Aku lihat ke sekeliling. Tempat ini cocok banget, sih sama vibe mereka. Ada tong-tong besar di balik kaca, meja-meja kayu yang besar, TV-TV berjejer di atas Bar yang memutar pertandingan bola, dan di tengah ada plang besar dari baja bertuliskan 'Brine & Barrel'.
“Tempatnya keren. Cuma … aku bukan pecinta bir, sih. Jadi enggak tahu aku bisa nilai atau enggak.” Danny menyodorkan Aldani ke arahku. “Coba aja kamu minum dikit, terus bilang ke Aldani kalau bir aku lebih enak!” Senyum plus kedipan mata Danny itu kayak senjata pamungkas. Pasti sudah sering bikin cewek klepek-klepek sampai ke ranjang. Aldani balas, “Kita dapet cuan dari dua-duanya, bro. Jadi gak gitu juga.” Aku mencicipi bir dari Aldani, terus langsung telan. Mereka berdua menungguku berkomentar. “Enak, kok. Dua-duanya enak.” “Kalau kamu harus ngabisin satu gelas, kamu pilih yang mana?” “Hmm .…” Jujur aku, sih lebih milih nge-review bir mereka daripada harus menjelaskan siapa aku sebenarnya. “Kayaknya aku lebih suka yang rasanya enteng.” “Aldani?” Danny langsung menceletuk, kecewa. Aku angkat bahu. “Aku, kan emang bukan peminum.” “Bentar.” Danny langsung meninggalkan bangkunya, terus Aldani mengisi tempatnya. Sekarang rasanya aku seperti boneka di game tarik-tarikan. “Dia mau ambilin kamu bir rasa peach yang jadi best seller tahun lalu. Dia bangga banget, tuh,” katanya sambil melihat ke piringku yang sudah kutinggalkan. “Kamu enggak doyan sama makanannya?” “Oh, enggak kok. Aku cuma enggak lapar.” Aldani mengangguk. “Kamu udah ketemu sama Mirrela?” Aku buru-buru mikir, “Belum akrab, sih, tapi aku baca obituarinya dan pingin kasih penghormatan.” Aku bangga sama jawaban itu. “Nama aku Maya.” Dan aku malah mengulurkan tangan. “Senang kenalan sama kamu, Maya. Maaf, ya, tadi pada heboh pas kamu masuk. Emang orang sini, tuh suka nyablak kalau ada orang baru.” Aku senyum, minum sedikit biar ada kegiatan. Senyumnya langsung sumringah, sepertinya dia bahagia banget karena aku memilih bir buatan dia. “Tadinya aku hampir gak datang.” Dia tuang bir Danny ke gelasnya dan aku miringkan kepala, tapi enggak bertanya. “Kalau dia pernah ngaruh di hidup kamu, kamu memang harusnya datang. Kamu udah bicara sama Karin?” Aldani bergerak seperti mau berdiri, aku panik dan taruh tangan di pahanya buat menahan, terus aku cepat-cepat tarik tanganku lagi begitu merasa hangat dari kakinya. “Belum. Dia kelihatan kacau banget tadi pas aku lihat, ada suaminya di sebelahnya.” Dia ketawa. “Itu bukan suaminya. Itu Alvaro, sahabatnya ... dan juga adik aku.” Aku kaget. “Oh, jadi kamu kenal Karin?” Dia minum birnya. “Udah kenal dari dia bayi!” Aku mengangguk. “Papanya masih hidup?” Dia melirik sedih, jadi aku sudah bisa menebak jawabannya sebelum dia ngomong. “Enggak, sayangnya. Kapal dia hilang waktu badai, lebih dari lima tahun lalu. Dia sama beberapa orang Pecang juga meninggal.” Aku berdeham, "Jadi sekarang Karin sendirian?” Dia mengangguk, terlihat paham banget sama rasa sakit yang dialami Karin. “Iya, tapi dia dekat banget sama Alvaro. Dan itu Mama tiri aku di sebelahnya. Dia pasti bakal bantuin Karin buat lewatin masa ini.” “Itu bagus. Aku yakin almarhum senang lihat itu.” Dia memandangku agak lama. “Gila, muka kamu kayak familiar banget.” Aku mengerti kenapa, dan heran kenapa orang-orang belum sadar dari tadi. Mungkin karena aku sudah lama cat rambut jadi pirang. “Kayaknya kita belum pernah ketemu,” jawabku. Danny