Share

Jalur Lahar

Bab 5

"Rawan? Emang ini di mana, Kek?" tanya Aldo kebingungan.

"Jalur lahar," jawab si Kakek. "Kalau ada erupsi kecil, lahar dingin biasanya lewat sini."

"Astaga!" Aldo menepuk jidatnya. "Tega bener si penunggu gunung. Kitanya dipindahin ke titik rawan."

"Nang, gimana ini?" Aldo merengek, tak lagi malu pada tubuh jangkung dan kumisnya.

Anang tidak menjawab, ia beralih menatap si Kakek. Anggapan Anang, kalau si Kakek memang terbiasa ke tempat ini, artinya si Kakek tahu jalan pulang agar mereka bisa selamat.

"Ngapunten, Kek. Saya mohon banget, bantu kami menuju jalan pulang," ucap Anang memohon. "Ya kalau memang sini jauh dari jalur Bambangan, sekiranya Kakek tahu jalan keluar yang lain."

Si Kakek menggaruk pelipisnya. Lama kemudian barulah ia terkekeh.

"Kakek mau mancing ke sungai, Le. Bagusnya kalian ikut Kakek aja. Di sungai nanti berjumpa warga yang bisa membantu kalian naik ke pemukiman."

Anang menyikut lengan Aldo. Keduanya lantas berdiskusi singkat. Yang intinya, Anang menjelaskan bahwa sungai adalah pusat aktivitas warga desa, yaitu mandi, mencuci, memancing hingga membuat kebun di pinggir sungai. Orang-orang akan membantu mereka naik ke pemukiman, lalu dicarikan transportasi agar bisa e balik ke Jakarta.

"Kita kalau naik ke pemukiman, kira-kira di daerah mana ya, Do?"

"Setahu gue, gunung Slamet dikelilingi lima kabupaten. Kita kalau gak muncul di Purbalingga, ya pasti di Brebes, Banyumas, Tegal atau Pemalang," jawab Aldo yang lebih senior dalam hal pendakian.

"Intinya selamat dah!" tukas Anang.

Mereka masih berdiskusi manakala si Kakek telah berlalu meninggalkan mereka walaupun belum begitu jauh. Anang dan Aldo lantas terburu-buru mengejarnya.

"Slamet itu artinya selamat," ujar si Kakek saat tahu Anang dan Aldo sudah ada di sisinya. "Jarang orang sampai binasa di gunung ini. Kalau tersesat, nanti juga selamat sesuai nama gunung Slamet."

Anang dan Aldo manggut-manggut. Dalam hati Anang mengaminkan perkataan si Kakek.

Kakek ini bukan sembarang kakek. Walau tubuhnya ringkih, sepasang kaki kurusnya dengan cekatan menuruni areal terjal. Satu tangannya menggapai akar-akar pohon kala berada di kemiringan.

Anang dan Aldo berdecak kagum.

"Kek, kakek sudah sering mancing ke sini? Aldo sengaja bertanya.

Si kakek terkekeh renyah. "Sering datang, Le. Tapi takut-takut juga. Soalnya gak banyak orang tahu lokasi sungai ini. Kadang sungainya ada, kadang gak ada--eh ...." jawabnya keceplosan, tapi segera direm mendadak.

Anang dan Aldo saling pandang. Ada yang janggal dengan pengakuan si Kakek barusan. Katanya di sungai ada banyak warga yang bisa membantu, tapi sekarang malah bilang tidak banyak orang tahu lokasi sungai ini.

'Mana yang bener sih?' gerutu Aldo dalam hati kecilnya.

Beberapa lama kemudian ... usai mengarungi track menurun yang terjal, akhirnya terdengar bunyi gemericik aliran sungai. Hawa sejuk pun mendominasi.

"Nah sudah dekat," ujar si Kakek yang nampak gembira di sela naik turun napasnya.

Mereka beristirahat sejenak di suatu ketinggian yang tidak setinggi track sebelumnya. Dari situ terlihat jelas pemandangan sungai yang begitu jernih, yang sulit ditemukan bila di Jakarta.

Anang dan Aldo mengagumi apa yang memanjakan mata mereka. Tujuan keduanya sama: menikmati alam, dan rasanya sudah lebih dari cukup.

Keduanya belum tahu, bahwa di belakang sana ... ada puluhan hingga ratusan orang lagi bersusah payah mencari keberadaan mereka. Ada orang tua yang menangis dan teman-teman merasa kehilangan.

"Yok turun lagi, Le!" ajak si Kakek setelah tenaganya pulih. "Hati-hati, di bagian sini gak terlalu terjal tapi licin."

"Siap, Kek!"

Dari atas cakrawala, tiga orang ini nampak seperti semut tengah merangkak turun menuju aliran sungai.

***

Di tepi aliran sungai tersebut, si Kakek mulai sibuk memasang umpan cacing ke mata kail. Aldo menyeburkan diri langsung ke sungai dan Anang memilih mandi di tepian.

Coreng moreng dan debuh tanah yang mengotori tubuh keduanya, luruh terbawa air. Anang dan Aldo kini terlihat lebih manusiawi.

Oleh karena belum mengisi perut selama dua hari, mereka lalu menenggak air sungai menggunakan kedua telapak tangan. Si Kakek juga menawarkan ikan hasil pancingannya untuk mereka panggang.

Aldo sengaja menyembunyikan petek milik si Kakek ke dalam kantong celananya, agar berguna di perjalanan selanjutnya.

