Share

TETANGGA BARU
TETANGGA BARU
Author: Sity Mariah

Bab.1

TETANGGA BARU (1)

****

Kusimpan sisir di atas meja rias, setelah selesai merapikan rambut panjangku. Lantas kulirik benda pipih yang juga tergeletak di atas meja ini. Kuraih dan kuusap layarnya. Ternyata masih sama. Masih tidak ada pesan balasan dari suamiku.

Ini sudah masuk hari ke lima, suamiku di luar kota. Mengontrol proyek pembangunan cabang toserba milik kami. Biasanya, dia tidak pernah mengabaikan pesanku. Sesibuk apa pun dirinya. Dia pasti selalu menyempatkan untuk memberitahuku keadaannya. Makanya aku sangat khawatir pagi ini. Karena tidak mendapatkan kabar darinya.

Seharian kemarin aku sibuk di toko pusat. Tidak sempat memegang ponsel. Dan malam harinya, saat aku sudah ada waktu. Berbalik nomor suamiku yang tidak bisa dihubungi.

Kuhembus napas kasar. Mengurai rasa kecewa karena suamiku tak kunjung memberi kabar.

Lekas aku beranjak dari meja rias. Keluar dari kamarku dan menuruni anak tangga. Hingga tiba di lantai bawah. Aku pun bergegas ke dapur. Lekas membuat bubur kacang hijau.

Menunggu bubur kacang hijau itu matang. Aku melipir ke halaman luar. Setibanya di halaman. Kubersihkan taman kecil serta halamannya yang sedikit kotor karena sisa-sisa hujan semalam.

Beginilah aktivitasku. Di rumah dua lantai ini, tidak ada ART. Aku mengerjakan dan menghendel semuanya sendiri.

Karena di rumah ini. Rumah yang sudah enam tahun aku dan suamiku tempati. Penghuninya masih hanya kami berdua. Karena kami belum memiliki keturunan di usia pernikahan yang sudah enam tahun ini.

Selesai berkutat di halaman. Setelah halaman dan taman kecilnya juga bersih. Aku membasuh tanganku di kran air. Beranjak masuk kembali ke dalam rumah dan menuju dapur.

Mengecek bubur kacang hijau buatanku yang memang sudah matang. Mengaduknya sebentar hingga wanginya tercium sempurna.

Setelah kupastikan matang. Lekas aku menuangkannya pada mangkuk. Bukan tanpa sebab, aku membuat bubur kacang hijau pagi hari ini.

Kemarin, saat pagi hari aku keluar dari rumah hendak menuju toserba pusat. Aku bertemu Mang Darma. Tukang bersih-bersih serta tukang kebun yang biasa bekerja di komplek perumahan ini.

Mang Darma berpapasan denganku begitu aku keluar dari rumah. Sedang Mang Darma, baru saja keluar dari rumah sebelah.

Rumah yang telah kosong setahun lamanya. Dan kemarin, Mang Darma mengabarkan, bahwa aku akan memiliki tetangga baru mulai hari kemarin.

Sayang, kemarin aku sangat sibuk mengurus toserba pusat. Sehingga, aku baru pulang ke rumah malam hari, disertai hujan yang turun.

Jadilah, aku baru bisa mengunjungi tetangga baruku hari ini. Kebetulan, pintu pagar putih rumah yang hendak aku kunjungi, telah terbuka. Sementara gerbangnya, masih membentang.

Aku melesak. Melewati pagar dan menyusuri halaman hingga tiba di depan pintu rumah.

Tok tok tok!

"Assalamu'alaikum," ucapku setelah mengetuk pintu. 

Entah kenapa, di rumah ini masih belum ada bel. Sejak masih dihuni pemiliknya yang lama, rumah ini masih belum dipasangi, bahkan hingga telah berganti pemilik seperti sekarang.

Tok tok tok!

Kuketuk sekali lagi. Karena pintu tak kunjung dibuka. Apa aku datang terlalu pagi ya?

"Assalamu'alaikum," ucapku sekali lagi.

"Iyaaa. Wa'alaikumsalam!"

Terdengar jawaban dari dalam. Tak lama, pintu pun terbuka. Pemilik rumah, membuka pintunya lebar-lebar. Memunculkan sesosok wanita yang masih dalam balutan piyama tidur berbahan satin lengan pendek.

Kulitnya sawo matang dengan rambut pendek sebahu. Rambutnya terlihat kusut masai. Air mukanya menekuk. Seperti orang kurang tidur.

Namun, garis wajahnya tegas dengan lehernya yang jenjang.

Kutaksir, usia kami sama. Aku mengulurkan tangan cepat.

"Hai … kenalin, aku Jihan. Tetangga samping rumah," ucapku memperkenalkan diri. Sambil mengarahkan kepalaku ke arah rumah yang kutempati.

Perempuan di hadapanku ini seperti kaget. Mulutnya sedikit terbuka. Sebelum akhirnya, menerima uluran tangan dariku. "Ha—ha—hai … aku … Yolanda. Senang berkenalan dengan Mba," sahutnya dengan kepala terangguk.

