Share

Jalur Lahar

Penulis: Uwa Mia
last update Terakhir Diperbarui: 2023-07-17 12:55:28

Bab 5

"Rawan? Emang ini di mana, Kek?" tanya Aldo kebingungan.

"Jalur lahar," jawab si Kakek. "Kalau ada erupsi kecil, lahar dingin biasanya lewat sini."

"Astaga!" Aldo menepuk jidatnya. "Tega bener si penunggu gunung. Kitanya dipindahin ke titik rawan."

"Nang, gimana ini?" Aldo merengek, tak lagi malu pada tubuh jangkung dan kumisnya.

Anang tidak menjawab, ia beralih menatap si Kakek. Anggapan Anang, kalau si Kakek memang terbiasa ke tempat ini, artinya si Kakek tahu jalan pulang agar mereka bisa selamat.

"Ngapunten, Kek. Saya mohon banget, bantu kami menuju jalan pulang," ucap Anang memohon. "Ya kalau memang sini jauh dari jalur Bambangan, sekiranya Kakek tahu jalan keluar yang lain."

Si Kakek menggaruk pelipisnya. Lama kemudian barulah ia terkekeh.

"Kakek mau mancing ke sungai, Le. Bagusnya kalian ikut Kakek aja. Di sungai nanti berjumpa warga yang bisa membantu kalian naik ke pemukiman."

Anang menyikut lengan Aldo. Keduanya lantas berdiskusi singkat. Yang intinya, Anang menjelaskan bahwa sungai adalah pusat aktivitas warga desa, yaitu mandi, mencuci, memancing hingga membuat kebun di pinggir sungai. Orang-orang akan membantu mereka naik ke pemukiman, lalu dicarikan transportasi agar bisa e balik ke Jakarta.

"Kita kalau naik ke pemukiman, kira-kira di daerah mana ya, Do?"

"Setahu gue, gunung Slamet dikelilingi lima kabupaten. Kita kalau gak muncul di Purbalingga, ya pasti di Brebes, Banyumas, Tegal atau Pemalang," jawab Aldo yang lebih senior dalam hal pendakian.

"Intinya selamat dah!" tukas Anang.

Mereka masih berdiskusi manakala si Kakek telah berlalu meninggalkan mereka walaupun belum begitu jauh. Anang dan Aldo lantas terburu-buru mengejarnya.

"Slamet itu artinya selamat," ujar si Kakek saat tahu Anang dan Aldo sudah ada di sisinya. "Jarang orang sampai binasa di gunung ini. Kalau tersesat, nanti juga selamat sesuai nama gunung Slamet."

Anang dan Aldo manggut-manggut. Dalam hati Anang mengaminkan perkataan si Kakek.

Kakek ini bukan sembarang kakek. Walau tubuhnya ringkih, sepasang kaki kurusnya dengan cekatan menuruni areal terjal. Satu tangannya menggapai akar-akar pohon kala berada di kemiringan.

Anang dan Aldo berdecak kagum.

"Kek, kakek sudah sering mancing ke sini? Aldo sengaja bertanya.

Si kakek terkekeh renyah. "Sering datang, Le. Tapi takut-takut juga. Soalnya gak banyak orang tahu lokasi sungai ini. Kadang sungainya ada, kadang gak ada--eh ...." jawabnya keceplosan, tapi segera direm mendadak.

Anang dan Aldo saling pandang. Ada yang janggal dengan pengakuan si Kakek barusan. Katanya di sungai ada banyak warga yang bisa membantu, tapi sekarang malah bilang tidak banyak orang tahu lokasi sungai ini.

'Mana yang bener sih?' gerutu Aldo dalam hati kecilnya.

Beberapa lama kemudian ... usai mengarungi track menurun yang terjal, akhirnya terdengar bunyi gemericik aliran sungai. Hawa sejuk pun mendominasi.

"Nah sudah dekat," ujar si Kakek yang nampak gembira di sela naik turun napasnya.

Mereka beristirahat sejenak di suatu ketinggian yang tidak setinggi track sebelumnya. Dari situ terlihat jelas pemandangan sungai yang begitu jernih, yang sulit ditemukan bila di Jakarta.

Anang dan Aldo mengagumi apa yang memanjakan mata mereka. Tujuan keduanya sama: menikmati alam, dan rasanya sudah lebih dari cukup.

Keduanya belum tahu, bahwa di belakang sana ... ada puluhan hingga ratusan orang lagi bersusah payah mencari keberadaan mereka. Ada orang tua yang menangis dan teman-teman merasa kehilangan.

"Yok turun lagi, Le!" ajak si Kakek setelah tenaganya pulih. "Hati-hati, di bagian sini gak terlalu terjal tapi licin."

"Siap, Kek!"

