TETANGGA BARU (1)
****Kusimpan sisir di atas meja rias, setelah selesai merapikan rambut panjangku. Lantas kulirik benda pipih yang juga tergeletak di atas meja ini. Kuraih dan kuusap layarnya. Ternyata masih sama. Masih tidak ada pesan balasan dari suamiku.Ini sudah masuk hari ke lima, suamiku di luar kota. Mengontrol proyek pembangunan cabang toserba milik kami. Biasanya, dia tidak pernah mengabaikan pesanku. Sesibuk apa pun dirinya. Dia pasti selalu menyempatkan untuk memberitahuku keadaannya. Makanya aku sangat khawatir pagi ini. Karena tidak mendapatkan kabar darinya.Seharian kemarin aku sibuk di toko pusat. Tidak sempat memegang ponsel. Dan malam harinya, saat aku sudah ada waktu. Berbalik nomor suamiku yang tidak bisa dihubungi.Kuhembus napas kasar. Mengurai rasa kecewa karena suamiku tak kunjung memberi kabar.Lekas aku beranjak dari meja rias. Keluar dari kamarku dan menuruni anak tangga. Hingga tiba di lantai bawah. Aku pun bergegas ke dapur. Lekas membuat bubur kacang hijau.Menunggu bubur kacang hijau itu matang. Aku melipir ke halaman luar. Setibanya di halaman. Kubersihkan taman kecil serta halamannya yang sedikit kotor karena sisa-sisa hujan semalam.Beginilah aktivitasku. Di rumah dua lantai ini, tidak ada ART. Aku mengerjakan dan menghendel semuanya sendiri.Karena di rumah ini. Rumah yang sudah enam tahun aku dan suamiku tempati. Penghuninya masih hanya kami berdua. Karena kami belum memiliki keturunan di usia pernikahan yang sudah enam tahun ini.Selesai berkutat di halaman. Setelah halaman dan taman kecilnya juga bersih. Aku membasuh tanganku di kran air. Beranjak masuk kembali ke dalam rumah dan menuju dapur.Mengecek bubur kacang hijau buatanku yang memang sudah matang. Mengaduknya sebentar hingga wanginya tercium sempurna.Setelah kupastikan matang. Lekas aku menuangkannya pada mangkuk. Bukan tanpa sebab, aku membuat bubur kacang hijau pagi hari ini.Kemarin, saat pagi hari aku keluar dari rumah hendak menuju toserba pusat. Aku bertemu Mang Darma. Tukang bersih-bersih serta tukang kebun yang biasa bekerja di komplek perumahan ini.Mang Darma berpapasan denganku begitu aku keluar dari rumah. Sedang Mang Darma, baru saja keluar dari rumah sebelah.Rumah yang telah kosong setahun lamanya. Dan kemarin, Mang Darma mengabarkan, bahwa aku akan memiliki tetangga baru mulai hari kemarin.Sayang, kemarin aku sangat sibuk mengurus toserba pusat. Sehingga, aku baru pulang ke rumah malam hari, disertai hujan yang turun.Jadilah, aku baru bisa mengunjungi tetangga baruku hari ini. Kebetulan, pintu pagar putih rumah yang hendak aku kunjungi, telah terbuka. Sementara gerbangnya, masih membentang.Aku melesak. Melewati pagar dan menyusuri halaman hingga tiba di depan pintu rumah.Tok tok tok!"Assalamu'alaikum," ucapku setelah mengetuk pintu. Entah kenapa, di rumah ini masih belum ada bel. Sejak masih dihuni pemiliknya yang lama, rumah ini masih belum dipasangi, bahkan hingga telah berganti pemilik seperti sekarang.Tok tok tok!Kuketuk sekali lagi. Karena pintu tak kunjung dibuka. Apa aku datang terlalu pagi ya?"Assalamu'alaikum," ucapku sekali lagi."Iyaaa. Wa'alaikumsalam!"Terdengar jawaban dari dalam. Tak lama, pintu pun terbuka. Pemilik rumah, membuka pintunya lebar-lebar. Memunculkan sesosok wanita yang masih dalam balutan piyama tidur berbahan satin lengan pendek.Kulitnya sawo matang dengan rambut pendek sebahu. Rambutnya