Share

Hilang di Pos Tujuh

Bab 3

"Kalimantan?!" ketus mereka hampir bersamaan.

"Halah kalian percaya sama orang itu? Anang mau dibawa ke Kalimantan katanya?!" Aldo menengahi suasana yang sempat tegang. "Emang bisa dari Jawa Tengah nembus ke Kalimantan? Hahaha ...." Berderai tawa si Aldo.

Yang lain ikutan tertawa. Tak terkecuali Anang. Mungkin itu adalah hal terbodoh yang pernah mereka dengar seumur hidup.

Namun jauh di sudut hatinya, Anang bertanya-tanya apa maksud pria tadi berkata demikian. Bukan tidak beralasan. Sebab ayah Anang memang berasal dari Kalimantan. Tepatnya Banjarmasin, Kalimantan Selatan.

Ayah Anang digadang-gadang masih keturunan bangsawan dengan marga 'Syah'. Itulah yang membuat nama lengkap Anang menjadi Anang Syah.

Usai menikmati rokok, Bimbim mengajak melanjutkan pendakian menuju pos tujuh. Saat itu, matahari mulai tenggelam, alias memasuki waktu sorop. Atau yang kita kenal dengan Maghrib.

Masing-masing senter dinyalakan. Senter milik Anang yang paling terang dan paling jauh jangkauan sorotnya. Sebab itu adalah senter berstandar militer, milik Abang Anang yang notabene seorang TNI AD.

Mereka terus menanjak. Di fase itu masing-masing sudah menggunakan trekking pole yaitu tongkat khusus yang menopang pendakian.

Namun sesaat kemudian, hal mistis kembali terjadi. Cahaya senter mereka menangkap bayangan hitam yang berlari cepat dari pohon ke pohon.

Bimbim mewanti-wanti agar semuanya tidak terkecoh dan tetap fokus ke arah depan. Sementara Arifin terdengar melantunkan ayat-ayat suci.

Bayangan hitam itu akhirnya lenyap. Mereka pun bernapas legah.

Urung membuang waktu, mereka mempercepat langkah, mumpung pos tujuh sudah dekat.

Harapan tak seindah kenyataan. Baru saja menginjak pos tujuh, Anang jatuh terpekur ke tanah sembari berteriak. Sontak Bimbim, Arifin dan Aldo berkerumun untuk membantu.

Mereka yakin bahwa Anang kecapaian karena memaksakan diri. Jalur langsung memang jarang diambil para pendaki karena track-nya yang tajam. Kebanyakan pendaki lebih memilih jalur kanan meski durasinya lebih lama.

Namun, karena Anang masih berteriak dengan mengatakan bahwa kedua bahunya sangat berat, maka yang lain dibuat bingung.

Bimbim berjongkok lalu memijat-mijat sekujur punggung Anang. Hal itu tidak juga membantu.

Anang masih kesakitan. Ia mengatakan bahwa ada sosok gaib bertengger di kedua pundaknya.

"Seperti apa rupa sosok itu?" tanya Bimbim.

"Gak tahu. Gak bisa lihat. Gaib dia!" pekik Anang.

Bimbim, Arifin dan Aldo bingung bagaimana caranya menyingkirkan sosok gaib tersebut. Sebab mereka tak melihat apa-apa kecuali tas carrier yang ditanggalkan barusan.

Sebagai pribadi yang peka, Arifin berinisiatif untuk berdoa. Ia menyentuh kedua pundak Anang, lantas dengan khusyuk merapal doa.

Saat berdoa itulah, Anang akhirnya bisa melihat sosok yang membebani pundaknya. Yakni sepasang kaki emas yang bercahaya. Berkilau, sampai-sampai mata Anang tak kuasa menatap lebih lama.

Pada kedua punggung kaki emas itu, tumbuh jari jemari yang tumpang tindih antara satu dan lainnya.

Ukurannya lumayan besar. Setidaknya cukup untuk membuat Anang mengerang kesakitan.

Di penutup doa, Arifin menghentak kedua telapak tangannya tepat di atas pundak Anang. Seketika, kedua kaki emas lenyap tak bersisa.

Anang melenguh penuh kelegaan. Ia segera membaringkan diri di atas sleeping bag yang disiapkan Aldo.

Bimbim hanya mengamati dalam diam. Sebenarnya dia sedang mati-matian menahan kesal di dada. Menyesal telah mengajak Anang dalam pendakian ini. Hanya bikin sial. Bila anak itu tidak pingsan selama dua hari, tentu mereka sudah berada di gunung Semeru saat ini.

"Alhamdulillah seenggaknya kita uda di pos tujuh," ucap Arifin ketika Anang beristirahat sejenak.

"Bentar lagi nyampe puncak," timpal Aldo.

Bimbim tak ikut bicara. Dia sedang mempelajari situasi sembari menyiapkan kata-kata pedas apa yang pantas untuk Anang.

Manakala kondisi Anang membaik dan ia berkata bahwa siap melanjutkan pendakian hingga ke puncak, pada saat itulah Bimbim memberi skakmat.

"Elo gak usah ke puncak! Bikin sial tahu gak?!"

Anang terhenyak.

"Gara-gara elo makanya kita kelamaan di sini. Dua hari Lo pingsan, gak tahu diri banget jadi orang!"

Arifin dan Aldo merasa iba pada Anang. Namun mereka pun tak berani memotong kemarahan Bimbim. Takutnya malah makin meledak.