Dari atas cakrawala, tiga orang ini nampak seperti semut tengah merangkak turun menuju aliran sungai.

***

Di tepi aliran sungai tersebut, si Kakek mulai sibuk memasang umpan cacing ke mata kail. Aldo menyeburkan diri langsung ke sungai dan Anang memilih mandi di tepian.

Coreng moreng dan debuh tanah yang mengotori tubuh keduanya, luruh terbawa air. Anang dan Aldo kini terlihat lebih manusiawi.

Oleh karena belum mengisi perut selama dua hari, mereka lalu menenggak air sungai menggunakan kedua telapak tangan. Si Kakek juga menawarkan ikan hasil pancingannya untuk mereka panggang.

Aldo sengaja menyembunyikan petek milik si Kakek ke dalam kantong celananya, agar berguna di perjalanan selanjutnya.

Seperti tidak makan selama setahun, Anang dan Aldo melahap ikan panggang dengan rakus. Si Kakek hanya terkekeh melihat perilaku dua anak muda itu.

Namun ketika sore menjelang, si Kakek mengingatkan agar keduanya segera melanjutkan perjalanan guna mencari pertolongan.

Anang dan Aldo akhirnya menyusuri aliran sungai yang berkelok-kelok. Makin jauh, jauh, hingga tak terlihat lagi si Kakek yang tadinya memancing di tepi sungai.

Tanpa sepengetahuan mereka, si Kakek mendongak ke arah sebuah tebing di mana sosok sang raja, atau lebih tepatnya perdana menteri tengah berdiri menatapnya.

"Sedikit lagi mereka tiba, Paduka Tuan Agong!" teriak si Kakek bersaing dengan bunyi arus sungai.

Yang diteriaki hanya mengangguk, aura wibawanya terpancar sempurna.

***

"Bimbim sama Arifin pasti shock gak nemu kita di dalam tenda," ucap Anang di tengah perjalanan. "Mereka pasti lagi nyari kita saat ini."

"Ya makanya buruan, Nang. Kalau uda ketemu pemukiman, kita kudu kirim kabar kalau kita selamat."

Anang mengiyakan. Mereka lalu fokus mengikuti aliran sungai, berkilo-kilometer jauhnya, hingga hari menjemput malam.

Sejauh itu, mereka belum menemukan aktivitas manusia di sungai itu. Tidak ada orang yang turun ke sungai, tidak ada kebun, tidak ada pula tanda-tanda pemukiman di dekat sungai yang mana biasanya akan terdengar hewan peliharaan warga seperti gonggongan anjing, auman sapi, kambing dan unggas.

Tungkai kaki begitu lelah dan cahaya senter sudah berkurang terangnya. Anang dan Aldo terpaksa berhenti untuk beristirahat.

Sebagai anak orang berada yang jarang bertemu susah, di titik itu Anang Syah berurai air mata. Dia memikirkan betapa nahasnya tidur cuma beralas tanah dan beratapkan langit. Manalagi tak ada sejumput makanan, lengkaplah penderitaan.

Anang terus memikirkan sampai dia tertidur dengan buntalan dedaunan sebagai ganti bantal kepala.

Sementara Aldo yang lebih dulu tidur, terbangun di jam rawan oleh karena perutnya keroncongan.

Aldo bangkit lantas duduk, ia meraba-raba kantong celana dan mendapati petek milik si Kakek masih ada. Terbayang olehnya, bagaimana bila memanggang ikan sekali lagi.

Aldo lalu mengendap-endap menuju sungai, ia tidak ingin mengusik tidur Anang yang belum lama itu.

Betapa terkejutnya Aldo manakala berada di badan sungai. Dilihatnya ikan-ikan berukuran besar bermain bebas dan nampak sangat jinak.

Tidak ada kail atau apa pun yang bisa dipakai untuk mengambil ikan-ikan itu. Aldo lalu mencoba berenang agar bisa menangkap langsung dengan tangannya.

Ajaib! Ikan-ikan sangat manut saat ditangkap oleh Aldo. Begitu mudahnya, antara percaya dan tidak. Aldo dibuat terheran-heran.

Melihat ukuran ikan yang sangat besar, Aldo lalu menangkap hanya dua ekor. Pikirnya, satu untuk Anang dan satu lagi untuk dirinya.

Ia terkekeh senang. Dibopongnya dua ekor ikan ke darat lantas mulai mengumpul kayu bakar. Aldo memanggang agak jauh dari tempat Anang berbaring.

Pagi harinya saat Anang bangun, ia mencari-cari dari mana aroma ikan panggang berasal. Dilihatnya Aldo melambaikan tangan ke arahnya, anak itu rupanya yang memanggang ikan.

Anang tercengang mendapati betapa besarnya ikan yang tengah dipanggang Aldo. Bentuknya pun agak berbeda dengan ikan yang selama ini mereka tahu.

