Share

Petuah di Pos Enam

Bab 2

Perkampungan itu sangat jadul. Ibu-ibu yang menampih beras di tangga rumah hanya memakai kemben. Bapak-bapak bertelanjang dada, mereka memanggul pacul di pundak dan hendak menuju ke ladang. Sementara anak-anak yang bermain engklek di halaman begitu gembira, masing-masing mereka memakai buntalan kalung jimat khas kejawen pada leher dan pada salah satu pergelangan kaki.

Anang mengucak keduanya matanya. Dalam hati ia bertanya-tanya, apakah pemandangan itu nyata adanya atau hanya gangguan supernatural.

Dia berinisiatif memberitahu Aldo, Bimbim dan Arifin. Namun saat kembali melihat ke arah depan, betapa terkejutnya Anang.

Ketiga temannya tidak ditemukan lagi. Tanjakan tajam berubah jadi tanah datar. Tak ada lagi pemandangan gunung Slamet. Hanya kawasan perkampungan yang semakin melebar sejauh mata Anang memandang.

"Aldo ...."

"Bimbim ...."

"Arifin ...."

"Kalian di mana??!"

Anang mulai berteriak. Awalnya tak terlalu keras tapi karena tak ada tanda-tanda jawaban, dia mulai berteriak sejadi-jadinya.

Kejanggalan makin nyata manakala Anang sadar bahwa teriakannya yang begitu keras, sama sekali tak terdengar oleh warga di kampung itu. Padahal jarak Anang dengan mereka tidak terpaut jauh.

"Pangapunten, Pak," tegurnya pada kelompok Bapak-bapak yang menuju ke ladang. "Ini nama kampungnya apa?"

Hening.

"Pak, kalian dengar suara saya gak?"

Hening.

Glek! Anang seketika ketakutan di tempatnya berdiri. Kedua kakinya serasa tumbuh akar, membuat sulit digerakkan.

Di fase itu Anang mulai paham bahwa dirinya telah masuk ke dimensi lain. Dimensi lain yang kata orang adalah hal mistis, tapi secara metafisika kuantum bisa dipelajari melalui leburan antar gaya gravitasi, kecepatan dan waktu.

Teringat kembali ajaran dosennya sewaktu di kampus. Bahwa ilmu dan teknologi yang dimiliki manusia di peradaban saat ini, belum cukup mampu untuk menciptakan alat penembus dimensi.

Sebab pada hakikatnya, dunia paralel bisa dibuktikan secara ilmiah. Ada ribuan bahkan jutaan dimensi lain yang berjalan beriringan dengan kehidupan manusia.

Anang meneguk liur. Kini bingung merajai dirinya. Bingung apa harus senang ataukah bersedih. Dia senang karena berkesempatan menembus dimensi, melihat apa yang tidak semua orang bisa melihat.

Namun di sisi lain, Anang tak siap bila tersesat selamanya, apalagi jika tak bisa kembali ke kehidupan nyata.

Anang berkeyakinan kalau dia tak boleh terlambat waktu untuk kembali ke dunia nyata, yakni di tempat terakhir kalinya dia berada yaitu di perjalanan menuju pos tiga, gunung Slamet.

Anang berupaya menyambangi kelompok Bapak-bapak tersebut seraya mulutnya melontarkan permohonan, meminta tolong.

Tangan kanannya terulur untuk menggapai pundak salah satu Bapak. Manakala si bapak terkejut bahunya dipegang oleh Anang, ia lalu menoleh dengan wajahnya yang membuat Anang memekik takut.

Memang wajahnya mirip manusia, yang sedikit membedakan adalah kelompok Bapak-bapak itu memiliki tiga lubang hidung dan bibir mereka melengkung mirip tokoh kartun Donal Bebek.

Anang berteriak histeris. Kepalanya mendadak pusing diikuti penglihatan gelap total. Dia rubuh dan tak sadarkan diri alias pingsan.

***

Matahari berada di atas kepala saat Anang tersadar. Percikan air dari seseorang yang tengah berdiri membasahi sekujur wajahnya.

Anang membuka kelopak mata yang terasa berat. Silau tengah hari membuat matanya seketika menyipit. Dilihatnya Aldo tengah memegang botol air dengan jemari tangan kanan siap memercikkan air ke wajahnya lagi.

Anang terbatuk. Bimbim dan Arifin yang berdiri agak jauh segera mengerubungi tubuh Anang yang dibaringkan di atas sleeping bag.

"Sudah sadar lu, Nang?" celetuk Aldo merasa legah. Dia tersenyum tipis lalu berjongkok di samping Anang.

"Lo pingsan dua hari," ujar Bimbim seraya membantu Anang untuk duduk tegap.

"Dua hari?" gumam Anang hampir tak percaya. Rasanya hanya beberapa menit dia tersesat ke dimensi lain.

"Minum air dulu biar lu normal lagi." Arifin menyodorkan segelas air. Anang menenggak perlahan hingga tandas.

Anang baru percaya ketika dilihatnya dua bentukan tenda mereka terpatok di dekat situ, tepat di pos tiga. Bimbim lantas bercerita bahwa saat Anang jatuh pingsan, tubuhnya dibopong oleh Arifin dan Bimbim sampai ke pos tiga, dan karena lama tak kunjung sadar, mereka kemudian menggelar tenda.