terlihat kusut masai. Air mukanya menekuk. Seperti orang kurang tidur.Namun, garis wajahnya tegas dengan lehernya yang jenjang.Kutaksir, usia kami sama. Aku mengulurkan tangan cepat."Hai … kenalin, aku Jihan. Tetangga samping rumah," ucapku memperkenalkan diri. Sambil mengarahkan kepalaku ke arah rumah yang kutempati.Perempuan di hadapanku ini seperti kaget. Mulutnya sedikit terbuka. Sebelum akhirnya, menerima uluran tangan dariku. "Ha—ha—hai … aku … Yolanda. Senang berkenalan dengan Mba," sahutnya dengan kepala terangguk.Aku balas tersenyum dan mengurai jabatan tangan kami. Kuangsurkan mangkuk berisi bubur kacang hijau ke hadapan perempuan bernama Yolanda ini. "Ada sedikit makanan, tanda perkenalan kita sebagai tetangga," ucapku."Eh … aduh makasih. Jadi bikin Mba Jihan repot," balasnya sungkan.Aku menggeleng. "Ah, nggak kok. Hanya bubur kacang hijau. Mudah-mudahan, Mba Yolanda suka," harapku.Yolanda mengganguk. "Panggil aku Yolan saja, Mba. Pasti aku suka buburnya. Oh ya, masuk, Mba Jihan, silahkan. Sampai lupa buat nyuruh masuk," ajaknya.Aku mengangguk setuju. Lalu mengekor langkah Mba Yolan masuk ke dalam rumahnya.Satu tahun lamanya. Sekarang pertama kalinya aku menginjak kembali rumah ini. Kuhempaskan bobot di sofa ruang depan. Setelah Mba Yolan mempersilahkanku untuk duduk. Sedangkan ia melangkah menuju arah dapur membawa mangkuk berisi bubur pemberianku.Ku amati keadaan rumah ini. Tidak ada yang berbeda. Semua masih sama. Seperti saat aku sering bolak balik menemui pemilik lama rumah ini, satu tahun sebelum rumah ini kosong.Nuansa monochrome masih mendominasi rumah ini. Sofa hitam empuk. Rak partisi hitam putih. Jam dinding. Gorden. Lukisan dindingnya. Semua masih sama. Tidak ada yang berubah barang sedikit saja. Kemungkinan, pemilik rumah terdahulu, menjual rumah beserta seluruh isinya.Fokus mengamati. Telingaku kemudian mendengar suara tangisan bayi. Sigap aku berdiri. Lalu melangkah mencari sumber suara.Kulewati rak partisi hitam putih, sekat antara ruangan depan dengan ruang televisi. Suara tangisan semakin jelas.Kembali aku melangkah. Melewati ruangan televisi. Mba Yolan keluar dari arah pintu kamar, tengah menimang bayi. Menepuk-nepuknya untuk meredakan tangis sang bayi."Mba Jihan, maap belum aku buatkan minum. Keburu anakku nangis," ungkapnya. Setelah menutup pintu kamar di belakangnya."Ah, santai ajalah, Mba. Gak usah repot-repot. Ini anak Mba?" tanyaku setelah kami berada di ruangan televisi. Duduk bersisian di sofa panjang."Iya, Mba, ini anakku."Aku manggut-manggut. "Lucu banget. Siapa namanya?" tanyaku gemas. Pada bayi dalam pangkuan Mba Yolan."Arsenio, Mba."Aku tersenyum mendengarnya. "Nama yang indah," sahutku. Kubelai lembut pipi Arsen yang sangat chubby."Berapa usianya?" tanyaku lagi."Baru tiga bulan, Mba."Aku mengangguk. "Boleh aku gendong nggak?" tanyaku hati-hati.Mba Yolan menoleh. Tanpa suara, ia mengangguk pelan. Lalu memindahkan Arsen ke pangkuanku.Aku menyambutnya dengan gembira dan hati-hati. Ada perasaan hangat yang menjalar, saat sedekat ini dengan Arsen.Melihat Arsen betah dalam pangkuan ini. Aku berinisiatif menyuruh Mba Yolan jika ingin mandi. Sepertinya, Mba Yolan tinggal berdua saja dengan Arsen. Karena aku belum menemukan sosok suaminya sejak datang dari tadi.Mba Yolan akhirnya setuju. Dia beranjak dan meninggalkanku berdua bersama bayinya.Tak henti aku menggodanya. Mengajaknya bicara meski