Share

Bab.2

TETANGGA BARU (2)

*****

"Uhukk uhukk!" Mas Adrian kembali terbatuk. Sepertinya dia tersedak. Wajahnya sampai kemerahan. Cepat kutuangkan air putih dan memberikan padanya.

Mas Adrian meneguk habis air putih yang kuberikan. Dia mengusap-usap tenggorokannya. Lalu berdeham beberapa kali.

"Hati-hati makannya, Mas." 

Mas Adrian tak menyahut. Dia nampak mengangguk kemudian melanjutkan menyuap sisa bubur kacang dalam mangkuk hingga akhirnya habis.

"Dek, Mas ke kamar mandi dulu. Mas dari tadi nungguin kamu. Sampai belum bersih-bersih."

"Iya, Mas."

Lantas Mas Adrian beranjak dari kursi makan. Membawa tas kerja hitam yang tergeletak di atas meja. Dia berjalan ke arah kamar utama untuk mandi di kamar mandi dalam kamar yang kami tempati.

Selepas kepergian Mas Adrian. Aku langsung membereskan meja makan yang tidak terlalu berantakan. Setelahnya, mengambil bahan masakan yang tersimpan di lemari pendingin.

Hanya brokoli hijau yang kuambil. Sebab, stok lauk dalam lemari hanya tersisa udang windu kesukaanku, yang kemarin kubeli di tukang sayur keliling. Lima hari Mas Adrian di luar kota. Membuatku tidak memperhatikan dapur.

Sayangnya, Mas Adrian alergi terhadap udang. Sehingga aku bingung harus memasak apa.

Meninggalkan brokoli di atas kitchen set. Gegas aku menyusul Mas Adrian ke kamar.

Kamar kosong. Terdengar deburan air di dalam kamar mandi. Menandakan Mas Adrian memang belum selesai membersihkan dirinya. Aku lantas duduk di bibir tempat tidur.

Hingga suara deburan di kamar mandi sudah berhenti. Selang beberapa saat, pintu kamar mandi pun terbuka.

Memunculkan sosok Mas Adrian dalam balutan handuk putih membelit pinggang hingga batas lututnya.

Membuat dada bidang kokoh serta perut kotak-kotaknya terekspos. Juga tangannya yang sedikit berotot terpampang. Rambutnya basah. Wajahnya nampak begitu segar.

Aku hanya mampu memandanginya dari tempatku duduk. Mas Adrian memang sempurna. Aku merasa benar-benar beruntung memiliki pendamping sepertinya.

Nampak Mas Adrian tersenyum ke arahku sambil berjalan mendekat. "Kenapa, Dek? Bukannya lagi masak? Apa udah selesai?" tanyanya saat kini di hadapanku.

Aku menggeleng. "Belum, Mas. Aku mau ngasih tahu, kalau di kulkas cuma ada brokoli sama udang. Aku lupa ngecek stok makanan selama Mas di luar kota. Aku jadi ga tau harus bikin apa," jelasku.

Terdengar helaan napas dari Mas Adrian. "Ya udah, kalau gitu kita pesen makanan ajalah, Dek. Adek mau pesen apa?" tanya Mas Adrian. Tangannya telah menyambar benda pipih miliknya yang tergeletak di atas nakas. Lalu mulai memainkan layarnya.

"Samain aja, Mas."

"Ayam goreng kremes, mau?"

Aku mengangguk setuju.

Tanpa banyak bertanya, Mas Adrian mengiyakan. "Pesanan akan datang dalam sepuluh menit," tukasnya. Lalu menyimpan kembali ponselnya di atas nakas.

Memang sesimpel itulah suamiku. Dia tidak pernah rewel untuk urusan makan. Tapi, dia memang lebih senang, jika akulah yang memasak untuknya makan.

Aku pun beranjak dari bibir tempat tidur.

"Mau ke mana?" Mas Adrian menahan langkahku yang hendak keluar dari kamar.

"Ke luar, Mas."

Mas Adrian tak menjawab. Dia menghadang tubuhku dan semakin mendekat. Dia merangsek maju dan membuatku melangkah mundur. Mas Adrian yang masih bertelanjang dada. Membuat wangi tubuhnya memabukkan indera penciumanku.

Mas Adrian memegangi kedua lenganku. Memasang tatapan nakal yang sudah sangat kupahami.

"Jangan aneh-aneh, Mas!" sergahku cepat. Saat kedua kakiku, sudah membentur dipan kasur di belakang tubuhku.