Aku balas tersenyum dan mengurai jabatan tangan kami. Kuangsurkan mangkuk berisi bubur kacang hijau ke hadapan perempuan bernama Yolanda ini. "Ada sedikit makanan, tanda perkenalan kita sebagai tetangga," ucapku.

"Eh … aduh makasih. Jadi bikin Mba Jihan repot," balasnya sungkan.

Aku menggeleng. "Ah, nggak kok. Hanya bubur kacang hijau. Mudah-mudahan, Mba Yolanda suka," harapku.

Yolanda mengganguk. "Panggil aku Yolan saja, Mba. Pasti aku suka buburnya. Oh ya, masuk, Mba Jihan, silahkan. Sampai lupa buat nyuruh masuk," ajaknya.

Aku mengangguk setuju. Lalu mengekor langkah Mba Yolan masuk ke dalam rumahnya.

Satu tahun lamanya. Sekarang pertama kalinya aku menginjak kembali rumah ini. Kuhempaskan bobot di sofa ruang depan. Setelah Mba Yolan mempersilahkanku untuk duduk. Sedangkan ia melangkah menuju arah dapur membawa mangkuk berisi bubur pemberianku.

Ku amati keadaan rumah ini. Tidak ada yang berbeda. Semua masih sama. Seperti saat aku sering bolak balik menemui pemilik lama rumah ini, satu tahun sebelum rumah ini kosong.

Nuansa monochrome masih mendominasi rumah ini. Sofa hitam empuk. Rak partisi hitam putih. Jam dinding. Gorden. Lukisan dindingnya. Semua masih sama. Tidak ada yang berubah barang sedikit saja. Kemungkinan, pemilik rumah terdahulu, menjual rumah beserta seluruh isinya.

Fokus mengamati. Telingaku kemudian mendengar suara tangisan bayi. Sigap aku berdiri. Lalu melangkah mencari sumber suara.

Kulewati rak partisi hitam putih, sekat antara ruangan depan dengan ruang televisi. Suara tangisan semakin jelas.

Kembali aku melangkah. Melewati ruangan televisi. Mba Yolan keluar dari arah pintu kamar, tengah menimang bayi. Menepuk-nepuknya untuk meredakan tangis sang bayi.

"Mba Jihan, maap belum aku buatkan minum. Keburu anakku nangis," ungkapnya. Setelah menutup pintu kamar di belakangnya.

"Ah, santai ajalah, Mba. Gak usah repot-repot. Ini anak Mba?" tanyaku setelah kami berada di ruangan televisi. Duduk bersisian di sofa panjang.

"Iya, Mba, ini anakku."

Aku manggut-manggut. "Lucu banget. Siapa namanya?" tanyaku gemas. Pada bayi dalam pangkuan Mba Yolan.

"Arsenio, Mba."

Aku tersenyum mendengarnya. "Nama yang indah," sahutku. Kubelai lembut pipi Arsen yang sangat chubby.

"Berapa usianya?" tanyaku lagi.

"Baru tiga bulan, Mba."

Aku mengangguk. "Boleh aku gendong nggak?" tanyaku hati-hati.

Mba Yolan menoleh. Tanpa suara, ia mengangguk pelan. Lalu memindahkan Arsen ke pangkuanku.

Aku menyambutnya dengan gembira dan hati-hati. Ada perasaan hangat yang menjalar, saat sedekat ini dengan Arsen.

Melihat Arsen betah dalam pangkuan ini. Aku berinisiatif menyuruh Mba Yolan jika ingin mandi. Sepertinya, Mba Yolan tinggal berdua saja dengan Arsen. Karena aku belum menemukan sosok suaminya sejak datang dari tadi.

Mba Yolan akhirnya setuju. Dia beranjak dan meninggalkanku berdua bersama bayinya.

Tak henti aku menggodanya. Mengajaknya bicara meski ia belum mengerti apa yang aku bicarakan. Dia hanya merespon dengan senyuman dan kadang tertawa kecil.

Waktu berlalu tanpa terasa. Sudah hampir satu jam aku di rumah tetangga baruku ini. Akhirnya aku pamit, setelah menyerahkan Arsen yang terlelap saat aku menimang-nimangnya.

Aku pun keluar dari rumah Mba Yolan. Melewati pintu pagarnya dan berjalan menuju rumahku.

Aku tertegun. Ketika melihat mobil suamiku sudah terparkir sempurna di depan rumah. Ku gelengkan kepala. Terlalu asyik bersama Arsen. Membuatku sampai tak mendengar deru mesin mobil suamiku ketika datang.

Ku langkahkan kaki lebar-lebar masuk ke dalam rumah. "Mas?" seruku ketika belum mendapati sosoknya.

Melewati ruangan depan lalu ruang televisi. Hingga punggung tegapnya, aku dapati di meja makan sana.

