୨ৎ A L D A N I જ⁀➴
“Jangan-jangan kamu bikin dia kabur, ya?” Danny menghampiriku saat aku lagi memperhatikan si cewek pirang jalan keluar dari Bar. Dia sempat berhenti dekat Karin, kayaknya mau bicara sesuatu, tapi terus jalan lagi. Derrin langsung menyelip di antara aku dan Danny. “Katanya sih, acara berkabung tuh tempat semua rahasia kelam seseorang pada kebongkar.” Aku angkat tangan, malas banget dengar ocehannya Derrin sekarang. “Udah-udah, lihat tuh, dia kayaknya mau nyebrang jalan,” kata Danny sambil mengambilkan gelas. “Jelas-jelas ada yang aneh dari dia.” “Kenapa? Dia bilang sesuatu?” tanya Derrin. “Enggak. Tapi dia lebih milih Aldani daripada aku. Jelas itu udah tanda-tanda aneh banget,” kata Danny sambil geleng-geleng kepala. Aku tertawa dan dorong bahunya. “Kamu tahu kan, aku lebih jago ngegombal daripada kamu.” “Gombal apaan? Kamu aja enggak punya kenalan cewek satu pun di Pecang.” Tiba-tiba Alzian, adikku, masuk ke Bar pakai seragam Outdoor Tambangnya. Dia langsung menghampiri Karin, peluk, dan mengucapkan belasungkawa. Semua mata di ruangan pasti tertuju kepadanya, soalnya kita semua masih bingung kenapa istrinya tiba-tiba meninggalkan dia dua minggu lalu. Mereka memang buru-buru menikah, mungkin mereka masih labil. Aku sudah pernah bilang waktu dia mau menikahi pacar SMA-nya itu. Jadi yah ... enggak terlalu kaget juga sih kalau akhirnya istrinya pergi begitu saja. Setidaknya dia enggak pernah cerita alasan pastinya ke kita. Althaf, adikku, jalan ke arah kita. Wajahnya terlihat khawatir. “Dia kelihatan kayak kurang tidur,” bisiknya kepadaku. Namanya juga anak sulung, ya. Semua harus aku yang bereskan. Tapi aku lakukan, karena Althaf itu adik aku yang sudah banyak tertimpa musibah sejak Mama kita meninggal. “Aku tahu. Tapi dia bakal bisa ngatasin ini. Dia bakal move on,” jawabku. Kita berempat berdiri di situ, memperhatikan saudara kita memeluk Karin, dua-duanya terlihat seperti menahan air mata. “Kita harus ngelakuin sesuatu buat bikin dia agak mendingan,” kata Derrin. “Gimana kalau malam ini main Domino?” usul Althaf. “Dia kan seneng banget tuh main kartu.” “Menurut aku sih cowok-cowok mendingan ke Club striptis di Bangora,” celetuk Danny. Derrin langsung menepuk belakang kepala Danny. Alzian akhirnya berpisah dari Karin dan mulai lihat-lihat sekeliling. Kita semua buru-buru pura-pura enggak lagi membahas dia barusan. Aku bereskan beberapa gelas kotor, bawa ke dapur buat dicuci. Pas keluar lagi, aku melihat Karin di lorong dekat kamar Donna. Sebelum aku sempat bicara, dia sudah dorong pintu belakang dan keluar. Aku menengok ke lorong. Alvaro enggak kelihatan. Padahal dia tadi menempel terus sama Karin. Aku balik lagi ke dapur, ambil sepiring Kebab spesial Bar kita, terus menyusul dia. Karin lagi duduk di meja kecil di belakang. Meja itu memang khusus buat karyawan yang lagi istirahat, terpisah dari parkiran sama dinding tinggi. “Hey,” sapaku, duduk di depannya dan menyodorkan Kebab itu. “Hai, Aldani.” Dia angkat kepala. “Ada yang nyariin aku?” Aku menggeleng. “Aku lihat kamu kabur.” Dia mengangguk, “Sakit.” “Itu bakal bikin kamu jauh jadi lebih kuat.” Aku sobek sedikit Kebabnya. Semoga saja dia tergoda waktu melihat keju yang meleleh. “Iya, karena sekarang aku sendirian. Aku udah enggak punya keluarga.” Aku pegang lengannya pelan, “Kamu masih punya kita, kok. Keluarga Sunya. Kamu tahu itu, kan?” Dia mengangguk lagi. “Masih banyak yang mesti diberesin. Rumahnya harus dikosongin. Tokonya juga. Aku, sih punya waktu, selama enggak lagi jaga di perpustakaan. Tapi semua ini kerasa berat banget. Besok aku harus ke kantor pengacara buat lihat surat wasiat. Banyak banget yang harus