"Kamu nggak kangen sama mas?" tanyanya setengah berbisik.

"Kangen … sih. Tap——"

Aku tak dapat menyelesaikan jawaban. Bibirku telah lebih dulu dibungkam oleh Mas Adrian.

Ia men c i u m ku begitu lembut. Kurasakan tangan telanjangnya melingkar memeluk pinggangku.

Sentuhannya. Wangi tubuhnya. Sungguh menghipnotis. Kedua tanganku seperti mendapat aba-aba. Hingga akhirnya, melingkar di leher suamiku ini.

Kami saling me m a g u t. Hingga aku tak bisa mencegah. Saat Mas Adrian membuat tubuhku luruh dan terbaring di tempat tidur.

Aku memang merindukan dirinya. Merindukan sentuhan serta semua yang ada pada dirinya.

Cumbuannya kini beralih ke leher lalu pundak. Setelah kancing bajuku, berhasil ia singkap. Hingga tubuh atasku mulai terekspos.

Aku semakin terhanyut dengan setiap sentuhan Mas Adrian. Pagi hari yang dingin, memang selalu berubah menjadi hangat bahkan memanas jika suamiku berada di rumah seperti sekarang.

Ting Tong!

"Arghh!"

Terdengar dengkusan kasar dari Mas Adrian. Berbarengan dengan bel depan yang berbunyi.

Segera aku bangkit, dan merapikan kancing bajuku kembali. Serta rambut yang berantakan. Aku tersenyum jahil, melihat wajah Mas Adrian yang menekuk.

"Itu pasti pesenan kita, Mas. Aku ambil dulu!" ujarku seraya berdiri dari tempat tidur.

Mas Adrian tak menyahut. Dia sudah berdiri di depan lemari putih empat pintu. Aku bergegas keluar dari kamar dan menemui pengantar makanan yang kami pesan.

*****

Dua porsi ayam goreng kremes sudah selesai aku salin ke atas piring. Terhidang di atas meja makan beserta pelengkapnya. Selada hijau juga sambal goreng terasi. Paket komplit yang mungkin tadi Mas Adrian pesan.

Mas Adrian pun sudah menyusulku di meja makan ini. Dengan kaus sleveless putih dan celana bahan selutut. Pakaian santainya saat di rumah. Dapat dipastikan, jika pakaiannya sudah begitu. Itu artinya, Mas Adrian akan menghabiskan waktu seharian di rumah.

Mas Adrian menarik kursi lalu menghempaskan bobotnya di sebelahku. Setelah sebelumnya, ia mencuci tangan di bak wastafel.

Menarik piring makannya lebih dekat. Lalu mulai menyantap makanannya dengan lahap. Begitu juga denganku. Kami makan bersama. Setelah lima hari terlewat tanpa aktivitas makan bersama seperti ini.

"Dek, siapa tadi nama penghuni baru rumah sebelah?" tanya Mas Adrian di sela-sela suapannya.

"Mba Yolanda, Mas. Sama anak bayinya, namanya Arsenio," jawabku.

Kulihat Mas Adrian yang tiba-tiba berhenti dari gerakannya yang tengah mengunyah. "Kenapa, Mas? Mas kenal?" lanjutku bertanya melihat reaksinya.

Mas Adrian nampak buru-buru menelan makanannya. Lalu meneguk air putih yang telah disediakan. Kepalanya kemudian menggeleng. "Nggak, Dek. Mas ga kenal," sahutnya lalu kembali menyuap nasi dan lauk di piringnya.

Aku hanya mengangguk cepat. Pastilah tidak akan kenal. Aku saja baru ketemu mereka pagi tadi. Sedangkan Mas Adrian, dia bahkan baru pulang dari luar kota.

*****

Malam semakin larut. Seharian ini, Mas Adrian benar-benar di rumah bersamaku. Lengket seperti pengantin baru saja. Padahal usia pernikahan kami sudah enam tahun lamanya.

Permintaanku agar ditemani belanja untuk stok di kulkas, tidak digubris. Dia malah menyuruhku, untuk memesan sayur serta daging pada Kang Sayur langganan di komplek ini.

Di ruangan televisi. Layar LED 42 inch di depan sana. Tengah menyala dan memutarkan serial drama. Menemani malamku bersama suamiku.

Aku duduk di karpet empuk. Punggungku bersandar pada badan sofa yang ada di belakang. Sedangkan Mas Adrian, dia berbaring di pahaku sebagai bantalnya.

Tangannya tak henti memainkan, menggenggam dan sesekali menciumi tanganku.