ia belum mengerti apa yang aku bicarakan. Dia hanya merespon dengan senyuman dan kadang tertawa kecil.Waktu berlalu tanpa terasa. Sudah hampir satu jam aku di rumah tetangga baruku ini. Akhirnya aku pamit, setelah menyerahkan Arsen yang terlelap saat aku menimang-nimangnya.Aku pun keluar dari rumah Mba Yolan. Melewati pintu pagarnya dan berjalan menuju rumahku.Aku tertegun. Ketika melihat mobil suamiku sudah terparkir sempurna di depan rumah. Ku gelengkan kepala. Terlalu asyik bersama Arsen. Membuatku sampai tak mendengar deru mesin mobil suamiku ketika datang.Ku langkahkan kaki lebar-lebar masuk ke dalam rumah. "Mas?" seruku ketika belum mendapati sosoknya.Melewati ruangan depan lalu ruang televisi. Hingga punggung tegapnya, aku dapati di meja makan sana."Mas!" seruku sambil berlari menghampirinya. Suamiku beranjak dari duduknya. Dia berdiri merentangkan kedua tangannya. Meyambut kedatanganku dan aku menjatuhkan diriku dalam dekapannya. Dia memelukku erat, aku pun sama.Tidak bertemu lima hari saja, sudah seperti satu bulan. Karena begitulah aku, yang sangat mencintainya.Puas berpelukan. Puas melepaskan rasa rindu. Kami mengurai pelukan. Namun, kedua tanganku masih digenggamnya erat."Mas ke mana aja kemarin? Kok ga ada ngabarin aku, sih?" tanyaku merajuk.Suami di hadapanku ini mengacak puncak kepalaku. "Kemarin mas lelah, Dek. Mas gak sempat lihat hp. Sibuk urus proyek kita. Maap yaa," tuturnya.Aku mengangguk dengan bibir mengerucut. Suamiku lantas memintaku agar duduk di kursi sebelahnya."Udah jangan cemberut. Mas ada hadiah. Adek tutup mata dulu, jangan ngintip," pintanya. Entah dia tengah merayu atau apa. Tetapi aku menuruti permintaannya itu. Aku menutup mata. Dengan kedua telapak tangan."Sekarang buka!" titahnya setelah beberapa saat aku menutup mataku.Pelan, kujauhkan kedua telapak tangan. Hingga mataku, menangkap kotak persegi panjang. Dibalut beludru merah marun di depanku."Apa ini, Mas?" tanyaku sedikit kaget.Suamiku menyerahkan kotak tersebut padaku. "Bukalah!" serunya. Setelah kotak itu berpindah tangan.Lekas kubuka. Sehingga terpampang sebuah kalung berlian di dalam kotaknya. Aku menutup mulut tak percaya. "Ini buatku?" tanyaku setelah berhasil menguasai diri.Suamiku mengangguk. "Happy Anniversary ke enam tahun, istriku yang cantik."Sejurus kemudian. Setelah ucapan selamat itu terlontar. Aku menatap suamiku. Aku tersenyum padanya. "Happy Anniversary juga, Mas. Terima kasih hadiahnya. Bagus sekali," balasku antusias."Sama-sama. Sini, biar mas pakaikan," usulnya. Aku setuju. Lekas berbalik badan, dan suamiku mulai memasangkan kalung berlian dengan liontin bentuk hati di leherku.Selesai dipasang, aku tak henti menatap takjub pada liontinnya. Suamiku memang selalu penuh kejutan. Selama ini, dia tidak pernah lupa memperingati hari jadi pernikahan. Kadang ia mengadakan dinner romantis. Atau juga jalan-jalan ke luar negeri. Untuk merayakan hari jadi pernikahan kami.Dia romantis. Dia memang suami terbaik. Dia sabar dan penuh pengertian. Aku sangat mencintainya.Adrian Fahreza, laki-laki yang sudah bersamaku. Enam tahun lamanya dalam mahligai janji suci pernikahan."Dek, mas lapar. Adek belum masak? Atau nggak, bikin omelette?" tanya Mas Adrian.Aku tersenyum bersalah. "He he. Maap, Mas. Aku emang belum masak. Tadi aku malah bikin bubur kacang hijau. Mas makan bubur kacang dulu aja, mau gak?" tawarku.Dengan bibir