Anang berlari ke arah sungai, ia ingin cross-check, apakah benar dua ikan besar itu didapati Aldo dari sungai.

Lagi, Anang dibuat tercengang. Dilihatnya ada banyak ikan besar berbentuk aneh bermain dengan jinaknya di tengah arus sungai yang jernih.

Tak sampai di situ. Anang juga melihat tanaman umbi jalar yang merambat subur sepanjang pinggiran sungai. Saking subur, umbi-umbinya menonjol keluar tanah.

Anang mendekat untuk menggali dengan tangan kosong. Ia berdecak takjub sebab sama sekali tidak sulit menarik umbi jalar keluar dari tanah yang bertekstur lembut.

Umbi jalar itu sangat besar, kira-kira 20 kg beratnya. Dengan kewalahan, Anang membawanya pada Aldo yang baru selesai memanggang ikan.

Sejenak tertegun, Aldo akhirnya membantu Anang membakar umbi itu di atas bara api yang masih segar. Semakin matang, semakin wangi aroma umbi jalar.

Diberkahi ikan dan umbi jalar yang besar, Aldo dan Anang kehabisan kata-kata.

"Do, kayaknya kita berada di Firdaus? Coba lo amati sekitar kita. Makin ke sini, lingkungan makin hijau, bersih, subur!" ucap Anang serasa hilang akal.

"Firdaus apaan sih?"

"Firdaus itu kata lain untuk taman surga!" jawab Anang polos. "Situasi ini mirip di surga loh. Mirip gambaran surga yang dikisahkan dalam buku-buku agama."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • TERSESAT DI SARANDJANA    Anang Jadi Gila

    Bab 33Jangankan di alam lain, di dunia nyata sekalipun ada banyak petuah agar kita tidak boleh gegabah saat sedang marah.Akibat menembus sinar teleportasi dalam keadaan marah, Anang jadi gila ketika muncul di dunia nyata.Muncul di pos tujuh gunung Slamet bersama Aldo dan Tuan Attar, Anang sering meracau tak jelas.“Balikin keperjakaanku, Gompeng!”“Balikin gak?!” racaunya.Beruntung mereka muncul pada siang hari, sehingga mudah ditemukan oleh pendaki lain.Walau ditemukan, justru yang terlihat hanyalah Anang dan Aldo. Anang terindikasi gila dan Aldo linglung kebingungan. Sementara Tuan Attar … keberadaannya tak terlihat oleh mata manusia. Hanya Anang dan Aldo yang dapat berinteraksi dengannya.Para pendaki yang kebetulan baru turun dari puncak menuntun mereka ke basecamp untuk melaporkan diri.Lumayan makan waktu untuk tiba di basecamp. Sebab hujan deras beberapa hari lalu membuat banyak pohon tumbang dan menghalangi jalur.Manakala tiba di basecamp, pengelola mengaku tak pernah m

  • TERSESAT DI SARANDJANA    Kembali ke Dunia Nyata

    Bab 32Anang akan melangkah pergi manakala anaknya terbangun dari tidur. Terpaksa ia berhenti di bibir pintu dan sejenak menoleh pada si Pangeran kecil.Anak cerdas itu teringat akan ajaran Aldo mengenai ucapan selamat. Kebetulan hari sudah sore dan ucapannya adalah ‘bau kentut’, maka dengan gembira dia segera berucap.“Bau kentut, Ayah. Bau kentut, Ibunda ….”“Bau kentut juga, Anakku,” jawab Permaisuri berupaya menutupi pertengkaran yang barusan terjadi antara dia dan Anang. Anang mengernyit heran. Dia curiga, yang mengajari hal bodoh itu pastilah si Aldo. Tapi bukan itu masalahnya! Anang malah bersyukur telah diingatkan pada sosok Aldo. Sebab barusan, hampir saja Anang melupakan Aldo dan akan pulang sendirian ke dunia nyata.Anang mengelus dada. Ia menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya melangkah pergi. “Ayah, Ayah ….” panggil Pangeran Sandi.Anang tak menghiraukan.“Ayah, Ayah mau ke mana?”Tak ada sahutan dari Anang. Malah dengan langkah-langkah yang lebar, ia akhirnya tib

