Share

Toko Jahit Mirrela

Penulis: DityaR
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-01 15:33:27

୨ৎ A L D A N I જ⁀➴

“Jangan-jangan kamu bikin dia kabur, ya?” Danny menghampiriku saat aku lagi memperhatikan si cewek pirang jalan keluar dari Bar. Dia sempat berhenti dekat Karin, kayaknya mau bicara sesuatu, tapi terus jalan lagi.

Derrin langsung menyelip di antara aku dan Danny. “Katanya, sih, acara berkabung, tuh tempat semua rahasia kelam seseorang pada kebongkar.”

Aku angkat tangan, malas banget dengar ocehannya Derrin sekarang.

“Udah-udah, lihat tuh, dia kayaknya mau nyebrang jalan,” kata Danny sambil mengambilkan gelas. “Jelas-jelas ada yang aneh dari dia.”

“Kenapa? Dia bilang sesuatu?” tanya Derrin.

“Enggak. Tapi dia lebih milih Aldani daripada aku. Jelas itu udah tanda-tanda aneh banget,” kata Danny sambil geleng-geleng kepala.

Aku tertawa dan dorong bahunya. “Kamu tahu, kan, aku lebih jago ngegombal daripada kamu.”

“Gombal apaan? Kamu aja enggak punya kenalan cewek satu pun di Pecang.”

Tiba-tiba Alzian, adikku, masuk ke Bar pakai seragam Outdoor tambangnya. Dia langsung menghampiri Karin, peluk, dan mengucapkan belasungkawa.

Semua mata di ruangan pasti tertuju kepadanya, soalnya kita semua masih bingung, kenapa istrinya tiba-tiba meninggalkan dia dua minggu lalu.

Mereka memang buru-buru menikah, mungkin mereka masih labil. Aku sudah pernah bilang waktu dia mau menikahi pacar SMA-nya itu. Jadi yah ... enggak terlalu kaget juga, sih kalau akhirnya istrinya pergi begitu saja. Setidaknya dia enggak pernah cerita alasan pastinya ke kita.

Althaf, adikku, jalan ke arah kita. Wajahnya tampak khawatir.

 “Dia kelihatan kayak kurang tidur,” bisiknya kepadaku.

Namanya juga anak sulung, ya. Semua harus aku yang bereskan. Tapi aku lakukan, karena Althaf itu adik aku yang sudah banyak tertimpa musibah sejak Mama kita meninggal.

“Aku tahu. Tapi dia bakal bisa ngatasin ini. Dia bakal move on,” jawabku.

Kita berempat berdiri di situ, memperhatikan saudara kita memeluk Karin, dua-duanya terlihat seperti menahan air mata.

“Kita harus ngelakuin sesuatu buat bikin dia agak mendingan,” kata Derrin.

 “Gimana kalau malam ini main Domino?” usul Althaf. “Dia kan senang banget, tuh main kartu.”

 “Menurut aku, sih cowok-cowok mendingan ke Club striptis di Bangora,” celetuk Danny.

 Derrin langsung menepuk belakang kepala Danny.

 Alzian akhirnya berpisah dari Karin dan mulai lihat-lihat sekeliling. Kita semua buru-buru pura-pura enggak lagi membahas dia barusan.

 Aku bereskan beberapa gelas kotor, bawa ke dapur buat dicuci. Saat keluar lagi, aku melihat Karin di lorong dekat kamar Mandi. Sebelum aku sempat bicara, dia sudah dorong pintu belakang dan keluar.

Aku menengok ke lorong. Alvaro enggak kelihatan. Padahal dia tadi menempel terus sama Karin. Aku balik lagi ke dapur, ambil sepiring Kebab spesial Bar kita, terus menyusul dia.

Karin lagi duduk di meja kecil di belakang. Meja itu memang khusus buat karyawan yang lagi istirahat, terpisah dari parkiran sama dinding tinggi.

“Hey,” sapaku sambil duduk di depannya dan menyodorkan Kebab itu.

 “Hai, Aldani.” Dia angkat kepala. “Ada yang nyariin aku?”

 Aku menggeleng. “Aku lihat kamu kabur.”

 Dia mengangguk, “Sakit.”

 “Itu bakal bikin kamu jauh jadi lebih kuat.” Aku sobek sedikit Kebabnya. Semoga saja dia tergoda waktu melihat keju yang meleleh.

 “Iya, karena sekarang aku sendirian. Aku udah enggak punya keluarga.”

 Aku pegang lengannya pelan, “Kamu masih punya kita, kok. Keluarga Sunya. Kamu tahu itu, kan?”

 Dia mengangguk lagi.