terkatup. Mas Adrian mengangguk. "Boleh. Tapi nanti Adek masak 'kan?""Iya, nanti aku masak. Sekarang, Mas makan bubur kacang ini dulu," sahutku. Seraya menyendok bubur kacang dalam panci kecil, ke dalam mangkuk. Lalu menghidangkannya untuk Mas Adrian."Oh iya, Adek ke mana aja tadi? Mas pulang kok nggak disambut sih?" tanya Mas Adrian, di sela-sela suapannya."Ohhh, itu. Iya aku habis dari rumah sebelah, Mas. Sekarang 'kan rumah itu udah ada yang beli. Udah ditempatin juga. Aku ke sana tadinya nggak akan lama, tapi keasyikan main sama bayi di rumah itu. Jadinya kelamaan balik ke sini," paparku pada Mas Adrian."Oh ya? Jadi rumah itu udah laku?"Aku mengangguk. "Iya, Mas. Makanya aku bikinin bubur kacang, buat aku kirim ke sana. Sebenernya rumah itu udah diisi dari kemarin pagi. Tapi kemarin 'kan aku sibuk di toko pusat. Pulang pas malemnya. Jadi baru bisa nemuin tetangga baru kita ya pagi ini."Mas Adrian nampak manggut-manggut. Sambil terus menyuapkan bubur kacang buatanku."Ohhh, gitu. Emang siapa yang ngisi rumah sebelah?""Perempuan sama anak bayinya. Namanya Yolanda, sama anaknya namanya Arsenio.""UHUUKKKK!!"Mas Adrian tiba-tiba terbatuk. Saat aku menyebutkan tetangga baru kami.*****Ikuti ceritanya yuk kak😁TETANGGA BARU_48 || TAMATPov Jihan.***************Aku menatap hampa pada bunga-bunga mawar yang bermekaran sempurna di hadapanku saat ini. Di taman rumah sakit, aku duduk di sebuah kursi roda. Seorang perawat menemaniku dan duduk di kursi beton belakang sana.Setelah tiga hari dinyatakan kritis, pagi tadi aku berhasil tersadar dan melewati masa kritis akibat kecelakaan yang kualami bersama Fano. Sahabatku itu pun sama kritisnya sepertiku, tetapi dia dapat sadar lebih dulu dan lebih dulu dariku. Sehingga Fano telah keluar dari rumah sakit dan tengah kembali ke rumahnya. Setelah kecelakaan yang menimpa kami, membuat Fano harus kehilangan mobilnya.Aku mengusap perutku yang telah rata. Bayiku tidak dapat bertahan. Perutku terkena benturan yang cukup keras. Sehingga aku dinyatakan keguguran. Juga wajahku di pipi sebelah kanan yang terkena hantaman. Menyebabkan sebelah wajahku tak lagi mulus.Namun lebih dari itu, kehilangan bayiku adalah hal paling menyakitkan. Seluruh harta dan aset y
TETANGGA BARU_47POV ADRIAN******Aku pulang hanya memikul rasa kecewa dan jengkel bukan main. Hakim pengadilan sangat-sangat tidak adil dalam memutuskan perkara ini. Dari sekian banyak harta serta aset yang dimiliki Jihan. Aku tak kebagian sepeser pun. Padahal selama enam tahun menikah, akulah yang mengurusi dua toko besar itu hingga dapat tetap bertahan dan beroperasi, di tengah persaingan banyaknha toko-toko ritel sejenis. Berkat ketekunan dan kerja kerasku, dua toko itu tidak sampai gulung tikar. Tetapi, aku tidak mendapatkan apa-apa dari kerja kerasku. Semua jatuh pada Jihan. Semuanya.Bahkan yang paling membuatku tak habis pikir, ialah saat notaris yang kudatangi dan kupercayai, hadir di persidangan dan membelot. Tiba-tiba saja dia berada di pihak Jihan. Padahal, aku sudah mempercayakan semua surat-surat padanya.Aku benar-benar kecewa.Seharusnya , aku mendapatkan bagianku dari harta dan surat-surat itu. Karena aku, memiliki andil dalam mengelolanya. Andaikan bukan aku yang me