"Mas, udah satu bulan kita belum ke panti. Aku udah kangen sama anak-anak panti," ujarku pada Mas Adrian.

Aku dan suamiku merupakan donatur tetap di sebuah panti asuhan. Di mana satu atau dua bulan sekali. Kami rutin ke sana. Berkunjung serta bermain dengan anak-anak di sana. Juga untuk mengetahui perkembangan mereka. Selain itu, aku mendekatkan diri pada sebuah panti, karena aku ingin mengadopsi anak dari sana. Mungkin dengan mengangkat anak, bisa membuat diriku segera hamil.

"Iya, Dek, sama, mas juga kangen. Maap ya, kita belum ke sana lagi. Adek 'kan tahu, kita lagi sibuk ngurusin pembangunan toko cabang," balasnya.

"Iya aku ngerti, kok. Mas, terus kapan, kita adopsi anak pantinya? Aku udah pengen banget, denger suara tangisan bayi di rumah kita ini, Mas," ungkapku padanya.

Terdengar helaan napas berat dari Mas Adrian. Lantas ia menoleh dan tangannya terulur menyentuh pipiku. Membelainya lembut.

"Jangan dulu, ya. Kita berusaha dulu. Lebih keras!" ujarnya. Membuatku menyentak napas kasar.

"Tapi Mas—"

"Sssttt!"

Belum sempat aku menyelesaikan sanggahan. Mas Adrian lebih dulu menempelkan jari telunjuknya di bibirku. Menghentikan ucapanku yang ingin sekali menyanggah kata-katanya.

"Nggak ada tapi tapian. Pokoknya kita harus terus berusaha. Mas yakin, kita bisa, Dek," ujarnya lagi.

"Sampai kapan, Mas? Pernikahan kita udah menginjak enam tahun. Program kehamilan udah kita jalani. Tapi kenyataannya? Mas … aku udah pengen merasakan jadi seorang Ibu. Meski anak yang aku asuh dan aku besarkan, bukan berasal dari rahimku."

"Iya, Dek. Mas tahu. Tapi, nggak ada salahnya kita lebih bersabar. Kita coba program lagi. Kita berusaha lagi, lebih keras dari sebelumnya. Atau kalau perlu, kita program di luar negeri, sekalian liburan juga. Gimana, mau 'kan?"

Kuhirup napas dalam-dalam. Kemudian menghembuskan perlahan. Keinginanku mengadopsi anak panti, masih belum di ACC olehnya. Entah kapan, Mas Adrian akan menyetujui keinginanku ini. Dia masih yakin, bahwa aku akan bisa hamil anaknya. Sementara aku sendiri, sudah pesimis dengan kondisiku. Meski memang masih mungkin, tapi harapan itu kecil dan belum juga terwujud sampai sekarang.

"Aku rasanya udah pengen nyerah ini Mas," ucapku lirih.

"No no no. Kamu ga boleh begitu dong, Sayang!" Mas Adrian bangkit dari rebahnya. Duduk menghadapku serta menangkap kedua pipi ini. Mengangkat wajahku agar bertatapan kini dengannya.

"Kita program lagi, ya. Jangan menyerah. Mas yakin, kita mampu. Mas yakin, kamu pasti bisa, mengandung dan melahirkan anak Mas!" ucapnya membujuk, dan menyuntikkan kata-kata semangat.

"Kita program lagi di luar negeri. Kita berusaha lagi, semaksimal mungkin. Kamu mau 'kan?" lanjutnya bertanya.

Aku meraih kedua tangannya yang menangkup pipiku. Lalu menurunkannya dari sana. Berganti dengan menggenggamnya kini. "Oke, Mas. Kalau itu yang Mas mau. Tapi aku nggak mau program lagi, Mas. Biar aku coba konsumsi obat herbal aja, Mas."

"Jangan, Dek. Mending kita program. Kamu jangan konsumsi obat herbal sembarangan kayak gitu ah!" sanggah Mas Adrian cepat.

"Nggak sembarangan. Udah Mas tenang aja. Semoga aja kali ini berhasil ya, Mas!" harapku.

Mas Adrian mengangguk. "Sekarang, mari kita berusaha!" serunya.

"Mas!" Aku memekik seketika. Tatkala Mas Adrian dengan cepat mengangkat tubuhku hingga berada dalam gendongannya.

Lalu melangkah meninggalkan ruangan televisi yang masih menyala. Membawaku ke dalam kamar. Tempat peraduan yang akan kembali hangat setelah lima hari tanpanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status