Home / Rumah Tangga / TETANGGA WITH BENEFIT / Kita Tidak Sendiri 💔

Share

Kita Tidak Sendiri 💔

Author: DityaR
last update Last Updated: 2025-08-01 01:15:38

Aku lihat sekeliling. Tempat ini cocok banget sih sama vibe mereka. Ada tong-tong besar di balik kaca, meja-meja kayu gelap yang besar, TV-TV berjejer di atas Bar yang memutar pertandingan bola. Dan di tengah ada plang besar dari baja bertuliskan Brine & Barrel.

“Tempatnya keren. Cuma … aku bukan pecinta bir, sih. Jadi enggak tahu aku bisa menilai atau enggak.”

Danny menyodorkan Aldani ke arahku.

“Coba aja kamu minum dikit terus bilang ke Aldani kalau bir aku lebih enak.”

Senyum plus kedipan mata Danny itu kayak senjata maut. Pasti sudah sering bikin cewek klepek-klepek sampai ke ranjang.

Aldani balas, “Kita dapet cuan dari dua-duanya, bro. Jadi ini gak gitu juga.”

Aku mencicipi bir dari Aldani, terus langsung telan. Mereka berdua menunggu aku berkomentar.

“Enak kok. Dua-duanya enak.”

“Kalau kamu harus ngabisin satu gelas, kamu pilih yang mana?”

“Hmm .…” Jujur aku lebih milih nge-review bir mereka daripada harus menjelaskan siapa aku sebenarnya.

“Kayaknya aku lebih suka yang rasanya enteng.”

“Aldani?” Danny langsung menceletuk, kecewa.

Aku angkat bahu. “Aku kan memang bukan peminum bir.”

“Bentar.” Danny langsung meninggalkan bangkunya, terus Aldani mengisi tempatnya.

Sekarang rasanya aku kayak boneka di game tarik-tarikan.

“Dia mau ambilin kamu bir rasa peach yang jadi best seller tahun lalu. Dia bangga banget tuh.”

Terus dia lihat ke piringku yang sudah aku tinggalkan.

“Kamu enggak doyan makanannya?”

“Oh, enggak kok. Aku cuma enggak lapar.”

Aldani mengangguk. “Kamu udah ketemu Bu Mirrela?”

Aku buru-buru mikir, “Belum akrab sih, tapi aku baca obituarinya dan pingin kasih penghormatan.” Aku bangga sama jawaban itu. “Nama aku Maya.” Dan aku malah mengulurkan tangan.

“Seneng kenalan sama kamu, Maya. Maaf ya tadi pada heboh pas kamu masuk. Emang orang sini tuh suka nyablak kalau ada orang baru.”

Aku senyum, minum sedikit biar ada kegiatan.

Senyumnya langsung sumringah, sepertinya dia bahagia banget karena aku memilih bir buatan dia.

“Tadinya aku hampir gak datang. Ngerasa kayak ini bukan tempat aku.”

Dia tuang bir Danny ke gelasnya dan aku miringkan kepala, tapi enggak bertanya.

“Kalau dia pernah ngaruh di hidup kamu, kamu memang harusnya datang. Kamu udah ngomong sama Karin?”

Aldani bergerak seperti mau berdiri, aku panik dan taruh tangan di pahanya buat menahan, terus cepat-cepat tarik tanganku lagi begitu merasa hangat dari kakinya.

“Belum. Dia kelihatan kacau banget tadi pas aku lihat, ada suaminya di sebelahnya.”

Dia ketawa. “Itu bukan suaminya. Itu Alvaro, sahabatnya ... dan juga adik aku.”

Aku kaget. “Oh, jadi kamu kenal Karin?”

Dia minum birnya. “Udah kenal dari dia bayi!”

Aku mengangguk. “Ayahnya masih hidup?”

Dia melirik sedih, jadi aku sudah bisa menebak jawabannya sebelum dia ngomong.

“Nggak. Sayangnya, kapal dia hilang waktu badai, lebih dari lima tahun lalu. Dia sama beberapa orang Pecang juga meninggal.”

Aku berdeham. “Jadi sekarang Karin sendirian?”

Dia mengangguk, terlihat paham banget sama rasa sakit yang dialami Karin.

“Iya, tapi dia deket banget sama Alvaro. Dan itu Mama tiri aku di sebelahnya. Dia pasti bakal bantuin Karin buat lewatin masa ini.”

“Itu bagus. Aku yakin ibunya seneng lihat itu.”

Dia memandangiku agak lama. “Gila, muka kamu kayak familiar banget.”

Aku mengerti kenapa, dan heran kenapa orang belum ngeh dari tadi. Mungkin karena aku udah lama cat rambut jadi pirang.

“Kayaknya kita belum pernah ketemu,” jawabku.

Danny balik lagi, obrolan yang tadi mulai bikin deg-degan jadi berhenti.

Aku sudah berjanji ke diri sendiri buat langsung ngomong ke Karin begitu sampai di sini. Tapi sekarang aku merasa kayak dikejar waktu.

