Share

TERSESAT DI SARANDJANA
TERSESAT DI SARANDJANA
Penulis: Uwa Mia

Ajakan Mendaki Gunung

Bab 1

Bimbim, Arifin dan Aldo adalah tiga mahasiswa yang tergabung dalam komunitas Mapala (Mahasiswa Pencinta Alam) dan mereka sama-sama berkuliah di jurusan Ilmu Hukum di suatu universitas di Jakarta.

Pada tahun 2012, tepatnya pada bulan Juli yang merupakan akhir sementer 6 bagi mereka, mereka ingin melakukan pendakian ke gunung Semeru. Namun karena jumlah mereka hanya bertiga alias ganjil, yang katanya dapat mengundang sial, maka mereka berinisiatif mencari satu anggota lagi.

Di libur akhir semester kali itu, kebanyakan mahasiswa kalau tidak mencari kerja-kerja sampingan, mereka akan memilih berlibur ke rumah orang tua. Tentu hal ini membuat Bimbim, Aldo dan Arifin kesulitan mencari satu orang tambahan agar jumlah mereka jadi genap.

Namun setelah dipikir-pikir, mereka lalu teringat pada Anang--yaitu salah satu mahasiswa Sains Fisika yang kerap nongkrong di kampus Hukum mereka. Kebetulan mereka tahu rumah Anang dan tidak menunggu lama, mereka lalu berkunjung di sore hari.

Di teras rumahnya yang bisa dikatakan megah, Anang bertutur panjang lebar bahwa dia sudah lama mencintai alam, hanya saja belum sempat bergabung di komunitas Mapala.

Kalau soal fisik, Anang tak perlu diragukan. Orang tuanya memiliki enam tempat gym di Jakarta dan instrukturnya si Anang sendiri. Bentuk tubuh Anang yang kekar berotot dan kakinya yang tangguh, membuat Bimbim, Aldo dan Arifin tak ragu mengajaknya mendaki ke gunung Semeru.

Akan tetapi di tengah diskusi mereka sore itu, si Aldo mengusul agar lebih baik, lebih dulu mendaki ke gunung Slamet. Hitung-hitung sebagai pemanasan, katanya. Mengingat gunung Slamet lebih rendah dari gunung Semeru.

Setelah menimbang-nimbang posisi Anang yang baru pertama kali ini mendaki gunung, akhirnya semua setuju.

Di dekat mereka, atau di teras rumah yang sama, duduk juga ayah dan ibu si Anang. Pasangan suami istri itu sedang menikmati teh, yang adalah kebiasaan keluarga mereka di sore hari.

Anang langsung meminta ijin pada keduanya. Ayahnya setuju, dia menasehati agar mereka tidak berbuat aneh-aneh selama dalam pendakian. Beda dengan si Ibu yang nampak diam. Jangankan bicara, melirik ke arah mereka atau pun tersenyum sama sekali tidak.

Ibu Anang memang pendiam orangnya. Namun di sore itu, dalam hati kecilnya, Anang mengakui bahwa sang Ibu jauh lebih pendiam dari biasa.

Anang berusaha berpikir jernih, mungkin saja Ibunya sedang memikirkan hal lain yang lebih berat.

***

Tiga hari setelahnya, tepat di tanggal 10 Juli 2012, mereka akhirnya berangkat pagi-pagi sekali. Masing-masing menenteng tas carrier di punggung, lengkap dengan peralatan pendakian di dalamnya.

Mereka berempat bertemu di stasiun lalu segera menaiki bus yang membawa mereka ke Jawa Tengah, yaitu di kabupaten Purbalingga.

Perlu diketahui, gunung Slamet dikelilingi oleh lima kabupaten, yakni kabupaten Banyumas, Brebes, Purbalingga, Tegal dan Pemalang. Bimbim, Arifin, Aldo dan Anang mengambil jalur pendakian Bambangan yang melalui kabupaten Purbalingga.

Menjelang sore barulah mereka tiba di dusun Bambangan, Purbalingga. Mereka segera menuju basecamp dan mendaftarkan diri di situ.

Setelah mendaftar, mereka tidak langsung mendaki, tetapi beristirahat dulu satu malam sembari berembuk tentang jalur mana yang harus diambil, sebab via Bambangan terdapat dua jalur lagi.

Jalur kanan dan jalur langsung.

Jalur kanan track-nya lebih gampang tapi memakan waktu yang lama untuk mencapai puncak. Sedangkan jalur langsung track-nya sangat tajam, dengan keuntungan hanya memakan waktu sembilan jam tiba di puncak Slamet.

Dari hasil berembuk, mereka memutuskan mengambil jalur langsung, mengingat setelah mendaki gunung Slamet mereka akan menuju ke gunung Semeru.

Bimbim selaku yang diketuakan dalam pendakian ini, awalnya keberatan. Ia peduli pada Anang yang baru pertama kali mendaki tapi langsung menghadapi track tajam. Namun karena Anang sendiri meyakinkan bahwa dirinya mampu, maka bulatlah kesepakatan mereka.

Malam itu, setelah mengatur ulang logistik yang mana dijadikan satu ke dalam tas Aldo, mereka lalu tidur lebih awal di basecamp tersebut.