dipikirin.” “Kalau kamu butuh bantuan, bilang aja. Aku bisa bantu beresin toko atau angkut barang dari rumah. Apa pun yang kamu perluin. Alvaro juga bakal stay di sini beberapa minggu ke depan. Kita bakal bantu sebisanya.” Dia berdiri, jalan ke toko di sebelah bar, dan ambil kunci dari sakunya. Dia buka pintu belakang toko. Banyak debu dan sarang laba-laba di pintunya, terlihat jelas kalau toko ini sudah lama enggak terurus. Dia lepas gembok rantainya dan kasih kuncinya kepadaku. Aku berdiri dan buka telapak tanganku. Dia taruh kunci itu di sana, “Aku enggak ada gunanya buat toko ini. Ini punya kamu sekarang. Aku tahu kamu dan Danny udah lama banget pengen ngembangin Bar kalian, kan?” “Kamu yakin? Kita pasti bayar, kok.” Toko ini sudah dibeli sama ibunya Karin dari dulu, jadi kalau dijual, Karin pasti dapat duit yang lumayan. Kita masuk. Dia menyalakan lampu. Bau apek langsung menyambut kami. Pas aku lihat sekeliling, yang aku lihat cuma peluang dan untung buat usaha kita. Dia ambil gulungan benang dari rak, “Kita bisa omongin nanti. Tapi aku yakin dia juga pengen kalian punya ini. Aku? Aku enggak bisa jahit. Bahkan memasukkan benang ke jarum aja enggak bisa.” “Makasih, tapi rasanya enggak enak ngomongin ini hari ini.” Dia senyum kepadaku, “Mungkin. Tapi kalau bukan sekarang, kapan lagi? Aku enggak sanggup diam di toko itu lebih lama lagi. Banyak banget kenangannya.”୨ৎ M A Y A જ⁀➴Besok paginya, aku naik Grabcar dari salah satu Resort di Bangora, langsung ke kantor pengacara. Malas banget kalau aku harus balik dulu ke Pecang.Aku turun dari mobil, berdiri di bawah papan bertuliskan Eifel Botman, Pengacara. Begitu masuk, bel ruangan kecil itu langsung berbunyi. Di balik meja resepsionis duduk ibu-ibu paruh baya yang sepertinya sempat kulihat juga waktu pemakaman kemarin.Dia melirik ke atas, matanya langsung melebar. "Oh, halo," katanya sambil menunduk lagi. "Kamu Maya, ya?"Aku mengangguk pelan."Sebentar, ya. Aku cek dulu Pak Botman-nya udah siap apa belum." Dia senyum ramah, lalu jalan ke lorong kecil di belakangnya.Aku duduk di ruang tunggu, sambil berpikir, "Aku pingin banget ngobrol dulu sama Karin sebelum lakuin semua ini. Tapi ya udah, lah …."Perutku rasanya mual setiap kali membayangkan bagaimana reaksi dia begitu tahu kalau aku sudah di kota ini. Tapi bisa saja dia memang tahu. Atau justru enggak pernah dikasih tahu apa-apa selama in
Aku peluk dia. Aku tahu banget rasanya. Aku pernah ada di posisi dia dulu.“Tapi percaya, deh, suatu hari nanti waktu kamu inget dia, rasanya enggak sesakit sekarang.”Dia balas pelukanku. “Makasih buat semuanya.”Aku mengangguk.“Kamu di sini, ternyata.” Alvaro masuk, menginjak kain dan benang yang berserakan di lantai.Karin senyum ke dia. “Aku di sini. Bisa anter aku pulang, ya?”Alvaro mengangguk dan langsung melingkarkan lengannya di bahu Karin. “Ayo.”“Makasih, Karin,” kataku.Dia balik badan. "Sama-sama."Alvaro lagi menjaganya soalnya kita tahu bagaimana rasanya kehilangan orang tua. Karin kehilangan dua-duanya sekaligus neneknya. Keluargaku memang menyebalkan, tapi aku enggak bisa membayangkan hidup sendirian tanpa siapa-siapa.Waktu aku hampir memasukkan kunci itu ke kantong, Danny tiba-tiba muncul di pintu. "Jadi benaran?""Apaan?""Dia ngasih kunci itu ke kamu? Dia bakal jual tempat ini ke kita?"Aku melihat-lihat ruangan ini, memikirkan seberapa banyak kita harus renovasi