balik lagi, obrolan yang tadi mulai bikin deg-degan jadi berhenti. Aku sudah berjanji ke diri sendiri buat langsung bicara ke Karin begitu sampai di sini. Tapi sekarang, aku malah merasa kayak dikejar waktu. Datang ke sini mungkin salah. Sebenarnya aku cuma ingin dengar cerita-cerita soal Mamanya Karin, ingin tahu dia orang yang seperti apa. “Ini dia,” kata Danny. “Ini yang terbaik. Rasa—” “Peach?” potongku. Danny memelototi Aldani. “Biarpun ada yang iri, ini rasa terbaik yang pernah kita buat.” “Danny!” teriak cewek pirang dari seberang ruangan. Danny taruh birnya di depanku. “Coba, ya! Nanti kasih tahu rasanya gimana.” Terus dia langsung pergi. Aku dorong birnya ke arah Aldani. “Kayaknya aku gak bisa minum bir lagi.” Dia langsung berdiri. “Mau aku ambilin yang lain? Kita punya cider. Atau mau aku buatin cocktail?” “Gak usah, benaran. Aku juga harus pergi.” Aku turun dari bangku. Dia juga berdiri, dan baru aku sadar kalau kita berdiri dekat banget. “Mau aku panggilin Karin?” “Enggak. Biarin aja dia. Makasih udah nemenin, dan bilang makasih juga ke adikmu.” “Mau aku antar?” tanya Aldani. Aku menggeleng. “Enggak perlu. Tapi makasih.” Saat aku lewat di dekat Karin, dia menoleh dan mata kita bertemu. Aku sempat berhenti. Terus si Alvaro, yang tadi aku kira suaminya, bicara ke Karin, dan dia langsung alihkan pandangannya. Aku ingin banget membisikkan ke dia, “Kamu gak sendirian.” Tapi aku malah jalan keluar Bar, ke jalanan kota yang harusnya dulu jadi tempat aku.୨ৎ A L D A N I જ⁀➴ "Aku enggak yakin juga," kataku ke Karin. "Aku enggak tahu Maya bakal cocok pakai cincin ini atau enggak." "Percaya deh sama aku, dia bakal suka banget. Dan hey, udah setahun, loh. Udah cukup kamu ngulur-ngulur waktu, Aldani Sunya!" Aku angkat tangan. "Oke, oke, aku nurut." Aku pindah rumah, enggak tinggal lagi bareng saudara-saudaraku yang lain. Aku sama Maya beli rumah kecil di pinggir kota, dekat sama Papa-Mamaku dan dekat juga sama tempat usaha kita. "Aku senang banget," kata Karin. Melihat hubungan aku sama Maya makin kuat, ditambah hubungan dia sama Karin makin dekat selama setahun ini, itu indah banget. Kayaknya memang itu yang mereka berdua butuhkan. Tapi tetap saja, aku masih enggak seratus persen yakin bisa percaya Karin soal cincin ini. Aku lihat lagi cincin itu. "Kalau aku
Tanganku sudah menyentuh gagang pintu. "Aku yakin kamu orang baik, tapi kadang ada hal yang enggak bisa diperbaiki. Dan jujur aja, kalau kamu baru nyadar cinta sama anak aku setelah kehilangan dia, aku enggak bakal ijinin kamu ngomong sama dia sekarang!" ”Oke ...aku juga bakal jelasin ke, Tante. Mama aku meninggal waktu aku umur dua belas, dan—" Aku buka pintu dan keluar. Bahu dia langsung merosot saat melihatku. Dia coba melangkah melewati Mama, tapi Mama buru-buru maju lagi, menaruh tangan di dada dia. Aku hampir tertawa. "Enggak apa-apa, Ma." Mama menengok ke aku, "Maya!!!" "Mau jalan bareng bentaaaar aja sama aku?" kata Aldani sambil ulurkan tangan. "Tante juga boleh ikut." "Enggak." Mama mundur selangkah. "Kalian berdua aja." Dia taruh tangan di bahuku, terus kecup pipiku. Aku keluar dari apa