"Nang, kalo lo kenapa-napa kita pada takut harus bilang apa ke orang tua lo di Jakarta," ucap Arifin dengan nada getir.

"Ho'o, Nang. Syukurlah lu da sadar sekarang," sambung Aldo.

Anang bergeming. Dia hanya tersenyum tipis karena ingin menunjukkan bahwa dia baik-baik saja.

"Lo pasti kecapaian," kata Bimbim menenangkan Anang. "Lo makan dulu sebelum kita lanjutkan pendakian."

Anang mengangguk. Di situ Aldo segera menyiapkan makanan untuk Anang, yaitu bubur sachet-an yang diracik ulang serta segelas susu manis agar stamina Anang membaik.

Beberapa saat kemudian, Anang mengatakan bahwa dia sudah siap melanjutkan pendakian. Bimbim dan Arifin pun segera membongkar tenda dan melipatnya rapi. Sebelum benar-benar beranjak, Arifin mengajak mereka sembahyang bersama guna meminta perlindungan Allah.

Beda dengan sebelumnya, kali ini Bimbim meminta Aldo berganti posisi ke paling belakang sehingga Anang berada di urutan ke-tiga.

Kali ini pula Anang lebih fokus. Pandangannya hanya tertuju ke depan, dia mengabaikan segala bentuk gangguan yang sesekali muncul dari arah samping maupun belakang.

Bimbim mewanti-wanti ketika akan memasuki pos empat (pos Samarantu) yang terkenal angker. Mereka saling memperhatikan satu sama lain, terutama memperhatikan Anang agar kejadian sebelumnya tidak terulang.

Diusahakan semaksimal apa pun, tapi yang namanya area mistis, area supernatural atau apalah itu, tetap saja hal ganjil terjadi. Lagi-lagi dialami oleh Anang.

Pos empat ditandai oleh dua pohon besar yang berdiri sejajar mirip gerbang. Melihat kedua pohon tersebut dari kejauhan, Anang merasakan bahwa sesuatu di sana telah menanti mereka. Sesuatu yang entah apa itu, Anang sendiri dibuat tak tenang.

Lebih dari itu, tak terdengar lagi bunyi burung-burung atau pun suara monyet yang biasanya menguasai hutan. Bahkan tak terlihat adanya pendaki lain yang berpapasan dengan mereka.

Sunyi senyap. Lengang melakukan bagiannya lebih dari batas wajar. Rupaya bukan hanya Anang yang merasakan, Bimbim, Aldo dan Arifin pun demikian. Mereka mengode satu sama lain agar tetap tenang dan terus menanjak sesuai jalur.

Di kemudian hari barulah mereka sadar bahwa di fase itulah mereka sedang menembus dimensi.

Menjelang sore, mereka akhirnya berhasil melewati pos empat dan lima. Suara binatang hutan kembali terdengar, angin kembali berhembus dan semuanya berangsur normal seperti sedia kala.

Di pos enam, mereka berhenti sejenak untuk merokok dan minum air. Di situ mereka membahas keganjilan selama melewati pos empat. Di mana udara di area itu serasa hampa, pengap dan suara binatang pada lenyap tak bersisa.

"Itulah gunanya sembahyang," ujar Arifin menasehati. "Kita terlindung dari marabahaya."

Anang, Bimbim dan Arifin mengangguk membenarkan. Mereka masih menikmati rokok yang hampir buntung ketika seorang pria paruh baya berjalan turun melintasi pos enam dengan cangkul membebani pundaknya dan bertelanjang kaki.

Mereka terhenyak karena setahu mereka di sekitar pos enam tidak ada kebun, apalagi di puncak gunung. Bimbim lalu menyapa pria itu.

"Ngapunten, Bang. Dari mana ini?"

Pria itu menoleh. Wajahnya terlihat sangat ramah. "Oh ini saya baru saja mencari-cari lokasi untuk berkebun, rencananya mau nanam bibit pohon mahoni, mumpung dapat gratis dari kantor desa."

"Oh ...." jawab mereka hampir bersamaan. Mereka legah karena pria itu adalah manusia tulen dan bukan jadi-jadian.

Namun saat pandangan pria itu tertumbuk pada si Anang, dia terkaget bukan kepalang, sampai-sampai diturunkan pacul dari pundaknya. Sontak yang lainnya menatap ke arah Anang. Mungkin bingung kenapa si pria sedemikian kaget melihat rupa Anang padahal tak ada yang aneh.

Si pria kemudian berucap hati-hati dengan sikap hormat, "Itu yang namanya Anang, sebaiknya gak usah sampai ke puncak, dianya--"

"Lha kenapa?" seloroh Bimbim memotong pembicaraan.

Pria itu menghela napas. Sepasang matanya seakan tak kuasa lagi menatap Anang. Dia kemudian menaikkan cangkul ke pundak dan melanjutkan perjalanan yang sempat terjeda.

Saat berjalan meninggalkan mereka, dia berucap sangat jelas dengan maksud agar mereka mendengar pesan yang disampaikannya.

"Anang kamu gak usah ke atas. Di sana kamunya sudah ditunggu, mau dibawa ke Kalimantan."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status