Datang ke sini mungkin salah. Sebenarnya aku cuma ingin dengar cerita-cerita soal Mamanya Karin, ingin tahu dia orang yang seperti apa.

“Ini dia,” kata Danny. “Ini yang terbaik. Rasa—”

“Peach?” potongku.

Danny memelototi Aldani. “Biarpun ada yang iri, ini rasa terbaik yang pernah kita buat.”

“Danny!” teriak cewek pirang dari seberang ruangan.

Danny taruh birnya di depanku. “Coba ya. Nanti bilangin rasanya gimana.” Terus dia langsung pergi.

Aku dorong birnya ke arah Aldani. “Kayaknya aku gak bisa minum bir lagi.”

Dia langsung berdiri. “Mau aku ambilin yang lain? Kita punya cider. Atau mau aku buatin cocktail?”

“Gak usah, benaran. Aku juga harus pergi.” Aku turun dari bangku.

Dia juga berdiri, dan baru aku sadar kita berdiri dekat banget.

“Mau aku panggilin Karin?”

“Enggak. Biarin aja dia. Makasih udah nemenin, dan bilang makasih juga ke adikmu.”

“Mau aku anter?” tanya Aldani.

Aku menggeleng. “Nggak perlu. Tapi makasih.”

Saat aku lewat dekat Karin, dia menoleh dan mata kita bertemu. Aku sempat berhenti.

Terus si Alvaro, yang tadi aku kira suaminya, bicara ke Karin, dan dia langsung alihkan pandangannya.

Aku ingin banget membisikkan ke dia, “Kamu gak sendirian.”

Tapi aku malah jalan keluar, ke jalanan kota yang harusnya dulu jadi tempat aku.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TETANGGA WITH BENEFIT   Surat Wasiat 📝

    ୨ৎ M A Y A જ⁀➴Besok paginya, aku naik Grabcar dari salah satu Resort di Bangora, langsung ke kantor pengacara. Malas banget kalau aku harus balik dulu ke Pecang.Aku turun dari mobil, berdiri di bawah papan bertuliskan Eifel Botman, Pengacara. Begitu masuk, bel ruangan kecil itu langsung berbunyi. Di balik meja resepsionis duduk ibu-ibu paruh baya yang sepertinya sempat kulihat juga waktu pemakaman kemarin.Dia melirik ke atas, matanya langsung melebar. "Oh, halo," katanya sambil menunduk lagi. "Kamu Maya, ya?"Aku mengangguk pelan."Sebentar, ya. Aku cek dulu Pak Botman-nya udah siap apa belum." Dia senyum ramah, lalu jalan ke lorong kecil di belakangnya.Aku duduk di ruang tunggu, sambil berpikir, "Aku pingin banget ngobrol dulu sama Karin sebelum lakuin semua ini. Tapi ya udah, lah …."Perutku rasanya mual setiap kali membayangkan bagaimana reaksi dia begitu tahu kalau aku sudah di kota ini. Tapi bisa saja dia memang tahu. Atau justru enggak pernah dikasih tahu apa-apa selama in

  • TETANGGA WITH BENEFIT   Untuk Apa Menikah? ❤️‍🩹

    Aku peluk dia. Aku tahu banget rasanya. Aku pernah ada di posisi dia dulu.“Tapi percaya, deh, suatu hari nanti waktu kamu inget dia, rasanya enggak sesakit sekarang.”Dia balas pelukanku. “Makasih buat semuanya.”Aku mengangguk.“Kamu di sini, ternyata.” Alvaro masuk, menginjak kain dan benang yang berserakan di lantai.Karin senyum ke dia. “Aku di sini. Bisa anter aku pulang, ya?”Alvaro mengangguk dan langsung melingkarkan lengannya di bahu Karin. “Ayo.”“Makasih, Karin,” kataku.Dia balik badan. "Sama-sama."Alvaro lagi menjaganya soalnya kita tahu bagaimana rasanya kehilangan orang tua. Karin kehilangan dua-duanya sekaligus neneknya. Keluargaku memang menyebalkan, tapi aku enggak bisa membayangkan hidup sendirian tanpa siapa-siapa.Waktu aku hampir memasukkan kunci itu ke kantong, Danny tiba-tiba muncul di pintu. "Jadi benaran?""Apaan?""Dia ngasih kunci itu ke kamu? Dia bakal jual tempat ini ke kita?"Aku melihat-lihat ruangan ini, memikirkan seberapa banyak kita harus renovasi