TETANGGA BARU-46*Hampir tiga bulan lamanya. Aku masih menumpang di rumah milik Fano. Dia melarangku keluar dari rumahnya. Sebab, dia khawatir tidak ada yang menjagaku yang tengah berbadan dua saat ini. Dia juga cemas, jika aku sendirian, membuat Mas Adrian dan Yolan mendatangiku.Sehingga, aku masih tertahan di rumah Fano. Tiga bulan tinggal dengannya, diam-diam aku jadi sering memperhatikannya.Fano memang sosok laki-laki yang baik. Dia tulus dan sangatlah pengertian. Hanya saja, dia terlalu cuek dan datar pada orang baru yang belum dikenalnya. Tapi padaku, dia adalah sosok yang hangat dan terbuka. Persidangan perceraian antara aku dan Mas Adrian telah digelar sejak dua bulan ke belakang. Sidang pertama dan kedua, Mas Adrian tak kunjung menghadiri. Aku yakin, dia pasti ingin mempersulit prosesnya. Namun, aku sudah menyiapkan pengacara mahal dengan jam terbang tinggi. Sehingga meski dia tidak menghadiri sidang pertama dan kedua. Sidang tetap menemui putusan di sidang ketiga hari i
"Jangan harap. Bukannya kemarin, kamu yang menantang'supaya aku menggugat cerai? Kenapa sekarang kamu balik memohon-mohon? Sudahlah, Mas. Apapun yang kamu katakan, tidak akan pernah mengubah keputusanku. Lagi pun gugatan itu sudah aku daftarkan. Kamu tinggal menunggu surat pemanggilan untuk sidang. Aku pastikan, kamu akan kalah dan kembali miskin!"Mas Adrian meraih tanganku yang menunjuk-nunjuknya. "Dek, mas mohon. Batalkan. Kalau kamu mau, mas akan menceraikan Yolanda, Dek. Mas akan tinggalkan dia dan kita akan hidup bersama lagi. Mas Mohon, Dek."Aku menggeleng cepat, sembari menyentak tanganku darinya. "Gak Sudi! Sekarang kamu pulang. Urus saja istri muda dan anak kamu. Jangan pernah menemuiku, atau coba membujukku lagi. Waktu kamu habis. Aku mau masuk," tegasku lantas berlalu dari hadapan Mas Adrian.Namun, belum sempat aku melangkah. Mas Adrian memeluk kakiku dengan erat. "Dek, apa kamu sudah tidak mencintai mas? Apa kamu sudah terhasut oleh sahabat kamu itu, Dek? Batalkan gugat
POV Jihan.Malam hari di dalam kamar di rumah Fano. Aku duduk sendirian di atas tempat tidur dengan kaki diluruskan.Siang tadi, aku sudah selesai mendaftarkan gugatan perceraian di pengadilan negeri. Rasanya aku sudah tidak sabar, berpisah dengan laki-laki yang sudah menemaniku selama enam tahun lamanya itu.Ini tidaklah mudah.Sedikitpun, aku tidak pernah membayangkan, jika kedatangan Yolanda dan juga Arsen, akan membawaku pada tabir kenyataan yang begitu pahit.Kuusap perutku yang masih sangat rata.Meski tanpa suami. Aku berjanji, akan menjaga kehamilanku ini dengan sangat baik.Beruntung, ada Fano yang menguatkanku hingga detik ini. Memberiku tumpangan tempat tinggal dan juga dukungan yang tak henti.Segelas susu cokelat khusus ibu hamil, sudah tersedia di atas nakas. Aku meneguknya sampai setengah gelas. Lantas membaringkan badanku terlentang.Tok Tok Tok!"Han! Kamu udah tidur belum, Han?"Tok Tok Tok!"Han, Jihan!"Fano menggedor pintu kamarku cukup keras seraya berteriak-teri
Aku semakin menangis dan menjerit-jerit, meski mereka tidak akan mendengar dengan jelas karena mulutku yang tertutup lakban.Di depanku kini, Mba Sindy, Mba Aini dan juga Mba Dini tertawa melihat perbuatan Mba Clara padaku. Mereka menertawakan penderitaan yang diberikan Mba Clara ini."Jangan nangis dong, Mba. Kita cuma ingin bermain-main aja sama kamu! Kita gak akan rebut Mas Adrian dari kamu, jadi kamu jangan nangis gitulah!" Mba Dini berucap disertai tawa meledek."Hmmm …." Aku sudah tidak punya tenaga rasanya. Mba Clara sukses membuatku merasakan sakit di wajah yang selalu aku rawat ini.Aku coba menatap Mba Clara dengan tatapan mengiba. Agar dia berhenti menusukkan jari kukunya itu di pipiku. Namun, Mba Clara justru tersenyum kecut.Sampai akhirnya dia menghempas wajahku dengan kasar. Hingga wajahku berpaling sendirinya akibat hempasan tangan Mba Clara. Cengkramannya memang sudah terlepas. Namun juga sukses meninggalkan denyut kesakitan setelahnya."Mba Sin, sekarang!" cetus Mba
