Share

Kakek

Bab 4

Setelah Bimbim dan Arifin melanjutkan pendakian ke puncak, Anang dan Aldo segera menggelar tenda lalu tidur di dalamnya.

Saking lelahnya, mereka tertidur pulas hingga siang hari. Kelopak mata mereka begitu berat dan sulit dibuka.

Keduanya baru mampu membuka mata manakala matahari berada tegak lurus sehingga langsung menyinari wajah mereka.

Saat terbangun, Anang dan Aldo dibuat kelabakan. Sebab mereka bukan lagi berada di dalam tenda. Melainkan di tanah lapang, di mana langit siang terpampang nyata tanpa halau pepohonan.

"Lho, Nang. Kita di mana?" tanya Aldo mengernyit heran. Ia meraba-raba tanah tempat mereka tertidur pulas semalaman. Hanya ada senter milik Anang yang ikut berpindah ke tempat itu.

Anang mengendikkan bahu. Pandangannya menyapu area sekitar. "Kita dikerjai penunggu gunung, Do! Kita dipindahin saat tidur."

"Astaga!!" Aldo menjitak jidatnya. "Buruan, Nang. Buruan balik ke pos tujuh, Bimbim sama Arifin pasti mencari kita di sana."

"Betul, Do. Cepetan balik," sambung Anang seraya memungut senternya lantas bangkit berdiri.

Keduanya mencari-cari letak pos tujuh, di mana tenda mereka terpatok semalam.

Beberapa menit kemudian, barulah mereka sadar ... bahwa penunggu gunung telah memindahkan mereka sangat jauh dari pos tujuh.

Anang dan Aldo kesulitan menemukan jalur yang biasa dilewati para pendaki. Atau setidaknya jejak langkah manusia, pun tidak ada.

Keduanya mulai panik. Bingung sedang berada di titik mana dari gunung Slamet yang begitu luas. Tak ayal pertengkaran kecil pun terjadi, Anang ingin mendaki sedangkan Aldo ingin menurun.

"Pos tujuh adanya di atas," seloroh Anang.

"Gak! Pos tujuh masih di bawah sana!"

"Ya ampun, kalau kek gini caranya yang ada kita makin tersesat!" keluh Anang yang tanpa sadar merogoh saku celana dan mengeluarkan kompas.

"Lha tuh ada kompas, Nang. Cepetan dicoba!" pekik Aldo gembira.

Anang manggut-manggut. Sebenarnya dia kurang paham cara menggunakan kompas, tapi sang Kakak sempat mengajarinya beberapa waktu lalu.

Anang lalu meletakkan benda bulat tersebut di atas kedua telapak tangannya membidang datar. Seketika jarum kompas berputar cepat. Anang dan Aldo menunggu sampai nanti jarumnya berhenti agar bisa mengetahui posisi mereka saat ini.

Namun setelah ditunggu-tunggu, jarum kompas tak kunjung berhenti. Malah berputar makin tak karuan, mirip jarum kerasukan ruh jahat.

Anang mencobanya berkali-kali. Diulang lagi dan lagi. Tetap saja jarum kompas tak mau berhenti. Dengan kesal, Anang membanting kompas itu ke tanah. Ia juga menginjaknya hingga rusak.

Aldo hanya memperhatikan tanpa bisa berkata-kata. Pada saat yang hampir bersamaan, terdengar tawa cekikan dari atas pepohonan. Mirip tawa kuntilanak.

Kikikikik ... kikikikikk ... kikikikikkk ....

Anang dan Aldo lari berhamburan. Berlari menuju track turun yang mengakibatkan keduanya terseret jatuh, alias menggelinding ke bawah sana hingga mentok di akar-akar pohon.

Kepala Anang dan Aldo sangat pusing manakala mencoba bangkit. Mereka bertubrukan lalu terduduk jatuh ke tanah. Setelah beberapa saat barulah penglihatan mereka kembali normal.

Sekujur tubuh mereka telah coreng moreng. Namun itu bukanlah masalah serius, ada hal lain yang membuat mereka lebih takut lagi.

Anang dan Aldo tak mendengar suara binatang hutan, entah kicauan burung atau suara monyet, semua itu lenyap tak bersisa.

Satu-satunya yang tersisa ialah dengung di telinga mereka. Dengung memekakkan gendang. Seperti ada pusaran pasir dengan signal asing dari dimensi lain.

Dengung itu kian menjadi-jadi, hingga di satu titik berhenti dengan sendirinya. Anang dan Aldo menurunkan kedua belah tangan mereka yang sedari tadi menempel di pohon telinga masing-masing.

"Do, bangun, Do. Kita cari lagi jalur pendakian, moga segera bertemu Bimbim dan Arifin," ajak Anang yang kini berdiri. Tangannya sibuk membersihkan kotoran di sekujur tubuh.