"Mas!" seruku sambil berlari menghampirinya. Suamiku beranjak dari duduknya. Dia berdiri merentangkan kedua tangannya. Meyambut kedatanganku dan aku menjatuhkan diriku dalam dekapannya. Dia memelukku erat, aku pun sama.

Tidak bertemu lima hari saja, sudah seperti satu bulan. Karena begitulah aku, yang sangat mencintainya.

Puas berpelukan. Puas melepaskan rasa rindu. Kami mengurai pelukan. Namun, kedua tanganku masih digenggamnya erat.

"Mas ke mana aja kemarin? Kok ga ada ngabarin aku, sih?" tanyaku merajuk.

Suami di hadapanku ini mengacak puncak kepalaku. "Kemarin mas lelah, Dek. Mas gak sempat lihat hp. Sibuk urus proyek kita. Maap yaa," tuturnya.

Aku mengangguk dengan bibir mengerucut. Suamiku lantas memintaku agar duduk di kursi sebelahnya.

"Udah jangan cemberut. Mas ada hadiah. Adek tutup mata dulu, jangan ngintip," pintanya. Entah dia tengah merayu atau apa. Tetapi aku menuruti permintaannya itu. Aku menutup mata. Dengan kedua telapak tangan.

"Sekarang buka!" titahnya setelah beberapa saat aku menutup mataku.

Pelan, kujauhkan kedua telapak tangan. Hingga mataku, menangkap kotak persegi panjang. Dibalut beludru merah marun di depanku.

"Apa ini, Mas?" tanyaku sedikit kaget.

Suamiku menyerahkan kotak tersebut padaku. "Bukalah!" serunya. Setelah kotak itu berpindah tangan.

Lekas kubuka. Sehingga terpampang sebuah kalung berlian di dalam kotaknya. Aku menutup mulut tak percaya. "Ini buatku?" tanyaku setelah berhasil menguasai diri.

Suamiku mengangguk. "Happy Anniversary ke enam tahun, istriku yang cantik."

Sejurus kemudian. Setelah ucapan selamat itu terlontar. Aku menatap suamiku. Aku tersenyum padanya. "Happy Anniversary juga, Mas. Terima kasih hadiahnya. Bagus sekali," balasku antusias.

"Sama-sama. Sini, biar mas pakaikan," usulnya. Aku setuju. Lekas berbalik badan, dan suamiku mulai memasangkan kalung berlian dengan liontin bentuk hati di leherku.

Selesai dipasang, aku tak henti menatap takjub pada liontinnya. Suamiku memang selalu penuh kejutan. Selama ini, dia tidak pernah lupa memperingati hari jadi pernikahan. Kadang ia mengadakan dinner romantis. Atau juga jalan-jalan ke luar negeri. Untuk merayakan hari jadi pernikahan kami.

Dia romantis. Dia memang suami terbaik. Dia sabar dan penuh pengertian. Aku sangat mencintainya.

Adrian Fahreza, laki-laki yang sudah bersamaku. Enam tahun lamanya dalam mahligai janji suci pernikahan.

"Dek, mas lapar. Adek belum masak? Atau nggak, bikin omelette?" tanya Mas Adrian.

Aku tersenyum bersalah. "He he. Maap, Mas. Aku emang belum masak. Tadi aku malah bikin bubur kacang hijau. Mas makan bubur kacang dulu aja, mau gak?" tawarku.

Dengan bibir terkatup. Mas Adrian mengangguk. "Boleh. Tapi nanti Adek masak 'kan?"

"Iya, nanti aku masak. Sekarang, Mas makan bubur kacang ini dulu," sahutku. Seraya menyendok bubur kacang dalam panci kecil, ke dalam mangkuk. Lalu menghidangkannya untuk Mas Adrian.

"Oh iya, Adek ke mana aja tadi? Mas pulang kok nggak disambut sih?" tanya Mas Adrian, di sela-sela suapannya.

"Ohhh, itu. Iya aku habis dari rumah sebelah, Mas. Sekarang 'kan rumah itu udah ada yang beli. Udah ditempatin juga. Aku ke sana tadinya nggak akan lama, tapi keasyikan main sama bayi di rumah itu. Jadinya kelamaan balik ke sini," paparku pada Mas Adrian.

"Oh ya? Jadi rumah itu udah laku?"

Aku mengangguk. "Iya, Mas. Makanya aku bikinin bubur kacang, buat aku kirim ke sana. Sebenernya rumah itu udah diisi dari kemarin pagi. Tapi kemarin 'kan aku sibuk di toko pusat. Pulang pas malemnya. Jadi baru bisa nemuin tetangga baru kita ya pagi ini."

Mas Adrian nampak manggut-manggut. Sambil terus menyuapkan bubur kacang buatanku.

"Ohhh, gitu. Emang siapa yang ngisi rumah sebelah?"

"Perempuan sama anak bayinya. Namanya Yolanda, sama anaknya namanya Arsenio."

"UHUUKKKK!!"

Mas Adrian tiba-tiba terbatuk. Saat aku menyebutkan tetangga baru kami.

*****

Ikuti ceritanya yuk kak😁

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status