୨ৎ M A Y A જ⁀➴
Aku masuk ke tempat acara berkabung yang ternyata digelar di Bar. Dan seketika ... suasananya berubah seperti film horor. Semua orang mendadak diam. Sebenarnya Mama sudah mengingatkanku, sih. Dia ingin banget ikut aku ke Pecang, tapi aku bilang kalau aku bisa handle sendiri. “Kamu enggak mengerti kota kecil. Kamu enggak bakal disambut pakai karpet merah!” katanya waktu itu. Sebenarnya, kadang aku bersyukur punya Mama yang overprotektif. Tapi kadang juga kesal. Kayaknya Papa sampai harus mengikatnya di kursi biar dia enggak menyusulku ke sini, deh. Aku senyum kecil, terus mataku langsung menemukan Karin, anaknya si almarhum. Dari tadi dia dikelilingi orang terus, bahkan sampai sekarang. Awalnya aku pikir semua bakal minum, makan, dan cerita-cerita tentang kenangan manis bersama Mamanya. Jadi aku bisa menyelinap buat ngobrol sebentar sama Karin. Tapi rencana tinggal rencana. Semua mata sekarang mengarah kepadaku. Jadi ya sudah, aku langsung menuju meja makanan, biar saja orang-orang berpikir kalau aku cuma mau ngemil. Jadi aku ambil piring kecil. Enggak lapar, sih sebenarnya, tapi rasanya enggak sopan kalau cuma berdiri bengong kayak patung. Aku menemukan spot di pojokan, tertutup sama sekelompok orang yang lagi membahas lomba desa entah apa. Aku duduk diam, menunggu momen yang pas. Terus, ada cowok datang, mengisi gelasku tanpa kuminta. “Mau minum?” tawarnya. Cowok ini cakep. Rambut pendek rapi, tapi lengannya penuh tato, senyumannya ... mungkin senyuman yang bisa bikin cewek-cewek lupa diri. “Ah, enggak deh!” balasku sambil angkat tangan, tapi dia malah menyodorkan gelas itu kepadaku tanpa peduli. “Itu racikanku sendiri. Aku bakal tersinggung kalau kamu enggak nyicipin!” katanya sambil menarik bangku pakai kaki. Aku menengok ke belakang, setengah isi ruangan sedang memperhatikan kita. “Cuekin aja. Orang kampung emang suka usil dan enggak punya kerjaan,” katanya santai sambil melambai ke mereka. Sepertinya cowok ini memang manarik perhatian orang-orang. Dan aku ingin banget jadi kebalikannya sekarang. “Aku Danny. Danny Sunya,” katanya sambil mengulurkan tangan. Aku pun menjabatnya. Tapi tatapannya langsung melirikku dari atas ke bawah, seperti lagi mengukur baju yang mau dibeli. Entah karena memang libido aku hilang sejak sampai di kota ini atau cowok ini sebenarnya enggak terlalu menggoda, tapi biasanya, sih aku bakal klepek-klepek. Tapi sekarang? Biasa saja. “Hai, Danny Sunya.” Aku sengaja enggak menyebut namaku. Aku ambil langkah aman, pura-pura sibuk menyeruput Bir. “Enak juga.” Dia berkedip, yakin kalau minumannya benar-benar enak. Biasanya, sih aku malah ilfil sama yang terlalu percaya diri begini, tapi kali ini? Masih enggak ada rasa. Terus suasana makin ramai, dan aku mengintip lagi ke belakang. Enggak ada yang memperhatikan kita, kecuali satu cowok. Dia yang tadi mengobrol sama dua cewek di luar. Sekarang lagi bicara sama seseorang, tapi matanya beberapa kali melirik ke arah kita. “Eh, cewek misterius,” kata Danny. “Sekedar info, sekarang lagi banyak gosip bermunculan, lho.” “Gosip apaan?” Dia tertawa kencang sampai orang di belakang kita menoleh. “Gosip tentang kamu. Dan aku ini sebagai duta gosip di sini, haha.” Aku miringkan kepala. “Duta buat ngungkapin siapa aku?” Dia tengok-tengok dulu sebelum jawab, “Iya. Tapi aku bisa juga jadi tim penyambutan pribadi kalau kamu mau.” “Tim penyambutan?” Danny ini sudah terbiasa kali, ya, buat meluluhkan hati cewek cukup dengan senyuman, dan dia pikir dia bisa meluluhkanku juga. “Kamu tahu, kan konsep welcome wagon?” Aku