POV YOLANDABibirku terkatup rapat. Seiring dengan kertas yang berhasil sudah kuremas. Kulempar asal kertas di tangan. Kepalaku menggeleng tak percaya dengan apa yang sudah kubaca barusan.Duk Duk Duk!Krak Krak!Pintu rumah yang sudah aku kunci. Tiba-tiba saja hendelnya bergerak-gerak. Diikuti suara dari luarnya.Aku melangkahkan mundur untuk segera mengambil Arsen dan mengurung diri di dalam kamar.BRAKKKK!"Tunggu pelakor!"Aku yang sudah berbalik badan, tak menghiraukan teriakan seorang wanita di belakang sana. Aku memilih melangkah dan hendak berlari untuk secepatnya menuju lantai atas."Aghhhh!""Mau ke mana kau? Mau kabur? Salah jalan! Pintu keluar di sini, Nona!"Baru beberapa langkah kaki ini bergerak. Tanganku telah dicekal lalu diplintir. Hingga tubuhku terseret ke arah belakang. Dan kini sudah berada di teras luar.Rambutku ditarik hingga kepala ini mendongak. Dari suaranya, itu seperti suara Mba Clara. Teman Mba Jihan yang waktu itu ikut arisan juga.Tanganku yang ditarik
POV YOLANDA********Menjelang malam hari, akhirnya aku dipasangi infus. Aku benar-benar lemas dan hanya bisa terbaring di atas tempat tidur. Mas Adrian memanggilkan seorang dokter untuk datang ke rumah ini. Hingga aku bisa mendapatkan penanganan akibat mulas di perutku yang tak berkesudahan.Ternyata aku mengalami disentri yang akhirnya membuatku dehidrasi dan tubuhku jadi lemas. Sampai aku merasa ingin pingsan saja saking lemasnya.Setelah dipasangi infus seperti sekarang, barulah mulai ada sedikit tenaga. Meski tidak serta merta aku pulih.Mas Adrian mengambil alih menggendong dan mengayun-ayunkan Arsen. Hingga Arsen terlelap dan ditidurkan di sisi yang lain di atas kasur yang sama denganku.Tempat tidur yang dulunya hanya memberikan kehangatan untuk Mba Jihan. Tapi saat dia tidak rumah untuk menghadiri acara reuninya. Itulah saat pertama kali, kehangatan tempat tidur ini telah terbagi denganku. Mba Jihan memang terlalu polos dan bod*h."Aku mau makan dulu! Laper!" cetusnya setelah
Terpaksa aku meninggalkan Arsen yang sudah polos untuk ke kamar mandi. Ada yang mendesak ingin dikeluarkan.Cepat aku duduk di kloset dan menuntaskannya. Sampai perutku terasa lega.Setelah selesai, aku kembali untuk mengambil Arsen dan memandikannya. Tapi tiba-tiba perutku mulas kembali. Rasanya ada yang ingin keluar dan sudah diujung tanduk.Baru saja aku membungkuk untuk menggendong Arsen. Terpaksa aku menegakkan tubuhku. Setengah berlari masuk ke kamar mandi lagi dan duduk di kloset.Kuhembus napas lega setelah menuntaskan kedua kalinya. Lalu keluar dari kamar mandi dan menghampiri Arsen lagi.Saat badanku sudah membungkuk untuk meraih Arsen, perutku lagi-lagi melilit. Hingga terpaksa aku balik masuk ke kamar mandi dan bersemedi lagi.Perutku rasanya seperti dikuras. Entah kenapa juga aku merasa seperti terkena diare. Setelah ketiga kalinya bersemedi di kamar mandi. Tubuhku duduk terkulai ke lantai tepat di ujung tempat tidur.Kutepuk-tepuk kaki Arsen karena dia terlihat seperti s