Tidur yang lelap, amat lelap, sampai-sampai mereka tak sadar pada bau bunga yang asing, sangat asing, yang menguar di sekitar tubuh mereka.

Menjelang subuh barulah Anang terbangun oleh menusuknya bau bunga tersebut di hidungnya. Dia bersin-bersin sejadinya, hingga membuat yang lain ikut terbangun.

Herannya, ketika yang lain bangun, bahkan sampai mereka sholat subuh bersama, mereka tak mencium bau yang sama yang dihirup Anang.

Anang menyimpan perkara itu di sudut hatinya. Dia tahu, bahwa tidak perlu berasumsi macam-macam di tempat seperti itu.

Aldo selaku penanggungjawab logistik, telah berjibaku menyiapkan sarapan ala kadar sebelum matahari terbit. Masing-masing dibuatkannya segelas susu coklat dan sebongkah roti selai.

Pada pukul 05.30 mereka akhirnya memulai pendakian, dengan posisi Bimbim paling depan, Arifin, Aldo dan Anang di paling belakang.

***

Tidak ada hal mistis yang terjadi sampai mereka tiba di pos satu. Hanya saja terlihat si Anang yang sesekali mengatur napasnya. Bimbim dan Arifin sesekali bercerita singkat. Sementara Aldo berfokus pada tas carrier-nya yang lumayan berat menampung semua makanan mereka.

Di pos satu, ada sebuah bangunan berbentuk pondok di mana beberapa pendaki nampak beristirahat di situ. Mereka berempat tidak ikut beristirahat, tapi menyempatkan diri untuk bertegur sapa. Rupanya Bimbim, Arifin dan Aldo sudah mengenal mereka dari pendakian-pendakian sebelumnya.

Beda dengan Anang, karena dia orang baru, sambil menanjak dia menatap mereka satu per satu dan berharap menandai wajah mereka agar lebih familiar di kemudian pendakian.

Pada saat menatap itulah, Anang melihat sesosok pria persis dirinya, tengah duduk di antara para pendaki yang sedang asyik beristirahat. Yang membuat Anang terkejut, selain wajah si pria mirip dirinya, penampilan pria itu sangat berbeda di antara para pendaki.

Pria itu mengenakan pakaian khas kerajaan, lengkap dengan segala atribut yang melekat, termasuk topi adat berbahan satin di pucuk kepalanya. Pria itu menatap lurus ke depan, sama sekali tidak bicara.

Wajahnya cerah bercahaya. Kharisma terpancar sempurna dari auranya.

Anang masih terus menatapnya, hingga akhirnya dia tersadar oleh teguran Aldo yang kini posisinya sudah terpaut jauh di depan sana.

"Nang .... elu jangan melamun!! Cepetan nanjak, gue tunggu nih."

Anang berdecak. Dia heran, padahal hanya sebentar menatap ke arah pondok, kok bisa tiba-tiba tertinggal jauh dari kelompoknya.

"Nang, fokus ya," ucap Bimbim ketika Anang kembali bergabung dengan mereka. "Kalau liat yang aneh-aneh, gak usah diladenin, fokus aja ngikutin kita di depan."

Anang mengangguk. Lagi-lagi ia berusaha menyingkirkan asumsi negatif dari kepalanya.

Semakin ke atas, track tajam semakin menjadi-jadi. Namun rasa lelah mereka terkesampingkan oleh pemandangan hutan yang begitu asri.

Ya, gunung Slamet memang terkenal dengan kekayaan hutan vegetasinya yang mana kelestarian lebih terjaga bila dibanding gunung-gunung lain di pulau Jawa. Itulah yang membuat pohon-pohon berukuran raksasa masih mendominasi di kawasan gunung Slamet.

Kicauan burung yang beraneka ragam dan suara-suara monyet yang bergelantungan, itu semua menjadi ciri khas selama pendakian gunung Slamet. Walau ngos-ngosan, Anang sangat gembira, sebab alam seperti inilah yang dia kagumi.

Bimbim dan Arifin adalah dua orang di antara mereka yang selalu berfoto-foto menggunakan kamera Canon--yakni jenis kamera yang hits di tahun 2012 kala itu. Sementara Aldo dan Anang hanya menikmati alam dengan mata kosong sembari mulut keduanya berdecak kagum.

Tanpa terasa, dua jam berlalu dan mereka telah melewati pos dua. Rencananya, mereka akan beristirahat sejenak di pos tiga agar nantinya langsung lanjut ke pos lima, sebab di pos empat atau yang dikenal dengan pos Samarantu, terkenal angker. Samarantu sendiri disingkat dari nama Samar Hantu, tak ada pendaki mau beristirahat di situ.

Itu baru rencana, sebelum sesuatu yang di luar nalar kembali terjadi saat akan memasuki pos tiga. Lagi-lagi si Anang yang berada di posisi paling belakang yang mengalami.

Anang mendengar suara perkampungan di balik punggungnya. Riuh rendah, di mana suara anak-anak tengah bermain di halaman, suara Ibu-ibu menampih beras di tangga rumah, dan Bapak-bapak berjalan sambil berkelakar satu sama lain.

Sontak Anang menoleh ke belakang. Betapa kagetnya dia, dilihatnya hutan vegetasi telah berubah menjadi perkampungan Jawa kuno.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status