makin bingung. Alisku pun makin naik. “Yaa … Itu hal biasa di Pecang. Tim penyambutan bakal datangin pendatang baru, kasih selebaran restoran, info warga, hal-hal kayak gitu, lah,” jelasnya sambil memperhatikanku dari ujung rambut sampai tumit. “Kamu kelihatan bukan orang sini. Mungkin kamu butuh Tour Guide dari cowok Pecang asli.” “Berarti kamu orang terakhir yang pantas buat nyambut dia!” Cowok yang dari luar tadi mendatangi kita, menepuk pundaknya Danny. “Dia, tuh aslinya bukan dari Pecang, cuma suka nyamar aja kalau lagi ada cewek!” Aku tertawa, dan Danny memperhatikanku kayak enggak percaya kalau aku bisa terbahak-bahak. “Kenalin nih, Aldani … Sunya,” kata Danny, dan Aldani langsung mengulurkan tangannya kepadaku. Aku pun meraih tangan itu dan … buset, ada sensasi aneh yang naik dari lenganku. Dia senyum, dan napasku seperti langsung diambil. Nah ini baru. Ini sensasi yang biasa aku dapat kalau cowok cakep mendekatiku. Aku lirik Danny sebentar, bertanya-tanya, kenapa enggak ada efek ini waktu sama dia, ya? “Jadi … kalian kakak adik?” Mereka sama-sama geleng. “Sepupu!” Oke. Pantas saja auranya berbeda. Rambut Aldani lebih panjang, agak gelap dan berombak. Dia juga punya jenggot tipis yang kayaknya enak buat menggesek ... Ah, kenapa jadi mikir ke sana, sih? “Dingin, ya!” ucapku sambil menyeruput bir. Aldani mengangguk, ambil gelas kosong di tengah meja, terus menuangkan bir dari pitcher lain. “Coba yang ini deh. Kamu bakal lebih suka.” Dia melangkah melewati Danny buat taruh gelas baru itu di depanku. Danny cemberut, “Dia udah minum bir terbaik kita, bro.” “Jadi kalian yang bikin minuman ini? Emang udah berapa lama kalian kerja di sini?” Aku angkat alis. Mereka saling tatap, terus Aldani jawab, “Kita yang punya tempat ini.”୨ৎ A L D A N I જ⁀➴ "Aku enggak yakin juga," kataku ke Karin. "Aku enggak tahu Maya bakal cocok pakai cincin ini atau enggak." "Percaya deh sama aku, dia bakal suka banget. Dan hey, udah setahun, loh. Udah cukup kamu ngulur-ngulur waktu, Aldani Sunya!" Aku angkat tangan. "Oke, oke, aku nurut." Aku pindah rumah, enggak tinggal lagi bareng saudara-saudaraku yang lain. Aku sama Maya beli rumah kecil di pinggir kota, dekat sama Papa-Mamaku dan dekat juga sama tempat usaha kita. "Aku senang banget," kata Karin. Melihat hubungan aku sama Maya makin kuat, ditambah hubungan dia sama Karin makin dekat selama setahun ini, itu indah banget. Kayaknya memang itu yang mereka berdua butuhkan. Tapi tetap saja, aku masih enggak seratus persen yakin bisa percaya Karin soal cincin ini. Aku lihat lagi cincin itu. "Kalau aku
Tanganku sudah menyentuh gagang pintu. "Aku yakin kamu orang baik, tapi kadang ada hal yang enggak bisa diperbaiki. Dan jujur aja, kalau kamu baru nyadar cinta sama anak aku setelah kehilangan dia, aku enggak bakal ijinin kamu ngomong sama dia sekarang!" ”Oke ...aku juga bakal jelasin ke, Tante. Mama aku meninggal waktu aku umur dua belas, dan—" Aku buka pintu dan keluar. Bahu dia langsung merosot saat melihatku. Dia coba melangkah melewati Mama, tapi Mama buru-buru maju lagi, menaruh tangan di dada dia. Aku hampir tertawa. "Enggak apa-apa, Ma." Mama menengok ke aku, "Maya!!!" "Mau jalan bareng bentaaaar aja sama aku?" kata Aldani sambil ulurkan tangan. "Tante juga boleh ikut." "Enggak." Mama mundur selangkah. "Kalian berdua aja." Dia taruh tangan di bahuku, terus kecup pipiku. Aku keluar dari apa