  • TERSESAT DI SARANDJANA    Berterus Terang

    Bab 31Pernahkah kalian terlalu dalam mencintai seseorang, tapi masih dibentangi jurang kebohongan? Hidup bersama, tapi tidak benar-benar saling mengenal.Pernahkah kalian mencintai, hanya untuk meninggalkan? Meninggalkan pas lagi sayang-sayangnya?!Pernah? Bila tidak, berarti cuma Anang yang mengalami. Berat baginya setelah dengan sepenuh hati mencintai Permaisuri Gompeng, tapi ia harus pulang ke dunia nyata.Sementara sang Permaisuri belum juga tahu, bahwa Anang bukanlah suami aslinya. Anang menanti momen yang tepat untuk membuka jati dirinya di hadapan Permaisuri.***Hari itu ... hari di mana Anang akan berterus terang, alam semesta turut bersusah hati.Langit Sarandjana yang biasanya cerah bercahaya, berubah kelabu. Kilat-kilat kecil sesekali memercik di atas sana. Angin dingin berhembus. Menerpa masuk melalui jendela-jendela yang terbuka. Departemen Keker Langit segera mengeluarkan himbauan cuaca buruk, yang baru pertama kali ini terjadi di negeri Sarandjana.Sementara di ka

  • TERSESAT DI SARANDJANA    Macam-macam Bau

    Bab 30Pertumbuhan makhluk hidup di Sarandjana dua kali lebih cepat dibanding di dunia nyata. Walau masih berusia enam bulan, Pangeran Sandi Samawi sudah lincah berjalan. Mirip anak usia dua tahun di dunia nyata.Kulitnya putih bersih, rambutnya hitam tebal. Jika kalian bertanya, apakah dia memiliki lekuk garis di atas bibir seperti Ayahandanya, ataukah rata seperti Ibundanya?Maka jawabannya adalah ... dia memiliki perpaduan dari keduanya. Ada sedikit lekukan di atas bibir, tapi tidak terlalu kentara.Untuk urusan belajar bicara, seorang ahli bahasa didatangkan khusus bagi Pangeran Sandi. Calon pewaris tahta kesultanan itu diajari tata Krama bercakap.Bagaimana memilih padanan kata yang pantas bagi seorang bangsawan. Bagaimana menjadi pendengar yang baik. Cara merespon lawan bicara, kapan perlu menginterupsi suatu diskusi, dan teknik lainnya.Tidak heran, baru berusia enam bulan, Pangeran Sandi sudah mampu berpidato menggantikan Ayahandanya.Namun ... lain Doyok, lain Dono. Doyok y

  • TERSESAT DI SARANDJANA    Pangeran Sandi Samawi

    Bab 29Mereka bertiga gemetar. Keringat halus bermuculan di dahi mereka."Astaghfirullah, Ya Allah!" Arifin beristighfar. "Semoga kapal kita gak ikutan tersesat!!""Gak ikutan tersesat!" ulangnya. Koh Abeng yang mendengar ucapan Arifin, seketika langsung berlari menuju ruang kemudi. Di situ ia memekik keras pada si nakhoda."PUTAR HALUAN ... PUTAR HALUAN!!""CEPAT PUTAR HALUAN!"Si nakhoda gelagapan. Meski demikian, ia tetap sigap melaksanakan perintah. Bimbim dan Arifin turut masuk ke ruangan itu. Goncangan berat pun terjadi ketika kapal berbalik arah. Mereka refleks berpegangan di besi rel pada dinding kapal.Berjam-jam lamanya tidak ada obrolan di antara mereka. Sore berubah malam, dan malam bertemu pagi, mereka akhirnya kembali tiba di pelabuhan Tanjung Perak.Arifin dan Bimbim merasakan kepala cenat-cenut akibat mabuk laut. Belum lagi pengalaman mistis kemarin sore masih bergelayut dalam pikiran.Koh Abeng membawa Bimbim dan Arifin ke sebuah warung makan. Ia memesan mie kuah p

  • TERSESAT DI SARANDJANA    Hampir Tersesat

    Bab 28Seusai makan, mereka tidak langsung pulang, melainkan memantau kedai Tuan Agong hingga tengah malam. Mungkin sudah qada-Nya dari sang Pencipta .... Sebab menjelang subuh, mereka melihat langsung bagaimana kedai Tuan Agong yang sudah tutup itu didatangi dua orang pria menggunakan mobil mewah berlambang ‘S’ dan tanpa plat nomor kendaraan. Pria yang satu berperawakan tinggi atletis dengan rambut gondrong, sementara satunya lagi cenderung kurus serta memakai kacamata tebal.Nampak pula si Tuan Agong yang keluar lewat pintu samping guna menemui mereka.Segera Koh Abeng meminjamkan teropong pada Bimbim dan Arifin. Ketika lensa teropong di-zoom perbesar, mereka menemukan suatu kemiripan antara Tuan Agong dan kedua tamu tersebut.Ketiganya sama-sama tidak memiliki lekukan di atas bibir. Bagaimana bisa? Rasanya tidak mungkin bila hanya kebetulan."Nah lo?!" Bimbim memekik kaget. Ia melirik Arifin kemudian Koh Abeng. Bermaksud meminta pendapat."Manusia aneh tuh pada," respon Arifin.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status