୨ৎ M A Y A જ⁀➴Mama bakal pulang malam ini, tapi sebelum itu dia bantu aku beres-beres apartemen.Dia keluar dari kamar mandi. "Kamar mandinya udah beres."Dia pegang kantong sampah hitam yang penuh sama karpet, tirai shower, sama barang-barang mandi aku. Dia sampai mau repot-repot bantu urusan begini, itu menunjukan betapa dia sayang banget sama aku. Dia duduk di kasur yang sudah aku bongkar, kasur yang jadi awal dari semua kekacauan ini sama Aldani."Sayang, ikut pulang sama Mama aja," katanya.Aku geleng kepala, sambil buang makanan yang hampir basi dan enggak ingin aku bawa. Aku sudah dapat rumah kecil buat disewa, dekat kota, jadi aku bisa jalan kaki ke tempat kerja. Mobil sewaan makin lama makin bikin tekor, jadi aku beli mobil murah buat dipakai sementara.Aku enggak bangga sama apa yang sudah kulakukan sama Aldani. Sebenarnya, enggak ada alasanku buat ribut di depan orang satu kota. Mungkin aku waktu itu cuma mau bikin di
Garasi penuh mobil, semua saudara kandung sama saudara tiri sudah pada berkumpul.Begitu aku masuk, suara tawa dari dapur pun langsung menghampiri. Suara yang sudah jadi kebiasaan di rumah ini, suara yang enggak bakal pernah ada kalau Hapsari enggak jadi bagian dari hidup kita.Dulu kita bahagia, iya, tapi dia bawa sesuatu yang berbeda. Sama seperti tiap saudara tiri aku. Kalau Papa enggak ambil risiko, hidup aku sekarang bakal sepi banget. Hapsari bahkan bantu Althaf mengurangi rasa bersalahnya. Aku enggak bakal bisa balas semua itu ke dia.Ruangan langsung sunyi saat Aku muncul. Saudara-saudara tiriku langsung maju buat peluk.Danny tepuk punggungku. "Akhirnya balik waras juga?"Aku cuek. "Sejak kapan kamu malah bela Maya?"Dia angkat bahu. "Aku suka aja sama dia. Lagian, Brine & Barrel dapat duit lebih banyak pas Duet Night. Aku berhak sombong, lah."Hapsari langsung peluk aku erat, tangannya naik turun di punggungku.
Aku jalan ke mobil, geleng-geleng kepala. Menyebalkan banget, hari buat mengenang Mama malah jadi fokus ke aku."Aldani!" Althaf mengejar dan tarik siku aku. "Enggak apa-apa mulai buka perasaan kamu."Aku putar badan, melihat mereka semua berdiri bareng Althaf."Kita juga ngerasain sakitnya," kata Alvaro. "Enggak ada dari kita yang pingin ngalamin itu lagi, tapi kita enggak bisa terpuruk terus.""Buktinya aku masih bertahan setelah ditinggal Khalisa," tambah Alzian. "Aku hancur banget, tapi aku masih ada di sini.""Aku udah duluan ngerasain semua itu, jadi jangan dikira aku enggak ngerti," kataku."Hei. Aku cuma dua tahun lebih muda dari kamu," celetuk Almorris. "Iya sakit, tapi bukan berarti kamu enggak boleh jatuh cinta lagi.""Aku lihat kamu sama Maya," kata Alzian. "Kamu udah jatuh cinta sama dia, mau kamu ngaku atau enggak."Mobil Papa berhenti pas di belakang mobil aku. Seperti biasa, dia datang telat sedi
୨ৎ A L D A N I જ⁀➴Tiga hari setelah pembukaan The Libraria, setelah Maya memutuskan buat ribut sama aku di tengah malam acara Duet Night itu, sekarang aku berdiri di makam Mamaku.Althaf bawa semua bunga, setiap batangnya berbeda jenis, biar jadi buket yang Mama pasti suka. Mama selalu bilang kalau dia enggak pernah punya bunga favorit, semuanya cantik, sama seperti anak-anaknya.Tapi mungkin cuma aku yang masih ingat Mama bilang begitu. Kadang aku berpikir, jadi anak paling tua dengan ingatan paling jelas tentang Mama, itu kutukan banget."Kita mulai dari yang paling tua, kayak biasa," kata Althaf sambil kasih kode ke aku.Aku keluarkan napas berat, sebenarnya lagi enggak mood. "Aku skip dulu kali ini.""Aldani, kamu kan selalu duluan," katanya, ngotot.Aku geleng-geleng kepala. Aku malas banget harus jadi orang pertama yang kasih motivasi ke adik-adikku. Kita sudah hidup tanpa Mama jauh lebih lama ketimbang hidup bar