୨ৎ M A Y A જ⁀➴Mama bakal pulang malam ini, tapi sebelum itu dia bantu aku beres-beres apartemen.Dia keluar dari kamar mandi. "Kamar mandinya udah beres."Dia pegang kantong sampah hitam yang penuh sama karpet, tirai shower, sama barang-barang mandi aku. Dia sampai mau repot-repot bantu urusan begini, itu menunjukan betapa dia sayang banget sama aku. Dia duduk di kasur yang sudah aku bongkar, kasur yang jadi awal dari semua kekacauan ini sama Aldani."Sayang, ikut pulang sama Mama aja," katanya.Aku geleng kepala, sambil buang makanan yang hampir basi dan enggak ingin aku bawa. Aku sudah dapat rumah kecil buat disewa, dekat kota, jadi aku bisa jalan kaki ke tempat kerja. Mobil sewaan makin lama makin bikin tekor, jadi aku beli mobil murah buat dipakai sementara.Aku enggak bangga sama apa yang sudah kulakukan sama Aldani. Sebenarnya, enggak ada alasanku buat ribut di depan orang satu kota. Mungkin aku waktu itu cuma mau bikin di
Garasi penuh mobil, semua saudara kandung sama saudara tiri sudah pada berkumpul.Begitu aku masuk, suara tawa dari dapur pun langsung menghampiri. Suara yang sudah jadi kebiasaan di rumah ini, suara yang enggak bakal pernah ada kalau Hapsari enggak jadi bagian dari hidup kita.Dulu kita bahagia, iya, tapi dia bawa sesuatu yang berbeda. Sama seperti tiap saudara tiri aku. Kalau Papa enggak ambil risiko, hidup aku sekarang bakal sepi banget. Hapsari bahkan bantu Althaf mengurangi rasa bersalahnya. Aku enggak bakal bisa balas semua itu ke dia.Ruangan langsung sunyi saat Aku muncul. Saudara-saudara tiriku langsung maju buat peluk.Danny tepuk punggungku. "Akhirnya balik waras juga?"Aku cuek. "Sejak kapan kamu malah bela Maya?"Dia angkat bahu. "Aku suka aja sama dia. Lagian, Brine & Barrel dapat duit lebih banyak pas Duet Night. Aku berhak sombong, lah."Hapsari langsung peluk aku erat, tangannya naik turun di punggungku.
Aku jalan ke mobil, geleng-geleng kepala. Menyebalkan banget, hari buat mengenang Mama malah jadi fokus ke aku."Aldani!" Althaf mengejar dan tarik siku aku. "Enggak apa-apa mulai buka perasaan kamu."Aku putar badan, melihat mereka semua berdiri bareng Althaf."Kita juga ngerasain sakitnya," kata Alvaro. "Enggak ada dari kita yang pingin ngalamin itu lagi, tapi kita enggak bisa terpuruk terus.""Buktinya aku masih bertahan setelah ditinggal Khalisa," tambah Alzian. "Aku hancur banget, tapi aku masih ada di sini.""Aku udah duluan ngerasain semua itu, jadi jangan dikira aku enggak ngerti," kataku."Hei. Aku cuma dua tahun lebih muda dari kamu," celetuk Almorris. "Iya sakit, tapi bukan berarti kamu enggak boleh jatuh cinta lagi.""Aku lihat kamu sama Maya," kata Alzian. "Kamu udah jatuh cinta sama dia, mau kamu ngaku atau enggak."Mobil Papa berhenti pas di belakang mobil aku. Seperti biasa, dia datang telat sedi
୨ৎ A L D A N I જ⁀➴Tiga hari setelah pembukaan The Libraria, setelah Maya memutuskan buat ribut sama aku di tengah malam acara Duet Night itu, sekarang aku berdiri di makam Mamaku.Althaf bawa semua bunga, setiap batangnya berbeda jenis, biar jadi buket yang Mama pasti suka. Mama selalu bilang kalau dia enggak pernah punya bunga favorit, semuanya cantik, sama seperti anak-anaknya.Tapi mungkin cuma aku yang masih ingat Mama bilang begitu. Kadang aku berpikir, jadi anak paling tua dengan ingatan paling jelas tentang Mama, itu kutukan banget."Kita mulai dari yang paling tua, kayak biasa," kata Althaf sambil kasih kode ke aku.Aku keluarkan napas berat, sebenarnya lagi enggak mood. "Aku skip dulu kali ini.""Aldani, kamu kan selalu duluan," katanya, ngotot.Aku geleng-geleng kepala. Aku malas banget harus jadi orang pertama yang kasih motivasi ke adik-adikku. Kita sudah hidup tanpa Mama jauh lebih lama ketimbang hidup bar