Merri bersikeras menghadiri penguburan suster Faustina. Akhirnya ibu Anna mengalah, mereka menyewa mobil beserta sopirnya untuk tiga hari. Subuh, setelah suara azan subuh mereka berangkat ke Pare. Sepanjang perjalanan Merri tertidur di bahu ibu Anna.Sampai di Kediri, mereka istirahat untuk sarapan kemudian melanjutkan perjalan ke Pare. Mendekati panti asuhan tempat suster Faustina disemayamkan terlihat keramaian di panti asuhan. Suster yang mendampingin mereka matanya melebar melihat panti asuhan,’Bukankah ini panti asuhan aku membuang bayuku?’ batinnya.Tangan suster mengepal, tubuhnya tiba-tiba kaku , kakinya gemetar ketika akan melangkah turun dari mobil.“Sus, ada apa? Mabuk perjalanan? “ tanya ibu Anna.Suster menggelengkan kepalanya, menopang tubuhnya di badan mobil karena kakinya sulit melangkah. Ibu Anna yang sedang memapah Merri khawatir melihat kondisi suster,”Mas supir, tolong suster, mungkin dia pusing.” Ujar ibu Anna dengan nada khawatir.Supir memapah suster, tangan sat
Setelah mengantar Merri ke kamar perawatan ponsel dokter Dante berdering,segera diangkatnya dan melihat log panggilan langsung menyapa,”Ya suster, apa? Suster Faustina kembali koma?Baik saya segera ke sana.”Ujarnya kemudian melangkah cepat melalui koridor rumah sakit ke ruang ICU.“Tadi kelihatannya suster Faustina baik-baik saja, apakah dia sadar hanya untuk menemui Merri? Betapa rendahnya aku, belum sempat minta maaf, malah suster minta maaf ke Merri karena kesalahan yang aku buat,”bisik dokter Dante mempercepat langkahnya.Sampai di ruang ICU, langsung mengganti bajunya dengan baju medis suara alat-alat medis terdengar dalam ruangan menjadi saksi bagi pasien bahwa pasien yang berjuang melawan maut kematian masih hidup.Dokter dan para medis mengelilingi pembaringan suster Faustina ketika dokter Dante menghampiri pembaringan suster Fuastina . Melihat keadaan suster Faustina yang terbaring lemah tak berdaya dengan mata terpejam mengiris hati dokter Dante, biarawati yang merawat, me
Sampai di ruang ICU, ibu Anna membantu Merri mengganti bajunya dengan baju rumah sakit, demikian juga dokter Dante. Ibu Anna tidak diperkenankan masuk hanya melihat dari balik jendela kaca Merri yang dipapah dokter Dante menuju ke pembaringan suster Faustina.Wajah suster Faustina masih pucat, tubuhnya tampak kurus dan lemah, keriput di wajahnya bertambah banyak setelah hampir tiga tahun Merri tidak menjenguknya di panti asuhan bilik biarawati Katolik di Pare.Sejak dokter Dante pindah ke Semarang, Merri hanya satu kali bertemu langsung, selebihnya melalui telepon.“Merri…?”terdengar suara lemah keluar dari mulut suster Faustina.“Suster Faustina…”Ucap Merri dengan suara bergetar. Merri tidak menyangka bisa bertemu dengan suster Faustina, rasa rindunya yang pernah diungkapkan ke mamanya telah terbalas dengan mendatangi suster Faustina meskipun dalam keadaan yang tidak menyenangkan.“Kemarilah anakku..” Kata suster Faustina menjulurkan tangannya yang kurus dan berkeriput, langsung mem
Dokter Dante menunggu di ruang tunggu rumah sakit, ponselnya tiba-tiba bergetar, dilihatnya log panggilan.“Baik sus, saya langsung ke sana.”Dokter Dante, berdiri kemudian dengan langkah cepat menelusuri koridor rumah sakit menuju ke ruang ICU, ruang khusus yang merawat pasien dengan kondisi kritis, menuju ke ruang ganti pakaian, melepaskan baju yang dipakainya memakai pakaian medis .Keluar dari ruang ganti pakaian, dokter Dante menuju ke ruang perawatan , dimana peralatan medis canggih dan staf medis yang mendampingi dan merawat pasien . “Kapan dia sadar sus?” tanya dokter Dante.“Kira-kira sepuluh menit yang lalu dok. Begitu sadar dia mencari dokter.” Ujar suster mendampingi langkah dokter Dante menuju ke pembaringan dimana seorang wanita tua terbaring lemah.Dokter Dante mendekati ranjang pembaringan, mengambil tangan tua berkeriput, menggenggamnya lembut,”Terimakasih suster sudah sadar,”bisik dokter Dante lembut.“Terimakasih kepada Tuhan,dimana Merri?” tanya suster Faustina.
“Mer, kondisimu sedang tidak stabil,” Ucap dokter Dante menatap Merri yang wajahnya terlihat pucat, mencoba meraih tangan Merri, tetapi Merri menghindar.“Mama Anna….”“Jangan panggil mamaku dengan mama Anna, tidak pantas panggilan itu keluar dari mulutmu.”“Aku ingin sesuatu tidak terjadi pada dirimu..”“Kamu tidak usah sok perhatian. Kalau terjadi apa-apa denganku bukan saja kali ini, beberapa tahun lalu kamu telah menjungkir balikkan hidupku.”Kata Merri. Dadanya naik turun menahan emosinya yang kembali membara.“Maaf…”Ujar dokter Dante ,mengetatkan rahangnya, kulit wajahnya semakin memerah karena setiap perkataannya disudutkan oleh Merri.Dokter Dante hanya bisa mengepalkan tangannya.“Kalian sebaiknya ke rumah sakit yang dekat di sini, aku mengkhawatirkan kesehatannya, mungkin kandungannya bermasalah…”“Cukup! Aku bilang jangan sok perhatian padaku!Aku baik-baik saja.!”Mama Anna dan suster yang semula hanya diam,tidak memberi reaksi antara dua orang yang berseteru kata-kata akhirny
Kehadiran sahabat-sahabatnya , Merri bisa mentransfer semua keluhannya kepada sahabat-sahabatnya, meringankan beban Merri sehingga Merri bisa tertawa ketika Stella menceritakan kejadian lucu bagaimana mereka menggoda pak Marco , pria separuh baya yang belum menikah, pemilik butik Christie tempat mereka bekerja. “Aku pernah tanya pak Marco kenapa belum menikah. Dengan santainya dia jawab, takut menikah.Menikah itu artinya menerima. Wanita mana mau menerimaku, katanya aku kewanita-wanitaan, kan dilarang agama wanita menikah dengan kewanita-wanitaan?Lalu aku sanggah, pak Marco kan laki-laki? Apa jawabnya? Kamu bilang aku laki-laki? Benar aku laki-laki ? Aku pernah dengar kalian menceritakan di belakangku, pak Marco itu lembut banget seperti perempuan.” “Terus apa jawabmu?”Tanya Merri sambil tersenyum kecil. “Aku speechless, ternyata waktu kita omongin dia rupanya dia mendengarnya.” “Tapi pak Marco itu orangnya tidak pendendam.” Ujar Rissa. Setelah cerita panjang lebar, tertawa t