  • TETANGGA WITH BENEFIT   Toko Jahit Mirrela 💐

    ୨ৎ A L D A N I જ⁀➴“Jangan-jangan kamu bikin dia kabur, ya?” Danny menghampiriku saat aku lagi memperhatikan si cewek pirang jalan keluar dari Bar. Dia sempat berhenti dekat Karin, kayaknya mau bicara sesuatu, tapi terus jalan lagi.Derrin langsung menyelip di antara aku dan Danny. “Katanya sih, acara berkabung tuh tempat semua rahasia kelam seseorang pada kebongkar.”Aku angkat tangan, malas banget dengar ocehannya Derrin sekarang.“Udah-udah, lihat tuh, dia kayaknya mau nyebrang jalan,” kata Danny sambil mengambilkan gelas. “Jelas-jelas ada yang aneh dari dia.”“Kenapa? Dia bilang sesuatu?” tanya Derrin.“Enggak. Tapi dia lebih milih Aldani daripada aku. Jelas itu udah tanda-tanda aneh banget,” kata Danny sambil geleng-geleng kepala.Aku tertawa dan dorong bahunya. “Kamu tahu kan, aku lebih jago ngegombal daripada kamu.”“Gombal apaan? Kamu aja enggak punya kenalan cewek satu pun di Pecang.”Tiba-tiba Alzian, adikku, masuk ke Bar pakai seragam Outdoor Tambangnya. Dia langsung mengha

  • TETANGGA WITH BENEFIT   Kita Tidak Sendiri 💔

    Aku lihat sekeliling. Tempat ini cocok banget sih sama vibe mereka. Ada tong-tong besar di balik kaca, meja-meja kayu gelap yang besar, TV-TV berjejer di atas Bar yang memutar pertandingan bola. Dan di tengah ada plang besar dari baja bertuliskan Brine & Barrel.“Tempatnya keren. Cuma … aku bukan pecinta bir, sih. Jadi enggak tahu aku bisa menilai atau enggak.”Danny menyodorkan Aldani ke arahku.“Coba aja kamu minum dikit terus bilang ke Aldani kalau bir aku lebih enak.”Senyum plus kedipan mata Danny itu kayak senjata maut. Pasti sudah sering bikin cewek klepek-klepek sampai ke ranjang.Aldani balas, “Kita dapet cuan dari dua-duanya, bro. Jadi ini gak gitu juga.”Aku mencicipi bir dari Aldani, terus langsung telan. Mereka berdua menunggu aku berkomentar.“Enak kok. Dua-duanya enak.”“Kalau kamu harus ngabisin satu gelas, kamu pilih yang mana?”“Hmm .…” Jujur aku lebih milih nge-review bir mereka daripada harus menjelaskan siapa aku sebenarnya.“Kayaknya aku lebih suka yang rasanya e

  • TETANGGA WITH BENEFIT   Brine & Barrel 🍻

    ୨ৎ M A Y A જ⁀➴Aku masuk ke tempat acara duka yang ternyata digelar di Bar, dan seketika suasananya berubah seperti film horor, semua orang mendadak diam.Sebenarnya Mama sudah mengingatkanku, sih. Dia ingin banget ikut aku ke Pecang, tapi aku bilang kalau aku bisa handle sendiri.“Kamu nggak mengerti kota kecil. Kamu enggak bakal disambut pakai karpet merah,” katanya waktu itu.Sebenarnya, kadang aku bersyukur punya Mama yang overprotektif. Tapi kadang juga kesal. Kayaknya Papa sampai harus mengikatnya di kursi biar dia enggak menyusulku ke sini.Aku senyum kecil, terus mataku langsung menemukan Karin, anaknya almarhum. Dari tadi dia dikelilingi orang terus, bahkan sampai sekarang. Awalnya aku pikir semua bakal minum, makan, dan cerita-cerita kenangan manis bareng Mamanya, jadi aku bisa menyelinap buat ngobrol sebentar sama Karin.Tapi rencana tinggal rencana. Semua mata sekarang mengarah kepadaku. Jadi ya sudah, aku langsung menuju meja makanan, biar saja orang-orang mikir kalau aku

  • TETANGGA WITH BENEFIT   Cewek Misterius 🕊️

    Aku lagi jalan balik ke Bar, mataku tiba-tiba menemukan cewek pirang duduk di bangku taman dekat caffe, Mellow Mug. Gayanya rapi banget, pakai celana hitam sama heels hitam, seperti habis datang dari pemakaman.Gak terlihat atasannya, karena tertutup jaket hitam. Mungkin dia salah satu tamu, lagi menunggu orang lain datang. Ada yang familiar dari mukanya, tapi aku enggak bisa menebak itu siapa. Mungkin kalau dia mengangkat sedikit matanya dari HP, aku bisa lebih yakin.“Itu dia,” kata Derrin. Aku menengok ke belakang dan melihat dua adik tiriku, Derrin sama Donna, berdiri di depan Bar.“Siapa memangnya?”Donna ngangkat bahu. “Dia ada di pemakaman tadi.”Aku jalan mendekat. “Makanya aku ngerasa kenal. Dia orang sini ya?”Ingat, Pecang itu kota kecil. Kalau kalian enggak kenal orangnya, minimal kalian bakal pernah lihat mukanya. Karena lagi bukan musim liburan, lihat orang asing bakal jarang banget, kecuali dari kota tetangga seperti Bangora. Tapi kalau dia ada di pemakaman, berarti dia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status