 “Masih banyak yang mesti diberesin. Rumahnya harus dikosongin. Tokonya juga. Aku, sih punya waktu, selama enggak lagi jaga di perpustakaan. Tapi semua ini kerasa berat banget. Besok aku harus ke kantor pengacara buat lihat surat wasiat. Banyak banget yang harus dipikirin.”

 “Kalau kamu butuh bantuan, bilang aja. Aku bisa bantu beresin toko atau angkut barang dari rumah. Apa pun yang kamu perluin. Alvaro juga bakal stay di sini beberapa minggu ke depan. Kita bakal bantu sebisanya.”

 Dia berdiri, jalan ke toko di sebelah bar, dan ambil kunci dari sakunya. Dia buka pintu belakang toko. Banyak debu dan sarang laba-laba di pintunya, terlihat jelas kalau toko ini sudah lama enggak terurus.

 Dia lepas gembok rantainya dan kasih kuncinya kepadaku.

 Aku berdiri dan buka telapak tanganku. Dia taruh kunci itu di sana, “Aku enggak ada gunanya buat toko ini. Ini punya kamu sekarang. Aku tahu kamu dan Danny udah lama banget pingin ngembangin Bar kalian, kan?”

 “Kamu yakin? Kita pasti bayar, kok.”

 Toko ini sudah dibeli sama ibunya Karin dari dulu, jadi kalau dijual, Karin pasti dapat duit yang lumayan.

 Kita masuk. Dia menyalakan lampu. Bau apek langsung menyambut kami. Saat aku lihat ke sekeliling, yang aku lihat cuma peluang dan keuntungan buat usaha kita.

 Dia ambil gulungan benang dari rak, “Kita bisa omongin nanti. Tapi aku yakin kalau dia juga pingin kalian punya ini. Aku? Aku enggak bisa jahit. Bahkan memasukkan benang ke jarum aja enggak bisa.”

 “Makasih, tapi rasanya enggak enak ngomongin ini hari ini.”

 Dia senyum kepadaku, “Mungkin. Tapi kalau bukan sekarang, kapan lagi? Aku enggak sanggup diam di toko ini lebih lama lagi. Banyak banget kenangannya.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • TETANGGA WITH BENEFIT   Extra Chapter

    ୨ৎ A L D A N I જ⁀➴ "Aku enggak yakin juga," kataku ke Karin. "Aku enggak tahu Maya bakal cocok pakai cincin ini atau enggak." "Percaya deh sama aku, dia bakal suka banget. Dan hey, udah setahun, loh. Udah cukup kamu ngulur-ngulur waktu, Aldani Sunya!" Aku angkat tangan. "Oke, oke, aku nurut." Aku pindah rumah, enggak tinggal lagi bareng saudara-saudaraku yang lain. Aku sama Maya beli rumah kecil di pinggir kota, dekat sama Papa-Mamaku dan dekat juga sama tempat usaha kita. "Aku senang banget," kata Karin. Melihat hubungan aku sama Maya makin kuat, ditambah hubungan dia sama Karin makin dekat selama setahun ini, itu indah banget. Kayaknya memang itu yang mereka berdua butuhkan. Tapi tetap saja, aku masih enggak seratus persen yakin bisa percaya Karin soal cincin ini. Aku lihat lagi cincin itu. "Kalau aku

  • TETANGGA WITH BENEFIT   I Love You [END-Season II]

    Tanganku sudah menyentuh gagang pintu. "Aku yakin kamu orang baik, tapi kadang ada hal yang enggak bisa diperbaiki. Dan jujur aja, kalau kamu baru nyadar cinta sama anak aku setelah kehilangan dia, aku enggak bakal ijinin kamu ngomong sama dia sekarang!" ”Oke ...aku juga bakal jelasin ke, Tante. Mama aku meninggal waktu aku umur dua belas, dan—" Aku buka pintu dan keluar. Bahu dia langsung merosot saat melihatku. Dia coba melangkah melewati Mama, tapi Mama buru-buru maju lagi, menaruh tangan di dada dia. Aku hampir tertawa. "Enggak apa-apa, Ma." Mama menengok ke aku, "Maya!!!" "Mau jalan bareng bentaaaar aja sama aku?" kata Aldani sambil ulurkan tangan. "Tante juga boleh ikut." "Enggak." Mama mundur selangkah. "Kalian berdua aja." Dia taruh tangan di bahuku, terus kecup pipiku. Aku keluar dari apa

