apalagi bermain secara kasar seperti itu. Dengan hati tidak yakin, Among kembali ke Gazebo. Meneguk habis kopinya, lalu pamit kepada pemilik penginapan untuk masuk ke kamarnya
Sejenak kita tinggalkan kehidupan Ayara yang berada di sebuah pedesaan, dengan kemewahan tersembunyi di balik ketinggian tembok rumah Nawang Nehan. Mari kita jenguk kehidupan seorang wanita di sebuah kota besar di belahan bumi lainnya.Namanya Ambar Qirana. Menikah dengan pria setempat yang dulunya juga kaya raya. Ahli waris tunggal dari perusahaan tambang terbesar di Asia. Semua orang mengatakan, Ambar adalah wanita yang sangat beruntung. Memiliki suami tampan, dan kaya raya. Tetapi, benarkah Ambar seberuntung itu?“Bersiaplah, Ambar,” kata Frey, suaminya.“Tidak, Frey! Aku tidak mau melakukannya!” tegas Ambar.“Kalau kamu tidak mau, siapa yang akan melunasi hutang-hutang kita kepada, Pak Dinar, hah?”“Itu urusanmu! Karena itu hutangmu, bukan hutang-hutang kita. Kamu yang berhutang untuk main perempuan, kenapa aku yang harus membayar?”“Karena kamu istriku! Kamu harus membantuku.” jawab Frey tanpa merasa canggung sedikitpun.“Aku tidak sudi, suruh saja wanita-wanitamu itu, yang denga