୨ৎ A L D A N I જ⁀➴“Jangan-jangan kamu bikin dia kabur, ya?” Danny menghampiriku saat aku lagi memperhatikan si cewek pirang jalan keluar dari Bar. Dia sempat berhenti dekat Karin, kayaknya mau bicara sesuatu, tapi terus jalan lagi.Derrin langsung menyelip di antara aku dan Danny. “Katanya sih, acara berkabung tuh tempat semua rahasia kelam seseorang pada kebongkar.”Aku angkat tangan, malas banget dengar ocehannya Derrin sekarang.“Udah-udah, lihat tuh, dia kayaknya mau nyebrang jalan,” kata Danny sambil mengambilkan gelas. “Jelas-jelas ada yang aneh dari dia.”“Kenapa? Dia bilang sesuatu?” tanya Derrin.“Enggak. Tapi dia lebih milih Aldani daripada aku. Jelas itu udah tanda-tanda aneh banget,” kata Danny sambil geleng-geleng kepala.Aku tertawa dan dorong bahunya. “Kamu tahu kan, aku lebih jago ngegombal daripada kamu.”“Gombal apaan? Kamu aja enggak punya kenalan cewek satu pun di Pecang.”Tiba-tiba Alzian, adikku, masuk ke Bar pakai seragam Outdoor Tambangnya. Dia langsung mengha
Aku lihat sekeliling. Tempat ini cocok banget sih sama vibe mereka. Ada tong-tong besar di balik kaca, meja-meja kayu gelap yang besar, TV-TV berjejer di atas Bar yang memutar pertandingan bola. Dan di tengah ada plang besar dari baja bertuliskan Brine & Barrel.“Tempatnya keren. Cuma … aku bukan pecinta bir, sih. Jadi enggak tahu aku bisa menilai atau enggak.”Danny menyodorkan Aldani ke arahku.“Coba aja kamu minum dikit terus bilang ke Aldani kalau bir aku lebih enak.”Senyum plus kedipan mata Danny itu kayak senjata maut. Pasti sudah sering bikin cewek klepek-klepek sampai ke ranjang.Aldani balas, “Kita dapet cuan dari dua-duanya, bro. Jadi ini gak gitu juga.”Aku mencicipi bir dari Aldani, terus langsung telan. Mereka berdua menunggu aku berkomentar.“Enak kok. Dua-duanya enak.”“Kalau kamu harus ngabisin satu gelas, kamu pilih yang mana?”“Hmm .…” Jujur aku lebih milih nge-review bir mereka daripada harus menjelaskan siapa aku sebenarnya.“Kayaknya aku lebih suka yang rasanya e
୨ৎ M A Y A જ⁀➴Aku masuk ke tempat acara duka yang ternyata digelar di Bar, dan seketika suasananya berubah seperti film horor, semua orang mendadak diam.Sebenarnya Mama sudah mengingatkanku, sih. Dia ingin banget ikut aku ke Pecang, tapi aku bilang kalau aku bisa handle sendiri.“Kamu nggak mengerti kota kecil. Kamu enggak bakal disambut pakai karpet merah,” katanya waktu itu.Sebenarnya, kadang aku bersyukur punya Mama yang overprotektif. Tapi kadang juga kesal. Kayaknya Papa sampai harus mengikatnya di kursi biar dia enggak menyusulku ke sini.Aku senyum kecil, terus mataku langsung menemukan Karin, anaknya almarhum. Dari tadi dia dikelilingi orang terus, bahkan sampai sekarang. Awalnya aku pikir semua bakal minum, makan, dan cerita-cerita kenangan manis bareng Mamanya, jadi aku bisa menyelinap buat ngobrol sebentar sama Karin.Tapi rencana tinggal rencana. Semua mata sekarang mengarah kepadaku. Jadi ya sudah, aku langsung menuju meja makanan, biar saja orang-orang mikir kalau aku
Aku lagi jalan balik ke Bar, mataku tiba-tiba menemukan cewek pirang duduk di bangku taman dekat caffe, Mellow Mug. Gayanya rapi banget, pakai celana hitam sama heels hitam, seperti habis datang dari pemakaman.Gak terlihat atasannya, karena tertutup jaket hitam. Mungkin dia salah satu tamu, lagi menunggu orang lain datang. Ada yang familiar dari mukanya, tapi aku enggak bisa menebak itu siapa. Mungkin kalau dia mengangkat sedikit matanya dari HP, aku bisa lebih yakin.“Itu dia,” kata Derrin. Aku menengok ke belakang dan melihat dua adik tiriku, Derrin sama Donna, berdiri di depan Bar.“Siapa memangnya?”Donna ngangkat bahu. “Dia ada di pemakaman tadi.”Aku jalan mendekat. “Makanya aku ngerasa kenal. Dia orang sini ya?”Ingat, Pecang itu kota kecil. Kalau kalian enggak kenal orangnya, minimal kalian bakal pernah lihat mukanya. Karena lagi bukan musim liburan, lihat orang asing bakal jarang banget, kecuali dari kota tetangga seperti Bangora. Tapi kalau dia ada di pemakaman, berarti dia