  • TETANGGA WITH BENEFIT   Pulang ke Jakarta

    ୨ৎ M A Y A જ⁀➴Mama bakal pulang malam ini, tapi sebelum itu dia bantu aku beres-beres apartemen.Dia keluar dari kamar mandi. "Kamar mandinya udah beres."Dia pegang kantong sampah hitam yang penuh sama karpet, tirai shower, sama barang-barang mandi aku. Dia sampai mau repot-repot bantu urusan begini, itu menunjukan betapa dia sayang banget sama aku. Dia duduk di kasur yang sudah aku bongkar, kasur yang jadi awal dari semua kekacauan ini sama Aldani."Sayang, ikut pulang sama Mama aja," katanya.Aku geleng kepala, sambil buang makanan yang hampir basi dan enggak ingin aku bawa. Aku sudah dapat rumah kecil buat disewa, dekat kota, jadi aku bisa jalan kaki ke tempat kerja. Mobil sewaan makin lama makin bikin tekor, jadi aku beli mobil murah buat dipakai sementara.Aku enggak bangga sama apa yang sudah kulakukan sama Aldani. Sebenarnya, enggak ada alasanku buat ribut di depan orang satu kota. Mungkin aku waktu itu cuma mau bikin di

  • TETANGGA WITH BENEFIT   Susahnya Mengakui Perasaan Ini

    Garasi penuh mobil, semua saudara kandung sama saudara tiri sudah pada berkumpul.Begitu aku masuk, suara tawa dari dapur pun langsung menghampiri. Suara yang sudah jadi kebiasaan di rumah ini, suara yang enggak bakal pernah ada kalau Hapsari enggak jadi bagian dari hidup kita.Dulu kita bahagia, iya, tapi dia bawa sesuatu yang berbeda. Sama seperti tiap saudara tiri aku. Kalau Papa enggak ambil risiko, hidup aku sekarang bakal sepi banget. Hapsari bahkan bantu Althaf mengurangi rasa bersalahnya. Aku enggak bakal bisa balas semua itu ke dia.Ruangan langsung sunyi saat Aku muncul. Saudara-saudara tiriku langsung maju buat peluk.Danny tepuk punggungku. "Akhirnya balik waras juga?"Aku cuek. "Sejak kapan kamu malah bela Maya?"Dia angkat bahu. "Aku suka aja sama dia. Lagian, Brine & Barrel dapat duit lebih banyak pas Duet Night. Aku berhak sombong, lah."Hapsari langsung peluk aku erat, tangannya naik turun di punggungku.

  • TETANGGA WITH BENEFIT   Hidup & Mati

    Aku jalan ke mobil, geleng-geleng kepala. Menyebalkan banget, hari buat mengenang Mama malah jadi fokus ke aku."Aldani!" Althaf mengejar dan tarik siku aku. "Enggak apa-apa mulai buka perasaan kamu."Aku putar badan, melihat mereka semua berdiri bareng Althaf."Kita juga ngerasain sakitnya," kata Alvaro. "Enggak ada dari kita yang pingin ngalamin itu lagi, tapi kita enggak bisa terpuruk terus.""Buktinya aku masih bertahan setelah ditinggal Khalisa," tambah Alzian. "Aku hancur banget, tapi aku masih ada di sini.""Aku udah duluan ngerasain semua itu, jadi jangan dikira aku enggak ngerti," kataku."Hei. Aku cuma dua tahun lebih muda dari kamu," celetuk Almorris. "Iya sakit, tapi bukan berarti kamu enggak boleh jatuh cinta lagi.""Aku lihat kamu sama Maya," kata Alzian. "Kamu udah jatuh cinta sama dia, mau kamu ngaku atau enggak."Mobil Papa berhenti pas di belakang mobil aku. Seperti biasa, dia datang telat sedi

  • TETANGGA WITH BENEFIT   Selamat Ulang Tahun, Mama

    ୨ৎ A L D A N I જ⁀➴Tiga hari setelah pembukaan The Libraria, setelah Maya memutuskan buat ribut sama aku di tengah malam acara Duet Night itu, sekarang aku berdiri di makam Mamaku.Althaf bawa semua bunga, setiap batangnya berbeda jenis, biar jadi buket yang Mama pasti suka. Mama selalu bilang kalau dia enggak pernah punya bunga favorit, semuanya cantik, sama seperti anak-anaknya.Tapi mungkin cuma aku yang masih ingat Mama bilang begitu. Kadang aku berpikir, jadi anak paling tua dengan ingatan paling jelas tentang Mama, itu kutukan banget."Kita mulai dari yang paling tua, kayak biasa," kata Althaf sambil kasih kode ke aku.Aku keluarkan napas berat, sebenarnya lagi enggak mood. "Aku skip dulu kali ini.""Aldani, kamu kan selalu duluan," katanya, ngotot.Aku geleng-geleng kepala. Aku malas banget harus jadi orang pertama yang kasih motivasi ke adik-adikku. Kita sudah hidup tanpa Mama jauh lebih lama ketimbang hidup bar

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status