Seperti tidak makan selama setahun, Anang dan Aldo melahap ikan panggang dengan rakus. Si Kakek hanya terkekeh melihat perilaku dua anak muda itu.

Namun ketika sore menjelang, si Kakek mengingatkan agar keduanya segera melanjutkan perjalanan guna mencari pertolongan.

Anang dan Aldo akhirnya menyusuri aliran sungai yang berkelok-kelok. Makin jauh, jauh, hingga tak terlihat lagi si Kakek yang tadinya memancing di tepi sungai.

Tanpa sepengetahuan mereka, si Kakek mendongak ke arah sebuah tebing di mana sosok sang raja, atau lebih tepatnya perdana menteri tengah berdiri menatapnya.

"Sedikit lagi mereka tiba, Paduka Tuan Agong!" teriak si Kakek bersaing dengan bunyi arus sungai.

Yang diteriaki hanya mengangguk, aura wibawanya terpancar sempurna.

***

"Bimbim sama Arifin pasti shock gak nemu kita di dalam tenda," ucap Anang di tengah perjalanan. "Mereka pasti lagi nyari kita saat ini."

"Ya makanya buruan, Nang. Kalau uda ketemu pemukiman, kita kudu kirim kabar kalau kita selamat."

Anang mengiyakan. Mereka lalu fokus mengikuti aliran sungai, berkilo-kilometer jauhnya, hingga hari menjemput malam.

Sejauh itu, mereka belum menemukan aktivitas manusia di sungai itu. Tidak ada orang yang turun ke sungai, tidak ada kebun, tidak ada pula tanda-tanda pemukiman di dekat sungai yang mana biasanya akan terdengar hewan peliharaan warga seperti gonggongan anjing, auman sapi, kambing dan unggas.

Tungkai kaki begitu lelah dan cahaya senter sudah berkurang terangnya. Anang dan Aldo terpaksa berhenti untuk beristirahat.

Sebagai anak orang berada yang jarang bertemu susah, di titik itu Anang Syah berurai air mata. Dia memikirkan betapa nahasnya tidur cuma beralas tanah dan beratapkan langit. Manalagi tak ada sejumput makanan, lengkaplah penderitaan.

Anang terus memikirkan sampai dia tertidur dengan buntalan dedaunan sebagai ganti bantal kepala.

Sementara Aldo yang lebih dulu tidur, terbangun di jam rawan oleh karena perutnya keroncongan.

Aldo bangkit lantas duduk, ia meraba-raba kantong celana dan mendapati petek milik si Kakek masih ada. Terbayang olehnya, bagaimana bila memanggang ikan sekali lagi.

Aldo lalu mengendap-endap menuju sungai, ia tidak ingin mengusik tidur Anang yang belum lama itu.

Betapa terkejutnya Aldo manakala berada di badan sungai. Dilihatnya ikan-ikan berukuran besar bermain bebas dan nampak sangat jinak.

Tidak ada kail atau apa pun yang bisa dipakai untuk mengambil ikan-ikan itu. Aldo lalu mencoba berenang agar bisa menangkap langsung dengan tangannya.

Ajaib! Ikan-ikan sangat manut saat ditangkap oleh Aldo. Begitu mudahnya, antara percaya dan tidak. Aldo dibuat terheran-heran.

Melihat ukuran ikan yang sangat besar, Aldo lalu menangkap hanya dua ekor. Pikirnya, satu untuk Anang dan satu lagi untuk dirinya.

Ia terkekeh senang. Dibopongnya dua ekor ikan ke darat lantas mulai mengumpul kayu bakar. Aldo memanggang agak jauh dari tempat Anang berbaring.

Pagi harinya saat Anang bangun, ia mencari-cari dari mana aroma ikan panggang berasal. Dilihatnya Aldo melambaikan tangan ke arahnya, anak itu rupanya yang memanggang ikan.

Anang tercengang mendapati betapa besarnya ikan yang tengah dipanggang Aldo. Bentuknya pun agak berbeda dengan ikan yang selama ini mereka tahu.

Anang berlari ke arah sungai, ia ingin cross-check, apakah benar dua ikan besar itu didapati Aldo dari sungai.

Lagi, Anang dibuat tercengang. Dilihatnya ada banyak ikan besar berbentuk aneh bermain dengan jinaknya di tengah arus sungai yang jernih.

Tak sampai di situ. Anang juga melihat tanaman umbi jalar yang merambat subur sepanjang pinggiran sungai. Saking subur, umbi-umbinya menonjol keluar tanah.

Anang mendekat untuk menggali dengan tangan kosong. Ia berdecak takjub sebab sama sekali tidak sulit menarik umbi jalar keluar dari tanah yang bertekstur lembut.

Umbi jalar itu sangat besar, kira-kira 20 kg beratnya. Dengan kewalahan, Anang membawanya pada Aldo yang baru selesai memanggang ikan.

Sejenak tertegun, Aldo akhirnya membantu Anang membakar umbi itu di atas bara api yang masih segar. Semakin matang, semakin wangi aroma umbi jalar.

Diberkahi ikan dan umbi jalar yang besar, Aldo dan Anang kehabisan kata-kata.

"Do, kayaknya kita berada di Firdaus? Coba lo amati sekitar kita. Makin ke sini, lingkungan makin hijau, bersih, subur!" ucap Anang serasa hilang akal.

"Firdaus apaan sih?"

"Firdaus itu kata lain untuk taman surga!" jawab Anang polos. "Situasi ini mirip di surga loh. Mirip gambaran surga yang dikisahkan dalam buku-buku agama."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status