Aldo dibantu untuk berdiri. Keduanya tidak lagi berdebat. Aldo mengikuti ke mana saja Anang melangkah. Namun keduanya masih terus memantau situasi sekitar, yakni ke mana lenyapnya suara binatang hutan.

Muncul kekuatiran, jangan sampai mereka telah tersesat ke dimensi lain.

Seharian penuh keduanya mencari jalur pendakian, berharap bisa kembali ke pos tujuh. Akan tetapi hingga menjelang magrib, mereka hanya berputar-putar di lokasi yang sama.

Aldo dan Anang merasa sedih. Mana lagi tidak ada makanan. Semuanya tertinggal di pos tujuh, termasuk tas carrier mereka.

Andai senter bisa dimakan, maka hanya senter yang dimiliki saat itu.

Magrib berubah jadi malam dan malam dengan segala misterinya. Bermodalkan senter, Anang dan Aldo terus mencari jalur pendakian, sesekali mereka berteriak meminta pertolongan. Namun tak ada sahutan balik.

Ketika pagi menjelang, mereka memilih beristirahat di bawah batang sebuah pohon besar. Lambung Aldo terasa perih, dua hari belum terisi makanan, bahkan air sekalipun. Sementara Anang masih bisa bertahan dengan fisiknya yang kuat.

"Nang, tenaga kita bisa tamat kalau lanjut," keluh Aldo. "Bisa mati kita."

Anang termenung. Ia mulai memikirkan cara lain agar mereka bisa selamat.

"Tetap di sini aja, Do. Gausah ke mana-mana," ujar Anang tiba-tiba. "Kalau kita gak menemukan orang lain, maka orang lain yang akan menemukan kita di sini!"

Aldo melongo. "Lu yakin, Nang?"

Anang menganguk pasrah. Ia menyandarkan bahu ke batang pohon dan memejamkan mata. Sementara Aldo tetap terjaga, sesekali ia menatap langit dan memperhatikan situasi sekitar.

Sebagai ganti makanan, keduanya hanya meneguk liur terus menerus agar lambung terisi. Dedaunan yang ada di sekitar rupanya tidak layak untuk dimakan dan mereka paham itu.

***

Ketika rembang tengah hari, Aldo membangunkan Anang yang tengah tertidur oleh karena mendengar suara gemerasak dedaunan kering yang terinjak langkah manusia.

"Nang, ada orang datang. Bangun, Nang!!" Aldo menepuk-nepuk pundak Anang.

Awalnya Anang tidak menggubris. Namun setelah ia mendengar sendiri suara langkah yang semakin dekat, ia akhirnya terkesiap.

Aldo dan Anang lantas tiarap layaknya tentara angkatan darat. Mereka waspada bila yang datang itu adalah binatang buas.

Ternyata mereka salah besar. Sebab setelah itu terdengar suara Kakek-kakek bernyanyi nan lembut, yang mana begitu menikmati nyanyiannya sendiri.

"Sewu kuto uwis tak liwati ... sewu ati tak takoni ... nanging kabeh, podo rangerteni. Lungamu ... neng endi. Pirang tahun anggonku nggoleki ...."

Aldo dan Anang membuang napas penuh kelegaan. Potongan lagu milik legendaris Didi Kempot, artinya Kakek itu sama-sama berasal dari alam manusia. Dengan kata lain, mereka berdua tidak tersesat ke dimensi gaib.

"Kek ...." panggil Aldo seakan menemukan Kakeknya sendiri.

"Ya, Allah!!"

Si kakek terperanjat kaget bukan main. Dua batang kail bambu terhempas dari genggamannya. Dilebarkan pupil matanya selebar-lebarnya, memastikan siapakah dua onggok pemuda yang sedang berjongkok tak jauh darinya.

Aldo dan Anang langsung bangkit berdiri. Mereka kemudian bertatap-tatapan dengan si Kakek.

Anang mengelus dada karena lubang hidung si Kakek cuma dua. Bukan tiga lubang hidung seperti yang dimiliki makhluk yang ditemuinya di alam gaib.

"Thole, gimana kalian bisa ada di sini?" tanya si Kakek memecah keheningan yang sempat tercipta.

Aldo lalu menutur bahwa mereka berdua adalah pendaki yang dikerjai oleh penunggu gunung sewaktu berada di pos tujuh.

"Lha tersesatnya kok sampai di sini, Le?" Si Kakek kembali bertanya. "Ini kawasan rawan loh!"

Pengakuan si Kakek membuat Aldo dan Anang terhenyak di tempat mereka berdiri. Sementara si Kakek terlihat memungut dua kail bambu yang tadi terlepas dari genggamannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status