"Lo sama Aldo mending tetap di pos tujuh ini. Gue sama Arifin yang bakal ke puncak. Lagian kalian berdua yang akrab satu sama lain."

Anang masih tak menjawab. Sempat berkecil hati, Anang lalu menganggap kalau kemarahan Bimbim, sesungguhnya demi kebaikan dan keselamatannya.

"Inget baik-baik, kalian jangan ke mana-mana. Tunggu sampai aku sama Arifin kembali," ujar Bimbim memberi ultimatum.

Tanpa menunggu lama, Bimbim dan Arifin pun bergegas meninggalkan pos tujuh. Meninggalkan Aldo dan Anang dalam kondisi wajah yang semerawut. Merasa bersalah.

***

Sekitar pukul 05.00 jelang pagi, Bimbim dan Arifin akhirnya tiba di puncak gunung Slamet.

Cakrawala di puncak sudah terang benderang di jam seperti itu. Banyak pendaki dari berbagai jalur sudah berkumpul.

Ada yang menggelar tenda sejak malam. Ada yang sibuk berfoto-foto. Ada pula yang cuman duduk atau berdiri menikmati puncak Slamet.

Bimbim dan Arifin merasa lapar, tapi logistik adanya di tas carrier si Aldo. Satu-satunya yang tersisa ialah coklat Silverqueen di jaket Arifin.

Keduanya lantas berbagi potekan coklat. Mengunyah sembari duduk menikmati pemandangan puncak. Angin di titik itu berhembus lumayan kencang, menerpa wajah Bimbim dan Arifin.

Tak jauh dari mereka, baru saja tiba kelompok pendaki lain yang sudah dikenali Bimbim di pendakian sebelumnya.

Mereka menyapa duluan. Menawar Bimbim dan Arifin untuk bergabung minum kopi bersama.

Tawa berderai ketika Bimbim dan Arifin duduk di antara mereka. Obrolan ngalor-ngidul membuat semakin akrab. Apalagi ditemani secangkir kopi panas.

Di sela-sela obrolan itu, tak sengaja Bimbim melihat sebuah penampakan.

Ia melihat seorang pria dengan wajah bercahaya, duduk sendirian hampir menyentuh tepian puncak Slamet. Dia berpakaian mirip seorang raja, entah dari abad ke berapa.

Yang membuat Bimbim terperangah ... pria itu sangat mirip dengan Anang. Mulai dari bentuk kepala hingga tubuh yang kekar.

Bimbim yakin bahwa itu bukanlah Anang. Sekiranya benar, maka dari mana Anang mendapatkan set pakaian mirip raja? Lagian Anang dan Aldo disuruh menunggu di pos tujuh.

Tiba-tiba Bimbim dilanda rasa kuatir. Entah mengapa, ia curiga kalau Anang sedang tidak baik-baik saja di pos tujuh.

Meski sebelumnya sempat kesal pada Anang, sekarang Bimbim malah iba telah meninggalkan anak itu di pos tujuh.

"Friends, gue sama Arifin turun duluan ya," ujarnya lalu bangkit berdiri. Dibersihkannya kotoran yang menempel di bokong celana.

"Kok buru-buru, Bim?" tanya Arifin.

"Lo ikut aja. Firasat gue gak bagus."

"Oh oke, oke."

Kelompok pendaki itu hanya berpesan agar Bimbim dan Arifin berhati-hati di track turun.

"Kalau ada apa-apa, kabarin ya, Bim!" teriak salah satunya.

Bimbim membalas dengan mengacungkan jempol.

Namun ketika memalingkan wajah, Bimbim mendapati sosok raja sudah lenyap.

Bimbim segera menarik lengan Arifin agar cepat-cepat turun.

Mereka akhirnya tiba di pos tujuh saat mentari pagi menyengat di puncak Slamet. Para pendaki pun mulai meninggalkan area puncak.

Apa yang dikuatirkan Bimbim menjadi kenyataan. Anang dan Aldo tak ditemukan di pos tujuh.

Tenda masih terpasang. Bahkan tas carrier dan segala peralatan masih lengkap di dalamnya. Entah ke mana kedua pria itu pergi.

Bimbim dan Arifin segera mencari ke segala arah yang mungkin dilalui keduanya. Mereka juga meminta bantuan pendaki lain.

Namun hingga malam bertemu malam, Anang dan Aldo tak kunjung ditemukan.

Petugas basecamp mengajak warga untuk turut serta mencari. Mereka menyisir semua jalur yang sekiranya membuat Anang dan Aldo tersesat.

Setelah satu minggu pencarian dan belum membuahkan hasil, mereka lalu melapor ke pihak keluarga.

Betapa shock-nya Ayah dan Ibu Anang. Terlebih-lebih si Ibu yang sudah punya firasat saat Anang meminta ijin dulu.

Abang Anang menurunkan ratusan personel tentara untuk menyisir seantero area gunung Slamet. Mulai dari anjing pelacak hingga helikopter dikerahkan.

Satu-satunya yang berhasil ditemukan ialah kompas milik Anang. Kompas itu sudah rusak. Kemungkinan besar dibanting Anang karena kesal kehilangan arah.

Tiga bulan pencarian ... Anang dan Aldo terpaksa dinyatakan sebagai orang hilang. Berita pun tersiar di siaran-siaran televisi.

Pemerintah setempat membuat dua tugu kecil di pos tujuh tersebut. Tugu memoriam akan pendaki yang hilang ... bernama Anang Syah dan Aldo Saputra.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status